Oleh Ronny So dan Melky Koli Baran
Seiring perubahan iklim yang berakibat pada pemanasan global maupun sebaliknya, semakin sering terjadi bencana alam. Gunung meletus, air pasang disebabkan es di kutub mencair, gempa bumi dan tsunami, kekeringan, banjir dan longsor. Juga bencana sosial (konflik sosial) dan bencana industri karena kesalahan tekhnologi. Seperti Lumpur Lapindo di Sidoarjo atau kasus minamata di New Mont Sulawesi dalam kasus pertambangan emas. Bencana industri dan sosial saling terkait. Seperti industri pertambangan emas di Lembata yang baru pada tahap eksplorasi telah melahirkan konflik-konflik di tingkat rakyat.
Pada umumnya, setiap bencana membawa ancaman yang berakibat pada kesakitan, kecacatan dan kematian. Apalagi kurangnya dukungan memadai dari regulasi pembangunan. Namun setiap bencana tidak selamanya melahirkan resiko yang tinggi. Sebab sebuah kejadian beresiko bencana jika tingkat ancaman terus bertambah, tingginya kerentanan yang juga tidak sebanding kapasitas yang dimiliki masyarakat.
Supermarket Bencana
Nusa Tenggara Timur tidak lepas dari aneka ancaman dan resiko. Kondisi alam NTT memang rentan terjadi bencana. Sementara kapasitas masyarakat untuk bisa mencegah atau mengurangi resiko umumnya belum serius dibangun. Atau mungkin karena terbiasa, maka multi bencana di wilayah ini dianggap kejadian biasa saja. Bahkan oleh masyarakat diminimalisir sebagai takdir Yang Maha Kuasa. Maka belum ada perhatian mencegah bencana. Atau sedapat mungkin mengurangi resiko yang bakal ditimbulkan. Demikian pula dengan politik pembangunan yang belum berperspektif pencegahan dan pengurangan resiko.
Hal ini bisa dilacak pada posisi anggaran pembangunan di daerah. Yang ada hanyalah Satkorlak Kabupaten yang juga akan bergerak jika terjadi bencana. Anggarannya juga sebatas emergency respon. Padahal, bencana apapun pasti rerjadi dalam siklus standar, yakni masa sebelum bencana yang lebih membutuhkan kesiapsiagaan, masa saat terjadi bencana yang selalu ditandai dengan emergency, kerusakan meluas dan tiba-tiba, korban jiwa dan berbagai bantuan mendadak. Siklus terakhir adalah masa paska bencana yang ditandai dengan ketiadaan fasilitas memadai, wabah penyakit karena lingkungan tercemar, kurang gizi, kesakitan, ketiadaan obat-obatan, penanganan yang simpang siur, serta bantuan yang mudah dipolitisir.
NTT dapat dikatakan supermarket bencana, sementara kapasitas masyarakatnya belum teruji, merupakan kondisi nyata yang tentunya akan tinggi resiko jika terjadi bencana apapun. Negeri supermaket bencana itu sepertinya belum memiliki komitmen politik pembangunan pengurangan resiko bencana yang standar. Belum terlihat strategi-strategi politik pembangunan yang berkontribusi pada pengurangan resiko jika terjadi bencana di tanah ini.
Management Bencana Dalam Pembangunan
Dalam manajemen kebencanaan dikenal istilah kesiapsiagaan, mitigasi, respon emergency dan tahap rehablitasi dan rekonstruksi. Setiap tahapan memiliki urgensi sendiri. Namun dalam konteks pengurangan resiko bencana (PRB), tahapan kesiapsiagaan sangat penting. Semua unsur baik pemerintah, masyarakat, lembaga swasta perlu melakukan analisis jenis ancaman, kerentanan dan kapasitas, agar dapat merancang program intervensi yang tepat pada saat kesiap-siagaan.
