Senin, 18 Juli 2011


Quo Vadis Lembata

Oleh Melky Koli Baran

Saat ini kabupaten Lembata sedang siap memasuki Pemilu Kada (Pilkada) putaran kedua. Paket jagoan Golkar dan PDIP yang lolos ke putaran kedua ini. Golkar mengusung moto “Untuk Lembata Yang Lebih Baik” sedangkan PDIP populer dengan sebutan “Lembata Baru”. Lembata yang Baru tentulah Lembata yang Lebih Baik dari hari ini. Dan Lembata yang Lebih Baik dari hari ini adalah Lembata yang Baru, yang tentunya jauh berbeda dengan Lembata 10 tahun silam. Artinya, selama sepuluh tahun otonomi setelah pisah dari Flores Timur Lembata masih tetap Lembata yang Lama dan karena itu belum menjadi Lembata yang Lebih Baik.


Ceritera Pembelajaran
Masa sepuluh tahun meninggalkan berbagai ceritera pembelajaran untuk membangun Lembata menuju Lembata Baru yang tentu Lebih Baik. Tentang Lembata sepuluh tahun berlalu ada berbagai ceritera pembelajaran yang dipungut dari fakta-fakta kehidupan pengalaman masyarakat Lembata.
Pertama: Infrastruktur jalan yang jelek. Dalam satu perjalanan dari kecamatan Wulandoni ke Lewoleba terekam ceritera ini. Selepas desa Puor dan memasuki desa Keluang Belabaja, guncangan mobil mulai tidak beraturan. Para penumpang terguncang-guncang melewati jalanan yang rusak, berlubang-lubang dan berdebu. Terakhir jalur jalan ini dibangun tahun 1991 pada masa Bupati H.I. Munthe di Flores Timur. Selama otonomi jalur ini belum diurus. Jalan yang membentang dari desa Keluang Belabaja hingga Lewoleba rusak parah. Di musim hujan ribuan kolam pekat terhampar sepanjang lajan ini. Sama halnya dengan ruas jalan jurusan Kedang, Lebatukan dan Atadei. Ketika melewati jalur Lewoleba - Kedang tiga tahun silam, seorang penumpang yang baru pertama kali ke Lembata berkomentar bahwa kolam-kolam berlumpur sepanjang jalan itu bisa digunakan untuk ternak ikan lele. Karena itu sebaiknya jalan ini diurus Dinas Kelautan dan Perikanan. Ceritera dan komentar polos bernuansa kecewa dan putus asa. Infrastruktur jalan sungguh tak terurus dibandingkan kabupaten-kabupaten lain. Belum lagi mutu jalan. Pernah penulis mendaki ke pedalaman Lebatukan. Jalan menuju Lodoblolong saat itu sedang diaspal. Namun sebelum pekerjaan itu selesai ada bagian yang mulai terkelupas.
Kedua: BBM langka. Masih dalam perjalanan dari kecamatan Wulandoni. Memasuki desa Puor sekitar pukul 03.30 perkampungan di lereng gunung Labalekan itu gelap gulita. Padahal beroperasi di sini Perusahaan Listrik Desa. Lalu muncullah ceritera ini. Seorang penumpang berceritera bahwa sudah beberapa pekan terakhir PLTD di Lamalera dan Puor tidak beroperasi karena solar (BBM) habis. Ini juga ceritera pilu. Sebab beberapa saat yang lalu terjadi polemik di media tentang pembangunan Jober (Join Bersama) Pertamina di Lembata untuk menjaga ketersediaan BBM karena kabupaten ini merupakan kabupaten pulau. Jober merupakan fasilitas Pertamina yang tidak mudah dijumpai di berbagai tempat. Sangat terbatas. Join Bersama antara Pemda, Pertamina dan Kementrian Sumberdaya Mineral untuk membangun pangkalan minyak di suatu wilayah karena wilayah itu selain jauh dari komunikasi angkutan BBM tetapi