Jumat, 11 Februari 2011

KEDAULATAN PANGAN

(Yang Tercecer Dari Mubes V Petani Flores)

Oleh Melky Koli Baran

“Petani harus berdaulat”. Begitulah seruan yang terus berulang dari para petani. Padahal masih terdengar lantang ceritera tentang petani minta bibit, pupuk bahkan beras yang berlabel “miskin”. Lasim disebut Raskin. Di satu sisi petani mau berdaulat. Tetapi di masih tergantung pada pihak lain. Meneriakkan kedaulatan pangan di tengah gegap gempita bagi-bagi Raskin.


Dua tahun silam, tepatnya 20-22 Oktober 2008 di Labuan Bajo, Manggarai Barat berlangsung Musyawarah Besar (Mubes) IV Petani dan Nelayan se-Flores dan pulau-pulau sekitarnya untuk diskusi hal ini. Masa dua tahun itu telah berlalu. Maka, ketika senja masih tersisa di garis batas Flores Timur dan Sikka, sebuah ritus khas masyarakat Adat komunitas Boru Kedang di gelar di pondok Kelompok PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) di Baologun, bersebelahan dengan Pusat Informasi Pariwisata Flores Timur – bangunan megah yang mubasir. Para peserta Mubes V dari kabupaten-kabupaten Barat Flores diterima.

Petani harus berdaulat. Organisasinya harus kuat. Tema-tema ini yang digumuli pada Mubes V di Hokeng, Flores Timur. Penguatan Organisasi, Kedaulatan Pangan dan Pemasaran menjadi diskusi serius. Mubes V mempertanyakan dan mempersoalkan Kedaulatan petani atas pangan dan pasar. Tema ini penting lantaran dalam banyak hal, petani belum berdaulat.

Cita-cita Mubes V jelas. Petani nelayan mesti berdaulat. Berdaulat atas Pangan. Ini mendesak. Sebab aneh jika menyaksikan petani dari desa pergi mencari pangan ke kota. Berebut beras, sayur dan daging di pasar desa maupun kota dengan sesama yang bukan petani.

Reflkeksi Mubes V memberi peringatan akan kiamatnya pangan dari tangan petani. Semakin kecilnya peluang bagi petani untuk mengembangkan pertanian tanaman pangan karena terjerumus dalam janji-janji pasar yang diageni juga oleh pembangunan sektor pertanian.

Konsep kedaulatan pangan lebih penting dari ketahanan pangan. Sebab ketahanan pangan lebih menyangkut ketersediaan pangan entah di rumah tangga atau di pasar. Pangan yang mengabdi pada pasar dan dikuasai pasar. Sedangkan kedaulatan pangan menyangkut penguasaan langsung pangan oleh komunitas-komunitas sehingga memungkinkan ketersediaan yang berlanjud. Ambruknya kedaulatan pangan seperti direfleksikan di Mubes V merupakan buah dari Revolusi Pertanian, yang di dalamnya termuat revolusi bibit dan revolusi pasar. Dua hal ini cukup menentukan posisi pangan saat ini di tangan petani Flores dan pulau-pulau.


Revolusi Bibit

Revolusi bibit dimulai dengan uji coba laboratorium untuk mendapatkan bibit-bibit unggul dengan tingkat produksi yang tinggi namun membuka peluang bagi tersedianya pembiayaan baru oleh petani. Hadir sebagai sebuah gerakan besar dan meluas ke berbagai pelososk dunia menggunakan kendaraan-kendaraan politik ekonomi dan pembangunan dan dalami kerja sama multi lateral.

Dengan demikian, ada lembaga atau korporasi yang menguasai, menyediakan dan menyalurkan aneka bibit tanaman pangan seperti jagung, padi dan kacang-kacangan serta buah-buahan. Agar korporasi ini bisa efektif maka perlu pasar dan konsumen. Negara kemudian menjadi agen pemasaran bibit milik korporasi penguasa benih dan petanilah pasarnya. Agar pasar ini efektif maka instansi-instansi penting negara yang membidangi pertanian didukung dengan biaya, kewenangan dan jabatan untuk menjadi agen yang mewajibkan petani selaku pasar penjualan bibit. Proses penguasaan benih dan bibit ini yang kemudian mejadikan para petani di komunitas-komunitas sebagai petani tanpa bibit atau benih. Padahal, dari asalnya para petani sudah memiliki dan mewarisi aneka benih dan bibit tanaman pangan yang disebut pangan lokal.

Di setiap musim tanam, para petani ini menunggu kiriman bibit dari pemerintah. Di sana pemerintah juga mengalokasikan uang milik rakyat dalam jumlah yang besar untuk pengadaan bibit oleh para kontraktor. Dalam proses ini ada banyak kasus korupsi melalui manipulasi label dan penggelembungan harga. Perlahan petani meninggalkan bibit pangan lokal milik komunitasnya. Jadilah petani tidak lagi berdaulat atas benih.


Revolusi Pasar dan Industri

Revolusi pasar bermula dari revolusi industri. Sepintas tidak ada hubungan dengan dunia pertanian di kampung terpencil. Namun, suburnya industri di negara-negara maju butuh bahan baku. Maka pertanian menjadi penyedia bahan baku bagi industri.

