Oleh Melky Koli Baran dan Ronny So
(Artikel ini telah dipublikasikan Pos Kupang, Rabu 24 September 2008 dengan Judul: Siklus Bencana Dalm Siklus Pembangunan)
Negeri ini memiliki pengalaman bergelimang dalam berbagai tragedi bencana. Secara geologi, letak Indonesia diapiti pertemuan lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia. Juga terletak dalam kawasan cincin api atau ring of fires. Barisan gunung api aktif berjejer mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi Utara membentuk cincin api. Berbagai tragedy letusan gunung api disertai gempa bumi fulkanik maupun tektonik terus terjadi. Juga eneka konflik sosial, dampak industri dan kegagalan tekhnologi.
Menurut kapal survei hidrografi Angkatan Laut Kerajaan Inggris, HMS Scott, gempa tektonik merupakan kelanjutan dari penujaman (subduction) lempeng Indo-Australia menabrak lempeng Eurasia. Gejala yang pernah menyebabkan tsunami dahsyat akhir tahun 2004 di beberapa negara Asia Selatan dan Tenggara. Propinsi Aceh adalah kawasan paling parah. Kawasan bencana tsunami 26 Desember 2004 di Aceh dan 27 Mei 2006 di Jogyakarta justru berada pada jalur ini. Masuk akal jika akhirnya UU no. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana disahkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, yang kemudian diundangkan dalam lembaran Negara RI tahun 2007 nomor 6.
Perubahan Paradigma
Bencana, khususnya alam, bukan satu satunya penyebab kehancuran dan kerusakan. Perspektif pembangunan di Negara yang terletak pada pertemuan tiga lempeng bumi yang terus bergerak dan cincin api dengan barisan gunung api aktif, justru menjadi salah satu penyebab pokok besarnya resiko kehancuran dan penderitaan ketika terjadi bencana. Besarnya korban bisa dikurangi jika ancaman dan kerentanan wilayah menjadi titik tolak dan kajian pembangunan.
Perubahan paradigma penanggulangan bencana justru mewajibkan agar perencanaan pembangunan berperspektif pengurangan resiko. Perubahan paradigma penanggulangan bencana tidak lagi menyempitkan diri pada respon emergency. Bencana merupakan fakta sejarah yang terus berulang, dan karena itu, dalam perencanaan pembangunan perlu diperhitungkan sebagai ancaman dan dianggarkan untuk membiayai pengurangannya.
Dalam paradigma baru ini, rancangan dan pelaksanaan pembangunan berorientasi pada upaya mencegah atau mengurangi resiko jika bencana tidak bisa dicegah. Istilahnya penjinakan atau mitigasi. Anggaran bisa dialokasikan untuk masa-masa normal untuk pencegahan atau penjinaman. Jadi bukan saja untuk emergency respon. Misalnya membuat rencana kontingensi, sistem peringatan dini, pembangunan infrastruktur. Juga memperkuat kapasitas masyarakat di kawasan beresiko. Hal ini yang dilakukan Kabupaten Sleman menghadapi ancaman gunung Merapi dan kerentanan wilayah dan masyarakat sekitarnya.
Perubahan paradigma ini membagi fakta bencana dalam sebuah siklus, dan pelaksanaan pembanguan mengambil bagian dalam siklus itu. Artinya, penanggulangan bencana tidak lagi dipersempit pada emergency respon dan pembangunan kembali tetapi pada keseluruhan siklus dengan karakter berbeda, yang menuntut kultur pembangunan yang berbeda pula. Tidak mencampuradukan tahapan-tahapan tersebut.
Memahami Siklus Bencana
Siklus bencana terdiri dari fase kesiapsiagaan, pencegahan dan mitigasi, tanggap darurat dan paska darurat. UU no. 24, pasal 33 membaginya dalam tiga tahap, yakni pertama: prabencana yang meliputi kesiapsiagaan, pencegahan dan mitigasi; kedua: tanggap darurat dan ketiga: pascabencana. Ini yang disebut siklus bencana. Setiap siklus berbeda kegiatan dan penganggarannya.
