Jumat, 06 Mei 2011

Melawan Kebijakan

Oleh Melky Koli Baran


Jumad, 25 aret 2011. Di lingkup pemerintah kabupaten Flores Timur (Flotim) berlangsung pelantikan sejumlah pejabat eselon III dan IV. Dalam catatan waktu sejak peletakan jabatan bupati dan wakil bupati Flotim setahun silam, ini adalah mutasi gelombang kedua. Sebelumnya, penjabat bupati Muhamad S. Wongso telah melantik sejumlah pejabat eselon II.

Mutasi gelombang kedua ini sesungguhnya bukan hal luar biasa. Namun sebagaimana diberitakan harian pagi Timor Expres (Timex) tanggal 30 Maret 2011, mutasi itu justru mendapat perlawanan dari Kasubag Peraturan Perundang-undangan pada Bagian Hukum Sekretariat Daerah (Setda) Flores Timur. Singkatnya, mutasi itu dilawan karena melawan hukum.
Momentum ini menjadi heboh juga bukan hanya laporan Timex. Setelah ditelusuri, hebohnya peristiwa itu justru karena Kasubag Peratuan Perundang-undangan Rofin Kopong, SH melakukan perlawanan terbuka pada pagi hari menjelang upacara pelantikan. Hal langka di kalangan pegawai negeri sipil (PNS). Rofin tidak saja diam-diam menolak dan mengabaikan mutasi yang juga untuknya tetapi secara terbuka melayangkan surat protes dan perlawanan kepada Penjabat Bupati Flores Timur selaku pejabat yang melakukan mutasi. Surat serupa ditembuskan juga ke Mentri Dalam Negeri di Jakarta, Pimpinan DPRD kabupaten Flores Timur, seluruh anggota DPRD kabupaten Flores Timur, Inspektur Inspektorat Daerah kabupaten Flores Timur, Kepala BKD kabupaten Flores Tiumur dan seluruh PNS Lingkup Pemkab Flores Timur. Sebuah sumber di Larantuka mengatakan, terhadap aksi Rofin ini, Penjabat Bupati telah meminta Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Flotim untuk menyikapinya.
Ulasan ini tidak bermaksud membenarkan perlawanan Rofin Kopong. Semata bermaksud membuka diskusi lebih lanjud terhadap peristiwa langka ini sebagai pembelajaran di hari-hari mendatang. Karena substansinya lebih menyangkut kebenaran penafsiran hukum maka mungkin dengan ini akan lebih mendapatkan pencerahan dari pihak-pihak yang berkompeten.
Pertanyaan kunci dalam tulisan ini untuk diskusi adalah, jika kebijakan mutasi ini bertentangan dengan aturan, lalu mengapa hanya Rofin Kopong yang melakukan perlawanan sementara PNS yang lain menerimanya termasuk staf ahli bidang hukum dan HAM kabupaten Flotim.

Tidak Berwewenang
Keberanian Rofin dilatari argumentasi kuat versi dirinya. Argumentasi bahwa penjabat bupati Flotim tidak berwewenang melakukan mutasi. Implikasi hukum atas hal ini adalah perbuatan melawan hukum. Dan hal itu dijelaskan dalam suratnya yang beredar cepat pada detik-detik menjelang pelantikan.
Dan jika benar hal ini melawan hukum, lantas apa implikasi bagi menyelenggaraan pembangunan di unit kerja pejabat terlantik, termasuk penggunaan kewenangan dan budget? Tidakkah hal ini melawan hukum karena dilakukan oleh seorang pejabat yang tidak legal?
Dasar legalitas jabatan dan kewenangan Penjabat Bupati Flotim saat ini adalah Keputusan Mentri Dalam Negeri nomor 131.53-602 tahun 2010 tentang pengesahan pemberhentian bupati Flores Timur dan pengangkatan Penjabat Bupati Flores Timur propinsi Nusa Tenggara Timur.
Karena masa jabatan bupati Flotim telah berakhir, dan agar tidak terjadi kevakuman pemerintahan di kabupaten ini maka pengangkatan seorang penjabat bupati oleh Mendagri adalah untuk mengisi kekosongan tersebut sehingga penyelenggaraan pemerintahan tetap berjalan normal serta mempermudah penyelenggaraan pemilihan bupati dan wakil bupati definitif.
Karena jabatan seorang penjabat bupati bersifat sementara maka baginya juga tentu melekat kewenangan-kewenangan yang terbatas. Merujuk pada keputusan Mendagri sebagaimana disebutkan, maka kewenangan penjabat bupati sepertinya dibatasi pada tugas memastikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan berjalan normal sehingga tercipta ketertiban dan ketenteraman dalam kehidupan bermasyarakat. Juga agar penyelenggaraan PEMILU KADA bisa berjalan sukses melahirkan bupati dan wakil bupati definitif.
Mencermati fenomena politik birokrasi lokal Flores Timur pada beberapa bulan belakangan, terbersit di satu sisi niat Penjabat Bupati untuk mereformasi jabatan-jabatan struktural. Namun di sisi lain, niat ini dibatasi oleh kewenangannya yang terbatas. Pertanyaannya adalah, apakah ada hal urgen dan mendesak dalam tata pemerintahan Flotim sehingga perlu melakukan mutasi jabatan struktural dengan memanfaatkan kewenangan yang terbatas ini?
Rofin merujuk pasal 132A ayat (2) huruf a dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2008, bawah Penjabat Kepala Daerah atau Pelaksana Tugas Kepala Daerah dilarang melakukan mutasi pegawai, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Mentri Dalam Negeri.

