Selasa, 26 Agustus 2008

Membaca Konflik Pertambangan Dalam Teori Spiral Kekerasan

Oleh Melky Koli Baran
Rencana penambangan emas di Lembata semakin panas saja. Tarik menarik antara pemerintah dan rakyat memuncak. Tanggal 3 Mei digelar Seminar Nasional di Lewoleba. Suara mayoritas mempersoalkan substansi daya rusak lingkungan dan sosial yang kini sangat konsisten diabaikan pemerintah. Setelah seminar, pemerintah mulai gertak rakyat. Tanggal 5 Mei Bupati Lembata mengeluarkan surat pencabutan izin pengelolaan kawasan hutan lindung yang pernah ia berikan kepada masyarakat Leragere pada masa menjelang Pemilihan Bupati yang dimenangkannya. Penyerahan yang telah pula disyukuri rakyat dan Uskup Larantuka Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr dalam Ekaristi. Sementara DPRD diam-diam bertemu Merukh di Denpasar medio Mei 2008.
Dom Helder Camara, seorang uskup dan pembela kaum tertindas dalam pergumulan dan refleksi keterlibatannya terhadap kasus-kasus struktural semacam ini mencetuskan “Teori Spiral Kekerasan”. Kekerasan terhadap rakyat di negara-negara miskin dan berkembang terjadi dalam sebuah spiral karena keberpihakan negara terhadap investor. Spiral ini berevolusi meningkat. Karena kedekatan negara mendukung investasi maka terjadilah spiral kekerasan itu. Rakyat dipojokkan dan didudukan sebagai korban.
Pada tingkatan pertama, negara jadi penyebab/pelaku kekerasan kepada rakyat. Secara sepihak dan sewenang-wenang melahirkan kebijakan diskriminatif, tidak populis, tidak berpihak pada rakyat. Kebijakan yang umum di negara-negara miskin dunia ketiga adalah Pemimpin Negara memberi izin eksploitasi sumber daya alam yang berakibat pada perampasan sumber-sumber penghidupan rakyat. Berbagai aturan dibuat negara untuk melindungi kepentingan pemodal. Rakyat diabaikan bahkan ditinggalkan. Suara keberatan rakyat dibungkam. Pejabat negara lebih meluangkan waktu untuk menjamu para pemodal. Rakyat ditinggalkan. Ini bentuk kekerasan pengabaian hak-hak rakyat.
Karena diabaikan dan tidak dipedulikan, maka rakyat kemudian memilih menuntut keadilan, yang juga dalam banyak hal tidak didengar. Jika rakyat mengadu ke lembaga legislatifpun tidak tersalur. Hal ini yang menurut teori spiral kekerasan, semakin memicu kemarahan rakyat. Karena marah dan kesal, maka rakyat terjebak ke dalam tindak kekerasan. Demo dan aksi unjuk rasa damai bergulir ke keributan, huru hara dan pengrusakan. Gilirannya rakyat yang melakukan kekerasan tingkat kedua dalam spiral kekerasan dengan sasaran para pejabat dan fasilitas umum (negara).
Menanggapi aksi rakyat yang menjurus ke tindakan kekerasan (tingkat II), maka dengan alasan keamanan serta kewibawaan kekuasaan dan kedaulatan negara, aparat negara diperintahkan untuk melakukan tindakan pencegahan. Aparat yang umumnya bersenjata disorong ke garis depan berhadap-hadapan dengan rakyat tanpa senjata. Dalam konfrontasi ini, terjadilah kekerasan tingkat ketiga atau kekerasan puncak. Rakyat yang sudah diabaikan hak-haknya dalam kekerasan tingkat pertama kembali menjadi korban keberingasan aparat bersenjata. Rakyat disapu bersih, ada yang dibunuh, dibabakbeluri, diseret dan dijebloskan ke dalam penjara. Tidak selesai di sini. Spiral kekerasan akan berevolusi ke babak berikutnya.
