Minggu, 24 Februari 2013

Sampah: Etika dan Estetika

Oleh Melky Koli Baran


Tulisan pendek ini menawarkan tema yang tidak asing. Tema yang akrab dengan kehidupan manusia. Bahkan boleh dibilang menjadi bagian dari kehidupan manusia.  Sampah dalam kehidupan kita, menyangkut etika dan estetika.

Sebetulnya sampah tidak saja berkaitan dengan kehidupan manusia, tetapi juga dengan keseluruhan isi jagat. Namun ketika disandingkan dengan etika dan estetika maka dia masuk secara khusus ke dalam wilayah kehidupan manusia. Sebab yang memiliki etika dan rasa estetika, yang disebut beretika dan tahu etika hanyalah manusia. Binatang misalnya, tidak kenal apa itu etika, apalagi estetika. Di mana saja dia mau buang kotoran, dia tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya. Beda dengan manusia. Kehidupan manusia selalu dituntun berbagai aturan, berbagai norma, berbagai tata nilai dan kesopanan serta rasa sebagai manusia. Karena itu manusia menjadi pribadi yang bernormal, beradat, bertata nilai. Dia beretika. Lalu apa hubungan antara etika dan estetika yang melekat dalam diri manusia itu dengan sampah?

            Dewasa ini sangat mudah kita temukan sampah yang tak terurus. Hampir di semua kota kecil di NTT ini dengan mudah mata kita menangkap sebaran sampah yang seharusnya bisa diatur sehingga tidak merusak lingkungan. Bahkan di tempat-tempat yang seharusnya sampah dapat diurus secara baik, masih mudah kita temukan sampah berserakan. Satu contoh kecil saja, ketika beberapa bulan silam menghadiri Rapat Tahunan Anggota (RAT) Credit Union (CU) Sinar Saron Larantuka, Flores Timur. RAT kala itu digelar di gedung OMK (Orang Muda Katolik) di Larantuka. Saat itu hujan gerimis. Di teras samping timur dan belakang gedung itu berbagai  sampah plastik berserakan. Ada sampak bekas minuman dan makanan yang dibuang di halaman berumput. Tidak tahu siapa yang membuangnya. Mungkin saat ini sudah disingkirkan. Namun pemandangan kala itu patut menjadi pelajaran tentang perlakuan terhadap sampah. Seandainya semua orang tahu menempatkan atau menyimpan sampah pada tempatnya, tentu pemandangan seperti ini tidak akan ada.
            Untuk mengatur sampah di lingkungan agar tertib, biasanya di kota-kota dibangun bak-bak penampungan sampah. Di ruangan-ruangan rumah tangga atau di gedung-gedung publik juga biasanya disediakan kotak sampah. Dengan media-media seperti ini orang diarahkan dan belajar untuk menempatkan sampah pada tempatnya. Tidak dibuang begitu saja. Siapa saja yang memiliki pemahaman yang cukup tentang kebersihan, keindahan dan keselamatan lingkungan, akan menempatkan sampah  pada tempatnya dan menurut jenisnya, walau tidak disediakan tempat sampah khusus.
            Sadar atau tidak, sampah yang dibuang sembarangan memberi dampak langsung maupun tidak langsung pada kehidupan manusia. Pada musim hujan, selokan dan parit-parit pembuang air dalam kota sering buntuh tersumbat aneka jenis sampah. Sampah menumpuk dan terkonsentrasi di parit-parit itu. Bahkan, tersedianya bak sampah di hampir seluruh sudut jalan kota tidak banyak membantu. Parit-parit pembuang air terlanjur dijadikan tempat pembuangan sampah. Lebih parah lagi, mayoritas sampah-sampah itu tidak mudah terdaur secara alamiah, seperti sampah dengan bahan plastik. Budaya menggunakan fasilitas berbahan dasar plastik belum diimbangi pengetahuan yang cukup tentang karakter sampah plastik. Banyak sekali pelajaran tentang sampah bisa dipetik di jalan-jalan.
