Editor buku Transgenik dan Nasib Pertanian lokal |
Nama lengkapnya Viator Parera. Ia penulis kreatif. Dia ahli pertanian alamiah. Yang berpikir dan bertindak untuk pengembangan pertanian secara alamiah. Saya ingat, ketika saya minta beliau untuk menulis purna kata pada buku Transgenik yang saya edit. Ia berbicara dari hati, batin, pikiran dan kepribadiannya sebagai seorang petani Flores yang pernah bekerja di Dinas Pertanian kabupaten Sikka. Pandangannya berbeda dengan para sarjana pertanian umumnya tentang tanah, benih, pupuk dan paska panen. Ahli pertanian alamiah Jepang Fukuoka menjadi guru baginya.
Terhadap program NTT Propinsi Jagung, Viator angkat bicara. Ketika beberapa daerah di NTT membicarakan dan mempertanyakan program propinsi jagung ini melalui fasilitasi pemerintah, ia berbicara sebagai seorang ahli dari “kampung” pertanian Flores dan NTT. Persoalannya sekitar terlambatnya pengiriman benih jagung hibrida dan pupuk dari pemerintah untuk mensuport program NTT Propinsi Jagung yang dicanangkan gubernur NTT Fran Lebu Raya.
Tentang progran propinsi jagung, Pos Kupang 29 Januari 2010 menuliskan hasil wawancana dengan Viator Parera dengan judul yang cukup menohok: “Miskin Gagasan.” Inilah yang kami pinjam untuk judul artikel ini.
Secara garis besar, isi wawancara itu merupakan kegelisahannya tentang program Jagungnisasai di NTT. Ia gelisah karena dalam program itu kurang nampak spirit kedaulatan petani. Kedaulatan itu sedang digadaikan pada penyedia benih jagung hibrida dan pupuk. Kedaulatan petani jagung dikatakan sukses jika seluruh proses itu ada di tangan petani dan pemerintah membantu memfasilitasi input pengetahuan bagi petani. Yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Pemerintah mendatangkan benih jagung hibrida dan pupuk untuk petani. Itu artinya petani dibuat tergantung pada bibit pihak luar – pihak kapitalis alias pedagang benih dan pupuk sebagai sponsor.
Di mata Viator, benih jagung hibrida dan pupuk kiriman pemerintah sungguh menggelisahkan mimpi kedaulatan petani. Hal ini karena, Petama: petani harus menunggu kiriman benih jagung hibrida dari pemerintah yang proses pengadaannya biroktatis, berbelit, politis dan karena itu meleset dengan tibanya musim hujan. Musim hujan tiba bulan Desember sementara benih jagung hibrida kiriman pemerintah menggunakan uang rakyat untuk pengadaanya itu baru tiba pertengahan hingga akhir bulan Januari. Jelas menyalahi kalender musim. Kadar asam tanah pertanian di akhir bulan Januari tidak memungkinkan jagung ditanami, dan jika ditanami dan tumbuh ia akan merana karena musim hujan yang cenderung pendek.
Kedua: Jika benih jagung itu berhasil ditanami dan dipanen maka hasil panenan ini tidak akan disimpan sebagai benih di musim tanam berikutnya. Jagung hibrida akan hancur sebelum musim hujan tiba. Maka menghadapi musim hujan, petani ketiadaan benih lalu meminta dan menunggu dari pemerintah. Petani menjadi tergantung dan tidak berdaulat. Padahal kedaulatan petani harus mulai dari kedaulatan benih. Siapa ketiadaan benih ia hilang masa depannya. Apakah ini yang dimaksudkan dalam program “Anggur Merah” (anggaran untuk rakyat menuju kemandirian)?
Ketiga: Penggunaan pupuk sebagai kembaran dari benih jagung hibrida. Pemberian pupuk tanpa pendampingan dan penjelasan cukup akan berakibat salah penggunaan sehingga merusak tanah pertanian dan bahkan tanaman sendiri. Apalagi hujan sangat terbatas dan mental PPL petanian yang jarang ke desa dan tinggal bersama petani.
Keempat: Biaya sektor pertanian yang dianggarkan pemerintah pusat dan daerah yang seharusnya untuk para petani justru jatuhnya ke para kapitalis atau pedagang benih jagung hibrida dan pupuk. Petani mendapatkan kiriman pupuk dan benih jagung yang dapat saja hanya sebagai sampah di tangan petani. Belum lagi aroma korupsi dan konspirasi berpeluang dalam proses pengadaan benih hibrida dan pupuk ini. Seandainya uang sebanyak itu tidak untuk pengadaan benih jagung hibrida dan pupuk dan petani boleh menggunakan bibit lokalnya maka uang itu bisa cukup untuk menggaji sejumlah kader tani pendamping petani di desa untuk sejumlah pilot project.
Kedaulatan Petani
Program NTT Propinsi Jagung merupakan program yang sangat positif. Ia menjadi positif di tengah krisis pangan global yang akhirnya mengharuskan proses belajar ulang untuk menumbuhkan ketahanan pangan di tingkat lokal. Dalam konteks ketahanan pangan lokal, penggelontoran program ini oleh gubernur NTT merupakan program yang sangat kontekstual bagi NTT. Hal ini karena jagung merupakan bahan makanan yang sudah sangat akrab dalam kehidupan masyarakat NTT mulai dari Sumba, Timor dan Flores. Di Timor dikenal jenis makanan jagung bose. Di Flores ada nasi jagung atau Jagung Titi (emping jagung) khusus di Flores Timur dan Lembata.
