Murid-murid SDN Lebao Tanjung, SDI Riangpuho dan SMPN Satu Atap (SATAP) Tanjung Bunga di desa Waibao berhamburan mencari perlindungan. Hari itu Kamis, 26 Agustus 2010, pukul 11.30 Wita, gempa berkekuatan 5,6 SR menghguncang wilayah itu.
Jarum jam menunjukkan pukul 10 Waktu Indonesi Tengah. Kegiatan belajar mengajar di tiga sekolah di desa Waibao, Kecamatan Tanjung Bunga berjalan normal. Para guru yang bertugas pada jam pelajaran saat itu sedang berproses bersama anak-anak. Di luar sana, suasana perkampungan berjalan normal. Warga dari desa yang luluh lantak diterjang gempa dan tsunami tahun 1992 silam itu larut dalam anek kesibukan. Di halaman Gereja paroki Riangpuho sejumlah warga sedang mempersiapkan tenda untuk perayaan syukur para suster Dominikan yang berkarya di wilayah ini.
Sekonyong-konyong, bumi bergetar. Kursi meja di sekolah-sekolah itu berderit mengagetkan. Di luar sana, ternak lepas seperti anjing dan ayam berhamburan. Penduduk di rumah-rumah panik meninggalkan rumah dan pekerjaan yang tengah dikerjakan. Demikian pula anak-anak di semua kelas di ketiga sekolah: SMPN SATAP Riangpuho, SDI Riangpuho dan SDN Lebao Tanjung.
Terdengar teriakan gempa dari ruang-ruang kelas. Lonceng sekolah dibunyikan panjang tanda peringatan bahwa sedang terjadi gempa dan anak-anak harus melakukan tindakan pengamanan diri selama getaran berlangsung. Gedung-gedung sekolah gergetar berderit. Kursi dan meja pun bergetar. Seluruh ruangan kelas bergoyang. Guru yang sedang mengajar di setiap kelas member peringatan untuk tenang dan jangan panik. Spontan anak-anak merebahkan diri di bawa meja belajar sambil menutup kepala dengan tas atau buku-buku sekolah.
Perlahan-lahan suasana berangsur tenang. Dunia seolah berputar-putar. Tembok-tembok sekolah terlihat seperti retak. Sejumlah anak terjatuh bergeletak di lantai. Suara jeritan terdengar hampir di semua ruang kelas. Ada yang karena sakit tetapi kebanyakan karena kaget dan ketakutan. Ada bagian gedung yang nyaris terjatuh dan rubuh. Karena itu anak-akan memilih berlindung di bawah meja belajar agar terhindar reruntuhan. Meja belajar di sekolah-sekolah itu cukup aman. Terbuat dari kayu keras, jati.
Setelah keadaan diyakini aman, sejumlah anak terlihat melongokan kepalanya dari kolong setiap meja. Para guru terus menjalankan tanggungjawabnya mengawasi anak-anak. Ketika keadaanya diyakini aman, para guru memberi isyarat agar satu persatu anak-anak meninggalkan ruangan kelas melewati pintu yang terbuka.
Dari tiap-tiap kolong meja belajar, anak-anak sekolah merayap berjongkok keluar meninggalkan ruangan kelas. SMPN SATAP Riangpuho memiliki dua gedung sekolah utama, bersebelahan dengan dua gedung sekolah utama SDI Riangpuho membentuk formasi U terbalik, berhadapan dengan kantor SMP dan rumah guru SDI. Di tengah-tenga sekeliling bangunan-bangunan itu terbentang halaman kosong. Di sana ada pohon kesambi yang kokoh berdiri tegar menantang gempa. Dari jarak 20 meter dari pohon itu, di atas bekas gedung sekolah yang roboh oleh guncangan gempa tahun 1992 silam, seluruh anak SMPN SATAP dan SDI Riangpuho berkumpul.
Para guru menenangkan anak-anak. Spontan sebuah tenda berukuran sedang didirikan. Kepala Desa Waibao terlihat mencek juga ke sekolah-sekolah. Ia ingin memastikan keadaan anak-anak. Di sejumlah ruang kelas terdengar suara-suara rintihan kesakitan. Dengan sigap, anak-anak sekolah laki dan perempuan menuju kantor sekolah SMPN SATAP. Di sana tersimpan peralatan Pramuka yang digunakan dalam camping beberapa waktu lalu memperingati hari pramuka di daerah itu. Ada tali dan tongkat.
