Minggu, 24 Februari 2013

Banjir Bertutur Di Welo



Oleh Melky Koli Baran

Dataran Welo
            Welo, sebuah kampung di lintasan jalan utama Larantuka menuju Waiklibang, ibu kota Kecamatan Tanjung Bunga di kabupaten Flores Timur. Butuh waktu kurang lebih setengah jam dari Larantuka untuk mencapai kampung ini. Selasa, 24 Juli 2012, sebuah tim dari Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) di Flores Timur melakukan assesment singkat di desa ini terkait bencana banjir Maret silam. Jika ceritera bencana banjir di Flores Timur itu identik dengan banjir bandang di kota Larantuka, maka kini tambah satu lagi. Dataran Welo pun bertutur tentang bencana serupa.
 
            Kata sumber-sumber di kampung itu, setiap tahun dataran Welo berpotensi diterjang dan digenangi banjir yang meluap dari kali. Kampung Welo memang terbelah dua oleh sebuah kali. Kali itu berhulu jauh di pedalaman, di tengah hutan rimba kecamatan Lewolema. Secara turun temurun kawasan ini berada dalam wilayah adat Lewolema, khususnya kampung Lamatou di desa Painapang. Perjalanan menyusuri kali yang selalu dialiri air sepanjang tahun itu menyajikan pesona hutan alam tropis sepanjang daerah aliran sungai. Namun, ada kecenderungan rusaknya hutan oleh aktivitas berladang di lereng-lereng bukit yang membujur sepanjang kali itu dari kampung Welo hingga air terjun Goleng Suban.
            Aktivitas berladang di wilayah ini sudah turun temurun. Bahkan karena kegiatan berladang inilah yang melahirkan kampung Welo. Secara historis, kampung ini terbentuk sekitar tahun 1980-an. Penduduk yang mendiami kampung ini berasal dari desa Painapang di kecamatan Lewolema. Mulanya penduduk desa Painapang yang berkebun di kawasan ini membangun sebuah pemukiman sementara karena kebun jauh dari rumah di Lamatou. Pemukiman yang terdiri dari sejumlah pondok itu terus bertumbuh menjadi sebuah kampung tetap. Barangkali dimungkinkan oleh letak Welo persis di jalan utama menuju Tanjung Bunga. Dari hari ke hari lintasan ini semakin ramai. Kini kampung Welo tercatat sebagai sub desa Painapang meliputi dua dusun dihuni 146 KK.
            Sebagai sebuah dataran di pinggir pantai yang dibelah sebuah kali, kampung ini berpotensi banjir setiap tahun. Apalagi datangnya banjir bertepatan dengan pasang di pantai. Juga letak kampung yang dilatari gugusan bukit dengan kemiringan yang sangat curam. Kondisi alam yang rentan seperti ini diperparah oleh aktivitas berladang gilir balik setiap tahun.
            Setidaknya masyarakat Welo telah merekam kurang lebih tiga bencana banjir. Menurut bapak Siku Ruron, seorang pensiunan guru dari Painapang yang memilih mengisi masa pensiunnya di kampung Welo, banjir pertama melanda dataran Welo tahun 1982. Kejadian ini terulang lagi tahun 2010 dan terbaru Maret 2012. Di mata pak Siku, mungkin ini sudah takdir Tuhan.
            Warga masih ingat kejadian beruntun itu. Kata mereka dalam sebuah diskusi di kampung ini akhir Juli silam, tingginya ancaman banjir dari saat ke saat cenderung meningkat. Dari ketiga kejadian yang pernah dialami, banjir pada Maret 2012 terhitung paling parah. Bahkan kecenderungannya terus meningkat. Bisa saja di masa yang akan datang lebih tinggi ancamannya dari Maret tahun ini. Berarti risikopun semakin tinggi jika tidak secepatnya diimbangi dengan upaya-upaya penguatan kapasitas.
