Senin, 18 Juli 2011

Benang Kusut Pilkada

Oleh Melky Koli Baran

Di ruang sidang Mahkama Konstitusi (MK). Peserta sidang duduk berderet. Mereka berasal dari kabupaten yang sama. Anehnya, mereka tidak saling bertegur sapa. Suasana dingin dan tegang. Juga terkesan menyelinap kecurigaan di antara mereka. Di antara mereka ada pegawai negeri sipil (PNS). Mereka hadir sebagai saksi sidang sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di daerah asal mereka.
Berbeda dengan pemilihan kepala daerah dalam sistem perwakilan oleh lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ketika seorang kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD pada masa Orde Baru, prosesnya sangat sederhana dan hemat. Tidak ada kampanye terbuka, tidak ada mobilisasi masa, tidak ada tim sukses, tidak ada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), tidak ada sidang sengketa Pilkada di MK dan lain sebagainya. Seluruh proses menjadi kewenangan partai politik. Ketika mandat kepada para wakil rakyat diambil oleh rakyat dalam sistem pemilihan langsung, semuanya menjadi mahal, rumit, sarat masalah dan sengketa. Pertanyaannya, apakah sistem pemilihan langsung oleh rakyat lebih buruk dan karena itu kembali saja ke sistem perwakilan? 
 
Ceritera tentang suasana di ruang sidang MK di mana mereka yang dari kabupaten yang sama tidak saling tegur dalam ekspresi dingin dan tegang merupakan salah satu gambaran dari dampak politik kotor dalam pelaksanaan Pilkada langsung oleh rakyat.
Sesungguhnya pemilihan langsung itu demokratis karena melibatkan partisipasi langsung rakyat pemilih. Rakyat sendiri memutuskan siapa yang layak dipilih dari sejumlah paket calon. Karena itu pula, rakyat juga secara langsung dapat membangun negosiasi politik dengan para calon melalui tim sukses masing-masing maupun tidak langsung melalui kampanye dialogis maupun monologis. Rakyat secara langsung dan bebas aktif membahas berbagai hal tentang para calon, terlibat menelusuri latarbelakang calon dan kemudian secara pribadi maupun kolektif dalam sebuah komunitas memutuskan siapa yang layak dijagokan dan dipilih. 
 
Apa yang seharusnya demokratis dan karena itu positif, ternyata dalam pelaksanaannya menuai masalah, bahkan merusak dan mengotori tatanan sosial masyarakat. Bayangkan saja, para PNS dari daerah yang sama, yang tentu dalam karier birokrasi telah membangun keakraban dan kerja sama harmonis, tiba-tiba menjadi dingin dan tegang seolah tidak saling mengenal hanya karena sama-sama duduk dalam satu ruang sidang sengketa pemilu kada. Praktek buruk politik telah mengotori, merusak tatanan sosial dan dan menodai persaudaraan. Persaudaraan yang rusak ini akan terus menjadi beban korps dan beban sosial. Semuanya ternoda dan tercabik-cabik oleh perilaku tim sukses atau para calon yang memobilisasi partisipasi pemilih yang dapat saja dengan iming-iming jabatan dan peluang jika lolos terpilih.
Selain PNS seperti disebutkan, proses politik Pilkada yang kotor juga telah merusak relasi komunitas-komunitas sedesa atau sekampung, sesuku maupun seprofesi. 
 
Di atas realitas politik Pilkada yang dijalani secara tidak terpuji ini, muncul pertanyaan, mungkinkah sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih baik dibandingkan sisitem pemilihan langsung? Ataukah memang sesungguhnya sisitem pemilihan langsung itu jauh lebih baik hanya saja menjadi buruk karena dikotori oleh para pemainnya demi meraih kemenangan.
Sejauh diamati, ada satu dua perilaku kotor yang merusak. Sangat boleh jadi, perilaku buruk ini bisa melahirkan kesimpulan buruk bahwa rakyat seharusnya diwakili dalam memilih pemimpinnya karena ia sendiri tidak mampu bermain sebagai pemain langsung yang baik.

