Minggu, 28 April 2013

Gerakkan Solor Hijau, Gerakkan Perbaikan Keutuhan Ciptaan



Oleh Melky Koli Baran

“Wajah bumi ini babak belur. Tanah ini porakporanda dikuras isinya. Kulit bumi carut marut. Hutannya compang camping. Sumber air merana. Pesisir pantai dan laut tercemar. Itulah wajah pulau-pulau kita. Wajah pulau Flores, Slor, Lembata, Sumba dan Timor”. Kata-kata ini terucap lancar dari bibir sosok tua berambut putih. Dia itu Pater Petrus Nong, SVD, pastor Serikat Sabda Allah (SVD) yang berbarya di Keuskupan Larantuka. Kini ia dan SVD Provinsi Ende sedang serius dengan sebuah proyek pembelajaran bersama umat dan masyarakat di pulau Solor untuk perbaikan keutuhan ciptaan. Namanya Solor Hijau.
Ditemui di pastoran paroki St. Maria Semesta Alam Hokeng tanggal 2 April 2013, ia banyak berkisah tentang semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup – alam ciptaan karena kerakusan manusia.  Menurutnya, upaya perbaikan kualitas lingkungan hidup mesti dimulai dari perbaikan tingkah laku manusia. Jadi tidak hanya mengandalkan proyek-proyek seperti reboisasi dan sebagaianya. “Perbaikan alam ciptaan ini mustahil terjadi tanpa perbaikan cara pandang dan pola laku serta tindakan kita manusia terhadap lingkungan sekitar kita”, demikian kata Pater Piet, sapaannya.

Sabtu, 27 April 2013

Semalam di Wulublolong



Melky Koli Baran

Senin, 15 April 2013. Matahari miring di Barat. Pulau Solor di Flores Timur itu cerah dipayungi berkas-berkas sinar matahari menjelang senja. Tepat pukul 16.00. Kapal Motor Purnama lepas tali di pelabuhan Larantuka. Kurang lebih 30 menit berlalu, satu persatu pelabuhan laut di pesisir utara pulau Solor disinggahi: Ongalereng, Podor dan Wulublolong lalu Menanga. Sebelum matahari meghilang di ufuk barat, kapal Purnama merapat di pelabuhan Wulublolong. Para penumpang melompat turun. Setelah melewati pendakian sepanjang 1 kilo meter, sampailah kami di Wulublolong.
           

Minggu, 24 Februari 2013

Petani Kolaka Garap Laut



Oleh Melky Koli Baran

            Kolaka, akronim dari Kolidatang dan Laka. Dua kampung tidak jauh dari kota Larantuka kabupaten Flores Timur. Tepatnya di kecamatan Tanjung Bunga. Persis menghadap laut Flores mengarah ke Tanjung Bunga, sebuah tanjung di ujung paling timur pulau Flores. Tanjung yang mematri nama pulau ini “Flores”. Ketika itu kapal Portugis melintasi tanjung paling timur pulau Flores dan terkagung-kagum menyaksikan bunga-bunga liar nan indah yang bergelantungan di tebing tanjung itu dan berkata “coba da flores”. Lalu menamai pulau ini Flores. Dari sini dapatlah dikatakan bahwa nama pulau ini berasalmuasal dari tanjung di Timur pulau ini. Masyarakat Flores Timur juga menamai wilayah di timur itu Tanjung Bunga.
            Memerlukan waktu kurang lebih 90 menit dari Larantuka Untuk mencapai desa ini dengan kecepatan sepeda motor 60 km per jam. Jalan yang menghubungkan kota Larantuka dengan desa ini dan sekitarnya rusak di sana sini. Selepas Bandara Gewayan Tana Larantuka, akan bertemu dengan jalan aspal lapem yang sudah uzur dimakan usia. Di sani sini tersebar lubang-lubang  tak teratur sehingga sangat memperlabat kecepatan kendaraan.

Banjir Bertutur Di Welo



Oleh Melky Koli Baran

Dataran Welo
            Welo, sebuah kampung di lintasan jalan utama Larantuka menuju Waiklibang, ibu kota Kecamatan Tanjung Bunga di kabupaten Flores Timur. Butuh waktu kurang lebih setengah jam dari Larantuka untuk mencapai kampung ini. Selasa, 24 Juli 2012, sebuah tim dari Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) di Flores Timur melakukan assesment singkat di desa ini terkait bencana banjir Maret silam. Jika ceritera bencana banjir di Flores Timur itu identik dengan banjir bandang di kota Larantuka, maka kini tambah satu lagi. Dataran Welo pun bertutur tentang bencana serupa.

Sampah: Etika dan Estetika

Oleh Melky Koli Baran


Tulisan pendek ini menawarkan tema yang tidak asing. Tema yang akrab dengan kehidupan manusia. Bahkan boleh dibilang menjadi bagian dari kehidupan manusia.  Sampah dalam kehidupan kita, menyangkut etika dan estetika.

Sebetulnya sampah tidak saja berkaitan dengan kehidupan manusia, tetapi juga dengan keseluruhan isi jagat. Namun ketika disandingkan dengan etika dan estetika maka dia masuk secara khusus ke dalam wilayah kehidupan manusia. Sebab yang memiliki etika dan rasa estetika, yang disebut beretika dan tahu etika hanyalah manusia. Binatang misalnya, tidak kenal apa itu etika, apalagi estetika. Di mana saja dia mau buang kotoran, dia tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Beda dengan manusia. Kehidupan manusia selalu dituntun berbagai aturan, berbagai norma, berbagai tata nilai dan kesopanan serta rasa sebagai manusia. Karena itu manusia menjadi pribadi yang bernormal, beradat, bertata nilai. Dia beretika. Lalu apa hubungan antara etika dan estetika yang melekat dalam diri manusia itu dengan sampah?