            Dari ketiga kejadian ini masyarakat juga punya rekaman suasana sebelum kejadian. Dalam teori disaster managemen disebut peringatan dini. Diceriterakan Siku Ruron, banjir Maret 2012 didahului hujan lebat selama kurang lebih dua hari. Beberapa jam sebelumnya,  tercium bau lumpur yang sangat tajam disertai naiknya permukaan air hampir melampuai bibir kali. Terlihat juga, kayu dan daun-daunan hanyut terbawa banjir. Bahkan ada pohon yang tercabut bersama akarnya juga dihanyutkan banjir menjelang magrip.
            Malam harinya, kurang lebih pukul 23.30 wita gemuruh banjir semakin keras terdengar. Bersamaan itu, batu, kayu dan lumpur yang digelontorkan dari hulu kali tak sanggup tertampung. Akibatnya, kayu, batu dan lumpur itu keluar dari jalurnya didorong banjir yang terus bergulung lalu memasuki pemukiman. Sontak, di malam yang kelam dan samar itu, sebagian dataran Welo dipenuhi banjir yang membawa serta lumpur.
            Kejadian ini mengakibatkan empat Rumah rusak berat dan belasan lainnya di dusun III terendam. Perabotan  keempat rumah yang rusak berat itu hanyut terbawa banjir. Puluhan hektare ladang petani sepanjang kali yang dalam masa penantian panen pun tersapu banjir.
            Menariknya, kejadian di malam gelap gulita itu tidak menelan korban jiwa. Setelah ditelusuri, ternyata masyarakat belajar dari dua kejadian sebelumnya. Kata Siku Ruron, ketika mencium tajam dan menyengatnya bau lumpur serta permukaan kali yang nyaris hilang, warga secara spontan dan mandiri menghidar ke lokasi yang diyakini aman.
            “Malam itu, masyarakat yang terancam berusaha menyelamatkan diri dengan berlari menuju lokasi yang diprediksikan aman, yakni di daerah hokeng dusun IV sebelah utara sungai, dan ke Selatan Sungai di daerah Tobi wolong”, kata Siku Ruron. Menurutnya, malam itu warga berupaya menyelamatkan diri hanya berbekal pengalaman pada banjir bandang tahun 2010. Artinya, pengalaman pada kejadian sebelumnya telah memperkuat kapasitas masyarakat  sehingga berhasil meredam terjadinya risiko korban jiwa. Dalam teori disaster management, ketika ada ancaman tetapi kapasitas masyarakat dan wilayah terdampak tinggi maka risiko bisa diminimalisir.
            Menurut Kepala Dusun IV Welo Hendrikus Hogo Hekin, jauh sebelumnya sudah ada peringatan dari para orang tua untuk tidak mendirikan rumah di dataran ini. Hal serupa juga pernah disampaikan Pemerintah Daerah Flores Timur. Bahkan Pemda Flotim menetapkan Welo sebagai daerah rawan banjir. Namun demikian, saat ini warga Welo seakan tidak punya pilihan lain. Warga telah terlanjur membangun rumah permanen di dataran Welo, bahkan bertekad memperjuangkan kampung Welo sebagai desa definitif terpisah dari induknya Painapang.
            Menelusuri jalur bekas banjir Maret silam, di sana masih terlihat sisa-sisa material yang tersangkut di kali, pohon-pohon tumbang dan tercerabut beserta akarnya. Bapak Petrus, seorang warga yang menemani penelusuran itu menjelaskan, “sekarang sudah ada pendangkalan kali sehingga jalur banjir semakin meluas. Longsoran di daerah pertanian bukit Barahia masih menjadi salah satu sebab tingginya ancaman yang memperparah  risiko bagi daerah terpapar beserta isinya”.
            Kejadian Maret silam diperkirakan akan terus terulang jika hujan lebat mengguyur wilayah ini dalam kurun waktu lama dan frekuensi yang tinggi. Kerentanan wilayah pertanian di hulu perlu secepatnya dipulihkan. Pendangkalan kali akan terus terjadi, dan itu berarti Welo berlangganan banjir setiap tahun. Apakah harus pindah? Menurut Siku Ruron, itu sesuatu yang sulit jika Pemda Flores Timur belum memberikan alternatif untuk kami.***

