Oleh Melky Koli Baran
Kolaka,
akronim dari Kolidatang dan Laka. Dua kampung tidak jauh dari kota Larantuka
kabupaten Flores Timur. Tepatnya di kecamatan Tanjung Bunga. Persis menghadap
laut Flores mengarah ke Tanjung Bunga, sebuah tanjung di ujung paling timur
pulau Flores. Tanjung yang mematri nama pulau ini “Flores”. Ketika itu kapal
Portugis melintasi tanjung paling timur pulau Flores dan terkagung-kagum
menyaksikan bunga-bunga liar nan indah yang bergelantungan di tebing tanjung
itu dan berkata “coba da flores”. Lalu menamai pulau ini Flores. Dari sini
dapatlah dikatakan bahwa nama pulau ini berasalmuasal dari tanjung di Timur
pulau ini. Masyarakat Flores Timur juga menamai wilayah di timur itu Tanjung
Bunga.
Memerlukan
waktu kurang lebih 90 menit dari Larantuka Untuk mencapai desa ini dengan
kecepatan sepeda motor 60 km per jam. Jalan yang menghubungkan kota Larantuka
dengan desa ini dan sekitarnya rusak di sana sini. Selepas Bandara Gewayan Tana
Larantuka, akan bertemu dengan jalan aspal lapem yang sudah uzur dimakan usia.
Di sani sini tersebar lubang-lubang tak
teratur sehingga sangat memperlabat kecepatan kendaraan.
| |
Masalk Garam |
Irama
kehidupan desa ini tak beda dengan desa-desa lainnya. Kedua kampung yang
membentuk kesatuan desa ini memiliki mata pencarian yang nyaris beda satu
dengan yang lain. 70% warga Kolidatang bermata pencarian sebagai petani lahan
kering dan sisanya nelayan tangkap. Di Laka bermata pencarian nelayan tanggap
untuk kaum laki-laki dan terbanyak ibu-ibu sebagai pengrajin garam dapur.
Pertanian lahan kering dengan curah hujan kurang dan tak menentu mendorong
warga terutama perempuan untuk beralih ke pinggir pantai sebagai pengrajin
garam dapur.
Menurut
Abdullah Ola Watololon, tiga tahun terakhir penghasilan penduduk terus menurun.
Kelender tanam bagi petani begeser tak menentu. “Biasanya bulan oktober hujan sudah turun sehingga
paling cepat bulan November awal petani sudah menanam”, demikian kata Abdulah
menjelaskan saat YPPS melakukan pertemuan sosialisasi lajutan program
Pengurangan Risiko Bencana.
Hal
ini terjadi hampir di seluruh kabupaten Flores Timur. Musim hujan yang biasanya
dimulai akhir Oktober itu kini berpindah ke akhir November atau awal Desember.
Karena buruknya pergantian musim ini, menurut Abdullah, masyarakat desa Kolaka
mulai beralih ke laut. Salah satu kelompok yang produktif adalah ibu-ibu
pengrajin garam di pantai Kolaka.
“Sebetulnya
masak garam ini bukan hal yang baru. Sudah lama dijalani para perempuan Kolaka
untuk dijual dan konsumsi keluarga. Dengan penurunan penghasilan pertanian,
kebiasaan para perempuan ini mulai ditekuni secara serius sebagai salah satu
sumber utama penghasilan keluarga”, katanya menjelaskan.
Kalau
para perempuan menekuni produksi garam dapur, maka para laki-laki juga tidak
berpangku tangan terhadap ancaman penurunan penghasilan ladang dan kebun jambu
mente. Laut menjadi tumpuan harapan selain ladang. Abdullah Ola Watololon salah
satu dari kaum laki-laki Kolaka yang bergerak menuju laut sebagai nelayan.
“Sekarang
saya tidak lagi berladang. Semusim bahkan setahun bekerja, hasilnya sangat
kecil. Bukan karena petani malas tetapi karena hujan tak menentu. Belum lagi
angin kencang yang merusak tanaman sehingga gagal panen. Menjadi nelayan
langsung dapat hasil. Sekarang saya jalani itu”, kata Abdullah Ola Watololon
kepada Petrus Pati Hokor, Fasilitator YPPS di Kolaka Agustus silam.
Menelusuri
lebih jauh kultur bertani masyarakat Kolaka, memang selalu berkaitan dengan
tanda-tanda alam. “Dan hal itupun banyak mengalami pergeseran”, demikian kata
Stefanus Suban Aran, organiser desa Kolaka untuk program Pengurangan Risiko
Bencana.
