Kamis, 15 Juli 2021


ABANG MOLEN


Kalau anda pernah mampir ke pelabuhan Lewoleba di pulau Lembata, atau pernah menumpang kapal dari Lewoleba ke Waiwerang dan Larantuka kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) tentu tidak asing dengan sosok yang satu ini.


Langkah kakinya ringan menapaki tangga setiap kapal penumpang yang siap angkat jangkar meninggalkan pelabuhan Lewoleba di pulau Lembata, NTT. Tampilannya selalu menarik perhatian setiap orang yang bersua dengannya. Selalu rapih, juga ramah. Walau terkadang sedikit berlebiahn. Stelan baju lengan panjang dengan paduan warnah yang serasih dengan celana panjang yang disetrika licin. Sepatu tak pernah absen dari sepasang kakinya yang selalu linca menelusuri lorong kursi penumpang sambil menyapa akrab para penumpang.


"Pemirsa! Selamat pagi!" Itulah sapaan khas yang mengalir akrab dari pria inovatif yang tenar dengan sebutan "Abang Molen". Dari kursi ke kursi, ia menyapa para penumpang sambil sedikit membungkuk merendahkan tubuhnya. Orang tua, orang dewasa, anak-anak, pria dan wanita, semuanya ia sapa akrab. Dari mulutnya mengalir enteng bagai hembusan angin laut kata-kata ajakan dan motivasi sambil memperlihatkan seisi keranjang yang ditentengnya.


Pisang molen adalah produk utama dan pertama yang kini jadi brandingnya. Bahkan karena itulah ia akrab disapa "Abang Molen". Tak segan dan sungkan, ia sering memperkenalkan dirinya "Abang Molen".


Bahkan ketika ada penumpang yang belum mendapatkan tempat duduk, Abang Molen membantu mengarahkan mereka ke kursi kosong yang belum terisi. Tak lupa ia mengajak para penumpang menggunakan masker di masa pandemi covid ini. 


Menjual pisang molen, telur puyu, martabak atau terang bulan, air mineral di setiap kapal penyeberangan adalah karya mandiri yang sangat lama ia tekuni. Pria ini terjun langsung menyapa para pembeli. Bahkan ia tak asing lagi bagi para penumpang. Apalagi orang-orang kapal. Di balik penampilannya yang boleh dikategorikan profesional ini, ada bebebrapa orang perempuan dan laki-laki yang menekuni usaha rumah tangga ini di bilangan Kolior, Lewoleba sebagai tenaga kerja.


Setelah semua kapal angkat jangkar hendak meninggalkan pelabuhan Lewoleba, dari ujung dermaga Abang Molen dengan senyuman mengembang melambaikan tangannya mengucapkan selamat jalan pada para penumpang. Tak lupa dari bibirnya mengalir ungkapan doa secara spontan mengiringi perjalanan kapal-kapal yang membawa pergi para penumpang. 


Lalu, ke manakah Abang Molen setelah itu? Menghilang dari pelabuhan, Abang Molen menyapa para pembeli di sudut lain. Sapaan khas "Selamat siang pemirsa" terdengar di hiruk pikuknya keramaian di terminal bus kota lewoleba. Terpaan debu dan sengatan panas matahari sirnah oleh semangatnya berhias senyum di bibirnya. Itulah kehebatan Abang Molen. Berani menembus garis batas sosial dan menapaki jalan lain yang bukan jadi pilihan umum, apalagi para laki-laki dalam sebuah iklim patriarki.


Benarlah kata-kata motivasi ini: "Ingin Sukses, Anda Harus Gila". Dan inilah kegilaan Abang Molen yang membuatnya sukses membangun komunikasi dalam melakoni bisnisnya yang unik ini. Keberaniannya keluar dari garis lurus membuatnya tampil beda dalam menyusuri lorong-lorong kreatifitasnya. Benarlah kata-kata motivasi lainnya: "Orang pintar tapi RAGU-RAGU akan dikalahkan oleh orang biasa-biasa tapi BERANI".


Jika cukup seratus orang muda di Lembata memilih jalan tak lazim seperti Abang Molen, niscaya tak ada gejolak saat Pemda Lembata "merumahkan" para tenaga kontrak dari kantor-kantor pemerintah.


Abang Molen, sebuah inspirasi yang nyata. "Teruslah menginspirasi orang muda dan para sarjana lulusan Perguruan Tinggi ternama sekalipun yang sedang bingung mendekap erat ijasah yang ia perjuangkan dan kantongi".


