Jumat, 11 Februari 2011

KEGADUHAN ORIENTASI



Melky Koli Baran

Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur (Drs. Frans Lebu Raya dan Ir. Eston Foenay, M.Si) di masa kepemimpinannya ini menggantung orientasi pada kesejahteraan rakyat melalui mekanisme dan politik penganggaran daerah. Tiga pilar andalan menjadi lokomotif penggerak kesejahteraan itu. Dua diantaranya berbasis pertanian, yakni Jagung dan Ternak. Satu lagi basis organisasi perekonomian rakyat, yakni koperasi.


Sektor pertanian didorong sambil memperkuat koperasi “petani” sebagai organisasi perekat. Dan lebih khusus lagi, ikon ketahanan ekonomi masa lalu menjadi acuan, yakni jagung dan ternak. Betapa tidak, mayoritas masyarakat NTT berlatarbelakang sebagai petani jagung dan peternak (sapi dll). Dua ikon ini cukup merata ditemukan dalam sejarah interaksi perekonomian masyarakat NTT. Koperasi juga sudah terbukti di masa lalu melalui koperasi kopra (kokop) di Flores dan Koperasi Ternak di Timor.

Apa yang dipotret untuk digapai dalam orientasi pembangunan skala regional NTT ini berpeluang terperangkap ke dalam orientasi pembangunan global. Mengembangkan jagung di NTT dengan basis anggaran untuk rakyat namun proses implementasinya cenderung mengabaikan basis-basis kerakyatan dan basis-basis keselamatan ekologi. Menanam jagung menggunakan bibit-bibit hibrida, rekayasa gen dan bupuk kimia yang berpeluang menyedot anggaran sehingga menafikan gagasan “anggaran untuk kesejahteraan rakyat” dalam bingkai “Anggur Merah” propinsi NTT. Juga berkontribusi nanti pada semakin marginalnya lahan-lahan marginal di NTT oleh penggunaan berlebihan bahan kimia dalam pertanian.

Di lain pihak, membangun propinsi jagung, ternak dan koperasi di NTT merupakan sebuah orientasi pembangunan kerakyatan yang justru berpacu tak seimbang dengan kegaduhan orientasi pembanghunan global yang juga “laris manis” di NTT. Turut didukung kegaduhan berpikir segelintir elit dan menengah enta bisnis, peneliti, politisi bahkan wartawan dan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan.

Salah satu ingar bingar kegaduhan orientasi dan berpikir yang tengah mengemuka di NTT saat ini adalah rencana-rencana pertambangan yang hampir merata di pulau-pulau Flobamora. Pertanyaannya adalah, apakah visi kesejahteraan NTT melalui program Jagung, Ternak dan Koperasi tidak tersandung dan terjerumus ke dalam kegaduhan orientasi yang eksploitatif dengan memilih pertambangan sebagai pilar pengganti lantaran besarnya tantangan mengembangkan pertanian di bumi Flobamora?

Ragu dan Pesimis

Pos Kupang 12 Agustus 2010 menurunkan tulisan Ir. Ignas K. Lidjang, M.Si berjudul Kegaduhan Sekitar Masalah Tambhang. Peneliti Madya Bidang Usaha Pertanian/Ketua Kelompok Pengkaji Sumberdaya Lahan di BPTP NTT- Naibonat ini menyoroti perdebatan seputar ingar bingarnya diskusi tentang rencana-rencana pertambangan di NTT yang rata-rata mendapat perlawanan maha hebat dari elemen-elemen masyarakat sipil (kritis), namun oleh peneliti dari Naibonat ini disinyalir juga berpijak pada mitos-mitos.

Menarik, tulisan tersebut menyentuh orientasi pertanian di NTT. Tampaknya amat sangat pesimis terhadap masa depan pertanian di NTT. Disebutkan, hanya 30 % dari total luas wilayah yang cocok untuk pertanian. Dari total itu, 92 % lahan kering marginal dan hanya 2,6 % lahan irigasi. Hal ini yang juga menjadi salah satu sebab ceritera rawan pangan yang tak berujung.

Di titik ini, orientasi kesejahteraan di NTT di tengah program Anggur Merah seakan menyimpan keraguan pada basis pertanian sebagai andalan. Ketidak pastian curah hujan dan ketidak pastian penghasilan semakin mempertebal keraguan itu. Bahkan peneliti dan sarjana pertanian dari lembaga penelitian pertanian seperti Naibonat ini terkersan mulai ragu. Padahal ada fakta masa lalu, seperti suksesnya petani kelapa di Flores melalui Koperasi Kopra (Kokop) yang mampu mengeksport kopra ke luar daerah, peternak sapi di Timor dan Sumba yang mampu mengantar pulaukan ternaknya, juga petani Soe degan jeruknya.

