“Kampanye pemekaran wilayah antara lain dikatakan untuk mendekatkan pelayanan dan pembangunan. Kampanye ini belum terbukti di Lembata walau kabupaten ini telah otonom 10 tahun lebih.”
Deru mesin kapal Lewoleba Karya melintasi selat Watowoko di lereng gunung Boleng. Sesaat kemudian menyeberang merapat ke pantai utara Lembata, sedikit menyamping berhadapan dengan pantai Loang ibu kota kecamatan Nagawutung.
Lalu perlahan merapat menyilang ke pantai Waijarang, perkampungan para pengungsi setelah kerusuhan etnis Ambon dan politik Timor Timur. Kapal pun menyusuri pantai itu.
Panorama alam Lembata yang kuning kerontang dari suguhan gundukan bukit sepanjang Hukum dan Pada, dua kampung di pesisir pantai berbakau lebat namun dilatari semak belukar kuning. Walau bulan Mei 2010 Lembata masih diguyuri hujan, toh wajah kuning padang di sepanjang perbukutan belakang Waijarang, Hukum dan Pada tetap memperlihatkan kekhasan Lembata puluhan tahun silam.
Ketika kapal menyusuri pantai SGB Bungsi Lewoleba, terlihat bangunan Jober yang seolah sedang mempromosikan keberhasilan otonomi di satu-satunya kabupaten pulau di NTT itu. Jober adalah salah satu wajah obsesi pembangunan Bupati Lembata Drs. andreas Duli Manuk yang kini tengah menuai kritik pedas dan agenda politik DPRD Lembata.
Dan .. ketika kapal itu merapat ke pelabuhan Lewoleba, para buruh pelabuhan dan buruh angkutan berhamburan masuk kapal. Mereka membuat suasana semakin sumpek dan tak enak. Salah satu bentuk suguhan SELAMAT DATANG bagi para pengunjung kabupaten pulau ini.
Lalu .. ketika kaki beralih dari kapal dan menjejakkan bumi lembata persis di atas dermaga laut Lewoleba, tampilan kegagalan Otonomi Lembata yang berusia sepuluh tahun ini semakin tak bisa terelakan. Para pengunjung kabupaten Lembata melalui jalur laut langsung disambut oleh tampilan pembangunan infrastruktur yang yang tidak terurus dan terjamah aliran dana pusat yang setiap tahun mencapai ratusan miliar rupiah. Dalam kurun sepuluh tahun mungkin sudah mencapai angka triliunan. Angka yang terbilang sangat besar untuk mengurus sebuah pulau sebesar Lembata yang dalam peta global Indonesia hanya berwujud sebuah nokta kecil.
Dermaga pelabuhan laut Lewoleba ini sudah jebol di beberapa tempat. Jalan keluar dirangkai dengan sejumlah balok kayu yang dipasang seadanya. Menjadi tidak aman dan nyaman bagi para penumpang entah yang datang maupun yang akan peergi.
Lalu ..... dan ..... sarana angkutan rakyat mudah ditemui di pelabuhan ini untuk menuju kota yang berjarak lebih kurang satu kilo meter. Ada jenis mikrolet sebagai angkutan kota dan juga sepeda motor ojek dengan biaya sekali hantar sepuluh ribu rupiah.
Tapi ..... celakanya. Baru selangkah keluar dari areal pelabuhan laut ini, jalan utama kota Lewoleba yang merupakan jalan negara di kabupaten ini luar biasa jeleknya. Ketika coba diingat, pelabuhan laut Lewoleba yang nyris jebol dan tak terurus itu dibangun ketika Lembata masih bergabung dengan Flores Timur, kira-kira pada masa pemerintahan Bupati Simon Petrus Soliwoa di awal tahun 1980-an. Juga jalan yang menghubungkan pelabuhan Lewoleba dengan kota kabupaten itu dibangun sejak Lembata masih bergabung dengan Flores Timur. Ketika Lembata otonom tahun 1999 silam, jalan ini baru sekali direhab oleh penjabat Bupati Lembata Drs. Petrus Boliona Keraf. Lalu apa yang dilakukan Bupati Drs. andreas Duli Manuk selama sembilan tahun menjadi Bupati Lembata? Alam Lembata akan menjawab sendiri. Setiap pengunjung kabupaten ini yang datang dan perghi melalui jalur laut pasti memasuki pelabuhan ini. Sepanjangh jalan dari kota keciul ini menuju pelabuhan dan sebaliknya, puluhan bahkan ratusan lubang terpampang sepanjang jalan. Ketika hujan turun, lubang-lubang sepanjang jalan ini membentuk kolam-kolam kecil.
