Sabtu, 03 Maret 2012

Nostalgia Pangan Lokal

OLeh Melky Koli Baran

Albert Sani Sogen, aktivis Yayasan Ayu Tani, Flores Timur berceritera tentang sebuah percakapan dengan anaknya yang masih kecil, sedang duduk di bangku Sekolah Dasar. Setiap hari ke sekolah anaknya meminta uang jajan 2000 rupiah. Suatu malam, Albert bertanya kepada anaknya. Uang 2000 rupiah tiap hari itu digunakan untuk apa? Anak menjawab, untuk beli makanan atau jajanan di sekolah, seperti kerupuk.


Lalu Albert berceritera kepada anaknya tentang masa kecilnya saat di Sekolah Dasar dulu. "Saat bapa masih kecil, setiap hari ke sekolah tidak membawa uang jajan. Pagi-pagi bapa diberikan nenek sebatang jagung. Kadang sebatang singkong atau beberapa buah pisang. Lalu bapa bakar atau goreng sendiri. Kadang nenek yang masak, goreng atau bakar. Itulah bekal yang bapa bawa ke sekolah. Bapa tidak bawa uang jajan tetapi jagung goreng atau ubi kabar. Sebagian dimakan sambil berjalan ke sekolah dan sebagian disimpan di atas pohon mangga dekat sekolah. Saat istirahat, kami anak-anak sekolah ramai-ramai makan bekal itu."

Albert berharap, ceritera ini bisa memotivasi anaknya untuk tidak meminta uang jajan tetapi cukup membawa bekal makanan masak dari rumah. Namun jawaban anaknya di luar dugaan. Kata anaknya, "Kalau begitu bapa bodok karena tidak bawa uang tetapi bawa makanan masak ke sekolah".

Albert bernostalgia tentang pangan di masa lalunya. Anaknya bicara tentang realitas hari ini. Dua dunia dan zaman yang berbeda. Artinya, di bawah tema pangan, tentang apa yang harus dimakan hari ini, situasinya sudah berubah. Menyangkut perubahan pola. Dalam konteks ceritera bapa dan anak ini disebut pola konsumsi, yang kemudian berimplikasi sekaligus berbasis pada pola produksi dan distribusi.

****

Tahun 1960-an hingga 1980-an bahkan awal 1990-an, di kabupaten Flores Timur masih dengan mudah menjumpai pangan setempat atau lokal di keluarga-keluarga baik di kota kabupaten maupun di desa.Hingga pertengahan tahun 1970-an, petani makan dari hasil kebunnya. Karena itu di kebun-kebun petani ditanami aneka tanaman pangan. Ada aneka padi dengan nama, warnah kulit dan aromanya masing-masing. Ada berbagai jenis jagung dengan warnah, nama, usia tanam dan aroma rasanya. Ada berbagai jenis ubi-ubian mulai dri singkong, ubi jalar dan berbagai jenis ubi rambat. Juga berbagai jenis kacang-kacangan, jewawut, sorgum yang melimpah di kampung-kampung.

Teringat di kampungku, semasa kecil. Tanah ladang yang diolah orang tua saat itu pasti ditanami berbagai jenis tanaman itu. Semuanya untuk mengisi lumbung, dapur dan meja makan. Kami makan makanan berfariasi: jagung goreng, jagung titi, jagung rebus campur kacang merah dan berbagai jenis kacang lainnya, jagung muda bakar, ubi rebus, ubi bakar, pisang bakar/rebus dan berbagai jenis pangan lainnya. Nasi jagung campur kacang merah yang disebut kacang nasi adalah hidangan utama di meja makan yang sangat diminati,walau bahannyua adalah jagung giling dicampur kacang merah yang disebut kacang nasi. Sering diselingi dengan nasi beras tumbuk dengan aroma yang sedap dan menggoda. Beras karung tidak dikenal. Jenis beras ini bebredar sangat terbatas di kalangan guru desa. Pernah para guru ini dibagikan bulgur.