Jika tahapan ini dilakukan dengan serius dan cermat serta diperkuat dengan kebijakan dan penganggaran maka nuansa pembangunan daerah akan selalu berada dalam perspektif siap siaga. Dengan demikian, ketika terjadi ancaman, resiko-resiko yang ditimbulkan diminimalisir. Dalam pembangunan berperspektif pengurangan resiko bencana, ancaman seperti banjir, tanah longsor, wabah penyakit bisa dicegah. Mencegah resiko jauh lebih bijak dari pada membangun ulang yang sudah hancur. Karena itu pembangunan mesti dirancang dengan perspektif pengurangan resiko, baik pembangunan fisik dan non fisik.
Platform Politik Pilkada
Propinsi ”supermarket bencana” ini akan melangsungkan Pemilihan Langsung Gubernur Nusa Tenggara Timur. Jika ditelusuri secara detail, belum terlihat secara kongkret gagasan politik para kandidat tentang pencegahan dan pengurangan resiko bencana. Bahkan ada kandidat yang karena jabatan politik sebelumnya telah mengeluarkan SK nomor: 344/KEP/HK/2007, tanggal 18 Desember 2007 tentang ijin penyelidikan umum pertambangan emas di pulau Sumba.
Juga pengalaman kepemimpinan selama ini masih berkutat pada UU Penanggulangan Bencana no. 24/2007. Tentang jabatan strategis baru dan siapa yang akan menempatinya. Padahal ada tidaknya UU ini bencana tetap ada dan pembangunan wajib mengurangi resiko yang ditimbulkan. Karena itu harus ada intervensi pembangunan untuk pencegahan dan pengurangan resiko walau belum ada UU. Hal ini menjadi tanggungjawab negara. Jika tidak dilakukan dan karenanya memperbesar resiko bagi rakyat, maka negara seharusnya digugat berdasarkan stadar Hak Asasai Manusia (HAM). Sebab telah melakukan pembiaran (by ommision) yang menyebabkan tingginya kesakitan, kecacatan dan kematian.
Kampanye para calon gubernur dan wakil gubernur saat ini, tidak satupun yang berbicara tentang pengurangan resiko bencana dalam platform politiknya. Sangat klasik seperti jargon dan upaya menyindir paket lain yang tidak berpengalaman, sudah tua jadi lebih baik pilih yang muda, tercemar korupsi dan sebagainya.
Dalam masa kampanye ini, yang menjadi inti soal adalah bukan besar kecilnya foto kandidat dan penyebaran alat kampanye tetapi apakah gagasan program yang ditawarkan itu sungguh digali dari denyut nadi permasalahan masyarakatnya? Berdasarkan analisis kerentanan wilayah, tingginya ancaman wilayah, rendahnya kapasitas rakyat yang harus diperbaiki melalui program-program konkret agar resiko-resiko yang diderita rakyat semakin berkurang. Ada resiko yang ditimbulkan karena busung lapar dan gizi buruk, ada resiko yang ditimbulkan wabah penyakit, ada resiko yang ditimbulkan karena tanah longsor dan banjir. Seperti apakah perbaikan management kesehatan ketimbang menjanjikan pengobatan gratis? Seperti apakah pembangunan sektor pertanian, pendidikan dan aparat yang bersih ketimbang berjanji memerangi kemiskinan? Adakah kandidat yang berbicara tentang rakyat ketimbang memperkenalkan kehebatannya agar dipilih?
Penting bagi seorang calon pemimpin di negeri super market bencana untuk menjadikan pengurangan resiko kemiskinan dan pemiskinan, kebodohan dan penbodohan, aneka penderitaan, kesulitan , kesakitan dan kematian sebagai prespektif pembangunan. Bagaimana mengurangi angka kematian ibu dan anak saat melahirkan jika perspektif pembangunan sarana dan prasarana kesehatan tidak dipisahkan dari pembangunan infrastruktur dan angkutan yang memadai. Gizi buruk terus merangkak naik, tetapi belum dilihat sebagai bencana kemanusiaan.
Menggugat Diri
Ketika kita menghadapi proses pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTT untuk periode 2008-2013, dan tingginya ancaman wilayah belum dipotret para kandidat maka, pembangunan untuk kenyamanan dan keselamatan hidup rakyat belum bisa diharapkan. Daerah ini akan jatuh pada soal yang sama, ada setumpuk proyek pusat maupun daerah yang wajib dikerjakan karena telah dialokasikan anggarannya dari pusat. Perang program, kampanye seperti temu kader, simpatisan, penyebaran tabloid, stiker, poster, spanduk, kalender tidak satupun yang memiliki perspektif dan sensitifitas pengurangan resiko-resiko kehidupan rakyat yang selama ini telah menjadi sakit kronis.