Catatan-catatan miris yang santer berseliwweran di media-media lokal NTT tentang Lembata pada masa pemerintahan Duli Manuk adalah seputar misteri hangusnya pasar Inpres Lewoleba - apakah sengaja dibakar sebagai alat politik kekuasaan atau terbakar tak sengaja. Semuanya masih misteri hingga saat ini. Juga ambisi aneh yang tak masuk akal untuk MEMPERBANYAK KANTOR BUPATI, pembangunan pasar Pada dan Lamahora menggantikan pasar Inpres Lewoleba yang berujung pada pemaksaan para pedagang Lewoleba menempati kedua pasar ini walau hitungan bisnis tidak menguntungkan, yang kemudian menjadikan Polisi Pamong Praja Lembata seolah sebagai "preman" Pemda mengkriminalisasi para pedagang lokal ini. Lalu ada polemik dan kontroversi panjang dan panas tentang kebijakan pembangunan pertambangan menggandeng investor Merukh ke Lembata yang bersaudara kembar dengan pembangunan Jober di bibir pantai pelabuhan Lewoleba, pembangunan desalinasi air di Ile Ape yang semuanya ini disinyalir sangat kuat dengan aorma korupsi dan nepotisme keluarga para pejabat. Hebatnya Lembata adalah baru berusia belum sepuluh tahun lebih sedikit, ia telah memiliki tiga kantor Bupati. Satu kantor terletak di jantung kota Lewoleba yang ketika masih bergabung dengan Flores Timur merupakan kantor Pembantu Bupati. Lalu pada masa kepemimpinan Petrus Boliona Keraf selaku penjabat Bupati, telah mulai dibangun sebuah kantor Bupati baru bertempat di Lusikawak. Pembangunan belum selesai, Keraf telah diganti. Lalu bupati Manuk sebagai pengganti bukan melanjudkan pembangunan kantor itu tetapi malah mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk membeli tanah dan membangun lagi sebuah kantor di Lamahora. Bangunan di Lusikawak konon menjadi tempat mangkal kawanan kambing milik penduduk setempat. Semua keanehan yang penuh sesak dengan aroma korupsi ini seakan menjadi hal yang masuk akal buat para pejabat di Lembata.
Aroma korupsi dan nepotisme ini merebak kuat di hampir semua instansi pemerintah. Disinyalir ada sejumlah makelar proyek dari lingkaran kekuasaan sering meneror para Kepala Dinas dengan ancaman diberhentikan dari jabatannya jika tidak mengalokasikan proyek untuk pihak tertentu. Yang mencuat ke permukaan adalah kasus tender di Dinas Kelautan Lembata yang dibuka Kepala Dinasnya Ir. Paulus Kedang, MSi dalam sidang pemeriksaan saksi pembunuhan Yohakim Laka Looi Langoday yang melibatkan putri kesayangan bupati Lembata Erni Manuk. Dalam persidangan itu, Paul Kedang mengungkapkan diancam untuk dimutasikan atau dinonjobkan jika tidak mengalokasikan proyek untuk orang tertentu dari lingkaran kekuasaan. Makelar proyek ini katanya dari lingkaran keluarga Bupati.
Kini .... wajah buram pemerintahan Lembata dibawah pimpinan Andreas Duli Manuk semakin kelam kusam ketika proses persidangan kasus pembunuhan Yohakim Langoday memutuskan bahwa Erni Manuk dan kroninya Bambang terbukti sebagai otak yang mengendalikan pembunuhan Yohakim Langoday. Erni sangat hebat dalam hal ini sampai-sampai bisa menggerakkan adik kandung Yohakim atas nama Bedy Langodai sebagai eksekutor lapangan. Luar biasa. Apa yang menjadi kekuatannya? Diduga kekuatan Erni adalah UANG DAN KUASA BAPAKNYA.
