Minggu, 24 Februari 2013

Petani Kolaka Garap Laut



Oleh Melky Koli Baran

            Kolaka, akronim dari Kolidatang dan Laka. Dua kampung tidak jauh dari kota Larantuka kabupaten Flores Timur. Tepatnya di kecamatan Tanjung Bunga. Persis menghadap laut Flores mengarah ke Tanjung Bunga, sebuah tanjung di ujung paling timur pulau Flores. Tanjung yang mematri nama pulau ini “Flores”. Ketika itu kapal Portugis melintasi tanjung paling timur pulau Flores dan terkagung-kagum menyaksikan bunga-bunga liar nan indah yang bergelantungan di tebing tanjung itu dan berkata “coba da flores”. Lalu menamai pulau ini Flores. Dari sini dapatlah dikatakan bahwa nama pulau ini berasalmuasal dari tanjung di Timur pulau ini. Masyarakat Flores Timur juga menamai wilayah di timur itu Tanjung Bunga.
            Memerlukan waktu kurang lebih 90 menit dari Larantuka Untuk mencapai desa ini dengan kecepatan sepeda motor 60 km per jam. Jalan yang menghubungkan kota Larantuka dengan desa ini dan sekitarnya rusak di sana sini. Selepas Bandara Gewayan Tana Larantuka, akan bertemu dengan jalan aspal lapem yang sudah uzur dimakan usia. Di sani sini tersebar lubang-lubang  tak teratur sehingga sangat memperlabat kecepatan kendaraan.