[Bagian 2]
 
            Mengapa banjir seakan berulang di Welo? Catatan warga di sana, sudah tiga kali terjadi banjir. Pertama tahun 1982. Menyusul tahun 2010 dan terakhir Maret 2012. Belum tentu ini terakhir. Mungkin masih berlanjut. Semuanya tergantung pada upaya-upaya sadar dan terencana. Sebab ada pertanyaan lain yang bisa menggugat kesadaran untuk melakukann upaya apa saja. “Mengapa sebelum tahun 1982 tidak ada ceritera banjir di wilayah ini? Apa yang terjadi di daerah aliran sungai ini sebelum tahun 1982? Ataukah sudah pernah terjadi namun di dataran Welo belum terbentuk pemukiman?
            Berbagai pertanyaan tentu akan terus dilontarkan ketika dataran Welo telah menjadi sebuah pemukiman tetap yang tengah diperjuangkan menjadi  desa otonom namun cenderung terancam banjir jika curah hujan terus meningkat.
            Sejumlah kemungkinan bisa diandaikan terkait bencana banjir di Welo. Pertama, curah hujan boleh saja meningkat tanpa harus melahirkan banjir. Kedua, banjir boleh saja menerjang dataran Welo tanpa harus menelan korban jiwa dan harta jika Welo bukan sebuah pemukiman. Ketiga, Welo memang sebuah pemukiman, dan curah hujan terus meningkat, dan secara normal memicu banjir, namun tidak perlu ada korban harta benda apa lagi jiwa. Ketiga kemungkinan ini bukan hal yang mustahil. Menggunakan alat analisis kapasitas dan kerentanan atau Vulnearebility Capacity Analisys (VCA) ketiga kemungkinan ini bisa dijelaskan, bahkan menjadi alat analisis pembangunan ramah bencana.
Warga Welo sedang membersihkan kali 

