Jumat, 19 Desember 2008

MENGINTIP DUKA PARA KORBAN ANAK REPUBLIK


Oleh: Melky Koli Baran

Kisah tragis itu tak terbayangkan sebelumnya. Mereka nampak tegar, walau gurat wajah mereka menyisakan kepedihan menatap kosong masa depan anak-anak mereka. Apa yang bisa dilakukan besok, lusa dan seterusnya? Mereka kini cuma anak manusia yang malang, tetapi tetap anak Republik yang setia pada ibu pertiwi.

MEMBACA LEMBATA DARI SEGI TIGA PEMBANGUNAN

(Tentang Rencana Pertambangan Emas)
Oleh Melky Koli Baran

Opini dan pendapat bertarung di media massa seputar rencana pertambangan emas di Lembata. Ada dua kelompok petarung, yakni pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dengan pucuk pimpinan politiknya bupati Lembata yang dipilih langsung oleh rakyat bertarung dengan rakyat Lembata yang memilihnya. Padahal bupati dipilih untuk mengatur penyelenggaraan kesejahteraan seluruh rakyat Lembata.

PROSESI LAUT DI LARANTUKA PADA JUMAD AGUNG


Larantuka, ibu kota kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur. Kota Kecil ini menjadi pusat perhatian setiap hari Jumad Agung - hari wafa Yesus Kristus. Pada hari ini, Larantuka menjadi sangat unik jika dibandingkan dengan kota-kota maupun kampung-kampung lainnya yang beragama Katolik.

Kamis, 18 Desember 2008

DARI TEOLOGI KELAS KE TEOLOGI LINGKUNGAN

Catatan:
Pater Marcelinus Agot,SVD yang saya kenal itu, belajar Teologi di Roma lalu, menjadi dosen Teologi di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Ruteng, jurusan Teologi. Pernah menjadi Ketua Sekolah Tinggi tersebut. Kini guru Teologi itu membumikan ilmunya secara nyata dengan menanam pohon. Menanam pohon itu aktus dari berteologi. Karena itu, saya memberi judul wawancaranya dengan Kompas yang saya kutip ini dengan judul baru untuk blog ini, yakni "Dari Teologi Kelas Ke Teologi Lingkungan"

Rabu, 10 Desember 2008

KEBIJAKAN ANGGARAN PEMBANGUNAN

(Seputar Uang Makan PNS di Flotim)
Melky Koli Baran
Para guru di Kabupaten Flores Timur dalam wadah PGRI menuntut pembayaran Uang Makan (UM), yang adalah hak Pegawai Negeri Sipil dan tidak dibayar penuh oleh pemerintah. Hanya membayar Rp 7.500/hari dari seharusnya Rp 10.000. Departemen Agama menerima Rp 15.000 per hari sementara yang lain hanya Rp 7.500.

KEBAKARAN DI LEMBATA BUKAN TAKDIR

Oleh Melky Koli Baran
(Dikutip dari Buletin Gong Flores, Edisi 11, 2008)
Lembata dikenal sebagai wilayah dengan tingkat kebakaran hutan dan padang sangat tinggi. Laporan dari Lembata tahun ini mengatakan wilayah terparah meliputi kecamatan Ile Ape dan Nubatukan. Dari kedua kecamatan ini, Nuba Tukan paling parah. Padang dan hutan serta lahan yang terbentang mulai dari Waijarang, Waikomo, Belang di desa Watokobu, Bakalerek, Paobokol bahkan sampai ke Labanobol mengalami kebakaran paling parah. Kebakaran di Nubatukan terjadi bulan Agustus 2008. Titik api diidentifikasi terjadi di wilayah Desa Bakalerek dan Watokobu pada bulan Agustus ketika berlangsung latihan Pengurangan Resiko Bencana kekereingan dan kebakaran bagi pemerintah 6 Desa. Ironis!
Untuk kebakaran di Ile Ape yang menghanguskan seluruh gunnung api itu, pelakunya sudah diamankan Polres Lembata. Pelaku mengaku lalai ketika membakar rumput di kebunnya untuk perispan musim tanam. Di Nubatukan belum diketahui pelakunya. Dari ceritera-ceritera yang dihimpun di desa-desa sekitar lokasi kebakaran dikatakan, kebakaran mulai dari Lewoleba. Masyarakat mengetahui bahwa yang membakar biasanya para pekerja pengumpul batu. Dengan membakar padang, mereka lebih leluasa mengumpul batu untuk dijual. Masyarakat juga sudah melaporkan hal ini ke Polisi, namun polisi punya aturan standar bahwa pelaku harus ditangkap tangan. Hal ini yang menyulitkan ketika terjadi kebakaran, polisi ada di kota dan bukan di hutan.


Menghitung Kerugian
Jika dilihat sepintas, hampir tidak ada kerugian serius yang ditimbulkan jika padang terbakar. Namun jika dihitung, sesungguhnya tidak kecil kerugiannya. Tahun 2007, ketika terjadi kebakaran di Waijarang, tanaman mente gagal panen. Pendapatan petani mente menurun. Frans Erak Liman, seorang pengrajin kacang mente dari Waijarang pernah meng-ungkapkan, usahanya nyaris macet karena gagal panen mente. Ia terpaksa men-datangkan mente dari Nagaawutung agar usahanya tetap berjalan. Ketika gunung Labalekan terbakar tahun 2006, YBS Lewoleba menghitung kerugian materil mencapai tiga miliar rupiah di luar ancaman kekeringan sejumlah sumber air dan ancaman longsor bagi desa-desa di lereng gunung itu.



Bisa Diubah
Sederhana saja jika pemda dan masyarakat Lembata mau mengubah ancaman alam ini. Ketika diskusi soal ini di Bakalerek tahun 2007 silam, masyarakat merasa sulit memadamkan api. Ini namanya paradigma lama. Tunggu padang terbakar, baru berusaha memadamkannya. Berapa mampu?
Yang strategis dilakukan adalah mencegah dari pada memadamkan api. Biasanya, api sangat produktif jika bertemu rumput kering, apalagi di musim panas. Maka, diperlukan ke depan adalah mengubah rumput kering menjadi hijau. Sumber daya ada. Setiap tahun Dinas Kehutanan memiliki program pusat cukup besar. Hijaukan padang-padang itu. Masyarakat juga jangan diam. Gerakkan menanam bagi setiap jiwa. Pasti jadi. Jika setiap tahun tiap KK dibagikan 0,5 ha untuk dihijaukan, kita tentu butuh waktu tidak sampai 10 tahun untuk mengubah padang dari Waijarang hingga Labanobol menjadi hutan yang hijau. Jika sudah hijau, api sulit meyebar. Di samping itu, bertambah lahan produktif untuk pertanian. Jangan serahkan itu semua pada polisi untuk tangkap pelaku kebakaran.Urusan lalu lintas di kota saja susah, apalagi yang di hutan.***