Inilah yang menjadi latarbelakang kontekstualnya program propinsi jagung untuk NTT. Yang menjadi masalah adalah, dalam pandangan Viator Parera, program ini miskin gagasan. Karena miskin gagasan dan miskin memahamui konteks lokal para petani jagung di NTT maka pemerintah terjebak lagi dalam pola proyek jagung. Pola proyek jagung yang membawa NTT sebagai propinsi jagung di sebuah simpang ketidakpastian: apakah propinsi jagung untuk menegaskan kedaulatan petani jagung NTT atau propinsi jagung yang menjadi agen perusahaan bahan makanan manusia maupun ternak dengan bahan baku jagung yang mungkin sedang dibangun jaringan kapitalis di belahan dunia lain.
Menurut Viator Parera dalam wawancara Pos Kupang seperti disebutkan di atas, “untuk urusan-urusan ada perusahaan besar yang mau kasih makan orang Amerika dengan jagung itu urusan mereka”. Yang menjadi urusan kita di NTT dalam Program Propinsi Jagung ini adalah Ketahanan Pangan di atas Kedaulatan Pertanian para petani NTT. Dengan demikian, dalam program ini tidak ada masalah tender pengadaan benih dan pupuk, tidak ada urusan dengan benih jagung hibrida, tidak ada masalah dengan terlambatnya benih jagung itu ke tangan petani dan seterusnya. Viator Parera bilang, yang menjadi masalah adalah kita Miskin Gagasan. Seandainya Viator Parera “Gubernur”? Atau seandainya program ini berisi gagasan seperti dilontarkan Viator Parera?
Untuk sukses, perlu perangi kemiskinan gagasan seperti yang dilontarkan Viator Parera. Jika tidak, maka program sperti ini menjadi medan dagang gagasan para kapitalis lalu petani jagung menjadi kuli. Jadilah ia tidak berdaulat. Petani menjadi kulih karena dia bekerja bukan untuk ketahanan hidupnya tetapi untuk kepentingan bisnis dan kemudian kepentingan bisnislah yang akan menentukan seperti apa ketahanan hidup petani.
Kaya Janji
Di daerah sering terdengar pejabat berbicara tentang masa depan petani jagung. Katanya, jika menanam jagung hibrida, petani akan kaya dan banyak uang. Alasannya, jagung hibrida yang akan ditanam di ladang-ladang petani itu akan dijual ke pabrik-pabrik jagung dan saat itu petani kebanjiran uang.
Gagasan yang menjadi isi penyuluhan pertanian seperti ini penuh dengan pesan sponsor. Para penyuluh seperti ini sedang menabur janji banjiran uang yang bersumber dari sponsornya. Penyuluh dan siapa saja seperti ini tak beda dengan “para sales” yang berjalan keliling dari rumah ke rumah mempromosikan produk tertentu. Mungkin tak disadari, kita sedang menjadi agen perusahaan pembenihan jagung hibrida. Mengapa demikian? Karena miskin gagasan. Tidak memiliki gagasan tentang kedaulatan petani. Karena itu petani menjadi tidak penting. Yang penting adalah pasar. Petani cumalah salah satu alat produksi pemenuhan kebutuhan pasar. Jika pasar butuh komoditi tertentu maka petani digerakkan untuk menanam. Artinya, dapat saja dalam program ini ada pasar yang butuh jagung maka ada program untuk menggerakkan petani menanam jagung. Jadi roh dari program ini bukan pada supaya terbangun ketahanan pangan dan kesejahteraan berkelanjutan tetapi untuk memenuhi selera pasar. Saatnya jika pasar tidak lagi membutuhkan jagung maka hasil-hasil petani jagung tidak dihargai di pasar, bahkan dimusnahkan layaknya nasib petani cengkeh pada masa Soeharto
Sejarah pemosisian aparat pertanian sebagai agen kapitalis dan petani cuma alat di tangan pasar, bermula ketika dicetuskannya idiologi neoliberal tahun 1979 tepatnya pada saat Inggirs dipimpin Margaret Tatcher dan Ronald Reagen berkuasa di Amerika. Kedua pemimpin ini adalah murid setia idiolog neoliberal Universitas Chicago Friederich von Hayek (Khudori, Neoliberalisme Menumpas Petani). Kemudian dilanjudkan dengan kebijakan politik ekonomi global melalui pemberlakuan WTO (World Trade Organisation) dan Agrement on Agricultur (AoA).
Kalau Viator Parera mengatakan program Propinsi Jagung miskin gagasan, itu karena dipandang dari sisi kedaulatan petani yang seharusnya menjadi tanggungjawab program pemerintah. Tetapi melihat faktanya di lapangan saat ini, maka program ini boleh dibilang kaya dengan janji-janji pasar yang justru semakin tidak membuat petani berdaulat, malah semakin bergantung pada layanan jasa pihak pasar melalui pengadaan benih, bibit dan pupuk. Padahal semuanya itu menggunakan juga uang rakyat. Boleh jadi, yang berdaulat adalah lingkaran bisnis jagung di luar NTT sana sementara petani jagung menjadi mesin produksi bahan bakunya.***
Artikel ini telah dimuat di HU Pos Kupang, Kamis 4 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.