di sana tersedia aset-aset penting negara yang akan bermasalah jika terjadi kelangkaan BBM, seperti sentra industri, pertambangan dll. Mungkin saja Lembata itu kabupaten pulau dan ada rencana pertambangan emas maka Jober dibangun dengan biaya tidak sedikit. Minimal menjamin ketersediaan BBM. Namun ironisnya, setelah miliaran rupiah terkuras untuk membangun Jober, masih ada kampung yang diliputi kegelapan karena ketiadaan BBM. Hal ini karena fasilitas Jober itu masih belum berfungsi. Katanya sedang bermasalah. Ujung-ujungnya rakyat yang menderita.
Ketiga: Air Bersih. Lembata selalu punya masalah ketersediaan ari bersih di beberapa tempat. Misalnya di kecamatan Ile Ape. Selama sepuluh tahun otonomi, belum terlihat upaya yang jelas untuk mengubah keadaan ini. Di kecamatan Ile Ape dibangun proyek penyulingan air laut menjadi air tawar. Lalu media lokal di NTT pernah melansir perdebatan di DPRD Lembata tentang kuaalitas bangunannya yang ujung-ujungnya pihak eksekutif selaku pengelola berdalih bahwa kerusakan itu terjadi karena gelombang pasang. Salah urus oleh manusia tetapi alam yang disalahkan.
Keempat: penataan kota Lewoleba. Ketika kampanye Pemilu Kada beberapa saat lalu, datanglah Rano Karno, jurkam Pusat PDIP ke Lembata. Seorang teman berceritera, saat itu Rano Karno dari Bandara menuju Lewoleba. Ketika dari bandara melintasi kota dan memasuki pemukiman Pada, ia bertanya, “apakah kota Lewoleba masih jauh?” Padahal ia telah melewati jalan protokol di depan kantor Bupati tetapi tidak tahu bahwa itu adalah kaawasan kota. Aneh tapi nyata. Bukan saja Rano Karno yang bertanya demikian. Setiap orang yang baru pertama kali ke Lewoleba akan melontarkan pertanyaan yang sama. Ini artinya selama sepuluh tahun wajah pemukiman Lewoleba gagal dibangun untuk menampilkan wajah sebuah kota kabupaten. Jika ke Lembata melalui jalur laut, setiap orang akan disuguhi kerusakan infrastruktur kota mulai dari atas dermaga laut yang retak dan jebol di beberapa bagian. Lalu jalan berdebu dan berlubang menjadi kenyataan yang wajib diakrabi menuju kota. Dari pelabuhan, jalan yang ditata dalam dua jalur sepuluh tahun silam itu berdebu, retak dan berlubang. Demikian pula lorong dan jalan dalam kota yang telah disediakan sebelum otonomi itu masih belum diurus. Pasar Lewoleba yang menjadi pusat perdagangan tradisional juga masih misterius antara dibakar demi isu politik atau terbakar. Anggota DPRD Lembata Yakobus Liwa pernah bilang pasar itu dibakar, bukan terbakar. Karena itu, para pedagang berjualan di sembarang tempat dan menjadi obyek kejaran Pol PP. Bukti tata kota yang amburadul dan tak berwibawa.
Masih banyak ceritera yang patut dijadikan pelajaran bagi Paket Titen Herman Loli Wutun-Viktus Murin dan paket Lembata Baru Yence Sunur-Viktor Mado Watun. Siapapun yang memenangkan pertarungan putaran kedua harus bisa mengubah ceritera-ceritera duka ini. Dengan demikian terjawablah apa yang dikampanyekan tentang “Lembata Baru” yang adalah “Lembata yang Lebih Baik” atau Lembata yang Lebih Baik adalah Lembata yang Baru. Jika tidak maka rakyat Lembata akan belajar sekali lagi tentang pembohongan.