Senin, 08 Desember 2008

CERITERA DARI NDUNGGA, ENDE YANG BISA DIPELAJARI

Melky Koli Baran

Tanggal, 16 November, sejumlah CSO (LSM, lembaga agama, Perguruan Tinggi, organisasi masyarakat), bertandang ke desa Ndungga. Di sana berlangsung diskusi dengan masyarakat seputar bencana tahun 2003. Kunjungan ini untuk memperdalam gagasan dan aksi pengurangan resiko bencana sekaligus menjadi proses belajar bersama masyarakat.
Ndungga terletak lebih kurang 10 Km arah Timur Kota Ende. Terdiri dari 3 dusun yaitu dusun Aerawa, Dusun Ndungga dan Dusun Watubhara. Penduduk berjumlah 131 KK. April 2003 silam desa ini diporakporandakan banjir dan longsor. Peristiwa ini merenggut 29 jiwa. 12 meninggal (ditemukan) dan 17 lainnya hilang (tak ditemukan).
Tanda-tanda Alam
Ceritera masyarakat, sebelumnya ada tanda-tanda akan ada bencana. Hujan turun selama 3 hari. Sudah muncul rasa takut, bingung, cemas (firasat buruk). Tercium bau lumpur, kilat dan guntur pada hari Senin, 31 Maret jam 23.00 WITA – Selasa, 1 April 2003, jam 02.30 WITA; munculnya berkas cahaya seperti lampu senter dari arah pantai selatan yang dilihat pada malam hari dan bergerak menuju desa Ndungga. Masih ada sejumlah tanda alam lainnya.
Selain masyarakat Ndungga, para nelayan dari Pulau Ende mengakui telah melihat kumpulan Awan bercahaya dan berair jatuh di arah Lokoboko dan Ndungga. (Badai Inigo - bahasa Lio disebut Murugali), tercium bau walangsangit dalam rumah (tanda akan ada kematian); Capung kali (bahasa setempat: ule ae) masuk ke dalam rumah pada jam 23.00 Wita (4 Jam sebelum bencana). Selama tiga hari berturut-turut melihat Pelangi yang meminum air di Kali (lokasi kejadian bencana).
Pengalaman lain, pada banjir 1988 masyarakat melihat bulan jatuh di arah gua yang terletak di bagian timur. Sebelum kejadian gempa 1992, hujan selama 3 hari berturut-turut, tercium bau belerang serta hawa sangat panas menyebar. Sebelum banjir 2003, Minggu malam 30 Maret 2003 hingga Senin pagi 31 Maret, cahaya seperti cahaya lampu melintas sepanjang lokasi kejadian.
Dari sejumlah ceritera ini, sesungguhnya masyarakat Ndungga memiliki pengalaman dengan tanda-tanda alam sebelum kejadian bencsana. Ceritera seperti ini tentu tidak saja di Ndungga, tetapi di tempat-tempat lain juga, hanya saja apakah tanda-tanda itu menjadi peringatan bagi masyarakat untuk mengambil langkah penyelamatan dini. Biasanya kita teerlambat memaknai tanda-tanda alam seperti ini.

Kepolosan Anak Kecil
Senin, 31 Maret 2003, Gregorius W. Riwu (Frits), anak usia 3 tahun di kampung Ndungga sudah merasakan tanda akan terjadi bencana. Sang ayah Felix, berceritera bahwa pada malam sebelum kejadian, pkl. 21.00 Frits yang saat itu masih berumur 3 tahun meminta seluruh keluarga berdoa dan minta izin kedua orang tuanya untuk mencium patung keluarga kudus sebab akan terjadi bencana.
Pesan polos sang anak ini disampaikan kepada seluruh masyarakat, terutama mereka yang bermukim sepanjang jembatan kali Ndungga. Namun kuaitr tidak terjadi bencana dan dituduh menyebar kepanikan, maka pesan polos sang anak tidak diumumkan kepada masyarakat. Yang dilakukan malam itu sebatas memukul tiang listrik agar masyarakat tetap siaga.
Terenyata benar apa yang dipesan sang anak. Dalam kelelapan malam menjelang pagi, banjir bandang menerjang dan meluluhlantakan perkampungan. Rumah, harta benda bahkan nyawa diterjang banjir bandang. Ada yang hilang, meninggal dan terluka.

Belajar Dari Ceritera
Kata kunci dari ceritera di atas adalah kesiapsiagaan. Di dalamnya, sangat berkaitan dengan tanda-tanda alam maupun gejala sosial di hari-hari menjelang kejadian.
Teori dan perspektif Disater Risk Management (management pengurangan resiko) dalam keseluruhan pembangunan menempatkan peringatan dini sebagai salah satu upaya pengurangan resiko. Tanda-tanda alam maupun gejala sosial merupakan bentuk peringatan dini (early warning) bagi masyarakat yang di daerah rawan dan beresiko bencana. Langit, dalam bentuk Pelangi (Nipa moa), Hujan, petir, awan yang bergumpal seperti cahaya (Murugali), Binatang (Capung, Walang sangit), perubahan aroma alam (bau Lumpur bila terjadi banjir, bau belerang bila terjadi gempa), perubahan suhu Udara, reaksi atau firasat yang tidak lazim pada anak-anak, orang cacat dan abnormal merupakan bentuk peringatan atau tanda-tanda bahaya.

Belajar Dari Ndungga
Pengalaman bencana tahun 2003 memberi pelajaran bagi masyarakat desa Ndungga. Di sepanjang DAS telah ditanami berbagai jenis tanaman penahan tanah dan air. Usaha ini lahir dari kesadaran masyarakat. Tidak ada yang menggerakkannya. Secara perorangan, masyarakat mulai menanam. Dan perlahan-lahan, semua masyarakat menanam. Jadilah gerakkan bersama menanam bamboo, pohon-pohon, maupun berbagai jenis tanaman rumput yang dapat dijadikan pakan ternak, pisang dan kelapa.
Paskah bencana, masyarakat tidak pindah atau dipindahkan. Belajar dari pengalaman 2003, masyarakat membangun hidup baru di atas reruntuhan. Pengalaman longsor mengajarkan warga untuk menanam dan lebih hati-hati membuka lahan pertanian. Di samping itu, batu-batu muntahan longsor ditambang untuk menambah penghasilan.
Ndungga, Desa dan komunitas kampung yang kini hidup nyaman di tengah lokasi bekas longsor dan banjir tahun 2003. Ancaman mulai diubah jadi potensi. UU 24/2007 lahir kemudian. Warga Ndungga sudah memilikinya, hanya lamban diketahui oleh masyarakat..***

Minggu, 07 Desember 2008

TAMAN NASIONAL KELIMUTU DAN PROBLEM TANAH ADAT


Taman Nasional Kelimutu dan Problem Tanah Adat Wolomoni

(Hasil wawancara dengan Bapak Nikolaus Ruma, Ketua AMATT dan Forum Petani Kabupaten Ende, mantan Kepala Desa Niuwula dari tahun 1994-2002 – diceriterakan di Wolomoni, tanggal 18 Mei 2004 silam. Ditulis ulang dan diposting 7 Desember 2008)
***
Siapa tidak Kenal gunung Kelimutu di Kabupaten Ende, Flores. Seperti gunung lainnya, Kelimutu cuma salah satu gunung api yang diceriterakan pernah meletus, namun tidak pernah dialami generasi saat ini. Namun gunung ini menjadi menarik dan terkenal hampir seantero jagat lantaran di puncak gunung itu ada keajaiban yang tidak ditemukan di pojok dunia lainnya.
Karena di puncak gunung Kelimutu ada tiga buah kawah bertetangga berisi air berwarnah. Dikenal Danau Tiga Warna. Masyarakat di kawasan ini menyebutnya Tiwu Telu artinya tiga danau. Karena keajaiban alam yang tidak dimiliki belahan dunia lainnya inilah maka puncak Kelimutu menjadi sangat terkenal. Mungkin ribuan bahkan jutaan post card (belum ada survey) yang telah melanglangbuana ke seantero dunia sejalan mengalirnya pengungjung ke puncak Kelimutu. Karena itulah, Kelumutu menjadi daerah kunjungan wisata yang cukup diandalkan masayarakat Flores. Karena itu, Moni, sebuah kampung kecil di lereng Kelimutu bertumbuh menjadi kampung transit para wisatawan. Di kampungitu berlangsung bisnis penginapan, kafe, rumah makan dan cinderamata. Selain itu, ada pasar untuk aneka hasil pertanian penduduk. Seperti pasar sayur dan buah di Nduaria, takjauh dari Moni. Semuanya tumbuh langgeng seiring lajunya arus transportasi dan pariwisata di wilayah ini.
Sejalan dengan semuanya ini, Kelimutu lalu ditetapkan menjadi Taman Nasional, dan berada di bawah Dirjen Kehutanan dengan kategori kawasan hutan konservasi. Pengaturanya berada di bawah pemerintah pusat. Tujuannya jelas, bahwa kawasan ini perlu dikonservasi agar keunikan dunia di puncak Kelimutu itu tidak tercemar atau punah di kemudian hari. Untuk itulah, kawasan ini dikonservasi menjadi Taman Nasional dengan luas 5.356,50 hekater, berdasarkan SK Mentri Kehutanan Republik Indonesia No. 679/kpts-II/1997, tanggal 10 Oktober 1997.
Sebagai kawasan konservasi, maka ia harus bebas dari siapapun kecuali melalui ijin dan pengawasan pemerintah. Dengan demikian, maka penduduk setemnpat pun dibatasi ruang geraknya. Oleh Departemen Kehutanan, ditetapkanlah tapal batas kawasan Taman Nasional Kelimutu untuk memudahkan control.
Maksud baik mengkonservasi kawasan Taman Nasional sebagai salah satu keunikan dunia ternyata berbenturan dengan keberadaan masyarakat di kawasan itu sebagai petani. Kampung-kampung di sekitar kawawan itu hidup dar bertani. Luas kawasan Taman Nasional mencapai 5.536,5 hektare ini mengambil juga lahan penduduk yang rata-rata subur menjadi tempat yang pantas untuk budidaya aneka tanaman pangan, buah-buahan, sayur-sayuran dan juga tanaman perdagangan. Kopi, cengkeh, fanili, rambutan, durian semuanya bisa hidup dan berproduksi di wilayah ini. Salah satu di antara kampung-kampung itu adalah Wolomoni.

