Langit cerah. Tak semendung malam-malam sebelumnya di awal 2012. Gonsalu, selat kecil antara Larantuka dan Adonara Barat bagai hamparan permadani biru kelam. Sesekali melesat percikan kemilau pantulan cahaya rembulan dari permukaan laut. Di ujung belokan pantai Wureh, bergerak lampu terang benderang. Perlahan hanyut diayun arus gonsalu. Bagai sebuah hotel terapung. Kapal Tidar milik Pelni. Kapal yang kesekian menyambangi para penumpang yang selalu berjubel di pelabuhan Larantuka. Siap bepergian ke tanah seberang.
Pelabuhan Larantuka di Flores Timur menjadi salah satu pintu masuk pulau Flores. Pelabuhan ini sudah sangat lama ada, dan terus berkembang dari waktu ke waktu. Melalui plabuhan inilah, mobilitas manusia setiap hari belangsung. Selain kapal Pelni yang datang dan pergi setiap dua minggu, setiap hari kapal-kapal antar pulau di Flores Timur masuk dan keluar. Mulai dari kapal ukuran kecil untuk menyeberangkan penumpang dan kendaraan roda dua ke pulau adonara dengan jarak tempuh 7-10 menit hingga kapal-kapal penumpang dan barang ukuran besar untuk antar pulau dalam kabupaten, proponsi bahkan antar propinsi. Malah sudah beroperasi setiap hari dua unit kapal cepat yang melayani penumpang Larantuka-Lewoleba dan sebaliknya.
Untuk urusan kenyamana bepergian ke luar NTT melalui pelabuhan laut Larantuka, sejak tahun 1990 beroperasi silih berganti sejumlah kapal Pelni. Mulai kapal Sirimau, Tatamailau, Kelimutu, Awu, Bukit Siguntang, bahkan saat ini telah beroperasi kapal Tidar. Kapal-kapal ini menyeberangkan para penumpang dari Larantuka menuju Kupang, Makasar, Batu Licin, Semarang, Jakarta, bahkan ke wilayah perbatasan RI seperti Batam di Sumatera dan Nunukan di Kalimantan.
Peluang Kerja
Bertumbuhnya sebuah pelabuhan tidak saja sebatas pada lancarnya mobilitas barang dan manusia. Ramainya pelabuhan seperti Larantuka juga membuka peluang kerja.
Melalui pelabuhan ini, para pencari kerja ke luar daerah bahkan luar negeri bisa dengan mudah mengakses transportasi. Biaya-biaya perjalanan yang sebelumnya terasa mahal bisa sedikit ditekan.
Peluang kerja bukan hanya untuk para pencari kerja ke luar daerah. Terus bertumbuhnya pelabuhan Larantuka justru membuka kesempatan kerja bagi penduduk setempat. Di tengah hiruk pikuknya arus penumpan dan barang setiap hari, pelabuhan ini membuka kesempaatan bagi sangat banyak warga Flores Timur untuk mendapatkan pekerjaan. Di pelabuhan ini berbagai kebutuhan perjalanan para penumpang bisa dijual seperti buah-buahan segar, air minum dan makanan kecil lainnya. Juga berbagai jasa angkutan darat mulai dari gerobak dorong, sepeda motor ojek sampai angkutan umum lainnya.
Di pelabuhan ini juga setiap jasa angkutan penumpang antar kabupaten antri menanti datangnya para calon pnumpang. Setiap kapal yang merapat dan menurunkan penumpang adalah rejeki bagi para penyedia jasa di pelabuhan itu. Walau sering sangat mengganggu, namun satu keunikan jika berlayar ke larantuka adalah anda siap disapa oleh para penyedia jasa angkutan darat. Bahkan mereka akan melompat masuk ke kapal ketika kapal merapat ke dermaga. Tak jarang terjadi keributan karena perebutan penumpang.
Bisa dibayangkan, jika dalam sehari tak satupun kapal yang mendatangi pelabuhan ini. Diam tapi pasti akan ada sejumlah probem. Karena itu, dalam kacamata pembangunan dan kesejahteraan, tumbuhnya sentra-sentra keramaian seperti yang terjadi di pelabuhan turut menyumbang bagi dinamika kehidupan.
Operasi Kekerasan
Saya teringat masa kecil. Komunitas-komunitas Katolik di sejumlah tempat di Flores Timur dan Lembata menyebut kota Laraantuka dengan sebutan “Serani” - sebutan yang memberi identitas bahwa kota ini adalah pusat agama Nasrani. Kota serani mungkin sama dengan kota Katolik untuk saat ini.
Masih cukup kuat label keKatolikan melekat pada nama kota Larantuka, termasuk pelabuhannya. Hal ini tidak serta merta megatakan bahwa pelabuhan Larantuka adalah pelabuhan yang ramah, bersahabat dan nyaman. Sisi lain wajah pelabuhan Larantuka seperti diuraikan di atas tetaplah dengan jujur diuraikan juga.
Pos Kupang, senin 13 Februari 2012 halaman 15 menulis tajam tentang operasi kekerasan di atas kapal Pelni di pelabuhan Larantuka. Pelaku kekerasan itu adalah para porter. Judul hasil liputan jurnalistik wartawan Pos Kupang di Larantuka sangat beraroma kekerasan. “Jangan berani sentuh Porter”.