Dituturkannya,
satu tanda alam bagi petani Kolaka adalah ikan paus. Petani Kolaka akan
bergerak menyiapkan kebun apabila
melihat ikan paus bergerombol melintas di laut depan kampung dari Timur ke
Barat. Jika rombongan ikan itu bergerak balik dari Barat ke Timur maka petani
akan bergegas menanam. “Saat ini tidak ada lagi ikan paus yang bergerombol
melintas di laut depan kampung ini. Kalau lewatpun, hujan belum turun sehingga
kami ragu-ragu untuk menanam”, kata Sabon Aran. Hal ini dibenarkan sejumlah
warga lainnya di Kolaka termasuk Kepala Desa Kolaka Bartolomeus.
Menurut
Elisabeth
Titi Betan, organiser perempuan di Kolaka untuk program Pengurangan Risiko
Bencana, latihan pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat yang
diselenggarakan YPPS telah membantu menjelaskan perubahan-perubahan yang
terjadi di kampungnya. “Inilah yang mungkin disebut perubahan iklim global itu.
Semua tanda alam berubah dan tidak sejalan dengan pergantian musim”, kata elisabeth.
Sebagai
sebuah kesatuan ekologi, apa yang berubah di darat berlaku juga di laut dan
pesisir. Abrasi pantai yang terus merangsek ke darat sangat serius mengganggu
kenyamana aktivitas para perempuan Kolaka memasak garam.
Kristina
Mika Maran, satu dari puluhan anggota
kelompok usaha garam perempuan Kolaka mengatakan,
abrasi laut semakin menggusur usaha mereka. Sebagian ladang garam terendam air
laut. “Beberapa ibu di antara kami
terpaksa berhenti memasak garam karena pondoknya terendam air laut yang pasang
tinggi setiap hari. “Saya sebetulnya punya tempat sendiri di sini untuk masak
garam. Gara-gara abrasi, lahan saya bersama pondoknya hanyut. Sekarang saya
numpang usaha di tempat kawan”, kata Kristina Mika Maran.
Di
pesisir pantai yang terus tergerus abrasi laut setiap detik,
perempuan-perempuan Kolaka terus berjuang demi mempertahankan ekonomi keluarga
di samping para bapak yang juga membanting tulang di tengah pergantian musim
yang tak ramah. Bahkan di pesir pantai dengan laut yang terus bergelora menghempas dan
menggusur kehidupan pesisir, para ibu yang tergabung dalam Kelompok Pugar ini
sering bermalam di dinginnya angin laut hanya menjaga tungku apinya. Di atas
tungku api itu, kristal-kristal garam berproses menjadi garam dapur yang bersih
dan sehat.
Kata
Elisabeth Titi Betan, kelompok ibu-ibu Pugar berkonsentrasi pada produksi garam
rakyat dengan jangkauan pemasaran skala lokal sampai ke Larantuka. “Sebelumnya,
seorang anggota menghasilkan 20 sokal garam sebulan. Karena diusik terus oleh
abrasi pantai sehingga sejumlah anggota kehilangan lahan maka produksi menurun
menjadi hanya 10 sokal sebulan.
Dijelaskan
Betan, sebulan 70 orang perempuan Kolaka menghasilkan kurang lebih 700 sokal
garam dengan kapasitas 3 kg per sokal atau setara 2 tom. Garam ini dijual langsung di Kolaka dengan harga sepuluh ribu
rupiah per sokal. Dengan demikian, penghasilan para pengrajin garam Kolaka
mencapai tujuh juta rupiah sebulan. “Jika dibandingkan sebelumnya, produksi
garam Kolaka menurun 50% dari 1,4 sokal menjadi 700 sokal. Penghasilan pun
berkurang dari 14 juta rupiah ke tujuh juta rupiah”, kata Betan merincikan.
Ternyata,
abrasi pantai berisiko bukan saja pada penghancuran ekosistem pantai tetapi
berdampak juga ke ekonomi. Hanya menghitung produksi garam saja sudah mencapai
tujuh juta rupiah untuk satu desa. Belum menghitung kerusakan-kerusakan dan
hambatan lainnya. Seperti gagal panen karena musim yang tidak ramah. Di
sinilah, perubahan iklim, cuaca dan musim bukan persoalan tunggal. Merupakan
persoalan jamak yang mencakup berbagai segi kehidupan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.