Melky Koli Baran
Senin,
15 April 2013. Matahari miring di Barat. Pulau Solor di Flores Timur itu cerah
dipayungi berkas-berkas sinar matahari menjelang senja. Tepat pukul 16.00.
Kapal Motor Purnama lepas tali di pelabuhan Larantuka. Kurang lebih 30 menit
berlalu, satu persatu pelabuhan laut di pesisir utara pulau Solor disinggahi:
Ongalereng, Podor dan Wulublolong lalu Menanga. Sebelum matahari meghilang di
ufuk barat, kapal Purnama merapat di pelabuhan Wulublolong. Para penumpang
melompat turun. Setelah melewati pendakian sepanjang 1 kilo meter, sampailah
kami di Wulublolong.
Senja dan malam itu, para
pengunjung, sanak famili, keluarga suku terkait dari berbagai kampung di Solor
berdatangan. Bahkan utusan suku Lamanepa di Watoone, pulau Adonara juga hadir.
Upacara ini sangat kental dengan nuansa pariwisata budaya. Maka tak heran,
hadir juga dua staf dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Flores Timur,
Stef Da Silva dan Suban Dawan.
Konsentrasi di Tengah Kampung
Sekitar pukul 19.00 satu persatu
warga berdatangan ke lokasi upacara. Tepatnya di tengah kampung. Sebuah
pelataran cukup luas. Di sinilah pusat kampung budaya ini. Sepuluh rumah adat
dibangun membentuk formasi segi empat. Di tengah-tengahnya sebuah lapangan
upacara cukup luas yang bisa menampung warga yang mengikuti upacara yang
digelar di sini. Sebelah menyebelah lapangan itu, berdiri anggun rumah adat
Lamarebon dan Lamanepa. Lapangan upacara di tengahnya dikelilingi kursi batu.
Jumlahnya sesuai dengan jumlah para pemangku yang akan menempati kursi-kursi
itu jika berlangsung upacara atau musyawarah kampung. Sejumlah korke juga
dibangun di pelataran itu.
Kosmas Hayon, guru Sekolah Dasar
yang mengabarkan dan mengundang untuk menghadiri acara ini jika ada waktu. Juga
bisa menulisnya. Di Wulublolong, sebelum ke tempat upacara ia menjelaskan bahwa
upacara adat ini akan berlangsung semalam suntuk. Diawali upacara pembukaan di
semua rumah adat lalu dilanjutkan dengan peryaan Ekaristi Kudus, makan bersama
dan dilanjutkan dengan berbagai upacara adat hingga menjelang pagi.
Pantang Selama semusim
Upacara
Reka Wuu dimulai di semua rumah adat. Karena semua rumah adat melakukan upacara
serentak maka kami hanya sempatkan diri menyaksikan upacara di rumah adat
Lamarebon. Bapak Lowa Lamarebon yang memimpin upacara tersebut. Di sebuah
ruangan khusus di rumah adat itu, sebanyak tuju orang tetua adat melingkar
khusuk melakukan upacara adat. Melingkar mengelilingi sebuah batu. Konon itu
simbol leluhur suku Lamarebon. Mantra-mantra adat diucapkan tanpa suara
diiringi asap dupa dari sebuah tempurung. Hanya terlihat bibir bapak Lowa
bergerak seperti sedang bicara. Lalu seekor ikan panggang dan nasi satu bakul
kecil disantap bersama oleh ketuju tetua adat serta warga yang menyaksikan
jalannya uapacara itu. Juga arak dan tuak putih diminun bergilir.
Upacara selanjutnya terjadi di ke
halaman depan rumah adat suku Lamarebon. Sebuah mesbah kecil dari batu menjadi
pusat upacara memberi makan leluhur. Lalu dinaljutkan dengan persiapan
mengikuti upacara ekaristi. Semua warga berpakaian adat.
Bapak Lowa Lamarebon dan Namajaga
Lamanepa, kedua pemangku suku yang sukses melewati masa puasa dan pantang
selama semusim. Sejak tanaman ladang ditanam di awal musim hujan, para anak
gadis, laki-laki dewasa yang sudah menikah dan kedua pemangku suku ini
mengikrarkan diri untuk melakukan pantang dan puasa terhadap berbagai jenis
makanan baru yang tumbuh di musim hujan. Maka sepanjang musim hujan itu, mereka
pantang makan sayuran musim hujan seperti daun labu kuning atau kestela, kacang-kacangan
baru baik daun maupun buah. Ketika musim jagung muda, mereka pantang makan
jagung muda. Masa pantang paling lama ditanggung oleh kedua pemangku suku dari
suku Lamarebon dan Lamanepa. “Pada malam ini, melalui upacara ini, bapak Lowa
Lamarebon dan Namajaga Lamanepa boleh makan makanan baru ini yang ditandai
dengan upacara puncak Reka Wuu”, kata Arnold Lamanepa ketika berbincang-bincang
di teras rumah adat suku Lamanepa.