Taman Nasional Membentur Otoritas Adat
Wolomoni, merupakan kampung yang pasti dalam catatan Pemda Ende serta Dinas Kehutanan maupun Balai Taman Nasional Ende sebagai salah satu kampung dari sekitan kampung yang gigih melakukan protes terbuka atas kebijakan penatapan tapal batas kawasan Taman nasional Kelimutu. Menurut para petani dari Wolomoni, penetapan tapal batas kawasan Taman Nasional Kelimutu justru mempersempit wilayah kelolan dan wilayah adapt masyarakat dan suku-suku setempat.
Nikolaus Ruma, salah seorang tokoh adat yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Desa Wolomoni di masa orde baru adalah satu di antara sejumlah mosalaki yang memelopori perlawanan itu.
Ketika dikunjungi 18 Mei 2004 silam, Nikolaus Ruma mengatakan, Taman Nasional Kelimutu turut menghilangkan sebagian tanah Adat Mosalaki Wolomoni, Desa Niuwula, Kecamatan Detusoko, Kab. Ende. Menurut Nikolaus yang saat ini menjabat sebagai Ketua Forum Petani Kabupaten Ende ini, tanah di Wolomoni merupakan tanah adat, dengan status kepemilikan komunal. Dalam arti tidak ada satu pemilikpun yang bertindak seenaknya, selain harus melalui mekanisme dan proses adat. Sejak leluhur sudah ditata menurut peruntukannya: sebagai hutan adat, pemukiman, lahan garapan dan padang penggembalaan. Selain hutan itu, ada tempat-tempat tertentu yang ditetapkan untuk tidak digarap oleh masyarakat, seperti mata air. Radiusnya sepanjang tali kuda yang harus dilindungi. Selain itu di tempat-tempat suci untuk melaksanakan ritual adat, lokasi-lokasi pemakaman/kuburan leluhur.
Artinya, masyarkat adat seperti di Wolomoni sebagaimana diceriterakan Nikolaus Ruma telah memiliki system pengaturan tanah, termasuk kawasan konservasi di dalamnya. Karena masyarakat tahu dari pengalaman bahwa tempat-tempat itu disucikan, dikhususkan dan tidak dijadikan lahan garapan untuk tujuan tertentu. Di dalamnya terkandung sangat tegas makna konservasi.
Untuk itu, Departemen Kehutanan seharusnya melihat dua hal sebelum melakukan petenapan tapal batas. Pertama, memilihat ada modal sosial di masyarakat berupa system konservasi walau masih sangat sederhana. Ada modal sosial lain, yakni masyarakat dengan kulturnya, seharusnya diadopsi menjadi bagian dari pengelolaan kawasan konservasi. Karena masyarakat punya pengalaman, dan masyarakat juga memilikisistem konservasi, maka dalam pengurusan kawasan Taman Nasional Kelimutu, seharusnya masyarakat menjadi bagian dari pengelola kawasan Taman Nasional kesoshor itu.
dKedua, dari segi kelembagaan, seharusnya Kelembagaan seharusnya disadari bahwa masyarakat telah memiliki kelembagaan adapt yang terdiri dari tiga komunitas adat di bawah otoritas para mosalaki. Komunitas adat Wolomoni (7 mosalaki), Komunitas Adat Renggikeli (1 mosalaki), Komunitas Adat wolopela (2 mosalaki). Berdasarkan struktur kelembagaan yang jelas seperti ini, maka pendekatan human dari Departemen Kehutanan selayaknya mengharuskan untuk mendengar pendapat dari para mosaliaki tentang bagaimana pengelolaan Taman Nasional diatur. Pendekatan ini diharapkan untuk mendapatkan dukungan penuh para mosalaki, serta menjadi jaminan keberhasilan bagi masyarakat juga.
Dikisahkan Nikolaus Ruma di desa Tanali, Ende 3 Oktober ketika berlangsung Rembuk Tani Kabupaten Ende bahwa proses penetapan kawasan Taman Nasional Kelimutu yang sangat mengabaikan modal sosial di tingkat masyarakat dan Lembaga Adat saat itu justru menuai masalah. Dan bagi ketiga komunitas adapt di kawasan ini, permasalahan yang ada bukanlah permasalahan Taman Nasional, tetapi permasalahan Tanah Adat, yang mencakup aspek tata kuasa, tata kelola/produksi, tata konsumsi dan tata distribusi. Permasalahan tanah yang yang paling menonjol terjadi di Komunitas adat wolomoni dan Renggikeli.
Nikolaus Rumah menceriterakan, sekitar tahun 1995 Kepala Desa dikejutkan dengan laporan Jagawana Kab. Ende ke Camat Detusoko saat itu Don Wangge (sekarang Bupati Ende terpilih) 2008-2013 bahwa ada masyarakat Wolomoni yang merambah kawasan taman nasional Kelimutu. Ini sungguh kejutan dan pelecehan terhadap hak-hak adapt karena diam-diam pemerintah melakukan pengukuran dan penetapan tapal batas kawasan Taman Nasional Kelimutu tanpa meminta pendapat rakyat. Maklum, pemerintahan Orde Baru memang otoriter.
Dikisahkan, dalam rapat koordinasi para Kepala Desa (1995), kami ditanya oleh Camat “apakah benar ada masyarakat yang merambah kawasan Taman Nasional Kelmutu.” Saya katakan, “tidak pernah ada perambahan. Saya juga tidak tahu kalau di wilayah itu ada Taman Nasional. Memang ada pilar-pilar di kebun, tetapi kami masyarakat tidak tahu untuk apa semuanya itu”. Kepada Camat saya beri keterangan bahwa masyarakat selama ini bekerja di lahan garapan yang telah diatur oleh para tua adat.
Nikolaus Ruma bernostalgia, hari-hari selanjudnya di tahun 1995 itu, petugas Jagawana selalu melakukan patroli dan menanyakan apakah ada maasyarakat yang menyerobot taman nasional. Saya tetap katakan bahwa tidak ada taman nasional, yang ada adalah lahan garapan rakyat. Jagawana menegaskan bahwa kawasan sudah ditetapkan dengan SK Mentri dan sudah pula ada berita acara penyerahan dari para mosalaki. Masyarakat yang bekerja melewati pal batas dianggap melanggar taman nasional. Semua penetapan sudah melalui proses.