Lalu .... kasus ini berbuntut pada tersinggungnya Bupati Lembata Andreas Duli Manuk. Pasalnya, ketika awal kasus ini mencuat dan kecurigaan mengarah ke keterlibatan anaknya, Bupati dengan semangat penuh percaya diri menggelar konferensi pers di ruang kerjanya. Salah satu statementnya saat itu adalah bahwa dia kenal betul anak-anaknya. Karena itu sekecil apapun yang dilakukan anak-anaknya, dia sebagai bapak tahu. Juga dikatakan bahwa kematian Yohakim ada kaitannya dengan tender proyek di Dinas Kelautan kabupaten Lembata.
Lalu ..... kemudian .... pembuktian di persidangan mengatakan Erni Manuk sebagai otak pembunuhan dan juga ada kaitan dengan tender proyek di Dinas Kelautan Lembata. Artinya, Bupati sejak awal tahu keterlibatan anaknya. Namun sebagai pejabat tidak menggunakan jabatannya untuk mencegah perbuatan kriminal ini. Maka Alex Murin dari Aldiras Lembata pada sebuah aksi damai di kota Lewoleba mengatakan agar Bupati diperiksa seputar keterlibatannya dalam kasus pembunuhan Yohakim. Pernyataan Murin ini lahir dari analisis terhadap pernyataan Bupati dalam konferensi pers saat itu.
Terhadap pernyataan aktifis Aldiras Lembata, Bupati merasa tersinggung dan tercemar nama baiknya. Lalu ia mempolisikan aktivis aldiras. Apakah Aldiras menyerang nama baik Bupati? Ataukan nama baik itu sudah tercemar dan tercdoreng ketika proses pemeriksaan perkara kriminal pembunuhan Yohakim Langodai di pengadilan membuktikan bahwa anaknya selaku otak pembunuhan yang menggegerkan Lembata tahun 2009 kemarin? Masih adakah nama baik itu? Mungkin ya, nama baik itu masih ada dan kuat melekat dengan jabatan sebagai Bupati. Tapi di sisi lain ada nama yang tidak baik untuk keluarga Bupati Lembata ketika seorang anaknya ..... anak perempuannya berlaku sadis tak berperikemanusiaan. Pantaskah ia masih mau mencari nama baik dengan mempolisikan kritik atas sebuah nama baik?
Itu di lingkar pemerintahan. Jika merangsek lebih jauh ke pedesaan Lembata, di sana pembangunannya amburadul. Bayangkan. Kota Lewoleba yang setiap hari akrab dan lekat di mata para pejabat saja tidak terurus dengan baik. Kota Lewoleba nyaris jadi kota kumuh dengan sejumlah indikasi praktek amoral di malam hari serta cenderung bertambahnya kasus-kasus HIV AiDs. Lalu bagaimana dengan wilayah kecamatan dan pedesaan?
Setahun yang lalu saya melakukan perjalanan dari Lewoleba menuju Wairiang di Kecamatan Buyasuri dan juga ke Lodoblolong di kecamatan Lebatukan, dua wilayah paling Timur. Tahun ini saya berkunjung ke wilayah selatan di Kecamatan Wulandoni.
Apa yang direkam dalam dua perjalanana ini tentang nampak fisik pembangunan Lembata? Di sepanjang jalan yang dilalui itu ratusan genangan air bertebaran. Kondisi fisik jalan ke desa-desa ini sangat tak sebanding dengan ratusan miliar dana pusat yang dialokasikan setiap tahun ke Lembata. Juga tak sebanding dengan safari para pejabat ke ibu kota Republik dan konsentrasi pembangunan kawasan pemukiman elit yang mulai tumbuh di salah satu kawsan kota Lewoleba. Di kawasan itu, konon ada sejumlah bangunan rumah pejabat yang sangat megah dibandingkan dengan infrastruktur jalan ke desa yang jelek.