Lalu apa yang dapat kita lakukan? bagaimana menentukan masa depan NTT sebagai supermarket bencana? Hari pilkada adalah hari yang menentukan. Mari kita menggugat diri kita.***
Penulis: Kedua penulis adalah Senior Fasilitator Flores’ Institute for Resources Development (FIRD
Berbagi pengalaman interaksi antar-komunitas kampung demi keutuhan warga Lamaholot di Flores dan Lembata
Selasa, 26 Agustus 2008
Membaca Konflik Pertambangan Dalam Teori Spiral Kekerasan
Oleh Melky Koli Baran
Rencana penambangan emas di Lembata semakin panas saja. Tarik menarik antara pemerintah dan rakyat memuncak. Tanggal 3 Mei digelar Seminar Nasional di Lewoleba. Suara mayoritas mempersoalkan substansi daya rusak lingkungan dan sosial yang kini sangat konsisten diabaikan pemerintah. Setelah seminar, pemerintah mulai gertak rakyat. Tanggal 5 Mei Bupati Lembata mengeluarkan surat pencabutan izin pengelolaan kawasan hutan lindung yang pernah ia berikan kepada masyarakat Leragere pada masa menjelang Pemilihan Bupati yang dimenangkannya. Penyerahan yang telah pula disyukuri rakyat dan Uskup Larantuka Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr dalam Ekaristi. Sementara DPRD diam-diam bertemu Merukh di Denpasar medio Mei 2008.
Dom Helder Camara, seorang uskup dan pembela kaum tertindas dalam pergumulan dan refleksi keterlibatannya terhadap kasus-kasus struktural semacam ini mencetuskan “Teori Spiral Kekerasan”. Kekerasan terhadap rakyat di negara-negara miskin dan berkembang terjadi dalam sebuah spiral karena keberpihakan negara terhadap investor. Spiral ini berevolusi meningkat. Karena kedekatan negara mendukung investasi maka terjadilah spiral kekerasan itu. Rakyat dipojokkan dan didudukan sebagai korban.
Pada tingkatan pertama, negara jadi penyebab/pelaku kekerasan kepada rakyat. Secara sepihak dan sewenang-wenang melahirkan kebijakan diskriminatif, tidak populis, tidak berpihak pada rakyat. Kebijakan yang umum di negara-negara miskin dunia ketiga adalah Pemimpin Negara memberi izin eksploitasi sumber daya alam yang berakibat pada perampasan sumber-sumber penghidupan rakyat. Berbagai aturan dibuat negara untuk melindungi kepentingan pemodal. Rakyat diabaikan bahkan ditinggalkan. Suara keberatan rakyat dibungkam. Pejabat negara lebih meluangkan waktu untuk menjamu para pemodal. Rakyat ditinggalkan. Ini bentuk kekerasan pengabaian hak-hak rakyat.
Karena diabaikan dan tidak dipedulikan, maka rakyat kemudian memilih menuntut keadilan, yang juga dalam banyak hal tidak didengar. Jika rakyat mengadu ke lembaga legislatifpun tidak tersalur. Hal ini yang menurut teori spiral kekerasan, semakin memicu kemarahan rakyat. Karena marah dan kesal, maka rakyat terjebak ke dalam tindak kekerasan. Demo dan aksi unjuk rasa damai bergulir ke keributan, huru hara dan pengrusakan. Gilirannya rakyat yang melakukan kekerasan tingkat kedua dalam spiral kekerasan dengan sasaran para pejabat dan fasilitas umum (negara).