Perjuangan Tanpa Kompromi
Dikisahkan Nikolaus Ruma, sebagai Kepala Desa, saya mendesak Jagawana untuk menunjukkan siapa yang menyerahakan itu dan di mana peta yang katanya sudah ditetapkan. Ternyata mereka tidak bisa membuktikan sampai hari ini. Saya tidak yakin para mosalaki telah menyerahkan tanah untuk kawasan taman nasional. Sebab di kawsasan itu ada tanaman-tanaman produktif rakyat. Artinya masyarakat juga tahu bahwa pemeerintah melakukan penipuan
Sebagai Kepala Desa, Tahun 1996 saya mengumpulkan para mosalaki untuk memusyawarahkan ancaman ini. Saya menggali keterangan para Mosalaki. Apakah para mosalaki tahu, apakah pernah buat penyerahan dll. Para mosalaki mengatakan tidak tahu kasusnya, dan tidak pernah ada penyerahan. Kesimpulan kami, penetapan ini sepihak dan tidak melibatkan masyarakat. Dilakukan dengan cara bohon dan manipulasi.
Selanjudnya, ikrar perjuangan diambil bersama. Musyawarah digelar untuk membahas nilai-nilai adat, membuat surat protes ke DPRD Kabupaten Ende yang menyatakan bahwa penetapan Taman Nasional Kelimutu melanggar adat dan meminta DPRD Kabupaten Ende menyelesaikannya. Perjuangan ke Dewan berkali-kali dari tahun 1996 sampai 1997. Tanggapan Dewan, nanti akan mencek ke lapangan.
Dalam Rapat-rapat koordinasi Kepala Desa untuk Rakorbang Kabupaten (pada masa Bupati Ende Frans Gadowolo), kasus ini selalu kami angkat. Pemda berjanji akan menindaklanjuti. Selanjudnya, tahun 1997, datanglah tim operasi gabungan (Jagawana, Hutbun, Pemdes, LH, Kecamatan) ke Wolomoni. Kami terima sebagai tamu. Mereka menuju Lapangan. Hasil kunjungan ini tidak dibicarakan dengan masyarakat tetapi akan dilaporkan ke Bupati.
Sekitar 1998, ada kunjungan Wakil Gubernur Anis Pakepani ke Detusoko. Kasus ini diangkat lagi. Menurutnya, di kawasan itu petani boleh memanen kopi, sayur-sayuran, jahe, pisang tetapi tidak boleh membuka kebun baru. Masyarakat menerima usulan itu, namun perjuangan tetap jalan terus. Tujuannya: seluruh kawasan dikelola oleh Mosalaki bersama masyarakat adat, termasuk taman nasionalnya. Konservasi kawasan Taman Nasional tidak boleh menghalau masyarakat keluar dari wilayah itu. Masyarakat bisa menjadi bagian dari system pengelolaan Taman Nasional. Yang terpenting adalah pemerintah transparan tentang seperti apa system pengelolaan dilakukan.

Berjuang Bersama LSM
Untuk melanjudkan perjuangan menegaskan keberadaan masyarakat dan suku-suku di kawasan Taman Nasional Kelimutu, kami berinisiatif meminta dukupngan pihak luar. Yayasan Tananua Flores kami minta bantuannya. Bersama LSM ini kami bermusyawarah memperkuat kelembagaan adapt. Langkah awal, mengumpulkan data dan mengidentifikasi, apakah selain Wolomoni, masih ada kampung lain yang merasakan permasalahan ini. Sebab di sekitar Kawasan TN. Kelimutu ada 12 Komunitas Masyarakat Adat dalam 9 Desa. Akhirnya semuanya menyatakan tekad yang sama dan mengorganisir diri dalam sebuah aliansi Maasyarakat Adat. Desa-desa yang masuk dalam kawasan TN Kelimutu adalah Desa Niuwula, Ndito, Saga, Wolomasi, Wolofeo, Sipijena, Pemo, Woloara, Tenda, Wivipemo, Kelurahan Wolojita dan Roga.
Tahun 2000, diilakukan perencanaan strategis oleh unusr mosalaki dan masyarakatnya dari sembilan desa. Perencanaan strategis ini difasilitasi dan didukung sembilan LSM dari kabupaten Ende, Ngada dan Sikka: Tananua, Yastim, Cinta Insani, FKH-HAM (Ende), Lapmas, Sanusa (Naga) dan Bambu Flores, PBH-Nusra (Sikka) (Bambu Flores, LBH Nusra). Pada saat itulah, terbentuknya Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT). Di hari deklarasi, dilakukan Aksi Damai ke DPRD Kabupaten Ende untuk menyatakan sikap agar penetapan kawasan Taman Nasional Kelimutu ditinjau kembali.
Oleh perjuangan ini, hingga saat ini masyarakat tetap hidup dan mengolah tanah di sekitar kawasan TN. Kelimutu, termasuk kebun-kebun yang dinyatakan berada dalam kawasan TN. Dan ternyata masyarakat paham tentang apa manfaat konservasi, dank arena itu turut ambil bagian menjaga kelangsungan keindahan Kelimutu.
Masyarakat sering diminta untuk sertifikasi tanah-tanah adat. Namun masyarakat paham dengan baik bahwa sertifikasi tanah mengubah status tanah komunal menjadi tanah peerorangan. Hal ini menghancurkan kepemilikan komunal, dan memudahkan tanah dipindahtangankan. Konsep kepemilikan menempatkan fungsi pengaturan pada Mosalakil. Setiap warga komunitas boleh menggarapnya tanpa berhak memindahtangankan. Dengan demikian maka tanah adat tetap diwariskan turun temurun dan berada di dalam pengawasan mosalaki.***

Kamis, 04 Desember 2008

ENDE PEERINGATI HARI PENYANDANG CACAT INTERNASIONAL



Hari Penyandang Cacat Internasional yang jatuh pada tanggal 3 Desember, tahun ini diperngati dengan sangat meriah di kota Ende, Kabupaten Ende, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Peringatan ini berlangsung dalam serangkaian acara talk show radio di RRI Ende, diskusi terbatas di Harian Umum Flores Pos tanggal 2 Desember, seminar dan karnaval serta malam hiburan tanggal 3 Desember.

Peringatan penyandnag cacat ini diprakarsai oleh Flores Institute for Resources Development (FIRD) bekerja sama dengan Terre Des Homes dan Forum Masyarakat Peduli Penyandang Cacat Kabupaten Ende yang beranggotakan masyarakat sipil dan berbagai dinas instansi terkait di Kabupaten Ende.

Direktur FIRD Ronny So, pada kesempatan diskusi terbatas dan seminar memaparkan data penyandang cacat hasil studi FIRD di kabupaten Ende. Jumlah penyandang cacat di kabupaten ini mencapai 4.529 orang dengan perincian laki-laki 2.011 dan perempuan 2.538 orang, yang terdiri dari cacat fisik 2.421 orng, mental 439 dan ganda 1.689 orang.

Dikatakan Ronny So, dalam perspektif kemanusiaan, kecacatan bukan terletak pada jumlah penyandang cacat dan jenis kecacatan tetapi lebih pada paradigma pembangunan dan pandangan sosial kemasyarakatan.

Pembangunan belum berpihk pada kelompok penyandag cacat. Demikian pula masih ada pandangan masyarakat bahwa orang cacat itu adalah kutukan atau hukuman Tuhan dan leluhur. Akibatnya orang tua yang memiliki anak cacat malu membawa anaknya berobat, bahkan ke posyandupun tidak.

Dari aspek pembangunan, belum ada perspektif yang pro orang cacat. Bahkan orang cacat dipandang sebagai orang yang harus dilokalisir dari kehidupan masyarakat luas. Ronny So mengatakan, dalam berbagai diskui dengan pihak-pihak lain, baik masyarakat biasa maupun birokrat, ada yang mengusulkan agar FIRD membangun lokalisasi bagi para penyandang cacat.

Pertanyaanya, mengapa orang cacat dilokalisir? Bukankah mereka bagian dari masyarakat? Karena itu, yang sedang dipromosikan FIRD adalah mengintegrasikan pnyandang cacat ke dalam keseluruhan pergaulan sosial kemasyarakatan. Bahkan mendorong model rehabilitas penyandang cacat berbasis masyarakat.

Menurut FIRD, rehabilitasi berbasis masyarakat berkonsekunsi pada keterlibatan, partisipsi dan tanggungjawab sosial masyarakat untuk membantu, mengurus, memberikan pengobatan dan fasilitas yang berbasis masyarakat.

Terhadap pendekatan ini, FIRD bekerja di 6 Desa dan mengembangkan rehabilitasi berbasis masyarakat. Jika di desa ada anak cacat yang butuh alat batu maka FIRD tidak membawa alat bantu dari luar. FIRD memfasilitasi diskusi bersama asyarakat untuk bersama-sam menemukan sendiri alat bantu di desa, menggunakan bahan-bahan lokal, dikerjakan bersama-sama dengan tenaga kerja dan keahlian setempat.

Pendekatan ini telah berhasil memfasailitasi keterampilan dan kreatifitas masyarakat dalam menghasilkan alat bantu berjalan, alat bantu duduk dan alat bantu membuang kotoran atau ke wc. Sedangkan untuk tindakan terapi, FIRD dibantu seorang tenaga relawan dari TDH yang juga megembangkan terapi berbasis masyarakat.