Masa lalu suksesnya sektor pertanian dan peternakan seakan sulit dijadikan arena belajar bagi para sarjana dan peneliti pertanian. Seakan sulit menjadi media promosi para PPL. Sementara sekolah dan fakultas pertanian laris manis menamatkan para sarjana pertanian setiap tahun. Lalu apa sesungguhnya sumbangan lembaga-lembaga pendidikan pertanian dan para alumninya untuk mengembalikan reralitas sukses pertanian di NTT pada masa lalu?

Di tengah situasi keterpurukan pertanian di NTT saat ini, terbaca ada semacam kegaduhan orientasi. Kegaduhan orientasi ini terbaca agak jelas ketika dalam artikel Pos Kupang 12 Agustus itu memotret visi kesejahteraan dalam konteks realitas NTT yang terpuruk pertaniannya dan kemudian berkompromi dengan industri pertambangan sebagai salah satu solusi kesejahteraan sekaligus jalan keluar menyelesaikan kegaduhan sekitar masalah pertambangan.

Terkesan, sektor pertanian di NTT angkat tangan menyerah pada realitas buruk NTT dan memberi ruang bagi pertambangan. Dengan demikian, masa depan NTT tidak lagi berorientasi pada sektor pertanian dan peternakan tetapi pada pertambangan. Konsekuensinya, pembangunan di NTT akan membutuhkan sarjana, peneliti, ahli dan PPL pertambangan dan bukan lagi pertanian. Sekolah-sekolah pertanian di NTT bisa saja mulai pikir-pikir untuk mengubahnya menjadi sekolah pertambangan. Lebih menjanjikan dan sesuai dengan realitas alam NTT yang kaya kandungan mineral dan bahan tambang lainnya.

Solusi Menuju Petaka

Struktur artikel “Kegaduhan Masalah Pertambangan” dimulai dengan visi, realitas dan solusi. Setelah memaparkan visi kesejahteraan lalu memperlihatkan reralitas NTT yang kurang menguntungkan bagi pengembangan pertanian, pada bagian mencari solusi penulis langsung membahas solusi pertambangan di tengah arus pro dan kontra. Terbaca di sini, terhadap realitas NTT yang kurang menguntungkan bagi pertanian maka pertambangan menjadi pilihan menggapai visi kesejahteraan. Karena itu pada bagian solusi, penulis sedang berbicara kepada para pembaca bahwa program-program pertanian di NTT kurang strategis dibanding pertambangan. Khusus pembaca yang adalah petani juga sedang ditawari sebuah solusi untuk menjadi pemegang saham di pertambangan dan menyerahkan lahan pertanian dan peternakannya sebagai lahan pertambangan. Tawaran dari seorang peneliti pertanian.

Memperhatikan janji-janji pertambangan yang sempat saya baca di beberapa media, mungkin ini solusi instan bagi para petani. Dalam waktu yang singkat petani desa yang sehari-hari berkaki telanjang itu akan berubah instan menjadi pemegang saham, menjadi dewan direksi yang jika pada rapat pemegang saham akan menanggalkan pakaian hariannya dan mengenakan pakaian resmi pemegang saham seperti jas dan dasi. Lalu ketika fase tutup tambang mereka akan kehilangan orientasi hidup. Gagap untuk kembali menjadi petani.

Itu satu hal. Hal lain yang perlu diketahui adalah kelangsungan hidup petani yang akan sangat bergantung pada kelangsungan industri pertambangan serta keterkaitannya dengan politik ekonomi global. Pertanyaannya, aman dan berkelanjutankah jika petani NTT mengubah orientasi hidupnya ke sektor pertambangan?

Menjawab pertanyaan ini, perlu dicek apa sesungguhnya titik aman dan berisiko dari operasi industri pertambangan. Secara sederhana, industri pertambangan merupakan kegiatan yang dilakukan pemilik modal, yang menguntungkan pemilik modal (termasuk petani jika petani menjadi pemegang saham) serta menyisahkan derita berkepanjangan bagi rakyat dan lingkungan hidup. Dalam pelaksanaannya di lapangan, seluruh kegiatan industri pertambangan melewati tahapan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi dan penutupan. Setiap tahapan memiliki karakter risiko dengan tingkatan yang berbeda.

