Flores Tumur baru saja mengakhiri hari-hari kampanye terbuka Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) periode 2011 hingga 2016. Perhelatan politik lima tahunan di daerah yang sempat tertunda setahun itu memasuki garis finish. Di kabupaten Lembata, perhelatan itu telah berlalu. Di sana, rakyat yang haus akan pemimpin pemberani dalam menghadapi sejuta tantangan dan keterbelakangan yang gagal dibangun dalam masa 10 tahun otonomi daerah itu telah dijejali berbagai janji para kandidat. Akhir pertarungan itu belum mnembuahkan hasil. Lalu kalau tidak salah, aaat ini sedang siap juga kabupaten Rote Ndao.
Satu hal yang pasti, dari mimbar kampanye satu ke mimbar kampanye lain, dari kampanye satu paket ke paket yang lain, rakyat pemilih disugihi berbagai janji. Sejumlah bujuk rayu dikemas dalam visi misi dan isu-isu strategis maupun program strategis.
Esensi sebuah kampanye tak bedanya dengan iklan. Walau sering dikritik bahwa iklan itu “indah kabar dari rupa” atau jauh dari kenyataan, tetaplah iklan itu menarik dan mempesona. Kampanye politik pun punya esensi yang sama, yakni upaya-upaya sadar dan terencana untuk meyakinkan pendengar/audiens agar dalam kondisi tertentu terpesona lalu setuju dengan apa yang dikampanyekan. Karena itu, janji-janjia Pilkada yang menarik, mempesona, realistis, riil sejalan dengan kenyataan hidup harian akan mudah termakan. Pada saat yang sama akan menarik simpati rakyat sehingga kandidat yang punya janji akan diidolakan dan didukung.
Indah Kabar Dari Rupa
Kampanye politik beda jauh dengan presentase ilmiah (ceramah, kuliah). Sebuah presentase ilmiah akan lebih mempertimbangkan bangunan informasi, pengetahuan dan argumentasi logis dari sejumlah data dan realitas yang tersedia akurat untuk mendorong kesadaran audiens sehingga pada akhirnya lahir diskusi dan perdebatan kritis sebelum memberi persetujuan dalam sebuah kesimpulan. Kampanye politik lebih bersiafat pengerahan massa. Para juru kampanye (jurkam) dituntut kepiawaian menghipnotis massa yang bergelora. Maka tak jarang terdengar berbagai gaya kampanye dengan tujuan awal menghipnotis pendengar, tergantung seperti apa psikologi massa peserta kampanye. Maka tak heran, seorang jurkam tingkat propinsi diberitakan mengelorakan massa peserta kampanye di dua kabupaten baru-baru ini dengan bergoyang di panggung kampanye sambil menyanyikan lagu Terajana. Terkesan sangat sederhana dan hura-hura tak berbobot jika dilihat dari level asal jurkam tersebut, yakni dari propinsi. Namun dari segi gaya dan strategi, hal-hal yang tergolong naif seperti ini menjadi medium menggelorakan dan menghipnotis massa. Apalagi bagi masyarakat yang dihimpit kekeringan hiburan dan rekreasi massal ketika gencar terjadi hegemoni sosial yang mematikan budaya-budaya rekreasi massal seperti dolo-dolo. Maka tak heran, para artis yang katanya “artis ibukota” diboyong ke desa untuk menghibur rakyat yang lagi kekeringan hiburan.
Selain itu ditampilkan tokoh-tokoh terkenal. Kader-kader Partai tingkat pusatpun diturunkan untuk berkampanye, walau kehidupan mereka sangat jauh dari realitas masyarakat di daerah sehingga jatuh terjebak dalam “indah kabar dari rupa”.