Menanggapi aksi rakyat yang menjurus ke tindakan kekerasan (tingkat II), maka dengan alasan keamanan serta kewibawaan kekuasaan dan kedaulatan negara, aparat negara diperintahkan untuk melakukan tindakan pencegahan. Aparat yang umumnya bersenjata disorong ke garis depan berhadap-hadapan dengan rakyat tanpa senjata. Dalam konfrontasi ini, terjadilah kekerasan tingkat ketiga atau kekerasan puncak. Rakyat yang sudah diabaikan hak-haknya dalam kekerasan tingkat pertama kembali menjadi korban keberingasan aparat bersenjata. Rakyat disapu bersih, ada yang dibunuh, dibabakbeluri, diseret dan dijebloskan ke dalam penjara. Tidak selesai di sini. Spiral kekerasan akan berevolusi ke babak berikutnya.
Ketika kekerasan demi kekerasan yang silih berganti ini sampai pada tingkat terakhir, pemerintah dengan seluruh kekuatan militer dan keamanannya akan keluar sebagai pemenang. Ibarat pulang dari medan tempur, aparat negara akan berparade dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Inilah buah dari dominasi kekerasan negara atas rakyat.
Kekerasan tingkat ketiga/terakhir dalam spiral kekerasan ini memposisikan rakyat sebagai korban dan aparat negara sebagai pahlawan. Rakyat merupakan pihak subversif, penghalang pembangunan dan kemajuan. Pada titik ini demokrasi rusak total. Relasi pemerintah dan rakyat berantakan. Investor justru menikmati keuntungan. Jalan mulus ke bisnis dan penguasaan aset-aset kesejahteraan rakyat terbuka. Lalu rakyat semakin sengsara dan terpuruk. Pejabat kaya tapi pasti bathin tak tenang.
Inilah gambaran spiral kekerasan, teori yang dicetuskan pastor dan pejuang keadilan dari Amerika Latin bernama Dom Helder Camara. Dalam banyak kasus di negeri ini, teori ini menemukan jawabannya. Kasus 1998 yang mengorbankan para mahasiswa. Kasus penembakan petani di Bulukumba Sulawesi, dan juga petani Kopi di Colol, Manggarai serta sejumlah kekerasan lainnya terhadap rakyat bermula dari pengabaikan kepentingan dan hak rakyat dalam kebijakan-kebijakan negara yang justru bersentuhan dengan aset-aset keagrariaan rakyat.
Menelusuri evolusi persoalan rencana pertambangan emas di Lembata, menurut saya sedang berada pada tingkatan pertama dari putaran pertama teori ini. Bupati dan Ketua DPRD menandatangani perjanjian dengan PT. Pukuafu Indah sebagai bentuk kekerasan mengabaikan rakyat pemilik tanah dan lahan sumber penghidupan keluarga turun temurun. Ketika dipersoalkan, pemerintah mencari cela lain yang semakin mengabaikan hak-hak rakyat. Spiral kekerasan sedang terjadi dan berevolusi di Lembata.
Tingkatan pertama berupa penandatanganan perjanjian yang sangat melukai hati dan hak-hak rakyat atas tanah-tanah warisan. Tingkatan kedua berupa protes rakyat ke pemerintah. Tingkatan ketiga berupa teror pemerintah melalui pencabutan izin pengelolaan hutan serta kemunculan preman kecil-kecilan di desa-desa yang melempari rumah-rumah penduduk yang tidak setuju dengan tambang (testimoni Bapak Abu (Sama) Achmad) saat Seminar 3 Mei 2008 di Lewoleba.
