Minggu, 28 Juni 2009

Rekam Jejak Penyuluhan di Desa

Selama 19-25 Mei 2009 tim program Penca FIRD berkeliling ke tiga kawasan pelaksanaan program di Lio Timur, Wolowaru dan Ndetundora. Tour keliling ini untuk penyuluhan ke desa-desa (ha ha.. kentalnya Orde Baru..). Tema penyuluhan yang diusung juga menarik: “Posyandu Sebagai Ujung Tombak Pengurangan Resiko Kecacatan”.

Namanya penyuluhan, ternyata dari rekam jejak lapangan, lebih berbentuk diskusi partisipatif bersama masyarakat untuk memotret posyandu selama ini dan apa gagasan pengembangan ke depan yang memberi perspektif pengurangan resiko kecacatan.

Kemiskinan dan Kecacatan


Ada aneka sebab terjadinya kecacatan pada seseorang. Dalam banyak kasus, kecacatan sangat dekat dengan situasi kemiskinan. Kondisi kemiskinan yang berpengaruh pada pola hidup keluarga-keluarga sehingga menyebabkan kecacatan dalam keluarga. Misalnya anak lahir cacat atau pertumbuhan tidak normal setelah lahir karena faktor kemiskinan.

Ada dua kategori kecacatan menurut penyebabnya. Pertama, cacat bawaan. Anak cacat sejak dalam kandungan. Kurang gizi pada ibu hamil bisa berakibat anak lahir cacat. Atau karena gangguan penyakit atau metabolism. Orang miskin tentu sulit mengatasi hal ini karena keterbatasan biaya. Maka kebijakan pemereintah mengurangi kecacatan harusnya mulai dan bersinergi dengan mengurangi kemiskinan. Posyandu selalu menyediakan asupan guzi tambahan dan vitamin bagi anak atau ibu hamil setiap bulan. Karena itu pula maka makanan tambahan di posyandu perlu dikontrol agar sungguh memenuhi syarat kesehatan ibu hamil dan janin dalam kandungan maupun anak-anak balita. Jangan ada usaha cari keuntungan.

Mengembangkan Ekonomi Keluarga Penca

Bapak Bernardus Biru dan Novi di Kios
Ini ceritera pengalaman keluarga penyandang cacat dari Watuneso. Bernardus Biru dan Margareta Nuli, suami istri anggota kelompok orang tua penca.

Keluarga Penca diorganisir untuk pengembangan Ekonomi. Keluarga Bernardus adalah salah satunya. Dari kelompok ini Bernardus mendapatkan pinjaman modal usaha.

Keluarga ini punya anak cacat, namanya Novita biru (19 tahun). Cacat mental dan fisik. Ia pernah 3 minggu sekolah di SLB Ende.

Brnardus memiliki lima orang anak. Keluarga ini beranggotakan tujuh orang. Kondisi ekonomi keluarga pas-pas-an. Rumah tinggal beratap ilalang. Dibangun di atas tanah bukan miliknya.

Film: Media Pendidikan Transformasi Sosial

Banyak akal dan cara bisa ditempuh untuk memfasilitasi perubahan sosial. Salah satunya adalah Film sebagai media belajar dan pendidikan interaktif rakyat di desa. FIRD memilih media sebagai sarana pendidikan transformasi social.

Di berbagai tempat media mema-inkan peran penting dalam penyampaian informasi. Media seperti radio, tv, Koran telah digunakan sebagai sarana pendidikan masyarakat. Alat menyampaikan pesan kepada pendengar. Masyarakat tradisional juga sudah biasa menggunakan media sebagai alat penyampaian pesan-pesan moral.

Radio Komunitas Merangkai Mbuli-Jopu

Ini ceritera kreatif para CO di Kecamatan Wolowaru. Dalam program rehabilitasi berbasis masyarakat, kempat desa ini diorganisir dalam satu kawasan. Namanya Mbuli—Jopu yang tersebar di empat desa: Jopu, Wolokoli, Mbuli dan Nakambara. Untuk memudahkan sosialisasi dan advokasi hak-hak penyandang cacat, para CO di keempat desa ini sepakat memilih Radio sebagai salah satu alat atau media komunikasi dan kampanye.

Setelah mendiskusikan rencana ini pada akhir tahun 2008 dalam sebuah pertemuan dengan FIRD, maka mengudaralah di kawasan Mbuli-Jopu Radio Komunitas (Rakom) “Lintas Mbuli - Jopu”.

Mengadvokasi Kecacatan

Untuk semakin memperkokoh sikap kepedulian terhadap dunia kecacatan di Kabupaten Ende, bertempat di aula pertemuan FIRD Jln. Kokos Raya, Ende belum lama ini dilangsungkan stakeholders meeting.

Pertemuan yang lebih bersifat diskusi terfokus yang difasilitasi staf FIRD Vinsen Simau dan Relawan FIRD Rafael Mingu itu hendak mendalami berbagai pengalaman dan melahirkan gagasan pengelolaan dan pengurangan resiko kecacatan di kabupaten Ende.

Posyandu: Antara Harapan dan Kenyataan

Setelah megelilingi tiga kawasan program Rehabilitasi Kecatatan Berbasis Masyarakat (RBM) di Kabupaten Ende, sejumlah catatan menarik sempat terekam. Perjalanan di bulan Mei ke Ndetundora, Wolowaru dan Lio Timur untuk memfasilitasi peningkatan partisipasi masyarakat dan para pihak dalam pengurangan resiko kecacatan.

Kabupaten Ende dengan sarana dan prasarana yang serba minim, masyarakat sangat mengharapkan kehadiran tenaga kesehatan di sana. Bidan Desa (Bides) dan Posyandu paling dekat dengan rakyat.
Tiga kawaasan yang dikunjungi adalah kawasan Ndetundora yang meliputi desa Ndetundora I, Ndetundora II, Ndetundora III dan desa Randotonda; kawasan Wolowaru yang meliputi desa Jopu, Nakambara, Wolokoli, Mbuli Loo; dan kawaan Lio Timur yang meliputi desa Woloaro, Wolosambi dan Kelurahan Watuneso.

PROBLEM GENDER DAN KEADILAN PETANI MENTE DI FLORES TIMUR

Oleh Melky Koli Baran

Mengapa pada sistem multikultur ketahanan pangan petani cukup aman dan peran perempuan cukup mendapat tempat, lalu pada masa sistem monokultur justru sering terjadi ancaman ketahanan pangan dan gizi buruk?

Pengantar
Umumnya strandar-standar ukuran kemiskinan mengacu pada fariabel ekonomi dengan kesalahan terbesar pada aspek nature. Kurang meyentuh struktur dan kultur. Pembangunan juga direkayasa untuk mencegah, mengurangi dan mengatasi kemiskinan. Kemudian ada fakta bahwa lajunya kemiskinan justru berkejaran dengan gencarnya pembangunan. Mengapa? Di sinilah, problem kemiskinan bukan cuma problem ekonomi dengan titik berat kesalahan pada nature. Ada problem struktur dan kultur, yang berpeluang pada terjadinya ketidakadilan Gender. Basis studi kasus yang menginspirasi tulisan ini adalah petani Flores Timur yang telah mengalami pergeseran struktur dan kultur pertanian dari pertanian multikultur (keanekaragaman tanaman) ke tanaman monokultur jambu mete.