Dari berbagai gaya dan medya, uang menjadi salah satu alat menarik simpati masa. Pada masa kampanye raya, uang mengalir ke daerah-daerah. Ketika awal bergulirnya masa Reformasi tahun 1998 dan wacana pemilihan Presiden, Kepala Daerah, DPR dan DPRD secara langsung, para pengamat politik memprediksikan bahwa para calon yang akan mendapat dukungan rakyat adalah tokoh-tokoh populer di tingkat nasional maupun daerah (Arbi Sanit, 1998).
Prediksi politik ini benar adanya. Tokoh-tokoh populer sungguh mendapat tempat. Namun sejarah kepopuleran juga beragam. Ada tokoh yang memang matang dalam karier politik sehingga di bidang politik dia populer. Ada yang populer karena faktor keturunan dan ada yang karena karier-karier kemasyarakatan. Tetapi ada yang dipopulerkan oleh uang. Uang tiba-tiba menyulap seorang tokoh menjadi populer. Rakyat tiba-tiba membicarakan kedermawanannya membagi-bagi uang dan barang saat masa kampanye.
Letak strategis uang dalam kampanye politik seperti Pilkada tak dapat disangkal. Namun sangat diyakini bahwa, pendewasaan politik rakyat yang terus bertumbuh telah mengajarkan pada rakyat bahwa suaranya tidak bisa dibeli murah atau diuangkan. Dan bahwa kandidat atau calon yang berupaya membeli suara adalah tipe calon pemimpin yang tidak percaya diri dan juga buta terhadap kekritisan rsakyat pemilih yang akan “menerima uangnya dan melupakan orangnya”.
Ceritera-ceritera seputar penghamburan uang pada masa kampanye Pilkada sangat menarik. Ceritera bagaimana massa dimobilisir, diangkut dari desa dan dari pulau, bagaimana massa dibagi-bagikan uang atau bahan bakar untuk kendaraan mereka, dan bahkan ceritera kemunculan para dermawan dadakan yang membagi-bagi sembako, peralatan dapur, kain dan lain sebagainya.
Dan tentang uang, dari mimbar kampanye juga lantang terdengar janji kandidat untuk menggelontorkan uang ratusan juta ke desa. Ini distribusi langsung. Masih ada juga janji distribusi uang secara tidak langsung melalui pendidikan gratis, beasiswa S1 dan S2, bantuan pengembangan ekonomi rakyat dan sebagainya.
Singkat ceritera, semua janji tentang uang ini bermuara ke desa karena secara politis, desalah yang menjadi kantong suara mayoritas. Dan karena ini sebuah kampanye yang esensinya berupaya meyakinkan dan menarik simpati rakyat, maka janji uang dan sejuta bentuk bantuan lainnya akan mudah menghipnotis dan memikat rakyat. Lalu mereka lupa bahwa rakyat yang sama juga sedang menyimpan janji sejumlah jurkam dari mimbar kampanye lain sebelumnya yang hingga kini belum pernah satupun dipenuhi. Misalnya di Flores Timur sering terdengar janji para politisi pada kampanye pemilihan DPRD silam untuk memperjuangkan naiknya harga jambu mente, yang ternyata belum terpenuhi hingga kini. Atau Lembata yang sejumlah wilayahnya masih terisolir dalam sepuluh tahun otonomi, padahal dalam dua pilkada sebelumnya janji itu telah disampaikan.
Tetapi kalau bukan demikian, maka ini bukan kampanye politik, yang dapat saja disamakan dengan propaganda. Karena sebuah propaganda maka yang terjadi adalah “Indah Kabar Dari Rupa”. Janji boleh jadi sangat muluk, namun sulit diingat baik oleh pemberi janji maupun yang diberi janji.
