Quo
Vadis Lembata
Oleh Melky Koli Baran
Saat ini kabupaten Lembata sedang siap
memasuki Pemilu Kada (Pilkada) putaran kedua. Paket jagoan Golkar dan
PDIP yang lolos ke putaran kedua ini. Golkar mengusung moto “Untuk
Lembata Yang Lebih Baik” sedangkan PDIP populer dengan sebutan
“Lembata Baru”. Lembata yang Baru tentulah Lembata yang Lebih
Baik dari hari ini. Dan Lembata yang Lebih Baik dari hari ini adalah
Lembata yang Baru, yang tentunya jauh berbeda dengan Lembata 10 tahun
silam. Artinya, selama sepuluh tahun otonomi setelah pisah dari
Flores Timur Lembata masih tetap Lembata yang Lama dan karena itu
belum menjadi Lembata yang Lebih Baik.
Ceritera Pembelajaran
Masa sepuluh tahun meninggalkan
berbagai ceritera pembelajaran untuk membangun Lembata menuju Lembata
Baru yang tentu Lebih Baik. Tentang Lembata sepuluh tahun berlalu ada
berbagai ceritera pembelajaran yang dipungut dari fakta-fakta
kehidupan pengalaman masyarakat Lembata.
Pertama: Infrastruktur jalan yang
jelek. Dalam satu perjalanan dari kecamatan Wulandoni ke
Lewoleba terekam ceritera ini. Selepas desa Puor dan memasuki desa
Keluang Belabaja, guncangan mobil mulai tidak beraturan. Para
penumpang terguncang-guncang melewati jalanan yang rusak,
berlubang-lubang dan berdebu. Terakhir jalur jalan ini dibangun tahun
1991 pada masa Bupati H.I. Munthe di Flores Timur. Selama otonomi
jalur ini belum diurus. Jalan yang membentang dari desa Keluang
Belabaja hingga Lewoleba rusak parah. Di musim hujan ribuan kolam
pekat terhampar sepanjang lajan ini. Sama halnya dengan ruas jalan
jurusan Kedang, Lebatukan dan Atadei. Ketika melewati jalur Lewoleba
- Kedang tiga tahun silam, seorang penumpang yang baru pertama kali
ke Lembata berkomentar bahwa kolam-kolam berlumpur sepanjang jalan
itu bisa digunakan untuk ternak ikan lele. Karena itu sebaiknya jalan
ini diurus Dinas Kelautan dan Perikanan. Ceritera dan komentar polos
bernuansa kecewa dan putus asa. Infrastruktur jalan sungguh tak
terurus dibandingkan kabupaten-kabupaten lain. Belum lagi mutu jalan.
Pernah penulis mendaki ke pedalaman Lebatukan. Jalan menuju
Lodoblolong saat itu sedang diaspal. Namun sebelum pekerjaan itu
selesai ada bagian yang mulai terkelupas.
Kedua: BBM langka. Masih dalam
perjalanan dari kecamatan Wulandoni. Memasuki desa Puor sekitar pukul
03.30 perkampungan di lereng gunung Labalekan itu gelap gulita.
Padahal beroperasi di sini Perusahaan Listrik Desa. Lalu muncullah
ceritera ini. Seorang penumpang berceritera bahwa sudah beberapa
pekan terakhir PLTD di Lamalera dan Puor tidak beroperasi karena
solar (BBM) habis. Ini juga ceritera pilu. Sebab beberapa saat yang
lalu terjadi polemik di media tentang pembangunan Jober (Join
Bersama) Pertamina di Lembata untuk menjaga ketersediaan BBM karena
kabupaten ini merupakan kabupaten pulau. Jober merupakan fasilitas
Pertamina yang tidak mudah dijumpai di berbagai tempat. Sangat
terbatas. Join Bersama antara Pemda, Pertamina dan Kementrian
Sumberdaya Mineral untuk membangun pangkalan minyak di suatu wilayah
karena wilayah itu selain jauh dari komunikasi angkutan BBM tetapi di
sana tersedia aset-aset penting negara yang akan bermasalah jika
terjadi kelangkaan BBM, seperti sentra industri, pertambangan dll.