Jalan ke Kedang, Lebatukan dan Lamalera di Wulandoni kurang disentuh dalam kurun waktu sembilan tahun otonomi. Jalan ke Kedang dan Lamalera dibangun pada masa penjajahan Jepang dan dilanjudkan ketika Lembata masih bergabung dengan Flores Timur. Jalan ke Lamalera itu pengaspalannya sampai di batas antara desa Belabaja dan desa Puor dilakukan tahun 1991 ketika Flores Timur dipimpin Bupati Iskandar Munthe. Lalu dilanjudkan dari Puor ke Lamalera ketika Petrus Boliona Keraf menjadi penjabat Bupati Lembata dan diteruskan pada awal kepemimpinan bupati Ande Manuk. Selanjudnya wilayah itu seakan terlupakan. Ketika jembatan penyeberangan di kali Sabu Tobo jebol, rakyat berteriak. Lalu dilakukan pembangunan kembali yang katanya dikerjakan oleh seorang anggota DPRD Lembata asal daerah pemilihan itu. Dananya sebesar seratus juta rupiah lebih. Tapi fisik bangunannya adalah menggunakan balok kepala yang diperoleh dengan cara mengolah kurang lebih tiga pohon kelapa seharga tidak lebih dari satu juta rupiah. Kini jembatan yang berusia setahun itu jebol lagi.
Dalam perjalanan terakhir di awal Mei 2010, jalan dari Belabaja ke Puor yang rusak parah itu sudah mulai ditimbuni dengan pasir dan kerikil. Katanya terpaksa dilaksanakan karena pelaksanaan MTQ tahun ini dipusatkan di pantai Selatan tepatnya di desa Leworaja, Wulandoni. Jika tidak pasti tidak terurus.
Dalam perjalanan terakhir di awal Mei 2010, jalan dari Belabaja ke Puor yang rusak parah itu sudah mulai ditimbuni dengan pasir dan kerikil. Katanya terpaksa dilaksanakan karena pelaksanaan MTQ tahun ini dipusatkan di pantai Selatan tepatnya di desa Leworaja, Wulandoni. Jika tidak pasti tidak terurus.
Masih banyak lagi tampilan pembangunan yang tak disentuh selama sembilan tahun Ande Manuk jadi Bupati Lembata. Ada sinisme bahwa jalan ke Ile Ape tempat kelahiran Ande Manuk lebih mulus sementara ke kecamatan Atadei, Nagawutung, Lebatukan, dua kecdamatan di Kedang dianaktirikan walau daerah-daerah itu menjadi kantong produksi ekonomi.
Dan saya ingat, di suatu waktu dalam perjalanan dari Lamalera ke Lewoleba, saya semobil dengan Drs. Petrus Toda Atawolo yang saat itu sedang melakukan riset untuk tersis S2-nya. Dalam percakapan dalam perjalanan itu, Atawolo bilang, “daerah ini (puor-Boto) sangat subur, tapi jalannya jelek. Saya akan tulis itu dalam tesis saya dan akan saya dorong dalam perencanaan pembangunan Lembata”. Setelah selesai S2, Atawolo menduduki jabatan-jabatan penting di Lembata. antaranya sebagai Kepala Bappeda dan kini sebagai Sekda Lembata.
Ternyata sangat mudah orang berjanji sebelum punya jabatan. Setelah ada jabatan semua idealisme terlupakan.
Lembata boleh dibilang GAGAL DALAM OTONOMI DAERAH. Sia-sialah perjuangan menbawa Lembata ke pintu Otonomi. Salah siapa?
Tidak mempersalahkan siapa-siapa. Para pemimpin terutama Bupati sangat bertanggungjawab karena menyia-nyiakan kesempatan dan dana miliaran rupiah untuk membangun Lembata. Rakyat juga salah dalam memilih Bupati. Sebuah ungkapan miris terdengar ketika melakukan perjalanan terakhir ke Lembata: dalam politik, harga rakyat Lembata minimal Rp 5.000 dan maksimal Rp 50.000.-
(Melky Koli Baran)
Otonomi daerah sudah lama masuk kubur di kebanyakan kabupaten di Indonesia. Otonomi daerah malah jadi perisai agar korupsi dan proyek-proyek pemborosan mudah dijalankan. Otoda tak mungkin berjalan dengan baik tanpa kendali dan kontrol langsung dari masyarakat??
BalasHapus