Sabtu, 27 April 2013

Semalam di Wulublolong



Melky Koli Baran

Senin, 15 April 2013. Matahari miring di Barat. Pulau Solor di Flores Timur itu cerah dipayungi berkas-berkas sinar matahari menjelang senja. Tepat pukul 16.00. Kapal Motor Purnama lepas tali di pelabuhan Larantuka. Kurang lebih 30 menit berlalu, satu persatu pelabuhan laut di pesisir utara pulau Solor disinggahi: Ongalereng, Podor dan Wulublolong lalu Menanga. Sebelum matahari meghilang di ufuk barat, kapal Purnama merapat di pelabuhan Wulublolong. Para penumpang melompat turun. Setelah melewati pendakian sepanjang 1 kilo meter, sampailah kami di Wulublolong.
           
Kosmas Hayon, seorang guru Sekolah Dasar di kampung itu membawa kami ke rumahnya di kompleks SDK Wulublolong. Malam ini akan digelar upacara adat Reka Wuu, yakni upacara makan hasil panen baru pada musim panen tahun ini untuk orang tua. Malam ini merupakan puncak acara ini. Sebelumnya telah dilakukan untuk kelompok para gadis, lalu kelompok para bapak. Di kampung Wulublolong ini ada 10 suku. Dua orang pemangku suku dari suku Lamarebon dan Lamanepa yang berpuasa dan berpantang sejak masa tanam di bulan November tahun 2012 hingga malam ini akan mengakhiri pantang dan puasa. Mereka boleh makan hasil panen tahun ini. Bapak Lowa Lamarebon dan bapak Namajaga Lamanepa. Reka Wuu merupakan satu-satunya upacara adat di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur.
            Senja dan malam itu, para pengunjung, sanak famili, keluarga suku terkait dari berbagai kampung di Solor berdatangan. Bahkan utusan suku Lamanepa di Watoone, pulau Adonara juga hadir. Upacara ini sangat kental dengan nuansa pariwisata budaya. Maka tak heran, hadir juga dua staf dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kabupaten Flores Timur, Stef Da Silva dan Suban Dawan.

Konsentrasi di Tengah Kampung
            Sekitar pukul 19.00 satu persatu warga berdatangan ke lokasi upacara. Tepatnya di tengah kampung. Sebuah pelataran cukup luas. Di sinilah pusat kampung budaya ini. Sepuluh rumah adat dibangun membentuk formasi segi empat. Di tengah-tengahnya sebuah lapangan upacara cukup luas yang bisa menampung warga yang mengikuti upacara yang digelar di sini. Sebelah menyebelah lapangan itu, berdiri anggun rumah adat Lamarebon dan Lamanepa. Lapangan upacara di tengahnya dikelilingi kursi batu. Jumlahnya sesuai dengan jumlah para pemangku yang akan menempati kursi-kursi itu jika berlangsung upacara atau musyawarah kampung. Sejumlah korke juga dibangun di pelataran itu.
            Kosmas Hayon, guru Sekolah Dasar yang mengabarkan dan mengundang untuk menghadiri acara ini jika ada waktu. Juga bisa menulisnya. Di Wulublolong, sebelum ke tempat upacara ia menjelaskan bahwa upacara adat ini akan berlangsung semalam suntuk. Diawali upacara pembukaan di semua rumah adat lalu dilanjutkan dengan peryaan Ekaristi Kudus, makan bersama dan dilanjutkan dengan berbagai upacara adat hingga menjelang pagi.

Pantang Selama semusim
            Upacara Reka Wuu dimulai di semua rumah adat. Karena semua rumah adat melakukan upacara serentak maka kami hanya sempatkan diri menyaksikan upacara di rumah adat Lamarebon. Bapak Lowa Lamarebon yang memimpin upacara tersebut. Di sebuah ruangan khusus di rumah adat itu, sebanyak tuju orang tetua adat melingkar khusuk melakukan upacara adat. Melingkar mengelilingi sebuah batu. Konon itu simbol leluhur suku Lamarebon. Mantra-mantra adat diucapkan tanpa suara diiringi asap dupa dari sebuah tempurung. Hanya terlihat bibir bapak Lowa bergerak seperti sedang bicara. Lalu seekor ikan panggang dan nasi satu bakul kecil disantap bersama oleh ketuju tetua adat serta warga yang menyaksikan jalannya uapacara itu. Juga arak dan tuak putih diminun bergilir.
            Upacara selanjutnya terjadi di ke halaman depan rumah adat suku Lamarebon. Sebuah mesbah kecil dari batu menjadi pusat upacara memberi makan leluhur. Lalu dinaljutkan dengan persiapan mengikuti upacara ekaristi. Semua warga berpakaian adat. 
            Bapak Lowa Lamarebon dan Namajaga Lamanepa, kedua pemangku suku yang sukses melewati masa puasa dan pantang selama semusim. Sejak tanaman ladang ditanam di awal musim hujan, para anak gadis, laki-laki dewasa yang sudah menikah dan kedua pemangku suku ini mengikrarkan diri untuk melakukan pantang dan puasa terhadap berbagai jenis makanan baru yang tumbuh di musim hujan. Maka sepanjang musim hujan itu, mereka pantang makan sayuran musim hujan seperti daun labu kuning atau kestela, kacang-kacangan baru baik daun maupun buah. Ketika musim jagung muda, mereka pantang makan jagung muda. Masa pantang paling lama ditanggung oleh kedua pemangku suku dari suku Lamarebon dan Lamanepa. “Pada malam ini, melalui upacara ini, bapak Lowa Lamarebon dan Namajaga Lamanepa boleh makan makanan baru ini yang ditandai dengan upacara puncak Reka Wuu”, kata Arnold Lamanepa ketika berbincang-bincang di teras rumah adat suku Lamanepa.