Teori spiral kekerasan sedang terjadi di Lembata dan akan terus berevolusi dalam putaran selanjudnya. Jika spiral kekerasan ini terus berevolusi, maka antara rakyat atau pemimpin politik yang jatuh. Jika evolusi di tingkat rakyat merambah ke jalur politik, maka bisa muncul sejumlah skenario. Rakyat akan terus merangsek secara terorganisir memasuki wilayah politik yang berpautan dengan event Pemilu tahun 2009 dan menemukan momentum kemenangan menumbangkan rezim berkuasa melalui penggunaan hak politiknya. Atau bisa terjadi, penguasa politik akan ketakutan dengan momentum 2009 yang semakin dekat dan akan menjadi kalap lalu menghancurkan gerakan rakyat. Ini namanya spiral kekerasan berevolusi ke putaran kedua yang semakin keras. Dalam situasi seperti ini, akan ada pihak yang menjadi korban di samping rakyat. Dia itu adalah alat keamanan dan ketertiban yang akan menjadi bemper menghadapi rakyat demi keselamatan pemerintah dan investor. Mungkinkah elit politik Lembata menghendaki demikian?***
(Penulis: Ketua Flores Institute for Resources Development (FIRD), Ende), Artikel ini sudah dimuat dalam Flores Pos, tanggal 27 Mei 2008
Rencana penambangan emas di Lembata semakin panas saja. Tarik menarik antara pemerintah dan rakyat memuncak. Tanggal 3 Mei digelar Seminar Nasional di Lewoleba. Suara mayoritas mempersoalkan substansi daya rusak lingkungan dan sosial yang kini sangat konsisten diabaikan pemerintah. Setelah seminar, pemerintah mulai gertak rakyat. Tanggal 5 Mei Bupati Lembata mengeluarkan surat pencabutan izin pengelolaan kawasan hutan lindung yang pernah ia berikan kepada masyarakat Leragere pada masa menjelang Pemilihan Bupati yang dimenangkannya. Penyerahan yang telah pula disyukuri rakyat dan Uskup Larantuka Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr dalam Ekaristi. Sementara DPRD diam-diam bertemu Merukh di Denpasar medio Mei 2008.
Dom Helder Camara, seorang uskup dan pembela kaum tertindas dalam pergumulan dan refleksi keterlibatannya terhadap kasus-kasus struktural semacam ini mencetuskan “Teori Spiral Kekerasan”. Kekerasan terhadap rakyat di negara-negara miskin dan berkembang terjadi dalam sebuah spiral karena keberpihakan negara terhadap investor. Spiral ini berevolusi meningkat. Karena kedekatan negara mendukung investasi maka terjadilah spiral kekerasan itu. Rakyat dipojokkan dan didudukan sebagai korban.
Pada tingkatan pertama, negara jadi penyebab/pelaku kekerasan kepada rakyat. Secara sepihak dan sewenang-wenang melahirkan kebijakan diskriminatif, tidak populis, tidak berpihak pada rakyat. Kebijakan yang umum di negara-negara miskin dunia ketiga adalah Pemimpin Negara memberi izin eksploitasi sumber daya alam yang berakibat pada perampasan sumber-sumber penghidupan rakyat. Berbagai aturan dibuat negara untuk melindungi kepentingan pemodal. Rakyat diabaikan bahkan ditinggalkan. Suara keberatan rakyat dibungkam. Pejabat negara lebih meluangkan waktu untuk menjamu para pemodal. Rakyat ditinggalkan. Ini bentuk kekerasan pengabaian hak-hak rakyat.
Karena diabaikan dan tidak dipedulikan, maka rakyat kemudian memilih menuntut keadilan, yang juga dalam banyak hal tidak didengar. Jika rakyat mengadu ke lembaga legislatifpun tidak tersalur. Hal ini yang menurut teori spiral kekerasan, semakin memicu kemarahan rakyat. Karena marah dan kesal, maka rakyat terjebak ke dalam tindak kekerasan. Demo dan aksi unjuk rasa damai bergulir ke keributan, huru hara dan pengrusakan. Gilirannya rakyat yang melakukan kekerasan tingkat kedua dalam spiral kekerasan dengan sasaran para pejabat dan fasilitas umum (negara).
Menanggapi aksi rakyat yang menjurus ke tindakan kekerasan (tingkat II), maka dengan alasan keamanan serta kewibawaan kekuasaan dan kedaulatan negara, aparat negara diperintahkan untuk melakukan tindakan pencegahan. Aparat yang umumnya bersenjata disorong ke garis depan berhadap-hadapan dengan rakyat tanpa senjata. Dalam konfrontasi ini, terjadilah kekerasan tingkat ketiga atau kekerasan puncak. Rakyat yang sudah diabaikan hak-haknya dalam kekerasan tingkat pertama kembali menjadi korban keberingasan aparat bersenjata. Rakyat disapu bersih, ada yang dibunuh, dibabakbeluri, diseret dan dijebloskan ke dalam penjara. Tidak selesai di sini. Spiral kekerasan akan berevolusi ke babak berikutnya.