Mungkin saja Lembata itu kabupaten pulau dan ada rencana pertambangan
emas maka Jober dibangun dengan biaya tidak sedikit. Minimal menjamin
ketersediaan BBM. Namun ironisnya, setelah miliaran rupiah terkuras
untuk membangun Jober, masih ada kampung yang diliputi kegelapan
karena ketiadaan BBM. Hal ini karena fasilitas Jober itu masih belum
berfungsi. Katanya sedang bermasalah. Ujung-ujungnya rakyat yang
menderita.
Ketiga: Air Bersih. Lembata
selalu punya masalah ketersediaan ari bersih di beberapa tempat.
Misalnya di kecamatan Ile Ape. Selama sepuluh tahun otonomi, belum
terlihat upaya yang jelas untuk mengubah keadaan ini. Di kecamatan
Ile Ape dibangun proyek penyulingan air laut menjadi air tawar. Lalu
media lokal di NTT pernah melansir perdebatan di DPRD Lembata tentang
kuaalitas bangunannya yang ujung-ujungnya pihak eksekutif selaku
pengelola berdalih bahwa kerusakan itu terjadi karena gelombang
pasang. Salah urus oleh manusia tetapi alam yang disalahkan.
Keempat: penataan kota Lewoleba.
Ketika kampanye Pemilu Kada beberapa saat lalu, datanglah Rano Karno,
jurkam Pusat PDIP ke Lembata. Seorang teman berceritera, saat itu
Rano Karno dari Bandara menuju Lewoleba. Ketika dari bandara
melintasi kota dan memasuki pemukiman Pada, ia bertanya, “apakah
kota Lewoleba masih jauh?” Padahal ia telah melewati jalan protokol
di depan kantor Bupati tetapi tidak tahu bahwa itu adalah kaawasan
kota. Aneh tapi nyata. Bukan saja Rano Karno yang bertanya demikian.
Setiap orang yang baru pertama kali ke Lewoleba akan melontarkan
pertanyaan yang sama. Ini artinya selama sepuluh tahun wajah
pemukiman Lewoleba gagal dibangun untuk menampilkan wajah sebuah kota
kabupaten. Jika ke Lembata melalui jalur laut, setiap orang akan
disuguhi kerusakan infrastruktur kota mulai dari atas dermaga laut
yang retak dan jebol di beberapa bagian. Lalu jalan berdebu dan
berlubang menjadi kenyataan yang wajib diakrabi menuju kota. Dari
pelabuhan, jalan yang ditata dalam dua jalur sepuluh tahun silam itu
berdebu, retak dan berlubang. Demikian pula lorong dan jalan dalam
kota yang telah disediakan sebelum otonomi itu masih belum diurus.
Pasar Lewoleba yang menjadi pusat perdagangan tradisional juga masih
misterius antara dibakar demi isu politik atau terbakar. Anggota DPRD
Lembata Yakobus Liwa pernah bilang pasar itu dibakar, bukan terbakar.
Karena itu, para pedagang berjualan di sembarang tempat dan menjadi
obyek kejaran Pol PP. Bukti tata kota yang amburadul dan tak
berwibawa.
Masih banyak ceritera yang patut
dijadikan pelajaran bagi Paket Titen Herman Loli Wutun-Viktus Murin
dan paket Lembata Baru Yence Sunur-Viktor Mado Watun. Siapapun yang
memenangkan pertarungan putaran kedua harus bisa mengubah
ceritera-ceritera duka ini. Dengan demikian terjawablah apa yang
dikampanyekan tentang “Lembata Baru” yang adalah “Lembata yang
Lebih Baik” atau Lembata yang Lebih Baik adalah Lembata yang Baru.