Pusaka Suku Dibersihkan
             Selesai perayaan ekaristi, dilanjutkan dengan makan bersama. Suasana akrab bersaudara mewarnai pelataran depan kesepuluh rumah adat. Usai makan bersama dilanjutkan dengan upacara adat di setiap rumah adat. Semua pintu dan jendela rumah adat tertutup selama upacara berlangsung. Karena dilaksanakan serentak di semua rumah adat maka hanya bisa menyaksikan upacara itu di rumah adat suku Koten.
 Sementara pemimpin upacara suku Koten melakukan ukup tujuh kali keliling ruangan sakral di rumah adat, sebuah tabung bambu diturunkan dari ruang atas rumah adat itu. Di atas selembar tikar yang terbentang di lantai ruang tengah, isi tabung bambu dikeluarkan. Belasan keris pusaka tanpa tangkai dijejer di atas tikar. Bersamaan itu, dari ruang atas rumah adat diturunkan juga sejumlah meriam tua. Barang-barang pusaka itu diletakan di atas tikar. Ritus selanjutnya adalah membersihkan benda-benda pusaka itu menggunakan kelapa parut sehingga kelihatan mengkilat. Yang melakukan pembersihan ini hanyalah kaum laki-laki suku.
            Malam semakin larut. Pintu-pintu rumah adat yang berjejer mengelilingi lapangan upacara itu dibuka tanda upacara di tiap rumah adat telah selesai. warga berkelompok melakukan kunjungan dari rumah adat satu ke rumah adat lainnya. Di sana, ketika malam semakin larut dan waktu bergeser ke hari berikutnya tanggal 16 April, seekor ayam dipotong di ruang tengah tiap rumah adat tanda upacara akan berakhir. Daging ayam dimasak lalu dimakan beramai-ramai sambil ditemani tuak putih atau arak.

Berebut Jagung di Korke
            Sebuah ritus menarik berlangsung di dua korke antara rumah adat suku Koten dan Lamanepa. Para laki-laki remaja dan orang dewasa berebut jagung hasil panen tahun ini. Upacara ini hanya diikuti oleh kaum laki-laki. Bernard Lamanepa menjelaskan, jika perempuan ambil bagian dalam acara ini atau makan jagung yang diperebutkan dalam korke itu maka mereka akan terkena bala. Rambutnya akan gugur.
Sejumlah anak muda naik ke panggung korke. Sebuah bakul berisi puluhan batang jagung dibuang ke lantai panggung korke. Anak-anak itu mengguncang-guncangkan lantai yang terbuat dari bambu. Saat itu, jagung-jagung yang dihambur di lantai itu terjatuh ke kolong korke. Dalam suasana gelap gulita, para laki-laki dewasa maupun anak-anak merayap ke kolong korke dan berebutan jagung. Ritus ini diiringi gelak tawa riang gembira di malam yang kian larut.
Kata Bernard Lamanepa, jagung-jagung yang diperebutkan itu dibawa pulang ke rumah masing-masing dan hanya boleh dimakan oleh kaum laki-laki. Karena itu harus dijaga agar tidak tercampur dengan jagung lainnya di rumah agar tidak ikut dimakan oleh ibu-ibu dan anak-anak perempuan.
Perlahan kegelapan malampun surut. Bias-bias cahaya samar di ufuk timur. Pagi pun tiba. Warga bergegas pulang ke rumah masing-masing. Kami bersama guru Kosmas melangkah menjauh dari arena upacara Reka Wuu. Letih dan mengantuk mulai terasa lantaran tak sedetikpun memejamkan mata sepanjang malam.
Pagi 16 April di pelabuhan laut Wulublolong. Kapal motor Rahmat Solor merapat. Setelah tali dilepaskan, kapal itupun menjauh membelah ombak pagi. Kota Larantuka samar di kejauhan. Kapalpun menepis arus dan gelombang. Wulublolong perlahan menjauh. Bulir-bulir jagung menguning di sepanjang pendakian ke kampung Wulublolong perlahan hilang dari pandangan. Kekayaan budaya yang tersisa di Wulublolong penuh makna tentang “Kedaulatan Pangan”. Pelajaran berharga tentang nilai-nilai tata kelola ketahanan pangan yang sangat asli masih ditemukan di sini, di Wulublolong, dalam upacara adat Reka Wuu.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.