Restu Mendagri
Karena harus mendapat restu tertulis Mendagri maka Penjabat Bupati Flores Timur dikabarkan telah berupaya menggunakan cela ini untuk menyurati Mendagri pada bulan September 2010 nomor A. Pem.130/70/Pem.Umum/2010 tanggal 10 September. Lalu kabarnya Mendagri juga telah merespon dan merestuinya dengan surat nomor: 644.212/2048/SJ tanggal 22 September 2010. Isinya menyetujui mutasi jabatan struktural dengan ketentuan tetap mengutamakan unsur profesionalisme, kompetensi dan demi pembinaan karier PNS sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Dan yang penting juga adalah mutasi dimaksud untuk pengisian jabatan yang lowong/menggantikan PNS yang pensiun dan tidak boleh merugikan PNS (bdk. Surat Rofin Kopong hal.2).
Jika merujuk pada surat Mendagri ini serta memperhatikan dinamika pemerintahan lokal Flores Timur, mutasi yang perlu dilakukan untuk pengisian lowongan dapat terjadi di kurang lebih dua pimpinan SKPD karena kevakuman akibat pejabat sebelumnya memasuki masa pensiun.
Merujuk surat Mendagri, Rofin Kopong membangun argumentasi bahwa mutasi jabatan struktural dalam bentuk rotasi para pejabat struktural merupakan perbuatan melawan hukum. Menurutnya, sedang mengabaikan surat Mendagri, yang sama halnya mengabaikan ketentuan pasal 132A ayat (1) huruf a dan ayat (2) PP. Nomor 49 tahun 2008.
Jika benar analisis hukum Rofin Kopong, Kasubag Peraturan Perundang-undangan pada bagian Hukum Setda Flotim ini, dapatlah dikatakan bahwa mutasi jabatan struktural yang sedang berjalan saat ini walau mendapat restu Mendagri, namun dalam pelaksanaannya bertentangan atau melawan PP 49 tahun 2008. Belum lagi mencermati syarat-syarat formal lainnya yang perlu dimiliki perjabat-pejabat terlantik.
Seorang pejabat di Flores Timur mengatakan, syarat formal ini diabaikan untuk pejabat terlantik tertentu, seperti Daftar Urutan Kepangkatan. Seorang pejabat baru yang dilantik pangkatnya lebih rendah dari stafnya di unit itu. Artinya, rotasi jabatan struktural ini tercela pada aspek kajian yang matang dalam menempatkan pejabat baru dalam kebijakan mutasi ini

Implikasi Jabatan
Implikasi dari sebuah kibijakan yang melawan hukum adalah produk kebijakan itu sendiri juga melawan hukum. Maka pertanyaannya adalah, apakah dengan itu berarti para pejabat yang menerima mutasi jabatan dan bersedia dilantik itu sedang melawan hukum juga? Karena itu berimplikasi juga pada tidak sahnya kewenangan para pejabat ini termasuk kewenangan penggunaan anggaran.
Sebuah konsistensi atas sebuah pilihan selalu bermakna jamak tergantung pada posisi mana pilihan itu dijatuhkan. Jika pipihannya benar dan sesuai dengan aturan yang berlaku maka apapun yang dijalani dalam pilihan itu merupakan tindakan yang dibenarkan oleh aturan tersebut. Namun jika pilihan itu salah maka apapun yang dilakukan berkaitan dengan jabatan, merupakan perbuatan melawan hukum juga. Sebab legalnya sebuah jabatan paling pertama karena sesuai dengan aturan yang berlaku normal.
Flores Timur dalam peristiwa ini, bukan hanya Rofin Kopong yang dimutasikan tetapi sejumlah pejabat eselon II dan menyusul eselon III dan IV. Artinya, dari sekian banyak pejabat yang dilantik, hanya Rofin yang menolak dengan alasan mutasi itu melawan hukum. Berarti ada sekian banyak pejabat terlantik yang mengakui dan menerima mutasi struktural itu sebagai hal yang legal.
Tetapi pada akhirnya, legal tidaknya pejabat dan jabatan terletak pada cara pancang subyektif yang tentu dilatari oleh bangunan analisis dan logika hukum setelah menafsir sejumlah regulasi terkait. Dan lebih jauh adalah apakah analisis dan konstruksi argumentasi tersebut murni untuk pembinaan PNS dan jaminan kelanggengan pemerintahan ataukah dilatari faktor lain.
Rofin Kopong yang hanyalah seorang PNS yang kebetulan menempuh pendidikan Hukum dan dipercaya menjabat Kasubag Peraturan Perundangan pada bagian hukum itu berani menulis pada salah satu point suratnya sebagai berikut: “Bahwa mutasi pegawai oleh seorang penjabat bupati yang merasa berwewenang harus dilandasi langkah-langkah dan pertimbangan rasional... dimulai dari kebijakan mengevaluasi kinerja aparatur untuk mengetahui secara pasti titik lemah dan titik kuat dari tatanan struktural birokrasi sebelumnya agar upaya penataan kembali melalui mutasi benar dilakukan secara obyektif dan proporsional sehingga tidak menggambarkan adanya kesan sekedar mengakomodir kepentingan kelompok belaka … tidak menimbulkan friksi negatif dalam konteks pemenuhan kepentingan jangka pendek.”
Dan yang lebih penting adalah tidak melukai dan menceraiberaikan keutuhan PNS sebagai sebuah korps. Sebab tugas moril seorang leader di lingkup Pemda seperti Flotim adalah menjaga dan memelihara keutuhan ke dalam birokrasi demi pelayanan yang adil dan bermartabat kepada masyarakat melalui penyelenggaraan pembangunan oleh para aparatur yang bersih dan berwibawa.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.