Benang
Kusut Pilkada
Oleh
Melky Koli Baran
Di
ruang sidang Mahkama Konstitusi (MK). Peserta sidang duduk berderet.
Mereka berasal dari kabupaten yang sama. Anehnya, mereka tidak saling
bertegur sapa. Suasana dingin dan tegang. Juga terkesan menyelinap
kecurigaan di antara mereka. Di antara mereka ada pegawai negeri
sipil (PNS). Mereka hadir sebagai saksi sidang sengketa Pemilihan
Kepala Daerah (Pilkada) di daerah asal mereka.
Berbeda
dengan pemilihan kepala daerah dalam sistem perwakilan oleh lembaga
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Ketika seorang kepala daerah
dipilih oleh anggota DPRD pada masa Orde Baru, prosesnya sangat
sederhana dan hemat. Tidak ada kampanye terbuka, tidak ada mobilisasi
masa, tidak ada tim sukses, tidak ada Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD), tidak ada sidang sengketa Pilkada di MK dan lain sebagainya.
Seluruh proses menjadi kewenangan partai politik. Ketika mandat
kepada para wakil rakyat diambil oleh rakyat dalam sistem pemilihan
langsung, semuanya menjadi mahal, rumit, sarat masalah dan sengketa.
Pertanyaannya, apakah sistem pemilihan langsung oleh rakyat lebih
buruk dan karena itu kembali saja ke sistem perwakilan?
Ceritera
tentang suasana di ruang sidang MK di mana mereka yang dari kabupaten
yang sama tidak saling tegur dalam ekspresi dingin dan tegang
merupakan salah satu gambaran dari dampak politik kotor dalam
pelaksanaan Pilkada langsung oleh rakyat.
Sesungguhnya
pemilihan langsung itu demokratis karena melibatkan partisipasi
langsung rakyat pemilih. Rakyat sendiri memutuskan siapa yang layak
dipilih dari sejumlah paket calon. Karena itu pula, rakyat juga
secara langsung dapat membangun negosiasi politik dengan para calon
melalui tim sukses masing-masing maupun tidak langsung melalui
kampanye dialogis maupun monologis. Rakyat secara langsung dan bebas
aktif membahas berbagai hal tentang para calon, terlibat menelusuri
latarbelakang calon dan kemudian secara pribadi maupun kolektif dalam
sebuah komunitas memutuskan siapa yang layak dijagokan dan dipilih.
Apa
yang seharusnya demokratis dan karena itu positif, ternyata dalam
pelaksanaannya menuai masalah, bahkan merusak dan mengotori tatanan
sosial masyarakat. Bayangkan saja, para PNS dari daerah yang sama,
yang tentu dalam karier birokrasi telah membangun keakraban dan kerja
sama harmonis, tiba-tiba menjadi dingin dan tegang seolah tidak
saling mengenal hanya karena sama-sama duduk dalam satu ruang sidang
sengketa pemilu kada. Praktek buruk politik telah mengotori, merusak
tatanan sosial dan dan menodai persaudaraan. Persaudaraan yang rusak
ini akan terus menjadi beban korps dan beban sosial. Semuanya ternoda
dan tercabik-cabik oleh perilaku tim sukses atau para calon yang
memobilisasi partisipasi pemilih yang dapat saja dengan iming-iming
jabatan dan peluang jika lolos terpilih.
Selain
PNS seperti disebutkan, proses politik Pilkada yang kotor juga telah
merusak relasi komunitas-komunitas sedesa atau sekampung, sesuku
maupun seprofesi.
Di
atas realitas politik Pilkada yang dijalani secara tidak terpuji ini,
muncul pertanyaan, mungkinkah sistem pemilihan kepala daerah oleh
DPRD lebih baik dibandingkan sisitem pemilihan langsung? Ataukah
memang sesungguhnya sisitem pemilihan langsung itu jauh lebih baik
hanya saja menjadi buruk karena dikotori oleh para pemainnya demi
meraih kemenangan.
Sejauh
diamati, ada satu dua perilaku kotor yang merusak. Sangat boleh jadi,
perilaku buruk ini bisa melahirkan kesimpulan buruk bahwa rakyat
seharusnya diwakili dalam memilih pemimpinnya karena ia sendiri tidak
mampu bermain sebagai pemain langsung yang baik.
Politik
Uang
Politik
uang (meney politics) sudah lama ada. Merupakan salah satu bentuk
politik kotor dalam setiap level Pemilu. Pada rejim orde baru,
pembicaraan tentang money politics langsung dialamatkan ke partai
Golkar. Cornelis Lay dalam wawancara dengan tabloit Detak 11 Agustus
1998 mengatakan, Golkar selalu menggunakan uang sebagai instrument
penting untuk mendapatkan dukungan dari berbagai segmen politik
(Indra Ismawan: 1999). Hal ini karena saat itu Golkar menjadi
kekujatan tunggal.
