Kamis, 29 April 2010

DISTRIBUSI TANAH DI KAWALIWU

Kawaliwu, saah satu kampung di Komunitas Lewolema, Lamaholot, Kabupaten Flores Timur. Kampung ini terletak di pantai utara Flores Timur. Jarak tempuh 30 menit bersepeda motor dari Larantuka, Ibu Kota Kabupaten Flores Timur. Kampung ini terletak di sebuah tluk yang indah dengan panorama senja nan menarik tatkala metahari beranjak menyelinap di balik bukit-bukit yag berjejer di bibir laut pada senja hari. Mirip pantao parang tritis Yogyakarta. Itu kemiripan sebelum bencana tsunami dasyat di tahun 1992. Ketika tragedi ini, pantai nan indah ini mengalami banyak perubahan. Pasir panta yang indah ditenggelampan sehingga pantai nyaris merapat ke tebing mehnghimpit jalur jalan transportasi ke desa tetangga. Untuk mengabadikan keindahan teluk ini maka Desa Gaya Baru setempat diberi nama Desa Teluk Hading.

Sejah 8 Februari 2006 silam, Lewolema dimekarkan dari Kecamatan Tanjung Bunga menjadi Kecamatan sendiri. Kawaliwu dipilih sebagai ibu kota Kecamatan Lewolema. Salah satu keunggulan kampung ini menyingkirkan lima kampung lainnya di Lewolema untuk menjadi ibu kota kecamatan karena kekompakan pasyarakatnya dalam melepaskan tanah untuk lokasi perkantoran. Kekompakan ini tidak lepas dari tua-tua adat Kawaliwu (Raja Tuan) yang merestui lokasi tanah adat untuk pembangunan kantor dan perumahan pegawai.


Pada Diskusi Terfokus tanggal 27 Desember 2008 di Kawaliwu tentang sisitem distribusi tanah adat, hal ini menjadi salah satu singgungan diskusi untk menjelaskan peran sentral Raj Tuan dalam distribusi tanah-tanah adat.


Raja Tuan merupakan unsur tertinggi dalam tata pemerintahan adat di Lewolema yang secara khusus mengatur tertib distribusi dan pengolahan tanah-tanah adat. Markus Lega Hurit, salah satu tokoh di kampung ini mengatakan, Raja Tuan dari suku Hurit memiliki otoritas dalam memberikan persetujuan pengolahan tanah-tana adat untuk dijadikan kebun. Otoritas Raja Tuan dalam sistem ini ternyata kemudian disadari sangat bagus. Dengan sentralisasi kewenangan pengaturan tanah-tanah adat oleh Raja Tuan ternyata dalam perkembangan terakhir saat ini membentengi beralihnya kepemilikan tanah-tanah pertanian ke tangan piha lain, apalagi pihak lain itu berada di luar komunitas Lewolema.


Diceriterakan, Lewolema tidak mengenal tanah milik perorangan. Tanah Lewolema adalah Tanah Komunal yang berada dalam pengawasan Raja Tuan, dengan peran Koten, Kelen, Hurit dan Maran di dalam distribusi dan pengolahan tanah-tanah adat. Jika dalam sebuah musywaraha pendistribusian tanah, salah satu unsur dari Koten, Kelen, Hurit dan Maran tidak hadir maka proses tidak bisa berjalan. Di sini sangat diutamakan keutuhan, kesatuan, dan kekompkan Raja Tuan dalam persekutuan Koten, Kelen, Hurit dan Maran.


Salah satu faktor penting dalam distribusi adalah menjaga keadilan dan keberlanjudan. Raja Tuan akan merestui proses distribusi da pengolahan lahan di tanah adat itu, jika memenuhi unsur keadilan dan keberlanjutan. Keadilan, mengutamakan warga kampung yang sungguh-sungguh membutuhkan tanah untuk berkebun, yang tidak memiliki alternatif lain dan pada tahapan sebelumnya belum mendapatkan bagian untuk dikerjakan. Keberlamnjutan adalah prinsip yang membatasi kewenangan warga kampung yang mengolah sebidang tanah untuk berkebun. Hak warga tersebut hanyalah hak pkai tanah persekutuan. Hak paka ini dibatasi selamakurun waktu 4-5 tahun mengolah tanah itu sebagai kebun. Setelah lima tahun, tanah dibiarkan menghutan dan pada lima tahun berikutnya, giliran warga lain mengolahnya. Dengan demikianm tertutup peluang untuk dijual ke piha lainnya.


Karolus Koten, dalam diskusi ini mengatakan, sistem ini terancam jebol oleh kebijaka pemerintah di sektor kehutanan. Kebijakan yang menuduh sistem berladang gilir balik sebagai ladang liar dan merusak. Karena itu, petani yang mendapat kesempatan dari Raja Tuan untuk mengolah tanah difasilitasi dengan aneka bibit tanaman kehutanan seperti jambu mente. Setelah petani menanam mente maka, tertutup peluang bagi warga lain untuk mengolahnya karena tanah ladang sudah berubah jadi tanah perkebunan mente milih warga tertentu saja. Kebijakan ini perlahan-lahan mengubah sistem kepemilikan komunal menjadi sistem peroragan.


Dalam sistem komunal ini dikenal pembagian tanah adat ke dalam sejumlah Etang (Kawasan). Dalam setiap etang ada sejumlah newa (bidang tanah pertanian). Setiap suku dalam kampung memiliki hak adat atas sejumlah Newa.


Dalam distribusi kewenangan, Raja Tuan berwenang mengatur tata distribusi untuk Etang. Kewenangan ini termasuk mengontrol keberadaan etang dan menentukan etang mana yang akan dio

1 komentar:

  1. Pak, apa yang penting, asal tanah yang digarap itu tidak disertifikasikan atas nama individu oleh BPN setempat, bukan? Kalau BPN mau bekerja bersama dengan masyarakat adat, baik distribusi maupun pengembangan ekonominya, nah, itu baru mereka berguna untuk rakyat. Jika tidak, tolak saja usul apa pun yang memperlemah masyarakat adat.

    BalasHapus

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.