Dr. Elya Dewi dari Bapeda Ende pada kesempatan diskusi di Flores Pos mengakui jika Pemda belum memiliki perspektif pembangunan yang pro penyandang cacat. Dikatakannya, di berbagai tempat umum, tidak pernah ditemukan fasilitas khusus yang bisa diakses para penyandang cacat.

Sekeda Ende Drs. Iskandar Emberu ketika membuka Seminar memperingati hari penyandang cacat di gedung Baranuri Ende sempat menyatakan kekecewaannya terhadp birokrat dan politisi di Ende yang belum menaruh perhatian pada kelompok masyarakat cacat. Dikatakan Sekda, di kota Ende ribuan baliho para Calon Legislatif dipancangkan di mana-mana yang tentu menghabiskan ratusan juta rupiah. Tetapi pada hari ini, tidak kelihatan seorang politisi calon legislatif yang hadir bersama para penyandang cacat.

Usai seminar tanggal 3 Desember, dilanjudka dengan karnaval keliling kota Ende dan diakhiri dengan pagelaran budaya di lapangan Perse Ende pada malam harinya.**

Selasa, 02 Desember 2008

Pulau Solor Sekilas


Pulau Solor, merupakan sebuah pulau kecil di antara gugusan pulau-pulau di Timur Pulau Flores. Di antaranya ada pulau Adonara dan pulau Lembata.

Saat ini pulau solor masuk dalam wilayah kabupaten Flores Timur, dan terbagi dalam dua kecamatan, yakni Solor Timur dan Solor Barat. Sedang ada wacana dan upaya untuk pemekaran kecamatan di wilayah ini.

Perekonomian penduduk berbasis pada pertanian lahan kering (ladang) dengan penghasilan utama padi dan jagung serta aneka kacang-kacangan sebagai bahanpangan serta buah-buahan lokal yang terkenal yakni mangga solor dan ata nona solor yakni sejenis tanaman perdu dengan buah kecil mungil berbiji tapi daging buah yang membungkus biji-biji sangat manis dan sedap dimakan.
Ketika dunia menghadapi ancaman krisis pangan yang sesungguhnya bermula dari krisis bibit pangan lokal, pulau ini sesungguhnya menyimpan aneka bibit pangan lokal dan boleh dikatakan sebagai lumbung bibit pangan lokal untuk Flores Timur. Penulis pernah ke pulau Solor, tepatnya di Lamaole dan menemukan petani perempuan masih menjalani peran sebagai pemuliah bibit dan benih pangan.

Usaha perikanan terkenal dengan keuletan para nelayan kecil pulau ini menangkap dan menjual ke Larantuka (ibu kota Flores Timur) ikan "Krising", jenis ikan kerapu dasar laut yang enak jika dibakar atau direbus dengan air asam.

Pendidikan di sini sangat maju. Umumnya putra-putri pulau ini terkenal cerdas. Sejumlah putra terbauk pulau ini turut mengharumkan dunia pendidikan di Flores bahkan di Indonesia. Misalnya ada Dr. Yosef Suban Hayon yang koni dosen STFK Ledalero Maumere. Para guru dari pulau ini tersebar hampir ke seluruh Flores Timur.
Wakil Bupati Flores Timur Yosef Lagadoni Herin berasal dari pulaub Solor, tepatnya dari kampung Pamakayo.

Masih ada sejuta informasi yang bisa digali dari pulau ini. Tentu perlu penelitian. Siapa yang bisa melakukannya?

Rabu, 12 November 2008


FORUM MUSYAWARAH BESAR (MUBES) IV
PETANI DAN NELAYAN FLORES-LEMBATA DAN KEPULAUAN


TUNTUTAN
BAGI PEMERINTAHAN DAERAH KABUPATEN LEMBATA

Setelah mendengar dengan pikiran dan dengan kebeningan hati nurani dalam rangkaian refleksi kritis forum Musyawarah Besar Petani dan Nelayan Flores-Lembata dan Keupauan, di Labuan Bajo tanggal 20-22 Oktober 2008 tentang resiko-resiko pemanasan global, aneka bencana alam, bencana lingkungan dan bencana industri yang sangat mengancam kenyamanan dan kelangsungan hidup umat manusia, nurani kami disadarkan oleh kegelisahan sesama petani di kabupaten Lembata terhadap rencana pembangunan Industri Pertambangan Emas di pulau itu. Sehubungan dengan besarnya ancaman dan daya rusak industri pertambangan di satu pihak serta proses-proses politik pemerintahan di Kabupaten Lembata berkaitan dengan rencana pertambangan emas yang tidak mencerminkan pemerintahan yang demokratis, bersih dan berwibawah, maka kami para petani dan dan nelayan menyampaikan:

1. Pemerintahan yang demokratis seharusnya memperhatikan segala kecemasan dan kegelisahan rakyat ketika merencanakan dan memutuskan kebijakan-kebijakan yang berpengaruh pada kelangsungan hidup rakyat secara berkelanjutan.
2. Pemerintahan yang berwibawa seharunya melekat pada dirinya pemerintahahan yang bermoral, yang dalam setiap pengambilan kebijalan senantiasa mendengar jeritan dan aspirasi rakyat yang merasa cemas dan terancam dari ruang kehidupannya.
3. Pemerintahan yang bersih adalah pemerintahan yang senantiasa lebih membuka hati dan perhatian pada kepentingan rakyat ketimbang mengutamakan kepentingan kapital atau modal.
4. Pemerintahan yang berkualitas dan percaya diri merupakan pemerintahan yang terus berupaya memenuhi dan mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui cara-cara yang kreatif dan produktif tanpa menggadaikan kekayaan lokal pada pihak lain.
5. Pemerintahan yang bertanggungjawab adalah pemerintahan yang menempatkan pelindungan atas kelangsungan hidup dan keselamatan rakyat di atas berbagai kepentingan lainnya.

Karena itu, sehubungan dengan keputusan sepihak pemerintahan Lembata merekomendasikan investasi pertambangan emas kepada PT. Merukh Enterprice, kami para petani dan nelayan yang bergumul dalam refleksi bersama dalam Mubes IV “MENUNTUT PEMERINTAH KABUPATEN LEMBATA UNTUK BERDIRI BERSAMA RAKYAT LEMBATA YANG ADALAH PETANI DAN NELAYAN UNTUK MENOLAK RENCANA PERTAMBANGAN EMAS”.

Tuntutan ini kami pandang penting, karena dari informasi dan data yang kami dengar dan baca bahwa kebijakan Pemda Lembata tentang Pertambangan Emas merupakan kebijakan yang dibuat sepihak tanpa mendengar pendapat rakyat, dipaksakan, direkayasa dan berpotensi menciptakan konflik-konflik horizontal di kalangan rakyat Lembata.
Seruhan dan tuntutan ini kami keluarkan sebagai bentuk tanggungjawab dan soliraditas kami dengan sesama para petani dan nelayan di kabupaten Lembata yang resah, gelisah dan diabaikan kepentingannya oleh pemerintahnya sendiri dalam kebijakan rencana pertambangan emas.

Seruhan dan tuntutan ini dikeluarkan:

Di : Labuan Bajo, Ibu Kota Kabupaten Manggarai Barat
Pada : MUBES IV Petani dan Nelayan Flores-Lembata dan Kepulauan
Tanggal : 22 Oktober 2008

Wakil Petani dan Nelayan

Manggarai Barat:
(Kristiforus Nison)

Manggarai:
(Hendrikus Lampo)


NGada:
(Fransiskus Mite)


Nagekeo:
(Damianus Nagi)

Ende:
(Nikolaus Ruma)

Sikka:
(Hendrikus Yoseph )

Flores Timur:
(Siprianus M. Kewuta)

Lembata:
(Bladina Kuma)

Minggu, 07 September 2008

Siklus Bencana dan Kasus Gedung SD di Flotim

Oleh Melky Koli Baran dan Ronny So
(Artikel ini telah dipublikasikan Pos Kupang, Rabu 24 September 2008 dengan Judul: Siklus Bencana Dalm Siklus Pembangunan)
Negeri ini memiliki pengalaman bergelimang dalam berbagai tragedi bencana. Secara geologi, letak Indonesia diapiti pertemuan lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik dan lempeng Eurasia. Juga terletak dalam kawasan cincin api atau ring of fires. Barisan gunung api aktif berjejer mulai dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi Utara membentuk cincin api. Berbagai tragedy letusan gunung api disertai gempa bumi fulkanik maupun tektonik terus terjadi. Juga eneka konflik sosial, dampak industri dan kegagalan tekhnologi.
Menurut kapal survei hidrografi Angkatan Laut Kerajaan Inggris, HMS Scott, gempa tektonik merupakan kelanjutan dari penujaman (subduction) lempeng Indo-Australia menabrak lempeng Eurasia. Gejala yang pernah menyebabkan tsunami dahsyat akhir tahun 2004 di beberapa negara Asia Selatan dan Tenggara. Propinsi Aceh adalah kawasan paling parah. Kawasan bencana tsunami 26 Desember 2004 di Aceh dan 27 Mei 2006 di Jogyakarta justru berada pada jalur ini. Masuk akal jika akhirnya UU no. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana disahkan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, yang kemudian diundangkan dalam lembaran Negara RI tahun 2007 nomor 6.