Add caption
Masalk Garam
            Irama kehidupan desa ini tak beda dengan desa-desa lainnya. Kedua kampung yang membentuk kesatuan desa ini memiliki mata pencarian yang nyaris beda satu dengan yang lain. 70% warga Kolidatang bermata pencarian sebagai petani lahan kering dan sisanya nelayan tangkap. Di Laka bermata pencarian nelayan tanggap untuk kaum laki-laki dan terbanyak ibu-ibu sebagai pengrajin garam dapur. Pertanian lahan kering dengan curah hujan kurang dan tak menentu mendorong warga terutama perempuan untuk beralih ke pinggir pantai sebagai pengrajin garam dapur.
            Menurut Abdullah Ola Watololon, tiga tahun terakhir penghasilan penduduk terus menurun. Kelender tanam bagi petani begeser tak menentu. “Biasanya bulan oktober hujan sudah turun sehingga paling cepat bulan November awal petani sudah menanam, demikian kata Abdulah menjelaskan saat YPPS melakukan pertemuan sosialisasi lajutan program Pengurangan Risiko Bencana.
            Hal ini terjadi hampir di seluruh kabupaten Flores Timur. Musim hujan yang biasanya dimulai akhir Oktober itu kini berpindah ke akhir November atau awal Desember. Karena buruknya pergantian musim ini, menurut Abdullah, masyarakat desa Kolaka mulai beralih ke laut. Salah satu kelompok yang produktif adalah ibu-ibu pengrajin garam di pantai Kolaka.
            “Sebetulnya masak garam ini bukan hal yang baru. Sudah lama dijalani para perempuan Kolaka untuk dijual dan konsumsi keluarga. Dengan penurunan penghasilan pertanian, kebiasaan para perempuan ini mulai ditekuni secara serius sebagai salah satu sumber utama penghasilan keluarga”, katanya menjelaskan.
            Kalau para perempuan menekuni produksi garam dapur, maka para laki-laki juga tidak berpangku tangan terhadap ancaman penurunan penghasilan ladang dan kebun jambu mente. Laut menjadi tumpuan harapan selain ladang. Abdullah Ola Watololon salah satu dari kaum laki-laki Kolaka yang bergerak menuju laut sebagai nelayan. 
            “Sekarang saya tidak lagi berladang. Semusim bahkan setahun bekerja, hasilnya sangat kecil. Bukan karena petani malas tetapi karena hujan tak menentu. Belum lagi angin kencang yang merusak tanaman sehingga gagal panen. Menjadi nelayan langsung dapat hasil. Sekarang saya jalani itu”, kata Abdullah Ola Watololon kepada Petrus Pati Hokor, Fasilitator YPPS di Kolaka Agustus silam.
            Menelusuri lebih jauh kultur bertani masyarakat Kolaka, memang selalu berkaitan dengan tanda-tanda alam. “Dan hal itupun banyak mengalami pergeseran”, demikian kata Stefanus Suban Aran, organiser desa Kolaka untuk program Pengurangan Risiko Bencana.
            Dituturkannya, satu tanda alam bagi petani Kolaka adalah ikan paus. Petani Kolaka akan bergerak menyiapkan  kebun apabila melihat ikan paus bergerombol melintas di laut depan kampung dari Timur ke Barat. Jika rombongan ikan itu bergerak balik dari Barat ke Timur maka petani akan bergegas menanam. “Saat ini tidak ada lagi ikan paus yang bergerombol melintas di laut depan kampung ini. Kalau lewatpun, hujan belum turun sehingga kami ragu-ragu untuk menanam”, kata Sabon Aran. Hal ini dibenarkan sejumlah warga lainnya di Kolaka termasuk Kepala Desa Kolaka Bartolomeus.
            Menurut Elisabeth Titi Betan, organiser perempuan di Kolaka untuk program Pengurangan Risiko Bencana, latihan pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat yang diselenggarakan YPPS telah membantu menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi di kampungnya. “Inilah yang mungkin disebut perubahan iklim global itu. Semua tanda alam berubah dan tidak sejalan dengan pergantian musim”, kata elisabeth.
            Sebagai sebuah kesatuan ekologi, apa yang berubah di darat berlaku juga di laut dan pesisir. Abrasi pantai yang terus merangsek ke darat sangat serius mengganggu kenyamana aktivitas para perempuan Kolaka memasak garam.
            Kristina Mika Maran, satu dari puluhan anggota kelompok usaha garam perempuan Kolaka mengatakan, abrasi laut semakin menggusur usaha mereka. Sebagian ladang garam terendam air laut.  “Beberapa ibu di antara kami terpaksa berhenti memasak garam karena pondoknya terendam air laut yang pasang tinggi setiap hari. “Saya sebetulnya punya tempat sendiri di sini untuk masak garam. Gara-gara abrasi, lahan saya bersama pondoknya hanyut. Sekarang saya numpang usaha di tempat kawan”, kata Kristina Mika Maran.
            Di pesisir pantai yang terus tergerus abrasi laut setiap detik, perempuan-perempuan Kolaka terus berjuang demi mempertahankan ekonomi keluarga di samping para bapak yang juga membanting tulang di tengah pergantian musim yang tak ramah. Bahkan di pesir pantai dengan laut yang terus bergelora menghempas dan menggusur kehidupan pesisir, para ibu yang tergabung dalam Kelompok Pugar ini sering bermalam di dinginnya angin laut hanya menjaga tungku apinya. Di atas tungku api itu, kristal-kristal garam berproses menjadi garam dapur yang bersih dan sehat.
            Kata Elisabeth Titi Betan, kelompok ibu-ibu Pugar berkonsentrasi pada produksi garam rakyat dengan jangkauan pemasaran skala lokal sampai ke Larantuka. “Sebelumnya, seorang anggota menghasilkan 20 sokal garam sebulan. Karena diusik terus oleh abrasi pantai sehingga sejumlah anggota kehilangan lahan maka produksi menurun menjadi hanya 10 sokal sebulan.
            Dijelaskan Betan, sebulan 70 orang perempuan Kolaka menghasilkan kurang lebih 700 sokal garam dengan kapasitas 3 kg per sokal atau setara  2 tom. Garam ini dijual langsung di Kolaka dengan harga sepuluh ribu rupiah per sokal. Dengan demikian, penghasilan para pengrajin garam Kolaka mencapai tujuh juta rupiah sebulan. “Jika dibandingkan sebelumnya, produksi garam Kolaka menurun 50% dari 1,4 sokal menjadi 700 sokal. Penghasilan pun berkurang dari 14 juta rupiah ke tujuh juta rupiah”, kata Betan merincikan.
            Ternyata, abrasi pantai berisiko bukan saja pada penghancuran ekosistem pantai tetapi berdampak juga ke ekonomi. Hanya menghitung produksi garam saja sudah mencapai tujuh juta rupiah untuk satu desa. Belum menghitung kerusakan-kerusakan dan hambatan lainnya. Seperti gagal panen karena musim yang tidak ramah. Di sinilah, perubahan iklim, cuaca dan musim bukan persoalan tunggal. Merupakan persoalan jamak yang mencakup berbagai segi kehidupan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.