Dalam penganggaran, masa kesiapsiagaan meliputi rencana kontingensi, peringatan dini, perencanaan kesiapan. Pencegahan dan mitigasi meliputi rencana managemen pembangunan dan pencegahan. Tanggap darurat meliputi kajian darurat, rencana operasional, bantuan darurat (psl.18) yang meliputi logistik darurat, mengorganisir relawan, evakuasi, pengungsian. Masa pasca darurat meliputi pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Wilayah dengan ancaman tinggi, dana penanggulangan bencna perlu dianggarkan dalam APBD untuk tiap siklusnya. Ini merupakan tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU 24. Untuk itu maka siklus bencana perlu dipahani secara baik agar penanganan bencana oleh pemerintah tidak berpotensi menimbulkan bencana baru yang dapat saja lebih kompleks. Tidak melahirkan keributan karena salah urus dalam management penanggulangan bencana. UU no. 24 tahun 2007 telah berusia setahun, namun gaungnya ke daerah-daerah belum terdengar, sayuppun tidak.
Pelajaran Dari Kasus Flores timur
Di Flores Timur ada kasus. Para kontraktor mengeluh karena pekerjaan membangun kembali 13 gedung Sekolah Dasar (SD) yang rusak akibat bencana angin bulan Desember 2007 belum dibayar. Katanya bupati Simon Hayon tidak mau bayar. Alasannya tidak dianggarkan dalam APBD dan pekerjaan tanpa prosedur. Kok bisa dilaksanakan tidak sesuai prosedur. Lalu dari mana pos pembiayaannya jika tidak dianggarkan? Benarkah pembangunan gedung SD itu bersifat emergency respon?
Bencana terjadi bulan Desember, maka tahap emergency respon terjadi pada bulan itu. Kegiatannya adalah kajian darurat, rencana operasional dan bantuan darurat. Jika atap sekolah diterbangkan angin, maka respon darurat adalah segera menutup atap sekolah agar anak-anak bisa sekolah. Atau membangun tenda darurat. Sifatnya gerak cepat menggunakan dana tanggap darurat yang tersedia di pemda. Segala mekanisme dan prosedur sejenak diabaikan.
Masa tanggap darurat ini tidak berlangsung lama, hanya memulihkan kondisi yang darurat. Setelah kondisi normal, direncanakan rehabilitasi dan rekonstruksi. Artinya yang rusak diperbaiki dan yang ambruk dibangun kembali. Pelaksanaannya disesuaikan dengan mekanisme penganggaran pembangunan yang normal. Mekanisme normal adalah melalui perubahan anggaran pada tahun anggaran yang berjalan atau penganggaran di tahun anggaran yang baru.
Menurut siklus bencana, emergency respon sudah lewat pada bulan Desember dan Januari. Selanjudnya Dinas Pendidikan membuat perhitungan rehabilitasi dan rekonstruksi untuk dianggarkan dalam tahun anggaran 2009 atau perubahan anggaran 2008. Setelah proses ini selesai, barulah dilakukan pembangunan kembali sesuai mekanisme yang diatur dalam Perpres no. 80 tahun 2003.
Menjadi kasus karena melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi gedung-gedung SD (pasca darurat) menggunakan pola emergency respon. Karena darurat maka pakai sistim tunjuk langsung oleh pejabat berwewenang. Dari mana anggarannya? Menggunakan dana tanggap darurat satu miliar lebih, padahal seluruh pekerjaan itu menghabiskan biaya empat miliar lebih. Jelas tidak cukup. Bupati jelas berkeberatan karena belum dianggarkan kembali dalam APBD II Flotim. Bupati tidak bisa disalahkan. Yang perlu adalah kebijakan cepat perubahan anggaran 2008.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi para pejabat eksekutif untuk sungguh memahami siklus bencana dalam penggunaan isltilah dan anggaran sesuai jabatan yang diemban. Membawa istilah tanggap darurat atau emergency respon dan anggarannya ke wilayah pasca darurat- rekonstruksi dan rehabilitasi adalah penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang berakibat pada kerugian. Kontraktor dirugikan, anak-anak sekolah dirugikan dan anggaran pembangunan terganggu. Karena telah merugikan berbagai pihak maka perlu ada sanksi jabatan. Jika Bupati menerapkan sanksi jabatan, maka ini bukan tindakan politik tetapi penegakkan disiplin dalam penggunaan wewenang berkaitan dengan anggaran.***
Kedua penulis dari Flores Institute for Resources Development (FIRD), Jl. Kokos Raya 70, Ende.