Kampanye Hitam
Janji-janji dari mimbar kampanye punya tujuan, yakni merebut simpati pemilih sekaligus mematahkan lawan politik. Katanya hal biasa dalam politik. Dan untuk tujuan mematahklan lawan politik, etika sejumlah politisi (jurkam dan kandidat) menjadi sangat jelek. Para jurkam dan kandidat tampil di depan publik tidak saja menebar janji tetapi juga menebar fitnah. Saling serang dan saling memfitnah seakan menjadi hal yang lumrah dan etis bagi para politisi. Bahkan tak jarang, isu-isu hitam memperalat bahkan menyogok seorang “perempuan” untuk rela jadi alat kampanye hitam hanya untuk mendepak lawan politik. Hal ini pernah terjadi di Flores Timur beberapa waktu silam.
Kampanye hitam juga masih diyakini sebagai alat ampuh menghipnotis massa yang rata-rata masih kuat memiliki rasa etis tradisional. Namun, para politisi ini lupa bahwa proses pendidikan politik yang terus bertumbuh telah perlahan membentuk sens politik rakyat untuk membedakan mana yang benar dan mana yang cuma jualan isu. Bahkan, rakyat yang semakin kritis, mulai belajar membaca bahwa politisi yang suka memfitnah sesama politisi adalah tipe politisi yang belum matang. Tipe politisi yang berambisi menjadi pemimpin tetapi tidak siap untuk menerima bahwa kandidat lain lebih unggul dan lebih didukung rakyat. Dan karena itu, tumbuh pula kesadaran rakyat bahwa politisi yang gemar mengumbar fitnah adalah tipe bukan pemimpin sejati. Ia mungkin hanyalah seorang ambisius yang keropos, tidak percaya diri dan takut kalah. Lebih lagi, tanpa disadari bahwa semakin ia memfitnah lawan politik, rakyat justru semakin bersimpiati pada lawan yang difitnah. Sebab, masyarakat desa lebih mudah bersimpati pada orang yang dihina dan dibuat susah. Sosiologi masyarakat pedesaan seperti ini semestinya dipahami para politisi yang hendak merebut suara dari desa.
Pendidikan Politik
Mimbar kampanye semestinya menjadi mimbar pendidikan politik. Karena itu, para jurkam seharusnya adalah para pendidik tentang politik dan etika perpolitikan. Pendidik yang tidak saja memiliki segudang pengetahuan dan strategi politik tetapi pendidik yang bermoral dan beretika. Karena bermoral dan beretika maka haram baginya untuk memfitnah lawan politik dari atas mimbar kampanye. Jurkam bukanlah penebar iri, dengki dan fitnah. Sekali lagi jurkam adalah guru politik yang sedang memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.
Rakyat yang berjubel mengikuti ajang kampanye selain massa yang dimobilisasi, juga massa kritis yang ingin tahu seperti apa kedewasaan politik kandidat. Masa kritis yang haus akan pendidikan politik. Haus akan informasi pembangunan. Ingin tahu dan mencerna gagasan-gagasan cerdas para calon pemimpinnya. Di ajang kampanye seperti Pilkada di berbagai daerah termasuk Flores Timur dan lembata yang baru saja usai kehausan-kehausan seperti ini seharusnya dipenuhi. Itulah tanggungjawab jurkam sebagai pendidik bagi rakyat. Namun sial! Dalam kampanye-kampanye ini, fitnah dan cercaan masih menjadi alat membunuh lawan politik.
Seorang politisi sekaligus jurkam kawakan akan memanfaatkan mimbar kampanye untuk menawarkan gagasan-gagasan cerdas bagaimana mengemban visi politik untuk mensejahterakan rakyat tanpa tendensi untuk memfitnah dan mencercah sesama lawan politik. Karena fitnah, kampanye hitam, hamburan iri dan dendam, bahkan sampai pada cercaan dan caci maki di atas mimbar kampanye adalah pendidikan politik yang buruk. Dan pada saat yang sama, massa rakyat yang kritis akan berpaling dan berkata, selamat tinggal calon pemimpin yang belum matang.****
Penjaga Rumah Belajar Liberty, YPPS, Flores Timur - artikel ini dimuat di Pos Kupang 31 Mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.