Ketika kekerasan demi kekerasan yang silih berganti ini sampai pada tingkat terakhir, pemerintah dengan seluruh kekuatan militer dan keamanannya akan keluar sebagai pemenang. Ibarat pulang dari medan tempur, aparat negara akan berparade dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Inilah buah dari dominasi kekerasan negara atas rakyat.
Kekerasan tingkat ketiga/terakhir dalam spiral kekerasan ini memposisikan rakyat sebagai korban dan aparat negara sebagai pahlawan. Rakyat merupakan pihak subversif, penghalang pembangunan dan kemajuan. Pada titik ini demokrasi rusak total. Relasi pemerintah dan rakyat berantakan. Investor justru menikmati keuntungan. Jalan mulus ke bisnis dan penguasaan aset-aset kesejahteraan rakyat terbuka. Lalu rakyat semakin sengsara dan terpuruk. Pejabat kaya tapi pasti bathin tak tenang.
Inilah gambaran spiral kekerasan, teori yang dicetuskan pastor dan pejuang keadilan dari Amerika Latin bernama Dom Helder Camara. Dalam banyak kasus di negeri ini, teori ini menemukan jawabannya. Kasus 1998 yang mengorbankan para mahasiswa. Kasus penembakan petani di Bulukumba Sulawesi, dan juga petani Kopi di Colol, Manggarai serta sejumlah kekerasan lainnya terhadap rakyat bermula dari pengabaikan kepentingan dan hak rakyat dalam kebijakan-kebijakan negara yang justru bersentuhan dengan aset-aset keagrariaan rakyat.
Menelusuri evolusi persoalan rencana pertambangan emas di Lembata, menurut saya sedang berada pada tingkatan pertama dari putaran pertama teori ini. Bupati dan Ketua DPRD menandatangani perjanjian dengan PT. Pukuafu Indah sebagai bentuk kekerasan mengabaikan rakyat pemilik tanah dan lahan sumber penghidupan keluarga turun temurun. Ketika dipersoalkan, pemerintah mencari cela lain yang semakin mengabaikan hak-hak rakyat. Spiral kekerasan sedang terjadi dan berevolusi di Lembata.
Tingkatan pertama berupa penandatanganan perjanjian yang sangat melukai hati dan hak-hak rakyat atas tanah-tanah warisan. Tingkatan kedua berupa protes rakyat ke pemerintah. Tingkatan ketiga berupa teror pemerintah melalui pencabutan izin pengelolaan hutan serta kemunculan preman kecil-kecilan di desa-desa yang melempari rumah-rumah penduduk yang tidak setuju dengan tambang (testimoni Bapak Abu (Sama) Achmad) saat Seminar 3 Mei 2008 di Lewoleba.
Teori spiral kekerasan sedang terjadi di Lembata dan akan terus berevolusi dalam putaran selanjudnya. Jika spiral kekerasan ini terus berevolusi, maka antara rakyat atau pemimpin politik yang jatuh. Jika evolusi di tingkat rakyat merambah ke jalur politik, maka bisa muncul sejumlah skenario. Rakyat akan terus merangsek secara terorganisir memasuki wilayah politik yang berpautan dengan event Pemilu tahun 2009 dan menemukan momentum kemenangan menumbangkan rezim berkuasa melalui penggunaan hak politiknya. Atau bisa terjadi, penguasa politik akan ketakutan dengan momentum 2009 yang semakin dekat dan akan menjadi kalap lalu menghancurkan gerakan rakyat. Ini namanya spiral kekerasan berevolusi ke putaran kedua yang semakin keras. Dalam situasi seperti ini, akan ada pihak yang menjadi korban di samping rakyat. Dia itu adalah alat keamanan dan ketertiban yang akan menjadi bemper menghadapi rakyat demi keselamatan pemerintah dan investor. Mungkinkah elit politik Lembata menghendaki demikian?***
(Penulis: Ketua Flores Institute for Resources Development (FIRD), Ende), Artikel ini sudah dimuat dalam Flores Pos, tanggal 27 Mei 2008
Langganan:
Postingan (Atom)