            Kemungkinan pertama, curah hujan boleh saja terus meningkat tanpa harus melahirkan banjir. Kemungkinan ini berkaitan dengan hukum alam. Curah hujan yang terus meningkat tidak harus melahirkan bencana. Bahkan meningkatnya curah hujan justru membawa berkat. Misalnya akan tersedia air tanah yang memadai sehingga wilayah sekitar berlimpah sumber air tanah. Kelimpahan air sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Hal ini sangat mungkin jika kualitas hutan di wilayah ini memadai. Dengan kualitas hutan di hulu dan sepanjang daerah aliran sungai yang bagus, tingginya curah hujan tidak harus mengirim banjir ke dataran Welo. Dalam analisis kapasitas dan kerentanan, potensi curah hujan yang tinggi tidak menimbulkan ancaman banjir karena kapasitas hutan sangat tinggi. Sebab jika kapasitas yang tinggi berhadapan dengan potensi ancaman maupun ancaman, risiko akan selalu kecil.
            Pengalaman menelusuri daerah aliran sungai ini hingga ke air terjun Goleng Suban tahun 2008 silam, di kiri kanan daerah aliran sungai terdapat aktivitas kerladang. Bapak Yakobus Krowe, warga desa Painapang saat itu menjelaskan, kebun-kebun di “etang Barahia” yang terhampar sepanjang daerah aliran sungai itu,  milik para petani desa Painapang dan telah diolah turun temurun. Dalam konteks ini, terjadinya banjir di Welo bisa saja dikategorikan sebagai kejadian yang diakibatkan oleh kerusakan hutan dan daerah aliran sungai.
            Kemungkinan kedua, banjir boleh saja menerjang dataran Welo tanpa harus menelan korban jiwa dan harta jika Welo bukan sebuah pemukiman. Teori disaster management menjelaskan bencana sebagai kejadian alam maupun non alam yang menyebabkan kerusakan, kehilangan harta benda, kesakitan, kecacatan fisik bahkan korban jiwa. Hal ini dipertegas lagi dalam UU nomor 24 tahun 2007. Jika banjir menerjang dataran Welo dan di sana tidak ada aset-aset penghidupan warga yang disebut harta benda dan bangunan yang rusak dan tak berfungsi, di sana tidak ada pemukinan warga sehingga tidak ada korban jiwa maka sebesar apapun kerusakan yang ditimbulkan belum dikategorikan sebagai bencana. Dalam frame kapasitas dan kerentanan, ancaman banjir tidak melahirkan risiko karena di daerah terpapar tidak ada potensi kerusakan, kehancuran, kesakitan, kecacatan dan kematian.    
            Kemungkinan ketiga,  Welo memang sebuah pemukiman, dan curah hujan terus meningkat, dan secara normal memicu banjir, namun tidak perlu ada korban harta benda apalagi jiwa. Faktor alam berpotensi memicu bannjir sehingga mengubah potensi ancaman menjadi bencana. Terhadap ancaman banjir ini, risiko kehancuran aset penghidupan berupa ladanng, rumah tinggal bahkan korban jiwa sangat kecil karena kapasitas daerah terpapar tinggi.  Ladang-ladang tidak berada pada daerah sasaran banjir, rumah dibangun bukan pada jalur banjir, masyarakat memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang karakter banjir, tahu di mana daerah aman untuk mengungsi dan menyelamatkan diri. Dengan demikian, walau ancaman tinggi namun risiko kecil karena kapasitas daerah terpapar dan segala isinya tinggi.
            VCA sebagai sebuah alat analisis kapasitas dan kerentanan membantu membangun dan memperbaiki kapasitas manusia, alam, infrastruktur, ekonomi dan sosial agar mampu meredam atau mengurangi risiko jika terjadi bencana. Sebab semakin tinggi ancaman dan semakin rendah kapasitas maka risiko yang ditimbulkan bencana cenderung tinggi. Sebaliknya, walau ancaman tinggi tetapi kapasitas juga tinggi maka risiko akan cenderung kecil.
                Pengalaman bencana banjir di Welo bisa dianalisis dalam konteks ini. Sejumlah mimpi bisa dipasang di sini. Apakah mimpi agar Welo stop banjir, atau Welo aman dari ancaman banjir atau Welo minim risiko jika terjadi banjir? Terhadap harapan-harapan ini, analisis kapasitas dan kerentanan akan sangat membantu upaya-upaya sadar dan terencana yang diintegrasikan dalam pembangunan dan tata kelola kehidupan bersama sebagai sebuah komunitas agar Welo aman dari ancaman banjir. Atau sekurangnya Welo nyaman di tengah tingginya ancaman banjir.
            Jika dalam analisis itu diketahui bahwa terjadinya banjir di Welo karena rendah dan buruknya kapasitas alam (hutan dan kawsan sepanjang daerah aliran rungai) maka Welo bisa bebas banjir jika kapasitas alam diperbaki dan ditingkatkan. Jika analisis memperlihatkan bahwa terendam dan hanyutnya rumah-rumah penduduk ketika terjadi banjir karena rumah-rumah itu berada di jalur banjir maka dari segi tata letak kapasitas pemukiman perlu diatur ulang.
            Jika bapak Siku Ruron mengatakan untuk pindah dari Welo itu sulit kecuali difasilitasi oleh Pemda, maka pilihannya bisa pindah atau juga tidak pindah. Yang perlu adalah, kapasitas dan kerentanan dianalisis untuk kemudian memutuskan apa yang harus dilakukan oleh Pemda Flores Timur maupun masyarakat Welo agar ke depan Welo bebas banjir atau setidaknya hidup nyaman di tengah ancaman banjir. Itu yang perlu didiskusikan dan dikerjakan ke depan untuk Welo.***    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.