Jika tidak maka rakyat Lembata akan belajar sekali lagi tentang
pembohongan.
Pendekatan Pembangunan
Membangun Lembata Baru atau Lembata
yang Lebih Baik sangat tergantung pada pendekatan pembangunan selama
lima tahun ke depan yang dipilih. Pilihan itu juga teramat sangat
dipengaruhi oleh proses politik suksesi ini. Jika suksesi yang
sekarang berjalan dalam kekotoran, maka pendekatan pembangunan yang
dipilihpun penuh dengan beban-beban utang politik pada pihak lain di
luar kepentingan rakyat Lembata. Politik pembangunan bisa menjadi
transaksi balas jasa bukan kepada rakyat Lembata yang telah
memberikan suara tetapi pada pihak lain yang berada jauh di luar
kontrol rakyat Lembata termasuk kontrol DPRD sendiri.
Ceritera-ceritera liar dan kasat mata
tentang ongkos politik yang teramat sangat besar kemudian memunculkan
pertanyaan, siapakah yang berada di balik mahal dan menggunungnya
ongkos politik itu? Apa kepentingan dia dengan segala pembiayaan yang
teramat melangit? Lalu apa yang akan dia panen jika figur yang
dibiayai itu lolos?
Siapapun dia dan apapun maunya, dalam
pelaksanaan pembangunan telah ada format yang dipayungi sederet
regulasi tentang pembangunan di daerah otonom. Ada sekurangnya tiga
elemen yang berkepentingan dan bermain dalam sistem ini. Mereka
adalah politisi lokal, bisnis dan rakyat.
Yang kelihatan kasat mata dalam proses
Pilkada adalah politisi dan rakyat. Para politisi melakukan seleksi
calon dan menetapkan calon untuk diusung. Selanjudnya para calon
dibawa ke tengah rakyat untuk diperkenalkan saat sosialisasi paket
calon dan kampanye. Golkar menggunakan metode survey calon mendahului
penetapan. Setelah proses ini selesai sesuai tahapan yang telah
ditetapkan KPUD, maka gilirannya rakyat memilih paket yang dipercaya.
Lantas di manakah kelompok bisnis?
Permainan kelompok ini biasanya tidak jelas di mata publik namun
profesional dalam mengembangkan loby dan pendekatan menggalang
logistik dan pendanaan. Membentuk semacam korporasi bisnis bayangan
mengkawal para calon. Kelompok ini yang selama ini diduga menyiapkan
berbagai ongkos politik.
Kelompok politisi, rakyat dan bisnis
merupakan tiga elemen penting yang sangat diperlukan untuk
menggerakkan mesin suksesi seperti Pilkada. Omong kosong jika
mengatakan bahwa perjuangan murni politisi berbasis pada rakyat untuk
memenangkan pertarungan. Sekecil apapun aktivitas, perlu logistik.
Dan ketika kelompok politisi dan rakyat tidak menguasai logistik maka
harus berkompromi dengan pemegang modal yakni para pebisnis. Dari
sanalah mobilisasi logistik mulai berjalan. Semuanya bisa saja
berjalan lancar maupun rumit, namun tak satupun yang terpantau oleh
rakyat. Dan lebih celaka lagi jika rakyat yang masih terus mengambang
ini mau juga menerima hamburan uang dan barang pada masa kampanye.
Hal ini bukan lagi rahasia. Praktek money politick berupa bagi uang
dan barang atas nama pembangunan maupun cinta kasih menjadi sangat
akrab dalam proses Pilkada.