Ketika
hak pilih langsung berada di tangan rakyat, ceritera-ceritera seputar
money politics semakin marak, bahkan sangat telanjang. Masyarakat
pemilih dimobilisasi untuk mengikuti kampanye akbar dengan bayaran
uang, BBM dan nasi bungkus. Di pagi hari menjelang pemilihan, ada
juga praktek penghamburan uang yang disebut dengan serangan fajar.
Ada juga yang membagi-bagi paket sembako atau pakaian yang di dalam
paket itu terselip foto calon dan ajakan untuk mencoblos calon
tersebut.
Selain
uang, mengalir berbagai bantuan mendadak ke desa tanpa diminta atau
diusulkan dari bawah. Kebetulan pucuk pimpinan daerah berasal dari
salah satu parpol yang sedang bertarung maka para pejabat pemerintah
di tinngkat kabupaten dan propinsi (dimobilisasi) ke daerah-daerah
pemilihan menggunakan biaya-biaya kedinasan seperti SPPD. Praktek
seperti ini selalu dicarikan argumen pembenarnya. Jika itu dilakukan
oleh aparat pemerintah maka disebut program pemberdayaan maasyarakat,
program pemandirian desa dan lain sebagainya. Jika itu dilakukan
secara langsung oleh partai politik maka itu disebut ongkos politik,
biaya kampanye, penguatan partai, pembinaan politik, kaderisasi dan
lain sebagainya.
Yusril
Ihza Mahendra dalam Jawa Pos 16 Februari 1999 mengatakan money
politics adalah upaya memengaruhi massa pemilih dengan imbalan
materi. Pelakunya dapat dijerat dengan pasal pidana penyuapan jika
terbukti (Indra Ismawan: 1999). Karena masuk kategori pidana
penyuapan, maka, money politics merupakan tindakan melawan hukum, dan
karena itu juga merupakan kejahatan politik.
Singkatnya,
money politics merupakan upaya memengaruhi pemilih atau upaya
mendapatkan dukungan pemilih melalui bayaran sejumlah uang, barang
atau janji-janji proyek dan jabatan. Praktek jual beli suara dalam
proses politik dan kekuasaan seperti ini merambah mulai dari tingkat
pemilihan kepala desa hingga presiden. Praktek pemberian uang, barang
dan iming-iming kepada pemilih (voters) secara kelompok atau individu
dilakukan secara sadar dan terencana dengan target memenangkan
pemilihan. Karena itu masuk ketegori perbuatan secara sistematis.
Pertanyaannya,
akan jadi apakah jika seorang pemimpin seperti gubernur atau bupati
mendapatkan jabatan melalui upaya-upaya politik kotor seperti ini?.
Karena money politics itu tindakan pidana kejahatan maka sangat
diragukan kualitas moral seorang pemimpin yang mendapatkan jabatan
melalui itu. Lebih dari itu, money politics merupakan kejahatan yang
merusak tatanan demokrasi.
UU
no. 32 tahun 2004 tegas mengatakan, pasangan calon dan/atau tim
kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi
lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Jika pasangan calon dan/atau tim
kampanye terbukti melakukan pelanggaran di atas berdasarkan keputusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka dikenai
sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPUD (pasl 28).
Keterlibatan
Aparat
Selain
money politics, pemburukan proses politik juga dilakukan oleh aparat
sipil (masa Orba termasuk militer). Secara pribadi, setiap manusia
memiliki hak politik, termasuk aparat. Melekat pada mereka hak untuk
memilih dan dipilih. Namun posisi sebagai PNS dan aparat yang adalah
pelayan pemerintahan dan kemasyarakatan maka dibangun rambu-rambu
baginya agar tidak menyalahgunakan tugas pelayanan pemerintahan dan
kemasyarakatan untuk kepentingan kelompok atau paket calon tertentu.
Pasal 79 UU no. 32 tahun 2004 menegaskan bahwa dalam kampanye
dilarang melibatkan hakim pada semua peradilan, pejabat BUMN atau
BUMD, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, kepala
desa, pegawai negeri sipil, anggota TNI dan Polri.