Politik Uang
Politik uang (meney politics) sudah lama ada. Merupakan salah satu bentuk politik kotor dalam setiap level Pemilu. Pada rejim orde baru, pembicaraan tentang money politics langsung dialamatkan ke partai Golkar. Cornelis Lay dalam wawancara dengan tabloit Detak 11 Agustus 1998 mengatakan, Golkar selalu menggunakan uang sebagai instrument penting untuk mendapatkan dukungan dari berbagai segmen politik (Indra Ismawan: 1999). Hal ini karena saat itu Golkar menjadi kekujatan tunggal.
Ketika hak pilih langsung berada di tangan rakyat, ceritera-ceritera seputar money politics semakin marak, bahkan sangat telanjang. Masyarakat pemilih dimobilisasi untuk mengikuti kampanye akbar dengan bayaran uang, BBM dan nasi bungkus. Di pagi hari menjelang pemilihan, ada juga praktek penghamburan uang yang disebut dengan serangan fajar. Ada juga yang membagi-bagi paket sembako atau pakaian yang di dalam paket itu terselip foto calon dan ajakan untuk mencoblos calon tersebut.
Selain uang, mengalir berbagai bantuan mendadak ke desa tanpa diminta atau diusulkan dari bawah. Kebetulan pucuk pimpinan daerah berasal dari salah satu parpol yang sedang bertarung maka para pejabat pemerintah di tinngkat kabupaten dan propinsi (dimobilisasi) ke daerah-daerah pemilihan menggunakan biaya-biaya kedinasan seperti SPPD. Praktek seperti ini selalu dicarikan argumen pembenarnya. Jika itu dilakukan oleh aparat pemerintah maka disebut program pemberdayaan maasyarakat, program pemandirian desa dan lain sebagainya. Jika itu dilakukan secara langsung oleh partai politik maka itu disebut ongkos politik, biaya kampanye, penguatan partai, pembinaan politik, kaderisasi dan lain sebagainya. 
 
Yusril Ihza Mahendra dalam Jawa Pos 16 Februari 1999 mengatakan money politics adalah upaya memengaruhi massa pemilih dengan imbalan materi. Pelakunya dapat dijerat dengan pasal pidana penyuapan jika terbukti (Indra Ismawan: 1999). Karena masuk kategori pidana penyuapan, maka, money politics merupakan tindakan melawan hukum, dan karena itu juga merupakan kejahatan politik.
Singkatnya, money politics merupakan upaya memengaruhi pemilih atau upaya mendapatkan dukungan pemilih melalui bayaran sejumlah uang, barang atau janji-janji proyek dan jabatan. Praktek jual beli suara dalam proses politik dan kekuasaan seperti ini merambah mulai dari tingkat pemilihan kepala desa hingga presiden. Praktek pemberian uang, barang dan iming-iming kepada pemilih (voters) secara kelompok atau individu dilakukan secara sadar dan terencana dengan target memenangkan pemilihan. Karena itu masuk ketegori perbuatan secara sistematis.

Pertanyaannya, akan jadi apakah jika seorang pemimpin seperti gubernur atau bupati mendapatkan jabatan melalui upaya-upaya politik kotor seperti ini?. Karena money politics itu tindakan pidana kejahatan maka sangat diragukan kualitas moral seorang pemimpin yang mendapatkan jabatan melalui itu. Lebih dari itu, money politics merupakan kejahatan yang merusak tatanan demokrasi.
UU no. 32 tahun 2004 tegas mengatakan, pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Jika pasangan calon dan/atau tim kampanye terbukti melakukan pelanggaran di atas berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPUD (pasl 28).

Keterlibatan Aparat
Selain money politics, pemburukan proses politik juga dilakukan oleh aparat sipil (masa Orba termasuk militer). Secara pribadi, setiap manusia memiliki hak politik, termasuk aparat. Melekat pada mereka hak untuk memilih dan dipilih. Namun posisi sebagai PNS dan aparat yang adalah pelayan pemerintahan dan kemasyarakatan maka dibangun rambu-rambu baginya agar tidak menyalahgunakan tugas pelayanan pemerintahan dan kemasyarakatan untuk kepentingan kelompok atau paket calon tertentu. Pasal 79 UU no. 32 tahun 2004 menegaskan bahwa dalam kampanye dilarang melibatkan hakim pada semua peradilan, pejabat BUMN atau BUMD, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, kepala desa, pegawai negeri sipil, anggota TNI dan Polri.

Fakta di sejumlah daerah yang menuai masalah Pilkada dan berujung di sidang MK cukup signifikan menempatkan aparat sipil di daerah sebagai salah satu penyebab kekisruhan politik daerah. Padahal tegas-tegas UU melarang keterlibatan pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri. Artinya dalam pelaksanaan Pilkada di daerah, aparat sipil di daerah seharusnya menjadi penyelamat demokrasi, bukan perusak demokrasi yang sedang bertumbuh.