Tahap penyelidikan umum biasanya melahirkan pro - kontra yang menyimpan benih-benih perpecahan di masyarakat, beredar janji-janji manis tentang kesejahteraan yang belum tentu terwujud serta berbgai informasi yang simpang siur dan membingungkan masyarakat.

Pada tahap eksplorasi, risiko sosial meningkat ke terbukanya konflik antar pemilik kepentingan, keberpihakan pemerintah kepada investor menguat dengan alasan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga ia membelakangi rakyatnya, bujuk rayu, intimidasi dan teror-teror mengitari kehidupan masyarakat.

Risiko kehidupan semakin nyata ketika tahapan ini beranjak ke eksploitasi. Di sana penghancuran sumberdaya alam menjadi semakin terbuka, peracunan sumber air bersih, pangan dan sumber-sumber penghidupan masyarakat oleh pembuangan limbah ringan sampai berat yang mengandung B3 (bahan berbahaya beracun), disusul hasil-hasil riset akademis yang cenderung manipulative membela kepentingan industri pertambangan. Konflik horizontal dan vertikal semakin terbuka disertai proses-proses pemiskinan secara sistematis. Pada tahapan ini juga masyarakat seakan dikejutkan oleh hal-hal yang tidak dibayangkan sebelumnya. Segala janji surga pada tahapan penyelidikan umum dan eksplorasi berubah menjadi petaka berkepanjangan. Dampak-dampak buruk pembuangan limbah menjadi konsumsi pahit sehari-hari.

Tambang tidak selamanya kekal dan berkelanjutan. Maka memasuki fase tutup tambang perusahaan akan pergi. Masyarakat termasuk yang menjadi pemegang saham akan tetap tinggal di tempat. Merekalah yang akan menjadi pemilik lokasi bekas tambang yang rusak. Dan secara tiba-tiba, perekonomian menjadi sangat berubah. Peredaran uang menurun drastis. Kelimpahan fasilitas berakhir. Lalu ekonomi lokal terpuruk, jumlah pengangguran mendadak meledak, lingkungan alam menjadi tidak ramah dan tidak produktif karena terlanjur tercemar oleh kandungan logam berat.

Menghadapi situasi sulit ini, beban rakyat semakin berat. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) banyak terkuras untuk membiayai perbaikan lingkungan dan mengurus kemiskinan rakyat sementara perusahaan pergi tak bertanggungjawab. Contoh paling nyata adalah Lapindo. Untuk mengatasi masalah sosial, ekologi dan kemiskinan masyarakat di sekitar Lapindo, anggaran negara dikuras untuk menangani lumpur itu sementara perusahaannya bebas.

Quo Vadis

Tidak diharapkan akan terjadi perubahan orientasi ekonomi di NTT dengan alasan alam dan geografi NTT yang kering dan gersang. Apalagi memilih pertambangan sebagai penggantinya dengan proses persiapan dan advokasi yang sistematis sekalipun. Jika alasannya adalah pertanian di NTT bertumpu pada lahan-lahan marginal, maka solusi cerdas yang harus difasilitasi oleh para sarjana dan ahli pertanian yang didukung rekomendasi-rekomendasi cerdas para penelitinya adalah bagaimana agar di tanah yang gersang dan marginal seperti NTT ini bisa menjadi lahan pertanian yang membanggakan dengan komoditi spesifik.

Adakah permasalahan lahan pertanian di NTT yang marginal ini telah menjadi focus studi dan kemudian dokumen-dokumen studi itu telah pula menjadi agenda pembangunan dan pemberdayaan masyarakat tani NTT. Toh fakta masa silam telah membuktikan bahwa pertanian di NTT diperhitungkan. Suksesnya petani kelapa di Flores bersama Kokop, petani jeruk di Soe dan ternak di Timor adalah guru. Fakta masa lalu dengan masih sangat minimnya ahli, sarjana dan peneliti pertanian di NTT telah sangat membanggakan akan menjadi keheranan saat ini. Keheranan lantaran pertanian NTT terpuruk di tengah melimpahnya para ahli, sarjana, PPL dan peneliti pertanian.

Semuanya ini barangkali berangkat dari kegaduhan orientasi. Kegaduhan orientasi akibat rontoknya keyakinan intelektual lalu terpesona dengan kampanye-kampanye pertambangan. Lalu kalah dan menyerahkan urusan pertanian ke pelaku pertambangan. Oh, quo vadis pertanian NTT. NTT yang gersang butuh petani yang optimis yang juga didukung sarjana, PPL dan peneliti pertanian yang punya orientasi jelas. ***

Melky Koli Baran – Penjaga Rumah Belajar Liberty – YPPS di Flores Timur – Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Pos Kupang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.