Fakta
di sejumlah daerah yang menuai masalah Pilkada dan berujung di sidang
MK cukup signifikan menempatkan aparat sipil di daerah sebagai salah
satu penyebab kekisruhan politik daerah. Padahal tegas-tegas UU
melarang keterlibatan pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan
negeri. Artinya dalam pelaksanaan Pilkada di daerah, aparat sipil di
daerah seharusnya menjadi penyelamat demokrasi, bukan perusak
demokrasi yang sedang bertumbuh.
Terlibat
dan ikut terseretnya sejumlah pejabat struktural di daerah ke
persidangan sengketa Pilkada di MK sebagai saksi pelapor dan terlapor
semakin membenarkan bahwa para pejabat ini turut menyumbang bagi
perusakan demokrasi. Di sejumlah daerah, sengketa Pilkada di MK
membeberkan keterlibatan aparat propinsi dan kabupaten dalam upaya
memenangkan paket tertentu. Dan celakanya, pelibatan para pejabat ini
justru menggunakan fasilitas-fasilitas kedinasan. Para pejabat ini
sangat rajin berkunjung ke daerah-daerah atau ke tengah rakyat pada
saat-saat menjelang Pilkada. Bahkan ada yang terang-terangan tampil
di panggung kampanye.
Perilaku
aparat atau pejabat seperti ini bukan saja berkontribusi pada
berbagai sengketa pilkada tetapi menunjukkan kotornya kualitas
pejabat bersangkutan. Kualitas seorang pejabat turut ditentukan oleh
sejauh mana pejabat tersebut menempatkan diri di tengah carut marut
politik seperti ini. Sejauh mana ia terlibat dalam menjadikan politik
itu semakin bersih atau malah semakin kotor.
Pendidikan
Politik Rakyat
Praktek
kotor dalam politik seperti pemilihan kepala daerah menjadi semakin
subur juga oleh sistem kaderisasi, konsolidasi dan pendidikan politik
oleh partai politik. Praktek jual beli suara terjadi justru karena
masih besarnya massa pemilih yang tidak terkonsolidasi ke dalam salah
satu partai. Mereka adalah massa yang bebas, bukan anggota aktif
partai sehingga menjadi sasaran praktek politik kotor entah melalui
politik uang atau sasaran bagi-bagi bantuan.
Dengan
mengabaikan pendidikan politik secara sistematis oleh partai politik,
maka akan semakin sedikit massa rakyat yang terdidik dan kritis
berjuang dalam wadah partai. Dengan demikian, semakin besar pula
lahan jual beli suara.
Di
sini ciri loyalitas dan volatilitas massa partai menjadi faktor
penting apakah money politics mendapatkan lahan subur untuk
berkembang atau malah sebaliknya menjadi kerdil dan mati. Money
politics tidak akan berkembang subur ketika loyalitas massa ke partai
politik semakin besar dan kental. Sebaliknya money politics bertumbuh
subur ketika loyalitas kalah terhadap volatilitas massa partai.
Karena
itu, diskusi tentang bagaimana membangun karakter politik yang bersih
sebagai lawan dari politik kotor adalah pendidikan politik oleh
partai politik. Setiap partai politik yang telah melakukan
konsolidasi hingga ke tingkat desa akan memiliki ukuran kekuatan
dalam menghadapi sebuah event politik. Jika memiliki kekuatan
maksimum, maka cara-cara kotor seperti bagi-bagi uang dan barang
serta pengerahan aparat tidak akan menjadi pilihan memenangkan
pertarungan. Sebaliknya partai politik yang hanya membuat gembuk
kepengurusan dan administrasi dan lupa melakukan konsolidasi dan
pendidikan politik ke masyarakat untuk merebut dan memperbesar
anggota partai maka tiba pada tahap pertarungan politik ia akan cemas
lalu menggunakan berbagai cara kotor untuk memenangkan pertandingan.
Dari
sisi negara, telah mulai dialokasikan dana-dana pembinaan partai.
Setiap partai peserta pemilu sampai ke tingkat daerah mendapatkan
jatah dari anggaran daerah untuk pembinaan partai. Besaranya sesuai
dengan perolehan suara dalam pemilu tarakhir. Jika pengurus partai
cerdas mengelola dana ini serta kreatif mengembangan sistem pendanaan
internal partai maka sejak awal partai ini sedang turut merancang
bangunan politik yang bersih.
Sebab
sejauh masih ada mayoritas massa pemilih yang merasa tidak menjadi
bagian langsung dari salah satu parpol maka sejauh itu pula
praktek-praktek kotor politik seperti jual beli suata, money politik,
pengerahan bantuan dan pengerahan aparat akan terus mengotori setiap
event politik. Dan sejauh itu pula, perkara sengketa Pilkada terus
terjadi dan relasi sosial masyarakat terus terluka. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.