Terlibat dan ikut terseretnya sejumlah pejabat struktural di daerah ke persidangan sengketa Pilkada di MK sebagai saksi pelapor dan terlapor semakin membenarkan bahwa para pejabat ini turut menyumbang bagi perusakan demokrasi. Di sejumlah daerah, sengketa Pilkada di MK membeberkan keterlibatan aparat propinsi dan kabupaten dalam upaya memenangkan paket tertentu. Dan celakanya, pelibatan para pejabat ini justru menggunakan fasilitas-fasilitas kedinasan. Para pejabat ini sangat rajin berkunjung ke daerah-daerah atau ke tengah rakyat pada saat-saat menjelang Pilkada. Bahkan ada yang terang-terangan tampil di panggung kampanye.

Perilaku aparat atau pejabat seperti ini bukan saja berkontribusi pada berbagai sengketa pilkada tetapi menunjukkan kotornya kualitas pejabat bersangkutan. Kualitas seorang pejabat turut ditentukan oleh sejauh mana pejabat tersebut menempatkan diri di tengah carut marut politik seperti ini. Sejauh mana ia terlibat dalam menjadikan politik itu semakin bersih atau malah semakin kotor.

Pendidikan Politik Rakyat
Praktek kotor dalam politik seperti pemilihan kepala daerah menjadi semakin subur juga oleh sistem kaderisasi, konsolidasi dan pendidikan politik oleh partai politik. Praktek jual beli suara terjadi justru karena masih besarnya massa pemilih yang tidak terkonsolidasi ke dalam salah satu partai. Mereka adalah massa yang bebas, bukan anggota aktif partai sehingga menjadi sasaran praktek politik kotor entah melalui politik uang atau sasaran bagi-bagi bantuan.

Dengan mengabaikan pendidikan politik secara sistematis oleh partai politik, maka akan semakin sedikit massa rakyat yang terdidik dan kritis berjuang dalam wadah partai. Dengan demikian, semakin besar pula lahan jual beli suara.

Di sini ciri loyalitas dan volatilitas massa partai menjadi faktor penting apakah money politics mendapatkan lahan subur untuk berkembang atau malah sebaliknya menjadi kerdil dan mati. Money politics tidak akan berkembang subur ketika loyalitas massa ke partai politik semakin besar dan kental. Sebaliknya money politics bertumbuh subur ketika loyalitas kalah terhadap volatilitas massa partai.
Karena itu, diskusi tentang bagaimana membangun karakter politik yang bersih sebagai lawan dari politik kotor adalah pendidikan politik oleh partai politik. Setiap partai politik yang telah melakukan konsolidasi hingga ke tingkat desa akan memiliki ukuran kekuatan dalam menghadapi sebuah event politik. Jika memiliki kekuatan maksimum, maka cara-cara kotor seperti bagi-bagi uang dan barang serta pengerahan aparat tidak akan menjadi pilihan memenangkan pertarungan. Sebaliknya partai politik yang hanya membuat gembuk kepengurusan dan administrasi dan lupa melakukan konsolidasi dan pendidikan politik ke masyarakat untuk merebut dan memperbesar anggota partai maka tiba pada tahap pertarungan politik ia akan cemas lalu menggunakan berbagai cara kotor untuk memenangkan pertandingan.

Dari sisi negara, telah mulai dialokasikan dana-dana pembinaan partai. Setiap partai peserta pemilu sampai ke tingkat daerah mendapatkan jatah dari anggaran daerah untuk pembinaan partai. Besaranya sesuai dengan perolehan suara dalam pemilu tarakhir. Jika pengurus partai cerdas mengelola dana ini serta kreatif mengembangan sistem pendanaan internal partai maka sejak awal partai ini sedang turut merancang bangunan politik yang bersih. 
 
Sebab sejauh masih ada mayoritas massa pemilih yang merasa tidak menjadi bagian langsung dari salah satu parpol maka sejauh itu pula praktek-praktek kotor politik seperti jual beli suata, money politik, pengerahan bantuan dan pengerahan aparat akan terus mengotori setiap event politik. Dan sejauh itu pula, perkara sengketa Pilkada terus terjadi dan relasi sosial masyarakat terus terluka. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.