Ketika kekerasan demi kekerasan yang silih berganti ini sampai pada tingkat terakhir, pemerintah dengan seluruh kekuatan militer dan keamanannya akan keluar sebagai pemenang. Ibarat pulang dari medan tempur, aparat negara akan berparade dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Inilah buah dari dominasi kekerasan negara atas rakyat.
Kekerasan tingkat ketiga/terakhir dalam spiral kekerasan ini memposisikan rakyat sebagai korban dan aparat negara sebagai pahlawan. Rakyat merupakan pihak subversif, penghalang pembangunan dan kemajuan. Pada titik ini demokrasi rusak total. Relasi pemerintah dan rakyat berantakan. Investor justru menikmati keuntungan. Jalan mulus ke bisnis dan penguasaan aset-aset kesejahteraan rakyat terbuka. Lalu rakyat semakin sengsara dan terpuruk. Pejabat kaya tapi pasti bathin tak tenang.
Inilah gambaran spiral kekerasan, teori yang dicetuskan pastor dan pejuang keadilan dari Amerika Latin bernama Dom Helder Camara. Dalam banyak kasus di negeri ini, teori ini menemukan jawabannya. Kasus 1998 yang mengorbankan para mahasiswa. Kasus penembakan petani di Bulukumba Sulawesi, dan juga petani Kopi di Colol, Manggarai serta sejumlah kekerasan lainnya terhadap rakyat bermula dari pengabaikan kepentingan dan hak rakyat dalam kebijakan-kebijakan negara yang justru bersentuhan dengan aset-aset keagrariaan rakyat.
Menelusuri evolusi persoalan rencana pertambangan emas di Lembata, menurut saya sedang berada pada tingkatan pertama dari putaran pertama teori ini. Bupati dan Ketua DPRD menandatangani perjanjian dengan PT. Pukuafu Indah sebagai bentuk kekerasan mengabaikan rakyat pemilik tanah dan lahan sumber penghidupan keluarga turun temurun. Ketika dipersoalkan, pemerintah mencari cela lain yang semakin mengabaikan hak-hak rakyat. Spiral kekerasan sedang terjadi dan berevolusi di Lembata.
Tingkatan pertama berupa penandatanganan perjanjian yang sangat melukai hati dan hak-hak rakyat atas tanah-tanah warisan. Tingkatan kedua berupa protes rakyat ke pemerintah. Tingkatan ketiga berupa teror pemerintah melalui pencabutan izin pengelolaan hutan serta kemunculan preman kecil-kecilan di desa-desa yang melempari rumah-rumah penduduk yang tidak setuju dengan tambang (testimoni Bapak Abu (Sama) Achmad) saat Seminar 3 Mei 2008 di Lewoleba.
Teori spiral kekerasan sedang terjadi di Lembata dan akan terus berevolusi dalam putaran selanjudnya. Jika spiral kekerasan ini terus berevolusi, maka antara rakyat atau pemimpin politik yang jatuh. Jika evolusi di tingkat rakyat merambah ke jalur politik, maka bisa muncul sejumlah skenario. Rakyat akan terus merangsek secara terorganisir memasuki wilayah politik yang berpautan dengan event Pemilu tahun 2009 dan menemukan momentum kemenangan menumbangkan rezim berkuasa melalui penggunaan hak politiknya. Atau bisa terjadi, penguasa politik akan ketakutan dengan momentum 2009 yang semakin dekat dan akan menjadi kalap lalu menghancurkan gerakan rakyat. Ini namanya spiral kekerasan berevolusi ke putaran kedua yang semakin keras. Dalam situasi seperti ini, akan ada pihak yang menjadi korban di samping rakyat. Dia itu adalah alat keamanan dan ketertiban yang akan menjadi bemper menghadapi rakyat demi keselamatan pemerintah dan investor. Mungkinkah elit politik Lembata menghendaki demikian?***
(Penulis: Ketua Flores Institute for Resources Development (FIRD), Ende), Artikel ini sudah dimuat dalam Flores Pos, tanggal 27 Mei 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.