Dua tahun silam, ketika bertamu ke sebuah keluarga Flores di Jakarta mereka berceritera tentang prosesi Jumad Agung di Larantuka. Juga tentang mulai ada persiapan panitya lima abad Tuan Ma di Jakarta. Tetapi mereka menyesal karena punya pengalaman buruk pergi ke Larantuka. Keluarga ini berceritera tentang sunguh tidak bersahabat dan tidak nyamaan ketika memasuki pelabuhan Larantuka. Di sana ada praktek pemerasan. Keluarga ini pernah menumpang KM Sirimau dari Jakarta ke larantuka. Sungguh tak masuk di akal sehat apa yang dialami saat itu. Harga tiket kapal kelas VIP masih lebih murah dari tuntutan sepihak buruh angkut barang dari atas kapal ke atas lantai dermaga, bukan sampai terminal pelabuhan atau terminal kota. Bahkan tagihhan buruh pikul itu jauh lebih mahal jika dua tas berisi pakaian dan sebuaah dus berisi oleh-oleh untuk keluarga di Larantuka itu dikirim via cargo pesawat terbang dari Jakarta.
Lebih disesalkan adalah cara atau sikap para buruh pikul itu. Barang-barang diangkut saja tanpa pamit pada pemiliknya. Jika ditanya akan dijawab “ini hak kami. Ini wilayah kerja kami”. “Penumpang dilarang bawah barang sendiri”. Tiba di atas dermaga buruh pikul ini meminta bayaran yang sangat mahal. Tidak ada tawar menawar. Bahkan terkesan memaksa atau lebih tepatnya memeras. Satu dus seberat 20-30 kg bisa ditagih dua ratus sampai lima ratus ribu pupiah. Pernah pihaknya mengadu ke petugas yang berjaga di situ. Kata petugas itu, “bayar saja agar aman”.
Ceritera seperti ini bukan kasus biasa. Apa yang terjadi di luar kewajaran, dan hanya keputusan sepihak saja sudah masuk kategori paksaan, pemerasan. Karena itu dikategorikan dalam kasus “kekerasan”.
Negara Lalai
Terhadap kekerasan seperti ini di sebuah ruang publik tanpa upaya pencegahan dari aparat yang bertugas di tempat itu maka masuk kategori “pembiaran” yang berakibat rakyat dirugikan. Dalam kacamata tanggungjawab negara maka negara dalam hal ini pemerintah kabupaten, TNI dan Polri di wilayah kabupatn itu sedang tidak berfungsi dalam melindungi, menghormati dan memenuhi hak rakyat untuk bergerak aman di segala ruang publik tanpa merasa ditipu, diintimidasi, dipaksa dan diperas. Merasa aman di mana saja adalah hak asasi setiap warga negara di negara-negaara merdeka.
Ini bukan ceritera tunggal atau atau cuma satu kasus. Mungkin saja dalam kurun waktu beberapa tahun berlalu telah terjadi ratusan bahkan ribuan kasus “pemerasan” seperti ini di pelabuhan Larantuka. Dan herannya, pemerasan seperti ini bertumbuh leluasa tanpa ada yang mampu menghentikannya. Bahkan pemerasan dilakukan secara telanjang di hadapan aparat yang bertugas di pelabuhan itu. Bisa diduga, apa yang terjadi di pelabuhan Larantuka itu diketahui oleh aparat yang bertugas di situ, dan mebiarkannya karena dua alasan atau lebih. Pertama, aparat yang bertugas tidak dilengkapi sejumlah kekuata hukum. Kedua, dibiarkan karena menjadi lahan bersama sebagai sumber pendapatan tambahan.
Dalam pandangan saya, mungkin alasan pertama. Sebab di mana-mana aparat negara selalu akan menjadikan hukum dan aturan sebagai panglima. Jika telah ada aturan hukum yang mengatur tarif-tarif jasa di ligkungan pelabuhan, pasti aparat yang bertugas akan mudah melakukan pengendalian. Aturan hukum menjadi alat untuk mengatur dan mengendalikan perilaku menyimpang bahkan jahat di pelabuhan.
Jika belum ada payung hukum yang mengatur hal ini maka tanggungjawab pemerintah daerah untuk mengaturnya. Jika sudah ada namun belum optimal ditegakkan atau sengaja diabaikan oleh aparat di lapangan dengan berbagai alasan, maka prilaku aparat perlu dibenah. Ini menjadi tanggngjawab negara dalam hal ini pemerintah kabupaten setempat.
Jika kasus ini menjadi kasus mayoritas, maka pihak lain yang mestinya proaktif mendorong optimalnya fungsi penegakkan keamanan dan kenyamanan para penumpang kapal adalah Pelni. Sebab kasus-kasus miris yang terus mengemuka justru mayoritas terjadi di lingkup pelayanan jasa Pelni. Pelni sebagai sebuah unit bisnis penyedia jasa pelayaran tentu tidak mengiginkan ceritera buruk seperti ini menjadi momok. Jika pengguna jasa semakin tidak nyaman maka mereka akan berpaling ke alternatif lain. Misalnya ke plabuhan lain yang lebih nyaman. “Penumpanng dari Nunukan jarang di (numpang) kapal kami. Mereka lebih memilih bukit Siguntang yang turun di Lembata. Katanya di Lembata lebih nyaman dan tidak minta bayaran yang mahal seperti di Larantuka”, tutur para ABK sirimau” (PK, Senin, 13 Febru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.