Terima kasih Abang Molen atas sua sejenak kita di pelabuhan Lewoleba kamis pagi 17 Juni 2021. Pertemuan yang menginspirasi.


Melky Koli Baran - Pondok Liberti, Larantuka, 18 Juni 2021

Selasa, 21 Oktober 2014

Orde Baru vs Orde Reformasi



(Catatan Menuju Pemilu 9 Juli 2014)

Oleh Melky Koli Baran

Tanggal 9 juli 2014 besok dinanti-nantikan segenap bangsa Indonesia. Hari penentuan pemimpin bangsa lima tahun ke depan. Inilah momentum Pemilu Presiden dan Wakil Presiden paska Orde Baru yang paling seru. Pasalnya hanya ada dua pasang calon. Prabowo Subianto berpasangan dengan Hatta Rajasa dan Joko Widodo berpasangan dengan Jusuf Kalla. Mungkin ini pertarungan paling menarik. Betapa tidak, rakyat yang memiliki hak pilih akan menjadi penentu sekaligus wasit lapangan atas pertarungan ini. 

Kita bisa menyebut pertarungan ini sebagai pertarungan antara “Orde Baru” dan “Orde Reformasi”. Atau pertarungan antara “seorang jenderal” dengan “seorang pedagang kayu”. 

Mungkinkah Ada Skenario Pembiaran?



Oleh Melky Koli Baran

Tanggal 17 Agustus 2014, darah membasahi tanah Wulandoni. Tanah ini pernah jadi saksi masa lalu tentang eksistensi dua kelompok manusia di Selatan pulau Lembata. Kelompok yang mendiami wilayah di Timur – arah matahari terbit di atas tanjung Atadei, dan yang mendiami wilayah di sebelah Barat – arah matahari terbenam di lengan kiri gunung Labalekan dan sekitarnya sampai Lewuka. Di tanah ini juga, aneka manusia dari pantai dand ari gunung setiap hari Sabtu di pasar barter yang dinaungi sejumlah pohon asam yang teduh. Setelah terjadi pemekaran kecamatan di kabupaten Lembata maka sebagian desa di kecamatan Nagawutung yang mengelilingi gunung Labalekan dan sebagian lagi desa di kecamatan Atadei “digabungkan” ke dalam satu kecamatan baru, yakni Wulandoni. 

Para Perempuan Menggugat Bertelanjang Dada



Oleh Melky Koli Baran

Tambang Mangan di Tumbak kabupaten Manggarai Timur telah lama ditolak warga. Di pihak lain, rupanya investor tidak bergeming dengan penolakan warga tersebut. Kabarnya, bupati Manggarai Timur mengatakan belum memberikan ijin panambangan. Lalu, ada negosiasi ke masyarakat oleh  pihak investor yang dikawal pemerintah desa dan aparat keamanan setempat. Lalu terjadilah aksi penolakan lagi. Kini yang menolak adalah para perempuan. 

Ketika Penegak Hukum Tidak Mengerti Hukum



Oleh Melky Koli Baran

Gonjang janjing politik dan hukum di Lembata akhir-akhir ini semakin menempatkan reputasi Polisi di Polres Lembata ke titik nadir. Kekacauan pemahaman dan penerapan hukum dan politik yang saling terintervensi semakin menempatkan Polisi di Lembata pada posisi tidak netral dan karena itu terbaca tidak professional dalam menjalankan tugas. Bahkan di mata Pengacara papan atas Jakarta asal Lembata Petrus Bala Pationa, SDM (Sumber Daya Manusia) Polisi di Lembata Rendah (FP, Rabu, 15 Oktober 2014)

Jika mencermati  alur pikir pengacara Bala Pationa tentang reputasi kerja dan kualitas “barisan seragam coklat” yang bermarkas di Polres Lembata, secara argumentatif  Bala Pationa menyimpulkan bahwa dalam menjalankan tugas penegakan hukum di Lembata atas berbagai kasus, terbaca bahwa jajaran Kepolisian di Lembata  “Tidak Mengerti Hukum”.

Operasi Kriminal Tak Bergeming di Hadapan Aparat



(Membaca Peristiwa Wulandoni dari Sisi Lain)

Oleh Melky Koli Baran

Peristiwa kriminal yang terjadi di Selatan pulau Lembata telah berlalu hampir sebulan. Kala itu (17/8/2014), warga Pantai Harapan Menyerbu warga Wulandoni. Sejumlah rumah warga dan kantor camat dirusaki. Cerita lapangan menjelaskan bahwa warga Pantai Harapan berwajah beringas menyerbu Wulandoni. Seorang warga Wulandoni diseret dan dibunuh di kampungnya sendiri. Lebih memalukan lagi, terjadi di hadapan aparat Polisi dari Polres Lembata yang sedang resmi bertugas. Ini terbilang operasi kriminal terbesar di Lembata pada lima tahun terakhir. Negara dalam hal ini pemerintah dan aparat keamanan gagal. 