Pendekatan Pembangunan
Membangun Lembata Baru atau Lembata yang Lebih Baik sangat tergantung pada pendekatan pembangunan selama lima tahun ke depan yang dipilih. Pilihan itu juga teramat sangat dipengaruhi oleh proses politik suksesi ini. Jika suksesi yang sekarang berjalan dalam kekotoran, maka pendekatan pembangunan yang dipilihpun penuh dengan beban-beban utang politik pada pihak lain di luar kepentingan rakyat Lembata. Politik pembangunan bisa menjadi transaksi balas jasa bukan kepada rakyat Lembata yang telah memberikan suara tetapi pada pihak lain yang berada jauh di luar kontrol rakyat Lembata termasuk kontrol DPRD sendiri.
Ceritera-ceritera liar dan kasat mata tentang ongkos politik yang teramat sangat besar kemudian memunculkan pertanyaan, siapakah yang berada di balik mahal dan menggunungnya ongkos politik itu? Apa kepentingan dia dengan segala pembiayaan yang teramat melangit? Lalu apa yang akan dia panen jika figur yang dibiayai itu lolos?
Siapapun dia dan apapun maunya, dalam pelaksanaan pembangunan telah ada format yang dipayungi sederet regulasi tentang pembangunan di daerah otonom. Ada sekurangnya tiga elemen yang berkepentingan dan bermain dalam sistem ini. Mereka adalah politisi lokal, bisnis dan rakyat.
Yang kelihatan kasat mata dalam proses Pilkada adalah politisi dan rakyat. Para politisi melakukan seleksi calon dan menetapkan calon untuk diusung. Selanjudnya para calon dibawa ke tengah rakyat untuk diperkenalkan saat sosialisasi paket calon dan kampanye. Golkar menggunakan metode survey calon mendahului penetapan. Setelah proses ini selesai sesuai tahapan yang telah ditetapkan KPUD, maka gilirannya rakyat memilih paket yang dipercaya.
Lantas di manakah kelompok bisnis? Permainan kelompok ini biasanya tidak jelas di mata publik namun profesional dalam mengembangkan loby dan pendekatan menggalang logistik dan pendanaan. Membentuk semacam korporasi bisnis bayangan mengkawal para calon. Kelompok ini yang selama ini diduga menyiapkan berbagai ongkos politik.
Kelompok politisi, rakyat dan bisnis merupakan tiga elemen penting yang sangat diperlukan untuk menggerakkan mesin suksesi seperti Pilkada. Omong kosong jika mengatakan bahwa perjuangan murni politisi berbasis pada rakyat untuk memenangkan pertarungan. Sekecil apapun aktivitas, perlu logistik. Dan ketika kelompok politisi dan rakyat tidak menguasai logistik maka harus berkompromi dengan pemegang modal yakni para pebisnis. Dari sanalah mobilisasi logistik mulai berjalan. Semuanya bisa saja berjalan lancar maupun rumit, namun tak satupun yang terpantau oleh rakyat. Dan lebih celaka lagi jika rakyat yang masih terus mengambang ini mau juga menerima hamburan uang dan barang pada masa kampanye. Hal ini bukan lagi rahasia. Praktek money politick berupa bagi uang dan barang atas nama pembangunan maupun cinta kasih menjadi sangat akrab dalam proses Pilkada.
Selain ketiga elemen ini, masih ada satu kelompok strategis yakni birokrat. Oleh UU kelompok ini disuruh netral tetapi punya hak politik untuk memilih. Namun jangan lupa, kelompok birokrat yang pada msa Orde Baru menjadi kekuatan Golkar itu berada di bawah bayang-bayang elit politik kabupaten, propinsi dan pusat dalam figur seorang Bupati, Gubernur ata presiden yang sedang memerintah. Kecelakaan berikut muncul di sini jika pak Gubernur atau Butapi yang sedang berkuasa tidak bisa membedakan posisinya sebagai “PNS” dan pengayom proses Pilkada atau pengurus maupun ketua Partai. Dengan atribut kebesaran sebagai Gubernur dan Bupati ia memberi bantuan kepada rakyat pada masa kampanye atau persiapan kampanye, tetapi di baliknya terselip atribut partai yang sulit dihindari. Terkadang jabatan sebagai bupati/gubernur dan kedua partai dipandang sebagai kekuatan sekaligus peluang.
Dalam konteks Lembata lima tahun ke depan, keempat elemen ini sangat berpengaruh. Namun yang akan lebih kuat menentukan ke mana arah kemudi pembangunan Lembata lima tahun justru bukan pada politisi lokal dan rakyat. Sangat boleh jadi ada pada tangan konglomerasi bisnis yang terkonsolidasi selama proses Pilkada berlangsung atau elit politik di propinsi dan pusat. Dengan demikian, mekanisme pembangunan mulai dari penyusunan rencana pembangunan, penganggaran, pembahasan di DPRD sampai pada lelang dan tender proyek-proyek APBD maupun APBN di daerah akan sangat dipengaruhi oleh kekuatan kelompok bisnis dan elit politik propinsi dan pusat.
Di titik inilah, seroang bupati di sebuah daerah otonom walau secara politik memiliki kekuatan yang terlegitimasi oleh rakyat namun dalam hal tekhnis pengelolaan pembangunan ia terbebani oleh kuatnya bisikan paran kawan dan sahabat dari kelompok bisnis dan elit politik yang telah berjasa meloloskannya sebagai pemenang. Jadilah dia seorang “Bupati Boneka”.
Nuansa ini menjadi topik kasak kusuk di masyarakat Lembata memasuki Pilklada putaran dua. Peta para kontraktor, pebisnis, pedagang mulai dihitung sebarannya pada dua paket ini. Terpetakan menjadi tiga kelompok. Ada yang katanya berada di paket A dan ada yang di paket B. Lalu ada juga abu-abu. Tidak jelas di A atau B. Tetapi yang pasti, bermain dua kaki. Siang di A dan malam di B.
Peta permainan seperti inilah yang akan sangat mempengaruhi pendekatan pembangunan. Apakah pendekatan pembangunan mulai dari perencanaan sampai pelaksanana berjalan secara sentralistrik top down atau kerakyatan botton up, tetaplah kelompok yang berjasah dalam proses Pilkada yang turut mengendalikan. Semakin dasyat jika elit politik propinsi juga minta jatah.
Karena itu, Lembata lima tahun ke depan menjadi Lembata yang Baru yang akan Lebih Baik, sangat ditentukan oleh warnah warni politik Pilkada itu sendiri di tangan empat elemen tadi: politisi lokal, rakyat, bisnis dan elit politik propinsi atau pusat. Di titik inilah sebetulnya analisis risiko dapat menjadi acuan dalam menentukan siapakah yang layak menjadikan Lembata ke depan Baru dan Lebih Baik. Kalau ada yang berisiko mengkianati rakyat maka dia tetap dihormati tetapi sebaiknya tidak dipilih. Jika dua-duanya berisiko maka pilihlah yang punya risiko kecil membuat Lembata gagal lagi lima tahun ke depan. Siapa yang bermain uang dan program pembangunan dalam proses Pilkada akan mempermainkan uang dana-dana pembangunan. Tetapi rakyat pemilih yang cerdas akan “Menerima Uangnya dan Melupakan Orangnya”.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.