Pusaka Suku Dibersihkan
Selesai perayaan ekaristi, dilanjutkan dengan
makan bersama. Suasana akrab bersaudara mewarnai pelataran depan kesepuluh
rumah adat. Usai makan bersama dilanjutkan dengan upacara adat di setiap rumah
adat. Semua pintu dan jendela rumah adat tertutup selama upacara berlangsung. Karena
dilaksanakan serentak di semua rumah adat maka hanya bisa menyaksikan upacara
itu di rumah adat suku Koten.
Sementara pemimpin upacara suku Koten melakukan
ukup tujuh kali keliling ruangan sakral di rumah adat, sebuah tabung bambu
diturunkan dari ruang atas rumah adat itu. Di atas selembar tikar yang
terbentang di lantai ruang tengah, isi tabung bambu dikeluarkan. Belasan keris
pusaka tanpa tangkai dijejer di atas tikar. Bersamaan itu, dari ruang atas
rumah adat diturunkan juga sejumlah meriam tua. Barang-barang pusaka itu
diletakan di atas tikar. Ritus selanjutnya adalah membersihkan benda-benda
pusaka itu menggunakan kelapa parut sehingga kelihatan mengkilat. Yang
melakukan pembersihan ini hanyalah kaum laki-laki suku.
Malam semakin larut. Pintu-pintu
rumah adat yang berjejer mengelilingi lapangan upacara itu dibuka tanda upacara
di tiap rumah adat telah selesai. warga berkelompok melakukan kunjungan dari rumah
adat satu ke rumah adat lainnya. Di sana, ketika malam semakin larut dan waktu
bergeser ke hari berikutnya tanggal 16 April, seekor ayam dipotong di ruang
tengah tiap rumah adat tanda upacara akan berakhir. Daging ayam dimasak lalu
dimakan beramai-ramai sambil ditemani tuak putih atau arak.
Berebut Jagung di Korke
Sebuah
ritus menarik berlangsung di dua korke antara rumah adat suku Koten dan
Lamanepa. Para laki-laki remaja dan orang dewasa berebut jagung hasil panen
tahun ini. Upacara ini hanya diikuti oleh kaum laki-laki. Bernard Lamanepa
menjelaskan, jika perempuan ambil bagian dalam acara ini atau makan jagung yang
diperebutkan dalam korke itu maka mereka akan terkena bala. Rambutnya akan
gugur.
Sejumlah
anak muda naik ke panggung korke. Sebuah bakul berisi puluhan batang jagung
dibuang ke lantai panggung korke. Anak-anak itu mengguncang-guncangkan lantai
yang terbuat dari bambu. Saat itu, jagung-jagung yang dihambur di lantai itu terjatuh
ke kolong korke. Dalam suasana gelap gulita, para laki-laki dewasa maupun
anak-anak merayap ke kolong korke dan berebutan jagung. Ritus ini diiringi
gelak tawa riang gembira di malam yang kian larut.
Kata
Bernard Lamanepa, jagung-jagung yang diperebutkan itu dibawa pulang ke rumah
masing-masing dan hanya boleh dimakan oleh kaum laki-laki. Karena itu harus
dijaga agar tidak tercampur dengan jagung lainnya di rumah agar tidak ikut
dimakan oleh ibu-ibu dan anak-anak perempuan.
Perlahan
kegelapan malampun surut. Bias-bias cahaya samar di ufuk timur. Pagi pun tiba. Warga
bergegas pulang ke rumah masing-masing. Kami bersama guru Kosmas melangkah
menjauh dari arena upacara Reka Wuu. Letih dan mengantuk mulai terasa lantaran
tak sedetikpun memejamkan mata sepanjang malam.
Pagi 16
April di pelabuhan laut Wulublolong. Kapal motor Rahmat Solor merapat. Setelah
tali dilepaskan, kapal itupun menjauh membelah ombak pagi. Kota Larantuka samar
di kejauhan. Kapalpun menepis arus dan gelombang. Wulublolong perlahan menjauh.
Bulir-bulir jagung menguning di sepanjang pendakian ke kampung Wulublolong
perlahan hilang dari pandangan. Kekayaan budaya yang tersisa di Wulublolong
penuh makna tentang “Kedaulatan Pangan”. Pelajaran berharga tentang nilai-nilai
tata kelola ketahanan pangan yang sangat asli masih ditemukan di sini, di Wulublolong,
dalam upacara adat Reka Wuu.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.