Kebutuhan yang paling pokok untuk dipenuhi oleh setiap keluarga saat itu adalah pangan. Setiap tahun keluarga-keluarga harus memastikan bahwa hasil panen mencukupi kebutuhan pangan selama setahun. Tanaman untuk menghasilkan uang menempati nomor urut kedua. Tanaman perdagangan untuk menghasilkan uang masih sangat terbatas. Hanya ada kelapa untuk kopra, kemiri dan asam. Selebihnya jika membutuhkan uang, ditukarkan dengan padi, jagung, kacang atau buah-buahan. Hanya orang tertentu yang menyimpan uang di rumahnya.

***

Memasuki 1980-an, kebutuhan akan uang semakin dominan. Karena itu, pertanian mulai diorientasikan ke tanaman penghasil uang. Di mana-mana, lahan pertanian tanaman pangan perlahan diubah menjadi lahan komoditi perdagangan. Tanaman kemiri yang masih terbatas terus diperluas. Ditambah lagi jenis tanaman perdagangan yang baru, seperti jambu mente. Memasuki pertengahan 1980-an hingga 1990-an, penanaman jambu mente menjadi sebuah "gerakan" dan masal dengan dukungan pendanaan dari pemerintah.

Anehnya, sejalan makin gencarnya perluasan lahan perkebunan jambu mente di Flores Timur, para petani kurang mempersoalkan pangan. Sebab bersamaan dengan proses penyempitan lahan pertanian tanaman pangan oleh ekspansi perkebunan jambu mente, beras "karung" - yakni beras putih yang diisi dalam karung goni dan plastik membanjiri pasar-pasar di Flores Timur, termasuk Lembata saat itu. Jenis beras ini menawarkan kemudahan, yakni siap dimasak. Berbeda dengan padi ladang yang butuh waktu untuk tumbuk agar mendapatkan berasnya.

Proses ini terus berjalan normal dan tak bermasalah. Urusan budidaya pangan semakin marginal. Tanah-tanah pertanian tanaman pangan berubah menjadi lahan jambu mente. Petani Flores terus dibuat terpesona oleh hasil panen jambu mente yang melimpah. Uang menjadi ukuran dalam aktivitas pertanian. Dengan uang hasil menjual jambu mente, petani membawa pulang berkarung-karung beras ke kampungnya untuk makan beberapa bulan.

****

Memasuki tahun 1990-an akhir dan awal tahun 2000-an, usia tanaman jambu mente semakin tua. Seiring dengan itu, produksinya terus menurun. Selain itu, di kebun-kebun jambu mente itu tidak bisa dibudidayakan tanaman lainnya. Pakan ternakpun tidak bisa hidup di lahan yang telah ditanami jambu mente. Tanaman ini ternyata egois dan tidak adaptif terhadap tanaman kainnya.

Sejalan dengan itu, iklim dan cuaca pun berubah-ubah dari waktu ke waktu, terlebih pertengahan tahun 2010 menuju 2011. Kelebihan curah hujan seperti yang terjadi tahun 2010 dan disusul dengan panas berlebihan di tahun 2011, praktis petani jambu mente gagal panen. Sejalan dengan itu harga jambu mente cenderung turun dan harga beras cenderung meningkat. Tahun 2011, harga jambu mente hanya mencapai 5000 rupiah per kg, sedangkan harga beras di atas 5000 rupiah. Penghasilan jambu mente menurun drastis jika diperhadapkan dengan kebutuhan beras setiap hari di setiap rumah tangga.

Menyadari hal ini, beberapa petani di Flores Timur mengambil langkah berani menebang tanaman jambu mentenya. Bekas kebun jambu mente dialihkan menjadi lahan pertanian tanaman pangan. Pada saat ini kesulitan lain telah menanti di sana. Para petani ini harus memulai sesuatu yang baru atau menghidupkan lagi sesuatu yang telah ditinggalkannya. Ternyata upaya membangunkan lagi pertanian tanaman pangan bukan pekerjaan gampang. Kultur bertani sudah terlanjur berubah. Bibit-bibit tanaman pangan juga sudah banyak yang hilang dari komunitas-komunitas.

