Oleh Melky Koli Baran
Dataran Welo |
Welo, sebuah kampung di lintasan
jalan utama Larantuka menuju Waiklibang, ibu kota Kecamatan Tanjung Bunga di
kabupaten Flores Timur. Butuh waktu kurang lebih setengah jam dari Larantuka
untuk mencapai kampung ini. Selasa, 24 Juli 2012, sebuah tim dari Yayasan
Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) di Flores Timur melakukan assesment
singkat di desa ini terkait bencana banjir Maret silam. Jika ceritera bencana
banjir di Flores Timur itu identik dengan banjir bandang di kota Larantuka,
maka kini tambah satu lagi. Dataran Welo pun bertutur tentang bencana
serupa.
Kata sumber-sumber di kampung itu,
setiap tahun dataran Welo berpotensi diterjang dan digenangi banjir yang meluap
dari kali. Kampung Welo memang terbelah dua oleh sebuah kali. Kali itu berhulu jauh
di pedalaman, di tengah hutan rimba kecamatan Lewolema. Secara turun temurun
kawasan ini berada dalam wilayah adat Lewolema, khususnya kampung Lamatou di
desa Painapang. Perjalanan menyusuri kali yang selalu dialiri air sepanjang
tahun itu menyajikan pesona hutan alam tropis sepanjang daerah aliran sungai.
Namun, ada kecenderungan rusaknya hutan oleh aktivitas berladang di
lereng-lereng bukit yang membujur sepanjang kali itu dari kampung Welo hingga
air terjun Goleng Suban.
Aktivitas berladang di wilayah ini
sudah turun temurun. Bahkan karena kegiatan berladang inilah yang melahirkan
kampung Welo. Secara historis, kampung ini terbentuk sekitar tahun 1980-an.
Penduduk yang mendiami kampung ini berasal dari desa Painapang di kecamatan
Lewolema. Mulanya penduduk desa Painapang yang berkebun di kawasan ini
membangun sebuah pemukiman sementara karena kebun jauh dari rumah di Lamatou.
Pemukiman yang terdiri dari sejumlah pondok itu terus bertumbuh menjadi sebuah
kampung tetap. Barangkali dimungkinkan oleh letak Welo persis di jalan utama
menuju Tanjung Bunga. Dari hari ke hari lintasan ini semakin ramai. Kini
kampung Welo tercatat sebagai sub desa Painapang meliputi dua dusun dihuni 146
KK.
Sebagai sebuah dataran di pinggir
pantai yang dibelah sebuah kali, kampung ini berpotensi banjir setiap tahun.
Apalagi datangnya banjir bertepatan dengan pasang di pantai. Juga letak kampung
yang dilatari gugusan bukit dengan kemiringan yang sangat curam. Kondisi alam
yang rentan seperti ini diperparah oleh aktivitas berladang gilir balik setiap
tahun.
Setidaknya masyarakat Welo telah
merekam kurang lebih tiga bencana banjir. Menurut bapak Siku Ruron, seorang
pensiunan guru dari Painapang yang memilih mengisi masa pensiunnya di kampung
Welo, banjir pertama melanda dataran Welo tahun 1982. Kejadian ini terulang
lagi tahun 2010 dan terbaru Maret 2012. Di mata pak Siku, mungkin ini sudah
takdir Tuhan.
Warga masih ingat kejadian beruntun
itu. Kata mereka dalam sebuah diskusi di kampung ini akhir Juli silam,
tingginya ancaman banjir dari saat ke saat cenderung meningkat. Dari ketiga
kejadian yang pernah dialami, banjir pada Maret 2012 terhitung paling parah.
Bahkan kecenderungannya terus meningkat. Bisa saja di masa yang akan datang
lebih tinggi ancamannya dari Maret tahun ini. Berarti risikopun semakin tinggi
jika tidak secepatnya diimbangi dengan upaya-upaya penguatan kapasitas.