Telah Terjadi Pembunuhan Berencana?



(Sekedar Tanya untuk proses hukum HJM)

Awal tahun 2013, Flores geger oleh penemuan kerangka manusia di Lela kabuaten Sikka. Kemudian diketahui publik bahwa kerangka tiga orang manusia itu milik Mery Grace (MG) bersama dua orang anaknya. MG seroang perempuan asal Adonara, seorang mantan biarawati.
Penyelidikan cepat oleh Polres Sikka menyimpulkan bahwa kerangka tiga orang manusia itu hasil “pembunuhan berencana”. Pelakunya seorang romo. Dialah Herman Jumat Masan (HJM), asal Adonara yang saat itu sebagai Pembina para calon imam diosesan di rumah TOR (Tahun Orientasi Rohani) Lela. Artinya “korban dan pelaku” sama-sama seasal. 

Rumah Rindu Transformasi



Kado Ekawindu CU Sinar Saron

Oleh Melky Koli Baran

Menjelag berakhirnya tahun 2013 kemarin, Flores Timur diguncang sebuah peristiwa bersejarah. Boleh dikatakan “sejarah kelam keuangan”. Tetapi bisa saja menorehkan pengalaman penting buat dikisahkan dan disikapi di hari-hari selanjutnya. Pada saat itu, sebuah lembaga keuangan non bank yang beroperasi di Flores Timur dengan ribuan nasabah jatuh bangkrut. Pimpinannya menghilang tanpa jejak hingga saat ini. Kepolisian Resort Flores Timur hanya bisa membawa kabar di lembar-lembar media massa bahwa sedang diupayakan pencariannya, dan bahwa telah ditetapkan dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Walau ada cerita lain bahwa ada perwakilan nasabah yang dengan mudah menemui pimpinan lembaga keuangan itu Jakarta, sementara polisi belum bisa membawa pulang orang yang paling dicari para nasabah.

Polisi Lembata Akomodir Penipuan?



Oleh Melky koli Baran

Karena berbicara dalam sidang Paripurna di DPRD Lembata, maka Yakobus Liwa, Anggota DPRD Lembata kena getahnya. Ia diadukan ke Polres Lembata. Kabar yang lama beredar di Lembata bahwa yang melapor adalah ajudan Bupati yakni Faisal dan Agustinus Dominikus Tueng Lasar.
Sungguh aneh! Yakobus Liwa bicara sebagai anggota DPRD tentang bupati lembata Yentji Sunur. Tapi yang polisikan Yakobus Liwa adalah dua orang ajudannya. Apa hubungannya? Dan polisi menerima laporan ini. Seorang ajudan bupati bisa lapor seorang aggota DPRD yang bicara di ruang sidang resmi. Seorangn anggota DPRD resmi menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat lalu digugat oleh seorang ajudan bupati. Adakah hubungan struktural antara seorang ajudan  bupati bernama Faisal dan Tueng Lasar dengan seorang anggota DPRD? Rasanya tidak! Karena itu aneh! Lalu mengapa kedua ajudan ini berani memolisikan Yakobus yang adalah anggota DPRD?

Langkah Polisi Di Lembata, Ach Bukan Hal Baru






Oleh Melky Koli Baran


Flores Pos cukup sering menulis berita dan artikel tentang sejumlah kasus di kabupaten Lembata. Kasus-kasus itu justru menjadi potret buram bagi kepolisian di kabupaten Lembata sebagai sebuah institusi Negara. Dapat saja institusi ini terus terpuruk jika tidak secepatnya dilakukan tindakan pemulihan.  Seperti apa tindakan pemulihan itu, saya tidak perlu mendikte kepolisian dalam hal ini Kapolda NTT. Seharusnya sudah jelas.

Indikasinya adalah terkesan penanganan sejumlah kasus kriminal di Lembata oleh Polres mengundang segudang tanda tanya bahkan protes. Hal-hal yang terkesan terus berulang sehingga ketika membaca cerita media tentang penanganan kasus-kasus kriminal itu, orang akan berkata “ach, itu bukan hal baru. Itu sepertinya telah menjadi pola polisi di sana”. Kita bisa memotretnya dari sejumlah kasus kriminal di pulau itu.