Ditempatkan secara benar setiap sampah bukan saja karena tersedianya tempat sampah. Tetapi lebih ditentukan oleh kualitas setiap orang, terletak pada sejauh mana orang memiliki pengetahuan dan perspektif yang benar dalam memperlakukan sampah. Sejauh mana orang memiliki etika dan estetika. Jika punya etika dan estetika, maka dipastikan tidak membuang sampah seenaknya di berbagai tempat. Sebab tertib membuang sampah bukan saja karena tersedia tempat sampah tetapi terletak pada kualitas dan integritas orang.
Di titik inilah, tema ini mendapat konteksnya. Sampah akan selalu berhubungan dengan estetika dan etika yang mencerminkan kualitas dan integritas. Dari sampah setiap rumah tangga, setiap unit kehidupan, setiap komunitas kita bisa membaca sejauh mana etika dan estetika rumah tangga itu, unit kehidupan itu, komunitas itu. Bahkan dari sampah setiap rumah tangga, setiap unit kehidupan, setiap komunitas masyarakat, kita bisa baca berbagai hal yang dimiliki dan ada dalam rumah tangga itu, dalam unit kehidupan itu dan dalam komunitas itu.
Dari sampah kita tahu tentang apa yang dimakan sehari-hari anggota rumah tangga, anggota komunitas tertentu. Dari sampah kita tahu apa yang akrab dalam kehidupan rumah tangga dan komunitas itu. Jika mayoritas sampah terdiri dari bekas kemasan bahan-bahan makanan instan, kita langsung paham bahwa pemilik sampah itu dekat dengan bahan-bahan makanan instan, bahkan menjadi salah satu konsumennya. Kita tahu seperti apa tingkat kesibukan rumah tangganya. Kita tahu selera makannya, selera konsumsinya.
Lebih jauh dari hal-hal lahiriah ini, keberadaan sampah di setiap tempat merefleksikan keberadaan masyarakatnya, orang-orangnya, lengkap dengan gambaran perilaku, cara hidup, tingkat peradaban. Bahkan memberikan gambaran tentang estetika dan etika komunitas asal muasal sampah.
Membuang sampah merupakan hal sederhana dalam kehidupan setiap orang. Ketika sedang  berjalan seseorang bisa saja secara spontan membuang sampah di jalan itu. Tindakan sederhana, bahkan terkesan tidak berisiko. Tetapi pertanyaannya, mengapa orang seperti itu bisa tanpa beban melakukan hal itu? Percaya atau tidak, tindakan spontan itu sesungguhnya lahir dari akumulasi cara hidup seseorang. Potret dari kultur dan peradaban yang dimilikinya. Gambaran dari kualitas estetika dan etika yang bersangkutan.
Sampah yang merupakan hal sepele dan sederhana, yang bisa dibuang tanpa dihiraukan orang. Bisa diterbangkan angin ke mana saja. Juga, sampah yang bisa menyebarkan bau dan aroma tertentu di lingkungannya,  adalah obyek belajar tentang estetika, etika dan kualitas peradaban komunitas sekitar sampah itu berada. Karena sampah tidak lahir sendiri. Tidak jatuh dari langit. Sampah itu produk orang-orang. Produk sebuah komunitas. Produk sebuah kultur. Dari produknya, estetika, etika dan kualitas peradaban komunitas asalnya ditakar.
Ada ungkapan yang sudah sangat lama saya baca di salah satu ruangan publik, katanya, “Jika anda bukan orang sembarangan, janganlah buang sampah di sembarangan tempat”. Kata sembarangan merupakan kosa kata yang lazim digunakan umum, yang menggambarkan perilaku tak tertatur, perilaku kacau, tidak tertib, perilaku buruk, bahkan perilaku tidak etis.
Hanya dari sepotong sampah kita bisa mengukur kualitas, tingkat peradaban, etika dan estetika sebuah komunitas manusia yang sekaligus membedakannya dengan makhluk lainnya. Jadilah orang beretika yang senantiasa tertib membuang sampah pada tempatnya. Sebab “sembarangan” membuang sampah merupakan gambaran orang-orang ”sembarangan”.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.