Dari ketiga kejadian ini masyarakat
juga punya rekaman suasana sebelum kejadian. Dalam teori disaster managemen
disebut peringatan dini. Diceriterakan Siku Ruron, banjir Maret 2012 didahului
hujan lebat selama kurang lebih dua hari. Beberapa jam sebelumnya, tercium bau lumpur yang sangat tajam disertai
naiknya permukaan air hampir melampuai bibir kali. Terlihat juga, kayu dan
daun-daunan hanyut terbawa banjir. Bahkan ada pohon yang tercabut bersama
akarnya juga dihanyutkan banjir menjelang magrip.
Malam harinya, kurang lebih pukul
23.30 wita gemuruh banjir semakin keras terdengar. Bersamaan itu, batu, kayu
dan lumpur yang digelontorkan dari hulu kali tak sanggup tertampung. Akibatnya,
kayu, batu dan lumpur itu keluar dari jalurnya didorong banjir yang terus
bergulung lalu memasuki pemukiman. Sontak, di malam yang kelam dan samar itu,
sebagian dataran Welo dipenuhi banjir yang membawa serta lumpur.
Kejadian ini mengakibatkan empat
Rumah rusak berat dan belasan lainnya di dusun III terendam. Perabotan keempat rumah yang rusak berat itu hanyut
terbawa banjir. Puluhan hektare ladang petani sepanjang kali yang dalam masa
penantian panen pun tersapu banjir.
Menariknya, kejadian di malam gelap
gulita itu tidak menelan korban jiwa. Setelah ditelusuri, ternyata masyarakat
belajar dari dua kejadian sebelumnya. Kata Siku Ruron, ketika mencium tajam dan
menyengatnya bau lumpur serta permukaan kali yang nyaris hilang, warga secara
spontan dan mandiri menghidar ke lokasi yang diyakini aman.
“Malam itu, masyarakat yang terancam
berusaha menyelamatkan diri dengan berlari menuju lokasi yang diprediksikan
aman, yakni di daerah hokeng dusun IV sebelah utara sungai, dan ke Selatan
Sungai di daerah Tobi wolong”, kata Siku Ruron. Menurutnya, malam itu warga
berupaya menyelamatkan diri hanya berbekal pengalaman pada banjir bandang tahun
2010. Artinya, pengalaman pada kejadian sebelumnya telah memperkuat kapasitas
masyarakat sehingga berhasil meredam
terjadinya risiko korban jiwa. Dalam teori disaster management, ketika ada
ancaman tetapi kapasitas masyarakat dan wilayah terdampak tinggi maka risiko
bisa diminimalisir.
Menurut Kepala Dusun IV Welo
Hendrikus Hogo Hekin, jauh sebelumnya sudah ada peringatan dari para orang tua
untuk tidak mendirikan rumah di dataran ini. Hal serupa juga pernah disampaikan
Pemerintah Daerah Flores Timur. Bahkan Pemda Flotim menetapkan Welo sebagai
daerah rawan banjir. Namun demikian, saat ini warga Welo seakan tidak punya
pilihan lain. Warga telah terlanjur membangun rumah permanen di dataran Welo,
bahkan bertekad memperjuangkan kampung Welo sebagai desa definitif terpisah
dari induknya Painapang.
Menelusuri jalur bekas banjir Maret
silam, di sana masih terlihat sisa-sisa material yang tersangkut di kali,
pohon-pohon tumbang dan tercerabut beserta akarnya. Bapak Petrus, seorang warga
yang menemani penelusuran itu menjelaskan, “sekarang sudah ada pendangkalan
kali sehingga jalur banjir semakin meluas. Longsoran di daerah pertanian bukit
Barahia masih menjadi salah satu sebab tingginya ancaman yang memperparah risiko bagi daerah terpapar beserta isinya”.