Pasar bahan baku industri yang bertumbuh subur di berbagai negara cukup signifikan menyumbang bagi keterpurukan kedaulatan pangan di komunitas-komunitas. Petani perlahan menjadi penyedia bahan baku industri sedangkan urusan pangan diserahkan pada pasar. Pertanian di komunitas diarahkan untuk menanam sebanyak-banyaknya tanaman-tanaman kebutuhan industri. Pasar akan diciptakan untuk melayani penukaran hasil-hasil pertanian industri dengan uang. Di sana pasar juga akan menyediakan aneka bahan pangan termasuk yang instan. Maka bertumbuhlah di komunitas-komunitas perkebunan-perkebunan milik petani yang menyediakan bahan mentah industri, seperti kakao, jambu mente dan fanili. Ketika komoditas ini cukup terdepan di Flores, padahal tidak satupun petani Flores yang sehari-hari makan fanili, kakao dan jambu mete. Maka untuk menopang pangan, ketiga komoditi ini harus dijual ke pasar dan dari pasar petani membeli bahan pangan yang bukan lokal.

Pada titik ini, petani Flores sedang menuju ke petani industri atau kasarnya buruh industri yang bekerja untuk pertumbuhan industri melalui penyediaan bahan mentah, dan dari pekerjaannya itu akan diberi imbalan melalui pembelian hasil-hasil bahan baku industri. Petani seperti ini tidak sedang menguasai pangan. Pangan ia akses dari pasar. Jika pertumbuhan industri baik dan pasar aman, maka petani aman. Tetapin jika terjadi fluktuasi harga atau perubahan iklim yang berdampak gagal panen, petani kesulitan membeli pangan di pasar walau di sana tersedia. Jadi ketahanan pangan di pasar tidak menjamin akses dan penguasaan pangan oleh petani.

Tahun ini (2010) oleh perubahan iklim, petani mente pasti keteteran karena pada umumnya mente gagal berbuah. Inilah pengalaman paling riil. Dengan apakah petani mente membeli bahan makanan kalau mentenya gagal berbuah? Satu lagi kedaulatan petani yang hilang setelah bibit yakni pangan. Petani hasil bahan mentah industri seperti jambu mete, kakao dan fanili tidak berdaulat atas pangan.


Konsep Kedaulatan Pangan

Konsep kedaulatan pangan masih baru umurnya (Khudori: 2003). Tahun 1996, ia dikenalkan oleh La Via Campesina, organisasi petani internasional, pada World Food Summit di Roma, Italia. Konsep ini sebagai lawan atas konsep ketahanan pangan yang dikenalkan FAO.

Kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak rakyat untuk menentukan kebijakan dan strategi sendiri atas produksi, distribusi dan konsumsi secara berkelanjutan. Kedaulatan pangan juga wajib menjamin hak atas pangan bagi penduduk dari aras lokal hingga nasional. Karena itu, kedaulatan pangan haruslah menjadi gerakkan kemandirian pangan mulai dari komunitas-komunitas petani setempat. Petani menetukan secara mandiri untuk menanam jenis pangan yang akan dikonsumsi sendiri dan bisa didistribusikan dalam batas-batas relasi komunitas sekitarnya melalui pasar-pasar rakyat di mana kaum perempuan memegang peranan penting mulai dari pemuliaan bibit dan benih, alokasi konsumsi setahun dan distribusi terbatas ke pasar-pasar setempat. Kedaulatan pangan menjadi hak setiap petani untuk memproduksi kebutuhan pokok secara mandiri dan otonom (Khudori). Terbalik dari konsep ketahanan pangan. Justru kedaulatan pangan akan menjamin ketahanan pangan. Ada kedaulatan barulah ada ketahanan atas panga.

Dalam ranah hak, ia adalah hak setiap bangsa dan komunitas petani untuk menentukan pangan apa yang akan dimakan, bagaimana diproduksi dan sebatas mana diproduksi. Sebagai hak, maka kedaulatan pangan di level komunitas petani akan menjadi alat ukur kedaulatan negara dan bangsa. Bagaimana mungkin sebuah bangsa berdaulat jika untuk menjamin pangan bagi bangsanya ia harus mencarinya ke negara lain atau terus menerus bergantung pada kebijakan produksi dan distribusi bangsa lain.

Dari Mubes V petani dan nelayan Flores dan pulau-pulau sekitarnya, gema ini telah disuarakan. Ini semata bukan untuk kepentingan petani tetapi juga untuk kehormatan bangsa jika kita telah sukses berdaulat atas pangan. Tentu dimulai dari berdaulat atas tanah pertanian dan bibit serta benih.

Dari Mubes V petani Flores dan pulau-pulau sekitarnya, aktual terdengar pesan ini: Stop Perdagangan Benih dan Bibit. Stop proyek-proyek pengadaan benih dan bibit. Lakukan kebijakan perlindungan pada benih dan bibil lokal petani Flores dan NTT umumnya. Sebab siapa menguasai benih, ia menguasai pangan.***

(Melky Koli Baran, Penjaga Rumah Belajar Liberty di YPPS, Flores Timur - artikel ini telah dimuat di Harian Umum Flores Pos, 2 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.