Tulisan
pendek ini menawarkan tema yang tidak asing. Tema yang akrab dengan kehidupan
manusia. Bahkan boleh dibilang menjadi bagian dari kehidupan manusia. Sampah dalam kehidupan kita, menyangkut etika
dan estetika.
Sebetulnya
sampah tidak saja berkaitan dengan kehidupan manusia, tetapi juga dengan
keseluruhan isi jagat. Namun ketika disandingkan dengan etika dan estetika maka
dia masuk secara khusus ke dalam wilayah kehidupan manusia. Sebab yang memiliki
etika dan rasa estetika, yang disebut beretika dan tahu etika hanyalah manusia.
Binatang misalnya, tidak kenal apa itu etika, apalagi estetika. Di mana saja
dia mau buang kotoran, dia tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Beda
dengan manusia. Kehidupan manusia selalu dituntun berbagai aturan, berbagai
norma, berbagai tata nilai dan kesopanan serta rasa sebagai manusia. Karena itu
manusia menjadi pribadi yang bernormal, beradat, bertata nilai. Dia beretika.
Lalu apa hubungan antara etika dan estetika yang melekat dalam diri manusia itu
dengan sampah?
Dewasa ini sangat mudah kita temukan
sampah yang tak terurus. Hampir di semua kota kecil di NTT ini dengan mudah
mata kita menangkap sebaran sampah yang seharusnya bisa diatur sehingga tidak
merusak lingkungan. Bahkan di tempat-tempat yang seharusnya sampah dapat diurus
secara baik, masih mudah kita temukan sampah berserakan. Satu contoh kecil
saja, ketika beberapa bulan silam menghadiri Rapat Tahunan Anggota (RAT) Credit
Union (CU) Sinar Saron Larantuka, Flores Timur. RAT kala itu digelar di gedung
OMK (Orang Muda Katolik) di Larantuka. Saat itu hujan gerimis. Di teras samping
timur dan belakang gedung itu berbagai
sampah plastik berserakan. Ada sampak bekas minuman dan makanan yang
dibuang di halaman berumput. Tidak tahu siapa yang membuangnya. Mungkin saat ini
sudah disingkirkan. Namun pemandangan kala itu patut menjadi pelajaran tentang
perlakuan terhadap sampah. Seandainya semua orang tahu menempatkan atau
menyimpan sampah pada tempatnya, tentu pemandangan seperti ini tidak akan ada.
Untuk mengatur sampah di lingkungan
agar tertib, biasanya di kota-kota dibangun bak-bak penampungan sampah. Di
ruangan-ruangan rumah tangga atau di gedung-gedung publik juga biasanya
disediakan kotak sampah. Dengan media-media seperti ini orang diarahkan dan
belajar untuk menempatkan sampah pada tempatnya. Tidak dibuang begitu saja.
Siapa saja yang memiliki pemahaman yang cukup tentang kebersihan, keindahan dan
keselamatan lingkungan, akan menempatkan sampah
pada tempatnya dan menurut jenisnya, walau tidak disediakan tempat sampah
khusus.
Sadar atau tidak, sampah yang
dibuang sembarangan memberi dampak langsung maupun tidak langsung pada
kehidupan manusia. Pada musim hujan, selokan dan parit-parit pembuang air dalam
kota sering buntuh tersumbat aneka jenis sampah. Sampah menumpuk dan
terkonsentrasi di parit-parit itu. Bahkan, tersedianya bak sampah di hampir
seluruh sudut jalan kota tidak banyak membantu. Parit-parit pembuang air
terlanjur dijadikan tempat pembuangan sampah. Lebih parah lagi, mayoritas
sampah-sampah itu tidak mudah terdaur secara alamiah, seperti sampah dengan
bahan plastik. Budaya menggunakan fasilitas berbahan dasar plastik belum
diimbangi pengetahuan yang cukup tentang karakter sampah plastik. Banyak sekali
pelajaran tentang sampah bisa dipetik di jalan-jalan.