Kejadian Maret silam diperkirakan
akan terus terulang jika hujan lebat mengguyur wilayah ini dalam kurun waktu
lama dan frekuensi yang tinggi. Kerentanan wilayah pertanian di hulu perlu
secepatnya dipulihkan. Pendangkalan kali akan terus terjadi, dan itu berarti
Welo berlangganan banjir setiap tahun. Apakah harus pindah? Menurut Siku Ruron,
itu sesuatu yang sulit jika Pemda Flores Timur belum memberikan alternatif
untuk kami.***
[Bagian 2]
Mengapa banjir seakan berulang di
Welo? Catatan warga di sana, sudah tiga kali terjadi banjir. Pertama tahun
1982. Menyusul tahun 2010 dan terakhir Maret 2012. Belum tentu ini terakhir.
Mungkin masih berlanjut. Semuanya tergantung pada upaya-upaya sadar dan
terencana. Sebab ada pertanyaan lain yang bisa menggugat kesadaran untuk
melakukann upaya apa saja. “Mengapa sebelum tahun 1982 tidak ada ceritera
banjir di wilayah ini? Apa yang terjadi di daerah aliran sungai ini sebelum
tahun 1982? Ataukah sudah pernah terjadi namun di dataran Welo belum terbentuk
pemukiman?
Berbagai pertanyaan tentu akan terus
dilontarkan ketika dataran Welo telah menjadi sebuah pemukiman tetap yang
tengah diperjuangkan menjadi desa otonom
namun cenderung terancam banjir jika curah hujan terus meningkat.
Sejumlah kemungkinan bisa diandaikan
terkait bencana banjir di Welo. Pertama, curah hujan boleh saja meningkat tanpa
harus melahirkan banjir. Kedua, banjir boleh saja menerjang dataran Welo tanpa
harus menelan korban jiwa dan harta jika Welo bukan sebuah pemukiman. Ketiga,
Welo memang sebuah pemukiman, dan curah hujan terus meningkat, dan secara
normal memicu banjir, namun tidak perlu ada korban harta benda apa lagi jiwa.
Ketiga kemungkinan ini bukan hal yang mustahil. Menggunakan alat analisis
kapasitas dan kerentanan atau Vulnearebility Capacity Analisys (VCA) ketiga
kemungkinan ini bisa dijelaskan, bahkan menjadi alat analisis pembangunan ramah
bencana.
Warga Welo sedang membersihkan kali |
Kemungkinan pertama, curah hujan
boleh saja terus meningkat tanpa harus melahirkan banjir. Kemungkinan ini
berkaitan dengan hukum alam. Curah hujan yang terus meningkat tidak harus
melahirkan bencana. Bahkan meningkatnya curah hujan justru membawa berkat.
Misalnya akan tersedia air tanah yang memadai sehingga wilayah sekitar
berlimpah sumber air tanah. Kelimpahan air sangat bermanfaat bagi kehidupan
manusia. Hal ini sangat mungkin jika kualitas hutan di wilayah ini memadai.
Dengan kualitas hutan di hulu dan sepanjang daerah aliran sungai yang bagus,
tingginya curah hujan tidak harus mengirim banjir ke dataran Welo. Dalam
analisis kapasitas dan kerentanan, potensi curah hujan yang tinggi tidak
menimbulkan ancaman banjir karena kapasitas hutan sangat tinggi. Sebab jika
kapasitas yang tinggi berhadapan dengan potensi ancaman maupun ancaman, risiko
akan selalu kecil.
Pengalaman menelusuri daerah aliran
sungai ini hingga ke air terjun Goleng Suban tahun 2008 silam, di kiri kanan
daerah aliran sungai terdapat aktivitas kerladang. Bapak Yakobus Krowe, warga
desa Painapang saat itu menjelaskan, kebun-kebun di “etang Barahia” yang
terhampar sepanjang daerah aliran sungai itu,
milik para petani desa Painapang dan telah diolah turun temurun. Dalam
konteks ini, terjadinya banjir di Welo bisa saja dikategorikan sebagai kejadian
yang diakibatkan oleh kerusakan hutan dan daerah aliran sungai.
