Oleh Melky Koli Baran
“Wajah
bumi ini babak belur. Tanah ini porakporanda dikuras isinya. Kulit bumi carut
marut. Hutannya compang camping. Sumber air merana. Pesisir pantai dan laut
tercemar. Itulah wajah pulau-pulau kita. Wajah pulau Flores, Slor, Lembata,
Sumba dan Timor”. Kata-kata ini terucap lancar dari bibir sosok tua berambut
putih. Dia itu Pater Petrus Nong, SVD, pastor Serikat Sabda Allah (SVD) yang
berbarya di Keuskupan Larantuka. Kini ia dan SVD Provinsi Ende sedang serius
dengan sebuah proyek pembelajaran bersama umat dan masyarakat di pulau Solor
untuk perbaikan keutuhan ciptaan. Namanya Solor Hijau.
Ditemui
di pastoran paroki St. Maria Semesta Alam Hokeng tanggal 2 April 2013, ia banyak
berkisah tentang semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup – alam ciptaan
karena kerakusan manusia. Menurutnya,
upaya perbaikan kualitas lingkungan hidup mesti dimulai dari perbaikan tingkah
laku manusia. Jadi tidak hanya mengandalkan proyek-proyek seperti reboisasi dan
sebagaianya. “Perbaikan alam ciptaan ini mustahil terjadi tanpa perbaikan cara
pandang dan pola laku serta tindakan kita manusia terhadap lingkungan sekitar
kita”, demikian kata Pater Piet, sapaannya.
Solor, sebuah pilihan dan alasan
“Pilihan menyelamatkan keutuhan
ciptaan perlu dilakukan. Dimulai dari hal kecil dan lingkup kecil namun membuka
ruang pembelajaran bagi semua. Pulau Solor di Flores Timur dipilih untuk sebuah
proses dan ruang pembelajaran tentang perbaikan kualitas keutuhan ciptaan
sebagai perbaikan kualitas kemanusiaan”, demikian kata pater Piet Nong memulai
penjelasan tentang mengapa aksi ini dilakukan SVD provinsi Ende di pulau Solor.
Provinsi SVD Ende telah menetapkan
dan mengarahkan kegiatan misioner dalam keutuhan ciptaan ke pulau Solor dengan
gerakkan penghijauan berjangka panjang selama lima tahun. Hal ini juga
berangkat dari amanat Kapitel Jenderal SVD XVII/arah dasar SVD 2012-2018 yang
digarisbawahi dalam Kapitel SVD Provinsi Ende.
“Tentang dipilihnya pulau Solor, SVD
Ende mempunyai sejumlah pertimbangan”, kata pater Piet. Pertama, sejarah Gereja
di wilayah ini mencatat Misi Solor sebagai awal dari pertumbuhan dan
perkembangan Gereja di wilayah ini. Karena itu, SVD berkewajiban untuk
melanjutkan pengembangan Misi Solor dalam konteks dan kondisi saat ini. Alasan
kedua lantaran kondisi fisik lingkungan hidup pulau Solor kini sangat
memprihatinkan, gersang, terbakar setiap tahun, banyak mata air mengering. Maka
aksi utama dalam gerakkan Solor Hijau ini adalah penghijauan di pulau Solor,
konservasi hutan, tanah dan mata air.
Dari segi praktis mengukur hasilnya,
pulau Solor itu relatif kecil, dapat diukur dan dikawal proses perkembangan
keberhasilannya. “Ini alasan ketiga”, katanya. Sedangkan alasan keempat karena
tahun 2013 merupakan tahun Yubileum 100 tahun karya SVD di Indonesia. “Gerakkan
Penghijauan pulau Solor sebagai salah satu komitmen SVD di Gereja lokal di mana
SVD hadir dan bekerja selama 100 tahun”.
Sebagai alasan terakhir, Keuskupan
Larantuka dalam Sinode tahun 2012 menggarisbawahi isu lingkungan sebagai bagian
integral dari program pastoral di keuskupan Larantuka. Maka, SVD Ende melalui
komunitas SVD yang bekerja di Keuskupan Larantuka mendukung dan turut
berpartisipasi dalam ekopastoral di keuskupan ini.
Kata pater Piet, sesungguhnya
gerakkan penghijauan di pualu Solor merupakan sebuah aksi dan refleksi berkelanjutan
untuk memperbaiki alam ciptaan yang diharapkan melahirkan perubahan cara
pandang, perilaku dan tindakan yang adil dan benar terhadap alam ciptaan, terhadap
tanah, hutan, air dan tatanan ekosistem. “Menanam itu mudah dilakukan oleh
siapa saja. Namun menanam yang berhasil harus dimulai dengan membangun
perubahan cara pandang dan perilaku”, kata pater Piet Nong menjelaskan.
Berbasis Masyarakat
Seperti apa gerakkan Solor Hijau,
pater Piet Nong menjelaskan bahwa rencana aksi selama lima tahun itu difokuskan
pada aksi menanam dan menanam yang selalu dimulai dan diakhiri dengan refleksi
bersama masyarakat dan umat, baik orang dewasa maupun sekolah.
Langkah-langkah yang telah dilakukan
di pulau Solor oleh SVD adalah identifikasi lokasi konservasi dengan prioritas
di wilayah puncak bukit dan DAS, pengadaan benih tanaman untuk penghutanan
seperti sengon, trambesi, gayam dan jenis tanaman lokal milik alam pulau Solor.
Dilanjutkan dengan kegiatan pembibitan, penanaman, perawatan dan perlindungan.
Tahun kedua dan seterusnya dilakukan perbaikan dan perluasan wilayah
penghijauan.
“Hal yang sangat penting di sini
adalah bukan dilakukan sendiri oleh SVD. Gerakkan Solor Hijau menjadi milik
orang-orang Solor”, demikian pater Piet Nong menjelaskan pendekatan yang
dilakukan dalam proyek ekopastoral ini. Karena itu, gerakkan Solor Hijau sejak
rencana, aksi, refleksi dan aksi selama lima tahun ke depan berbasis masyarakat
setempat. Kerja sama dibangun bersama desa dan stasi dalam lingkup paroki.
Koordinasi dan kerja sama mengembangkan gerakkan Solor Hijau Berbasis
Masyarakat ini dijalankan dalam koordinasi
dengan tim pastor di paroki-paroki di pulau Solor, Dewan Paroki dan juga
pemerintah Desa.
Solor Hijau berbasis masyarakat ini,
demikian kata pater Piet Nong, SVD, menjadi kesempatan perbaikan kualitas aset
sosial masyarakat. Semua pihak di stasi, desa, paroki bahkan sekolah-sekolah
merespon program ini dan bahu membahu karena sadar bahwa gerakkan Solor Hijau
itu untuk orang-orang Solor. “Masyarakat dan anak-anak sekolah melakukan
pembibitan sampai penanaman dan perawatan. Karena itulah, maka untuk sementara
tawaran bantuan dari pemerintah kami terima dengan kriteria tidak merusak aset
sosial yang sedang di bangun serta suksesnya tujuan program ekopastoral.
“Misalnya, Dinas Kehutanan kabupaten Flotim menawarkan anakan mahoni. Kami
tidak tolak tapi kami katakan, jika mahoni telah dewasa, pasti ditebang, dan
situasinya kembali seperti semula. Maka mahoni kami pertimbangkan”. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.