Senin, 18 Juli 2011


Quo Vadis Lembata

Oleh Melky Koli Baran

Saat ini kabupaten Lembata sedang siap memasuki Pemilu Kada (Pilkada) putaran kedua. Paket jagoan Golkar dan PDIP yang lolos ke putaran kedua ini. Golkar mengusung moto “Untuk Lembata Yang Lebih Baik” sedangkan PDIP populer dengan sebutan “Lembata Baru”. Lembata yang Baru tentulah Lembata yang Lebih Baik dari hari ini. Dan Lembata yang Lebih Baik dari hari ini adalah Lembata yang Baru, yang tentunya jauh berbeda dengan Lembata 10 tahun silam. Artinya, selama sepuluh tahun otonomi setelah pisah dari Flores Timur Lembata masih tetap Lembata yang Lama dan karena itu belum menjadi Lembata yang Lebih Baik.
Benang Kusut Pilkada

Oleh Melky Koli Baran

Di ruang sidang Mahkama Konstitusi (MK). Peserta sidang duduk berderet. Mereka berasal dari kabupaten yang sama. Anehnya, mereka tidak saling bertegur sapa. Suasana dingin dan tegang. Juga terkesan menyelinap kecurigaan di antara mereka. Di antara mereka ada pegawai negeri sipil (PNS). Mereka hadir sebagai saksi sidang sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di daerah asal mereka.
Berbeda dengan pemilihan kepala daerah dalam sistem perwakilan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ketika seorang kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD pada masa Orde Baru, prosesnya sangat sederhana dan hemat. Tidak ada kampanye terbuka, tidak ada mobilisasi masa, tidak ada tim sukses, tidak ada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), tidak ada sidang sengketa Pilkada di MK dan lain sebagainya. Seluruh proses menjadi kewenangan partai politik. Ketika mandat kepada para wakil rakyat diambil oleh rakyat dalam sistem pemilihan langsung, semuanya menjadi mahal, rumit, sarat masalah dan sengketa. Pertanyaannya, apakah sistem pemilihan langsung oleh rakyat lebih buruk dan karena itu kembali saja ke sistem perwakilan?