Dengan peralatan itu, anak-anak yang telah terlatih berdua-dua menuju ruang kelas, membentuk tandu, mencari dari meja ke meja dan menolong mengevakuasi rekan-rekannya yang cedera dan merintih kesakitan. Satu persatu korban dievakuasi keluar ruang kelas menuju tenda darurat yang kemudian berubah menjadi tenda P3K. Yang luka dan cederah dirawat seadanya. Diberikan pertolongan dini.
Sejenak kemudian, halaman sekolah itu berubah jadi lokasi konsentrasi dan kerumunan anak-anak. Ada yang menjerit kesakitan, ada yang duduk tenang di dalam tenda namun wajahnya menampakkan ketegangan. Dan ada yang sigap sibuk menolong rekan-rekannya yang cedera.
Tak jauh dari sekolah itu, ada lapangan sepak bola milik desa. Di sana juga mulai ada konsentrasi anak-anak. Sejumlah orang tua muncul di sekolah memastikan keadaan anak-anaknya. Bersama para guru, pengurus pramuka sekolah dan pemerintah desa dibuat pendataan korban sakit dan luka lalu dikirim ke kecamatan dan kabupaten. Gempa, siapa tidak takut?
Ceritera ini sesungguhnya Cuma rekaman langsung suasana simulasi bencana gempa bumi berbasis sekolah di desa Waibao, Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur, Nusa Tneggara Timur yang melibatkan 405 anak sekolah. Simulasi ini terlaksana atas kerja sama kolaboratif antara Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS), Wahana Visi Indonesia (WVI) Area Development Project (ADP) Flores Timur dan tiga sekolah di desa Waibao (SMPN SATAP Riangpuho, SDI Riangpuho dan SDN Lebao Tanjung Riangpuho).
Simulasi atau drill sekolah ini melibatkan juga para guru dan siswa tiga sekolah dengan tim fasilitator dari WVI ADP Flores Timur dan YPPS Flores Timur. Kegiatan ini dimulai sehari sebelumnya. Para guru dan tim fasilitator mempersiapkan simulasi ini bersama anak-anak secara partisipatif. Anak-anak difasilitasi melakukan kajian kapasitas, kerentanan, ancaman dan risiko sekolah. Melakukan transek dan observasi lapangan di lingkungan sekolah. Membuat cacatan tentang kondisi gedung sekolah, letak pintu dan jendela, tata letak ruang kelas, ketinggian tangga sekolah, lokasi-lokaasi aman di halaman dan lingkungan sekolah. Selanjudnya, secara partisipatif juga para siswa menggambar peta sketsa Jalur Evakuasi sekolah. Peta evakuasi ini kemudian didiskusikan secara matang oleh para guru dan anak-anak, lalu dilanjudkan dengan persiapan drill berupa penyusunan prosedur penyelamatan dan pembagian tugas serta peran.
Sebagaimana desa-desa lainnya di Flores Timur, desa Waibao memiliki sejumlah ancaman bencana entah itu kejadiana alam maupun ulah manusia. Gempa bumi, banjir dan kebakaran sering mewarnai kehidupan masyarakat desa ini.
Perilaku penduduk petani di wilayah ini juga menjadi salah satu penyebab terjadi bencana seperti banjir di musim hujan dan kebakaran di musim kemarau oleh ulah tebas dan bakar lahan untuk pertanian. Kegiatan pertanian yang kurang disertai konservasi dan penanaman kembali menjadi pemicu terjadi banjir di musim hujan dan kering serta gundulnya lahan-lahan di musim kemarau. Lokasi sekolah SDN Lebao Tanjung justru berada di daerah jalur banjir musim hujan.
Atas alasan tingginya kerentanan serta tingkat kapasitas yang masih terbatas, YPPS dan WVI ADP Flores Timur bersepakat dengan ketiga Sekolah di Desa Waibao menggelar simulasi tanggap bencana. Rencana inipun direspon positif Kepala SMPN Satap Waibao Agustinus Arkian Hadjon SPd, Kepala SDI Waibao Yohanes Bala dan Kepala SDN Lebao Tanjung Silvanus Haru Kewuta, Amd dan Kepala Desa Waibao Yosef Guna Maran.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.