Perubahan Paradigma
Bencana, khususnya alam, bukan satu satunya penyebab kehancuran dan kerusakan. Perspektif pembangunan di Negara yang terletak pada pertemuan tiga lempeng bumi yang terus bergerak dan cincin api dengan barisan gunung api aktif, justru menjadi salah satu penyebab pokok besarnya resiko kehancuran dan penderitaan ketika terjadi bencana. Besarnya korban bisa dikurangi jika ancaman dan kerentanan wilayah menjadi titik tolak dan kajian pembangunan.
Perubahan paradigma penanggulangan bencana justru mewajibkan agar perencanaan pembangunan berperspektif pengurangan resiko. Perubahan paradigma penanggulangan bencana tidak lagi menyempitkan diri pada respon emergency. Bencana merupakan fakta sejarah yang terus berulang, dan karena itu, dalam perencanaan pembangunan perlu diperhitungkan sebagai ancaman dan dianggarkan untuk membiayai pengurangannya.
Dalam paradigma baru ini, rancangan dan pelaksanaan pembangunan berorientasi pada upaya mencegah atau mengurangi resiko jika bencana tidak bisa dicegah. Istilahnya penjinakan atau mitigasi. Anggaran bisa dialokasikan untuk masa-masa normal untuk pencegahan atau penjinaman. Jadi bukan saja untuk emergency respon. Misalnya membuat rencana kontingensi, sistem peringatan dini, pembangunan infrastruktur. Juga memperkuat kapasitas masyarakat di kawasan beresiko. Hal ini yang dilakukan Kabupaten Sleman menghadapi ancaman gunung Merapi dan kerentanan wilayah dan masyarakat sekitarnya.
Perubahan paradigma ini membagi fakta bencana dalam sebuah siklus, dan pelaksanaan pembanguan mengambil bagian dalam siklus itu. Artinya, penanggulangan bencana tidak lagi dipersempit pada emergency respon dan pembangunan kembali tetapi pada keseluruhan siklus dengan karakter berbeda, yang menuntut kultur pembangunan yang berbeda pula. Tidak mencampuradukan tahapan-tahapan tersebut.

Memahami Siklus Bencana
Siklus bencana terdiri dari fase kesiapsiagaan, pencegahan dan mitigasi, tanggap darurat dan paska darurat. UU no. 24, pasal 33 membaginya dalam tiga tahap, yakni pertama: prabencana yang meliputi kesiapsiagaan, pencegahan dan mitigasi; kedua: tanggap darurat dan ketiga: pascabencana. Ini yang disebut siklus bencana. Setiap siklus berbeda kegiatan dan penganggarannya.
Dalam penganggaran, masa kesiapsiagaan meliputi rencana kontingensi, peringatan dini, perencanaan kesiapan. Pencegahan dan mitigasi meliputi rencana managemen pembangunan dan pencegahan. Tanggap darurat meliputi kajian darurat, rencana operasional, bantuan darurat (psl.18) yang meliputi logistik darurat, mengorganisir relawan, evakuasi, pengungsian. Masa pasca darurat meliputi pemulihan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Wilayah dengan ancaman tinggi, dana penanggulangan bencna perlu dianggarkan dalam APBD untuk tiap siklusnya. Ini merupakan tanggungjawab pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU 24. Untuk itu maka siklus bencana perlu dipahani secara baik agar penanganan bencana oleh pemerintah tidak berpotensi menimbulkan bencana baru yang dapat saja lebih kompleks. Tidak melahirkan keributan karena salah urus dalam management penanggulangan bencana. UU no. 24 tahun 2007 telah berusia setahun, namun gaungnya ke daerah-daerah belum terdengar, sayuppun tidak.

Pelajaran Dari Kasus Flores timur
Di Flores Timur ada kasus. Para kontraktor mengeluh karena pekerjaan membangun kembali 13 gedung Sekolah Dasar (SD) yang rusak akibat bencana angin bulan Desember 2007 belum dibayar. Katanya bupati Simon Hayon tidak mau bayar. Alasannya tidak dianggarkan dalam APBD dan pekerjaan tanpa prosedur. Kok bisa dilaksanakan tidak sesuai prosedur. Lalu dari mana pos pembiayaannya jika tidak dianggarkan? Benarkah pembangunan gedung SD itu bersifat emergency respon?
Bencana terjadi bulan Desember, maka tahap emergency respon terjadi pada bulan itu. Kegiatannya adalah kajian darurat, rencana operasional dan bantuan darurat. Jika atap sekolah diterbangkan angin, maka respon darurat adalah segera menutup atap sekolah agar anak-anak bisa sekolah. Atau membangun tenda darurat. Sifatnya gerak cepat menggunakan dana tanggap darurat yang tersedia di pemda. Segala mekanisme dan prosedur sejenak diabaikan.
Masa tanggap darurat ini tidak berlangsung lama, hanya memulihkan kondisi yang darurat. Setelah kondisi normal, direncanakan rehabilitasi dan rekonstruksi. Artinya yang rusak diperbaiki dan yang ambruk dibangun kembali. Pelaksanaannya disesuaikan dengan mekanisme penganggaran pembangunan yang normal. Mekanisme normal adalah melalui perubahan anggaran pada tahun anggaran yang berjalan atau penganggaran di tahun anggaran yang baru.
Menurut siklus bencana, emergency respon sudah lewat pada bulan Desember dan Januari. Selanjudnya Dinas Pendidikan membuat perhitungan rehabilitasi dan rekonstruksi untuk dianggarkan dalam tahun anggaran 2009 atau perubahan anggaran 2008. Setelah proses ini selesai, barulah dilakukan pembangunan kembali sesuai mekanisme yang diatur dalam Perpres no. 80 tahun 2003.
Menjadi kasus karena melakukan rehabilitasi dan rekonstruksi gedung-gedung SD (pasca darurat) menggunakan pola emergency respon. Karena darurat maka pakai sistim tunjuk langsung oleh pejabat berwewenang. Dari mana anggarannya? Menggunakan dana tanggap darurat satu miliar lebih, padahal seluruh pekerjaan itu menghabiskan biaya empat miliar lebih. Jelas tidak cukup. Bupati jelas berkeberatan karena belum dianggarkan kembali dalam APBD II Flotim. Bupati tidak bisa disalahkan. Yang perlu adalah kebijakan cepat perubahan anggaran 2008.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi para pejabat eksekutif untuk sungguh memahami siklus bencana dalam penggunaan isltilah dan anggaran sesuai jabatan yang diemban. Membawa istilah tanggap darurat atau emergency respon dan anggarannya ke wilayah pasca darurat- rekonstruksi dan rehabilitasi adalah penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang berakibat pada kerugian. Kontraktor dirugikan, anak-anak sekolah dirugikan dan anggaran pembangunan terganggu. Karena telah merugikan berbagai pihak maka perlu ada sanksi jabatan. Jika Bupati menerapkan sanksi jabatan, maka ini bukan tindakan politik tetapi penegakkan disiplin dalam penggunaan wewenang berkaitan dengan anggaran.***
Kedua penulis dari Flores Institute for Resources Development (FIRD), Jl. Kokos Raya 70, Ende.