Selain ketiga elemen ini, masih ada
satu kelompok strategis yakni birokrat. Oleh UU kelompok ini disuruh
netral tetapi punya hak politik untuk memilih. Namun jangan lupa,
kelompok birokrat yang pada msa Orde Baru menjadi kekuatan Golkar itu
berada di bawah bayang-bayang elit politik kabupaten, propinsi dan
pusat dalam figur seorang Bupati, Gubernur ata presiden yang sedang
memerintah. Kecelakaan berikut muncul di sini jika pak Gubernur atau
Butapi yang sedang berkuasa tidak bisa membedakan posisinya sebagai
“PNS” dan pengayom proses Pilkada atau pengurus maupun ketua
Partai. Dengan atribut kebesaran sebagai Gubernur dan Bupati ia
memberi bantuan kepada rakyat pada masa kampanye atau persiapan
kampanye, tetapi di baliknya terselip atribut partai yang sulit
dihindari. Terkadang jabatan sebagai bupati/gubernur dan kedua partai
dipandang sebagai kekuatan sekaligus peluang.
Dalam konteks Lembata lima tahun ke
depan, keempat elemen ini sangat berpengaruh. Namun yang akan lebih
kuat menentukan ke mana arah kemudi pembangunan Lembata lima tahun
justru bukan pada politisi lokal dan rakyat. Sangat boleh jadi ada
pada tangan konglomerasi bisnis yang terkonsolidasi selama proses
Pilkada berlangsung atau elit politik di propinsi dan pusat. Dengan
demikian, mekanisme pembangunan mulai dari penyusunan rencana
pembangunan, penganggaran, pembahasan di DPRD sampai pada lelang dan
tender proyek-proyek APBD maupun APBN di daerah akan sangat
dipengaruhi oleh kekuatan kelompok bisnis dan elit politik propinsi
dan pusat.
Di titik inilah, seroang bupati di
sebuah daerah otonom walau secara politik memiliki kekuatan yang
terlegitimasi oleh rakyat namun dalam hal tekhnis pengelolaan
pembangunan ia terbebani oleh kuatnya bisikan paran kawan dan sahabat
dari kelompok bisnis dan elit politik yang telah berjasa
meloloskannya sebagai pemenang. Jadilah dia seorang “Bupati
Boneka”.
Nuansa ini menjadi topik kasak kusuk
di masyarakat Lembata memasuki Pilklada putaran dua. Peta para
kontraktor, pebisnis, pedagang mulai dihitung sebarannya pada dua
paket ini. Terpetakan menjadi tiga kelompok. Ada yang katanya berada
di paket A dan ada yang di paket B. Lalu ada juga abu-abu. Tidak
jelas di A atau B. Tetapi yang pasti, bermain dua kaki. Siang di A
dan malam di B.
Peta permainan seperti inilah yang
akan sangat mempengaruhi pendekatan pembangunan. Apakah pendekatan
pembangunan mulai dari perencanaan sampai pelaksanana berjalan secara
sentralistrik top down atau kerakyatan botton up, tetaplah kelompok
yang berjasah dalam proses Pilkada yang turut mengendalikan. Semakin
dasyat jika elit politik propinsi juga minta jatah.
Karena itu, Lembata lima tahun ke
depan menjadi Lembata yang Baru yang akan Lebih Baik, sangat
ditentukan oleh warnah warni politik Pilkada itu sendiri di tangan
empat elemen tadi: politisi lokal, rakyat, bisnis dan elit politik
propinsi atau pusat. Di titik inilah sebetulnya analisis risiko dapat
menjadi acuan dalam menentukan siapakah yang layak menjadikan Lembata
ke depan Baru dan Lebih Baik. Kalau ada yang berisiko mengkianati
rakyat maka dia tetap dihormati tetapi sebaiknya tidak dipilih. Jika
dua-duanya berisiko maka pilihlah yang punya risiko kecil membuat
Lembata gagal lagi lima tahun ke depan. Siapa yang bermain uang dan
program pembangunan dalam proses Pilkada akan mempermainkan uang
dana-dana pembangunan. Tetapi rakyat pemilih yang cerdas akan
“Menerima Uangnya dan Melupakan Orangnya”.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.