Kemungkinan kedua, banjir boleh saja
menerjang dataran Welo tanpa harus menelan korban jiwa dan harta jika Welo
bukan sebuah pemukiman. Teori disaster management menjelaskan bencana sebagai
kejadian alam maupun non alam yang menyebabkan kerusakan, kehilangan harta
benda, kesakitan, kecacatan fisik bahkan korban jiwa. Hal ini dipertegas lagi
dalam UU nomor 24 tahun 2007. Jika banjir menerjang dataran Welo dan di sana
tidak ada aset-aset penghidupan warga yang disebut harta benda dan bangunan
yang rusak dan tak berfungsi, di sana tidak ada pemukinan warga sehingga tidak
ada korban jiwa maka sebesar apapun kerusakan yang ditimbulkan belum
dikategorikan sebagai bencana. Dalam frame kapasitas dan kerentanan, ancaman
banjir tidak melahirkan risiko karena di daerah terpapar tidak ada potensi
kerusakan, kehancuran, kesakitan, kecacatan dan kematian.
Kemungkinan ketiga, Welo memang sebuah pemukiman, dan curah hujan
terus meningkat, dan secara normal memicu banjir, namun tidak perlu ada korban
harta benda apalagi jiwa. Faktor alam berpotensi memicu bannjir sehingga
mengubah potensi ancaman menjadi bencana. Terhadap ancaman banjir ini, risiko
kehancuran aset penghidupan berupa ladanng, rumah tinggal bahkan korban jiwa
sangat kecil karena kapasitas daerah terpapar tinggi. Ladang-ladang tidak berada pada daerah sasaran
banjir, rumah dibangun bukan pada jalur banjir, masyarakat memiliki pengetahuan
dan pemahaman yang baik tentang karakter banjir, tahu di mana daerah aman untuk
mengungsi dan menyelamatkan diri. Dengan demikian, walau ancaman tinggi namun
risiko kecil karena kapasitas daerah terpapar dan segala isinya tinggi.
VCA sebagai sebuah alat analisis
kapasitas dan kerentanan membantu membangun dan memperbaiki kapasitas manusia,
alam, infrastruktur, ekonomi dan sosial agar mampu meredam atau mengurangi
risiko jika terjadi bencana. Sebab semakin tinggi ancaman dan semakin rendah
kapasitas maka risiko yang ditimbulkan bencana cenderung tinggi. Sebaliknya,
walau ancaman tinggi tetapi kapasitas juga tinggi maka risiko akan cenderung
kecil.
Pengalaman bencana banjir di Welo bisa dianalisis dalam konteks ini.
Sejumlah mimpi bisa dipasang di sini. Apakah mimpi agar Welo stop banjir, atau
Welo aman dari ancaman banjir atau Welo minim risiko jika terjadi banjir?
Terhadap harapan-harapan ini, analisis kapasitas dan kerentanan akan sangat
membantu upaya-upaya sadar dan terencana yang diintegrasikan dalam pembangunan
dan tata kelola kehidupan bersama sebagai sebuah komunitas agar Welo aman dari
ancaman banjir. Atau sekurangnya Welo nyaman di tengah tingginya ancaman
banjir.
Jika dalam analisis itu diketahui bahwa
terjadinya banjir di Welo karena rendah dan buruknya kapasitas alam (hutan dan
kawsan sepanjang daerah aliran rungai) maka Welo bisa bebas banjir jika
kapasitas alam diperbaki dan ditingkatkan. Jika analisis memperlihatkan bahwa
terendam dan hanyutnya rumah-rumah penduduk ketika terjadi banjir karena
rumah-rumah itu berada di jalur banjir maka dari segi tata letak kapasitas
pemukiman perlu diatur ulang.
Jika bapak Siku Ruron mengatakan
untuk pindah dari Welo itu sulit kecuali difasilitasi oleh Pemda, maka
pilihannya bisa pindah atau juga tidak pindah. Yang perlu adalah, kapasitas dan
kerentanan dianalisis untuk kemudian memutuskan apa yang harus dilakukan oleh
Pemda Flores Timur maupun masyarakat Welo agar ke depan Welo bebas banjir atau
setidaknya hidup nyaman di tengah ancaman banjir. Itu yang perlu didiskusikan
dan dikerjakan ke depan untuk Welo.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.