Selasa, 26 Agustus 2008

Kepemimpinan NTT Dan Respon Bencana

Oleh Ronny So dan Melky Koli Baran
Seiring perubahan iklim yang berakibat pada pemanasan global maupun sebaliknya, semakin sering terjadi bencana alam. Gunung meletus, air pasang disebabkan es di kutub mencair, gempa bumi dan tsunami, kekeringan, banjir dan longsor. Juga bencana sosial (konflik sosial) dan bencana industri karena kesalahan tekhnologi. Seperti Lumpur Lapindo di Sidoarjo atau kasus minamata di New Mont Sulawesi dalam kasus pertambangan emas. Bencana industri dan sosial saling terkait. Seperti industri pertambangan emas di Lembata yang baru pada tahap eksplorasi telah melahirkan konflik-konflik di tingkat rakyat.
Pada umumnya, setiap bencana membawa ancaman yang berakibat pada kesakitan, kecacatan dan kematian. Apalagi kurangnya dukungan memadai dari regulasi pembangunan. Namun setiap bencana tidak selamanya melahirkan resiko yang tinggi. Sebab sebuah kejadian beresiko bencana jika tingkat ancaman terus bertambah, tingginya kerentanan yang juga tidak sebanding kapasitas yang dimiliki masyarakat.

Supermarket Bencana
Nusa Tenggara Timur tidak lepas dari aneka ancaman dan resiko. Kondisi alam NTT memang rentan terjadi bencana. Sementara kapasitas masyarakat untuk bisa mencegah atau mengurangi resiko umumnya belum serius dibangun. Atau mungkin karena terbiasa, maka multi bencana di wilayah ini dianggap kejadian biasa saja. Bahkan oleh masyarakat diminimalisir sebagai takdir Yang Maha Kuasa. Maka belum ada perhatian mencegah bencana. Atau sedapat mungkin mengurangi resiko yang bakal ditimbulkan. Demikian pula dengan politik pembangunan yang belum berperspektif pencegahan dan pengurangan resiko.
Hal ini bisa dilacak pada posisi anggaran pembangunan di daerah. Yang ada hanyalah Satkorlak Kabupaten yang juga akan bergerak jika terjadi bencana. Anggarannya juga sebatas emergency respon. Padahal, bencana apapun pasti rerjadi dalam siklus standar, yakni masa sebelum bencana yang lebih membutuhkan kesiapsiagaan, masa saat terjadi bencana yang selalu ditandai dengan emergency, kerusakan meluas dan tiba-tiba, korban jiwa dan berbagai bantuan mendadak. Siklus terakhir adalah masa paska bencana yang ditandai dengan ketiadaan fasilitas memadai, wabah penyakit karena lingkungan tercemar, kurang gizi, kesakitan, ketiadaan obat-obatan, penanganan yang simpang siur, serta bantuan yang mudah dipolitisir.
NTT dapat dikatakan supermarket bencana, sementara kapasitas masyarakatnya belum teruji, merupakan kondisi nyata yang tentunya akan tinggi resiko jika terjadi bencana apapun. Negeri supermaket bencana itu sepertinya belum memiliki komitmen politik pembangunan pengurangan resiko bencana yang standar. Belum terlihat strategi-strategi politik pembangunan yang berkontribusi pada pengurangan resiko jika terjadi bencana di tanah ini.

Management Bencana Dalam Pembangunan
Dalam manajemen kebencanaan dikenal istilah kesiapsiagaan, mitigasi, respon emergency dan tahap rehablitasi dan rekonstruksi. Setiap tahapan memiliki urgensi sendiri. Namun dalam konteks pengurangan resiko bencana (PRB), tahapan kesiapsiagaan sangat penting. Semua unsur baik pemerintah, masyarakat, lembaga swasta perlu melakukan analisis jenis ancaman, kerentanan dan kapasitas, agar dapat merancang program intervensi yang tepat pada saat kesiap-siagaan.
Jika tahapan ini dilakukan dengan serius dan cermat serta diperkuat dengan kebijakan dan penganggaran maka nuansa pembangunan daerah akan selalu berada dalam perspektif siap siaga. Dengan demikian, ketika terjadi ancaman, resiko-resiko yang ditimbulkan diminimalisir. Dalam pembangunan berperspektif pengurangan resiko bencana, ancaman seperti banjir, tanah longsor, wabah penyakit bisa dicegah. Mencegah resiko jauh lebih bijak dari pada membangun ulang yang sudah hancur. Karena itu pembangunan mesti dirancang dengan perspektif pengurangan resiko, baik pembangunan fisik dan non fisik.

Platform Politik Pilkada
Propinsi ”supermarket bencana” ini akan melangsungkan Pemilihan Langsung Gubernur Nusa Tenggara Timur. Jika ditelusuri secara detail, belum terlihat secara kongkret gagasan politik para kandidat tentang pencegahan dan pengurangan resiko bencana. Bahkan ada kandidat yang karena jabatan politik sebelumnya telah mengeluarkan SK nomor: 344/KEP/HK/2007, tanggal 18 Desember 2007 tentang ijin penyelidikan umum pertambangan emas di pulau Sumba.
Juga pengalaman kepemimpinan selama ini masih berkutat pada UU Penanggulangan Bencana no. 24/2007. Tentang jabatan strategis baru dan siapa yang akan menempatinya. Padahal ada tidaknya UU ini bencana tetap ada dan pembangunan wajib mengurangi resiko yang ditimbulkan. Karena itu harus ada intervensi pembangunan untuk pencegahan dan pengurangan resiko walau belum ada UU. Hal ini menjadi tanggungjawab negara. Jika tidak dilakukan dan karenanya memperbesar resiko bagi rakyat, maka negara seharusnya digugat berdasarkan stadar Hak Asasai Manusia (HAM). Sebab telah melakukan pembiaran (by ommision) yang menyebabkan tingginya kesakitan, kecacatan dan kematian.
Kampanye para calon gubernur dan wakil gubernur saat ini, tidak satupun yang berbicara tentang pengurangan resiko bencana dalam platform politiknya. Sangat klasik seperti jargon dan upaya menyindir paket lain yang tidak berpengalaman, sudah tua jadi lebih baik pilih yang muda, tercemar korupsi dan sebagainya.
Dalam masa kampanye ini, yang menjadi inti soal adalah bukan besar kecilnya foto kandidat dan penyebaran alat kampanye tetapi apakah gagasan program yang ditawarkan itu sungguh digali dari denyut nadi permasalahan masyarakatnya? Berdasarkan analisis kerentanan wilayah, tingginya ancaman wilayah, rendahnya kapasitas rakyat yang harus diperbaiki melalui program-program konkret agar resiko-resiko yang diderita rakyat semakin berkurang. Ada resiko yang ditimbulkan karena busung lapar dan gizi buruk, ada resiko yang ditimbulkan wabah penyakit, ada resiko yang ditimbulkan karena tanah longsor dan banjir. Seperti apakah perbaikan management kesehatan ketimbang menjanjikan pengobatan gratis? Seperti apakah pembangunan sektor pertanian, pendidikan dan aparat yang bersih ketimbang berjanji memerangi kemiskinan? Adakah kandidat yang berbicara tentang rakyat ketimbang memperkenalkan kehebatannya agar dipilih?
Penting bagi seorang calon pemimpin di negeri super market bencana untuk menjadikan pengurangan resiko kemiskinan dan pemiskinan, kebodohan dan penbodohan, aneka penderitaan, kesulitan , kesakitan dan kematian sebagai prespektif pembangunan. Bagaimana mengurangi angka kematian ibu dan anak saat melahirkan jika perspektif pembangunan sarana dan prasarana kesehatan tidak dipisahkan dari pembangunan infrastruktur dan angkutan yang memadai. Gizi buruk terus merangkak naik, tetapi belum dilihat sebagai bencana kemanusiaan.