****

Bupati Flores Timur Yosef Lagadoni Herin saat membuka Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) 2011 di pelataran Delsos Komisi PSE Keuskupan Larantuka mengatakan, saat ini berbagai pangan lokal yang kaya nutrisi dan sehat telah hilang dari kehidupan kita. Saat itu bupati menunjuk tanaman sorgum dan "ubi besar" yang dipamerkan di acara itu sambil mengatakan bahwa, sorgum atau "wata blolon" dalam bahasa Lamaholot sudah sulit dijumpai di Flores Timur. Padahal di Solor dan beberapa wilayah di Flores Timur, sorgum cocok dibudidayakan, bahkan di musim hujan, tanaman sorgum bisa tumbuh sendiri dan adaptif dengan lingkungan ini. Ia juga menunjuk pada ubi besar sambil mengatakan, "Itu kami di SDolor sebut Uwe Bele (Ubi Besar), tetapi saat ini sudah sulit dijumpai.

Dalam acara yang digelar Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) atas dukungan Yayasan TIFA Jakartta bersama stakeholder terkait lainnya di Flores Timur itu, Bupati mengatakan bahwa pangan yang dikonsumsi haruslah pangan yang tidak saja bergizi tetapi juga sehat. "Karena itu, saya lebih suka dengan pangan lokal karenha saya tahu, pangan lokal itu dibudidayakan secara alamiah".

Menurutnya, antara hidangan sayur daun merungge atau daun kelor dengan kubis atau sawi, saya pasti memilih sayur daun kelor. Sebab tanaman kelor tumbuh bebas di antara batu-batu di Flores Timur tanpa rangsangan pupuk dan racun pembasmi hama dan penyakit tanaman", demkikian kata bupati Flotimj.

Dalam kesempatan itu bupati juga berbicara tentang proyek beras miskin atau lasim disebut Raskin. Menurutnya, raskin itu proyek politik bagi-bagi uang, bukan semata untuk kepentingan orang miskin. Apalagi dari segi gizi dan kesehatan belum dijamin. Kalau kita mau, maka kita bisa tolak Raskin dengan tujuan melindungi pangan lokal saat ini yang telah terkapar.

Bupati juga mengatakan tekadnya selama kepemimpinannya untuk menjadikan pangan lokal sebagai pangan kebanggaan masyarakat dan pemerintah Flores Timur. Untuk itu, di rumah jabatan bupati Flores Timur ada hari untuk pangan lokal. Pada hari itu, dihidangkan nasi jagung, sayur merungge dan ikan. Diharapkan hal ini menjadi gerakan bersama seluruh masyarakat Flores Timur dalam melindungi dan menyelamatkan pangan lokal yang sedang sekarat ini.

****

Pengalaman YPPS mengembangkan kebun belajar pangan di dua desa memperlihatkan betapa sulitnya mendapatkan sejumlah bibit pangan lokal yang pernah dibudidayakan di kampung itu. Di kebun kelajar yang direncanakan untuk ditanami dengan aneka tanaman pangan lokal jagung, padi, kacang dan ubi-ubian itu, petani kesulitan mendapatkan bibit pangan tersebut di kampung itu. Karena itu harus mencari dan mendatangkan dari kampung dan pulau lain.

Di Desa Riangrita, kecamatan Ile Bura, bapak Agus selaku pendamping kebun belajar mengatakan terpaksa kebun belajar yang direncakan itu tidak semua tanaman pangan ditanam tahun ini. Hal ini karena ketiadaan bibit untuk sejumlah jenis pangan.

Juga di desa Riangkemie, kecamatan Ilemandiri. Untuk menanami kebun belajar dengan bibit pangan lokal, Ato, staf pendamping kebun belajar di Riangkemie harus bolak balik pulau Adonara untuk mencari bibit jagung, padi dan kacang tanah.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka sebanyak .... ribu penduduk Flores Timur akan menyerahkan diri dan hidupnya pada pangan-pangan import, yang mungkin dari bibit-bibit transgenik. Juga bahan makanan kemasan yang menggunakan pengawet berbahan kimia dan beracun yang tentunya tidak sehat. Di saat inilah, kita akan duduk dan bernostalgia tentang pangan lokal yang aman dikonsumsi sebagaimana diceriterakan Albert Sani Sogen kepada anaknya. ****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.