Ditempatkan
secara benar setiap sampah bukan saja karena tersedianya tempat sampah. Tetapi
lebih ditentukan oleh kualitas setiap orang, terletak pada sejauh mana orang
memiliki pengetahuan dan perspektif yang benar dalam memperlakukan sampah.
Sejauh mana orang memiliki etika dan estetika. Jika punya etika dan estetika,
maka dipastikan tidak membuang sampah seenaknya di berbagai tempat. Sebab
tertib membuang sampah bukan saja karena tersedia tempat sampah tetapi terletak
pada kualitas dan integritas orang.
Di titik
inilah, tema ini mendapat konteksnya. Sampah akan selalu berhubungan dengan
estetika dan etika yang mencerminkan kualitas dan integritas. Dari sampah
setiap rumah tangga, setiap unit kehidupan, setiap komunitas kita bisa membaca
sejauh mana etika dan estetika rumah tangga itu, unit kehidupan itu, komunitas
itu. Bahkan dari sampah setiap rumah tangga, setiap unit kehidupan, setiap
komunitas masyarakat, kita bisa baca berbagai hal yang dimiliki dan ada dalam
rumah tangga itu, dalam unit kehidupan itu dan dalam komunitas itu.
Dari
sampah kita tahu tentang apa yang dimakan sehari-hari anggota rumah tangga,
anggota komunitas tertentu. Dari sampah kita tahu apa yang akrab dalam
kehidupan rumah tangga dan komunitas itu. Jika mayoritas sampah terdiri dari
bekas kemasan bahan-bahan makanan instan, kita langsung paham bahwa pemilik
sampah itu dekat dengan bahan-bahan makanan instan, bahkan menjadi salah satu
konsumennya. Kita tahu seperti apa tingkat kesibukan rumah tangganya. Kita tahu
selera makannya, selera konsumsinya.
Lebih
jauh dari hal-hal lahiriah ini, keberadaan sampah di setiap tempat
merefleksikan keberadaan masyarakatnya, orang-orangnya, lengkap dengan gambaran
perilaku, cara hidup, tingkat peradaban. Bahkan memberikan gambaran tentang
estetika dan etika komunitas asal muasal sampah.
Membuang
sampah merupakan hal sederhana dalam kehidupan setiap orang. Ketika sedang berjalan seseorang bisa saja secara spontan
membuang sampah di jalan itu. Tindakan sederhana, bahkan terkesan tidak
berisiko. Tetapi pertanyaannya, mengapa orang seperti itu bisa tanpa beban
melakukan hal itu? Percaya atau tidak, tindakan spontan itu sesungguhnya lahir
dari akumulasi cara hidup seseorang. Potret dari kultur dan peradaban yang
dimilikinya. Gambaran dari kualitas estetika dan etika yang bersangkutan.
Sampah yang
merupakan hal sepele dan sederhana, yang bisa dibuang tanpa dihiraukan orang.
Bisa diterbangkan angin ke mana saja. Juga, sampah yang bisa menyebarkan bau
dan aroma tertentu di lingkungannya,
adalah obyek belajar tentang estetika, etika dan kualitas peradaban
komunitas sekitar sampah itu berada. Karena sampah tidak lahir sendiri. Tidak
jatuh dari langit. Sampah itu produk orang-orang. Produk sebuah komunitas.
Produk sebuah kultur. Dari produknya, estetika, etika dan kualitas peradaban
komunitas asalnya ditakar.
Ada
ungkapan yang sudah sangat lama saya baca di salah satu ruangan publik,
katanya, “Jika anda bukan orang sembarangan, janganlah buang sampah di
sembarangan tempat”. Kata sembarangan merupakan kosa kata yang lazim digunakan
umum, yang menggambarkan perilaku tak tertatur, perilaku kacau, tidak tertib,
perilaku buruk, bahkan perilaku tidak etis.
Hanya
dari sepotong sampah kita bisa mengukur kualitas, tingkat peradaban, etika dan
estetika sebuah komunitas manusia yang sekaligus membedakannya dengan makhluk
lainnya. Jadilah orang beretika yang senantiasa tertib membuang sampah pada
tempatnya. Sebab “sembarangan” membuang sampah merupakan gambaran orang-orang
”sembarangan”.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.