Menggugat Diri
Ketika kita menghadapi proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTT untuk periode 2008-2013, dan tingginya ancaman wilayah belum dipotret para kandidat maka, pembangunan untuk kenyamanan dan keselamatan hidup rakyat belum bisa diharapkan. Daerah ini akan jatuh pada soal yang sama, ada setumpuk proyek pusat maupun daerah yang wajib dikerjakan karena telah dialokasikan anggarannya dari pusat. Perang program, kampanye seperti temu kader, simpatisan, penyebaran tabloid, stiker, poster, spanduk, kalender tidak satupun yang memiliki perspektif dan sensitifitas pengurangan resiko-resiko kehidupan rakyat yang selama ini telah menjadi sakit kronis.
Lalu apa yang dapat kita lakukan? bagaimana menentukan masa depan NTT sebagai supermarket bencana? Hari pilkada adalah hari yang menentukan. Mari kita menggugat diri kita.***

Penulis: Kedua penulis adalah Senior Fasilitator Flores’ Institute for Resources Development (FIRD

Membaca Konflik Pertambangan Dalam Teori Spiral Kekerasan

Oleh Melky Koli Baran
Rencana penambangan emas di Lembata semakin panas saja. Tarik menarik antara pemerintah dan rakyat memuncak. Tanggal 3 Mei digelar Seminar Nasional di Lewoleba. Suara mayoritas mempersoalkan substansi daya rusak lingkungan dan sosial yang kini sangat konsisten diabaikan pemerintah. Setelah seminar, pemerintah mulai gertak rakyat. Tanggal 5 Mei Bupati Lembata mengeluarkan surat pencabutan izin pengelolaan kawasan hutan lindung yang pernah ia berikan kepada masyarakat Leragere pada masa menjelang Pemilihan Bupati yang dimenangkannya. Penyerahan yang telah pula disyukuri rakyat dan Uskup Larantuka Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr dalam Ekaristi. Sementara DPRD diam-diam bertemu Merukh di Denpasar medio Mei 2008.
Dom Helder Camara, seorang uskup dan pembela kaum tertindas dalam pergumulan dan refleksi keterlibatannya terhadap kasus-kasus struktural semacam ini mencetuskan “Teori Spiral Kekerasan”. Kekerasan terhadap rakyat di negara-negara miskin dan berkembang terjadi dalam sebuah spiral karena keberpihakan negara terhadap investor. Spiral ini berevolusi meningkat. Karena kedekatan negara mendukung investasi maka terjadilah spiral kekerasan itu. Rakyat dipojokkan dan didudukan sebagai korban.
Pada tingkatan pertama, negara jadi penyebab/pelaku kekerasan kepada rakyat. Secara sepihak dan sewenang-wenang melahirkan kebijakan diskriminatif, tidak populis, tidak berpihak pada rakyat. Kebijakan yang umum di negara-negara miskin dunia ketiga adalah Pemimpin Negara memberi izin eksploitasi sumber daya alam yang berakibat pada perampasan sumber-sumber penghidupan rakyat. Berbagai aturan dibuat negara untuk melindungi kepentingan pemodal. Rakyat diabaikan bahkan ditinggalkan. Suara keberatan rakyat dibungkam. Pejabat negara lebih meluangkan waktu untuk menjamu para pemodal. Rakyat ditinggalkan. Ini bentuk kekerasan pengabaian hak-hak rakyat.
Karena diabaikan dan tidak dipedulikan, maka rakyat kemudian memilih menuntut keadilan, yang juga dalam banyak hal tidak didengar. Jika rakyat mengadu ke lembaga legislatifpun tidak tersalur. Hal ini yang menurut teori spiral kekerasan, semakin memicu kemarahan rakyat. Karena marah dan kesal, maka rakyat terjebak ke dalam tindak kekerasan. Demo dan aksi unjuk rasa damai bergulir ke keributan, huru hara dan pengrusakan. Gilirannya rakyat yang melakukan kekerasan tingkat kedua dalam spiral kekerasan dengan sasaran para pejabat dan fasilitas umum (negara).
Menanggapi aksi rakyat yang menjurus ke tindakan kekerasan (tingkat II), maka dengan alasan keamanan serta kewibawaan kekuasaan dan kedaulatan negara, aparat negara diperintahkan untuk melakukan tindakan pencegahan. Aparat yang umumnya bersenjata disorong ke garis depan berhadap-hadapan dengan rakyat tanpa senjata. Dalam konfrontasi ini, terjadilah kekerasan tingkat ketiga atau kekerasan puncak. Rakyat yang sudah diabaikan hak-haknya dalam kekerasan tingkat pertama kembali menjadi korban keberingasan aparat bersenjata. Rakyat disapu bersih, ada yang dibunuh, dibabakbeluri, diseret dan dijebloskan ke dalam penjara. Tidak selesai di sini. Spiral kekerasan akan berevolusi ke babak berikutnya.
Ketika kekerasan demi kekerasan yang silih berganti ini sampai pada tingkat terakhir, pemerintah dengan seluruh kekuatan militer dan keamanannya akan keluar sebagai pemenang. Ibarat pulang dari medan tempur, aparat negara akan berparade dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Inilah buah dari dominasi kekerasan negara atas rakyat.
Kekerasan tingkat ketiga/terakhir dalam spiral kekerasan ini memposisikan rakyat sebagai korban dan aparat negara sebagai pahlawan. Rakyat merupakan pihak subversif, penghalang pembangunan dan kemajuan. Pada titik ini demokrasi rusak total. Relasi pemerintah dan rakyat berantakan. Investor justru menikmati keuntungan. Jalan mulus ke bisnis dan penguasaan aset-aset kesejahteraan rakyat terbuka. Lalu rakyat semakin sengsara dan terpuruk. Pejabat kaya tapi pasti bathin tak tenang.
Inilah gambaran spiral kekerasan, teori yang dicetuskan pastor dan pejuang keadilan dari Amerika Latin bernama Dom Helder Camara. Dalam banyak kasus di negeri ini, teori ini menemukan jawabannya. Kasus 1998 yang mengorbankan para mahasiswa. Kasus penembakan petani di Bulukumba Sulawesi, dan juga petani Kopi di Colol, Manggarai serta sejumlah kekerasan lainnya terhadap rakyat bermula dari pengabaikan kepentingan dan hak rakyat dalam kebijakan-kebijakan negara yang justru bersentuhan dengan aset-aset keagrariaan rakyat.
Menelusuri evolusi persoalan rencana pertambangan emas di Lembata, menurut saya sedang berada pada tingkatan pertama dari putaran pertama teori ini. Bupati dan Ketua DPRD menandatangani perjanjian dengan PT. Pukuafu Indah sebagai bentuk kekerasan mengabaikan rakyat pemilik tanah dan lahan sumber penghidupan keluarga turun temurun. Ketika dipersoalkan, pemerintah mencari cela lain yang semakin mengabaikan hak-hak rakyat. Spiral kekerasan sedang terjadi dan berevolusi di Lembata.
Tingkatan pertama berupa penandatanganan perjanjian yang sangat melukai hati dan hak-hak rakyat atas tanah-tanah warisan. Tingkatan kedua berupa protes rakyat ke pemerintah. Tingkatan ketiga berupa teror pemerintah melalui pencabutan izin pengelolaan hutan serta kemunculan preman kecil-kecilan di desa-desa yang melempari rumah-rumah penduduk yang tidak setuju dengan tambang (testimoni Bapak Abu (Sama) Achmad) saat Seminar 3 Mei 2008 di Lewoleba.
Teori spiral kekerasan sedang terjadi di Lembata dan akan terus berevolusi dalam putaran selanjudnya. Jika spiral kekerasan ini terus berevolusi, maka antara rakyat atau pemimpin politik yang jatuh. Jika evolusi di tingkat rakyat merambah ke jalur politik, maka bisa muncul sejumlah skenario. Rakyat akan terus merangsek secara terorganisir memasuki wilayah politik yang berpautan dengan event Pemilu tahun 2009 dan menemukan momentum kemenangan menumbangkan rezim berkuasa melalui penggunaan hak politiknya. Atau bisa terjadi, penguasa politik akan ketakutan dengan momentum 2009 yang semakin dekat dan akan menjadi kalap lalu menghancurkan gerakan rakyat. Ini namanya spiral kekerasan berevolusi ke putaran kedua yang semakin keras. Dalam situasi seperti ini, akan ada pihak yang menjadi korban di samping rakyat. Dia itu adalah alat keamanan dan ketertiban yang akan menjadi bemper menghadapi rakyat demi keselamatan pemerintah dan investor. Mungkinkah elit politik Lembata menghendaki demikian?***
(Penulis: Ketua Flores Institute for Resources Development (FIRD), Ende), Artikel ini sudah dimuat dalam Flores Pos, tanggal 27 Mei 2008