Oleh Melky Koli Baran
Flores Pos cukup sering menulis berita dan artikel
tentang sejumlah kasus di kabupaten Lembata. Kasus-kasus itu justru menjadi potret
buram bagi kepolisian di kabupaten Lembata sebagai sebuah institusi Negara. Dapat
saja institusi ini terus terpuruk jika tidak secepatnya dilakukan tindakan
pemulihan. Seperti apa tindakan
pemulihan itu, saya tidak perlu mendikte kepolisian dalam hal ini Kapolda NTT.
Seharusnya sudah jelas.
Indikasinya adalah terkesan penanganan sejumlah
kasus kriminal di Lembata oleh Polres mengundang segudang tanda tanya bahkan
protes. Hal-hal yang terkesan terus berulang sehingga ketika membaca cerita
media tentang penanganan kasus-kasus kriminal itu, orang akan berkata “ach, itu
bukan hal baru. Itu sepertinya telah menjadi pola polisi di sana”. Kita bisa memotretnya
dari sejumlah kasus kriminal di pulau itu.
Kematian
Tak Wajar Steven Manuk
Awal tahun 1990-an. Kala itu kota Lewoleba masih
sepih. Jalan depan kantor Pembantu Bupati masih berbatu. Di atas jalan berbatu
itu Steven Manuk ditemukan terkapar di jalan. Ia dilarikan ke RS Bukit
Lewoleba. Nyawanya tak tertolong. Lalu dalam hitungan hari bahkan jam, institusi
kepolisian di Lewoleba, dalam hal ini Polsek Lewoleba saat itu melalui
Kapolseknya Peltu Isak Ranga Ja mengatakan Steven Manuk adalah korban
kecelakaan lalu lintas. Pernyataan itu dilanjutkan dengan penetapan tersangka
pelanggaran lalu lintas.
Tak tanggung-tanggung tersangkanya adalah putra
seorang mantan Kapolsek Lewoleba, pak Benyamin Dasion. Sedangkan Steven Manuk
adalah putra Danramil Lembata Barat saat itu Peltu Bernardus Sesa Manuk. Sama-sama
dari Lamalera.
Ada hal yang aneh dalam kesimpulan cepat polisi yang
membuat publik terlebih keluarga korban tidak langsunng menerima kesimpulan
polisi ini. Tentu dengan sejumlah argument. Kendaraan yang dituduh menabrak
Steven adalah sebuah sepeda motor yang dikendarai Wendy Dasion tak sebanding
dengan luka korban. Namun polisi sangat kepala batu bahwa itu kecelakaan lalu
lintas. Walau rekonstruksi kasus itu
jelas-jelas bisa disimpulkan bahwa analisa polisi kurang akuratpun,
polisi tetap kepala batu. Kemudian polisi angkat tangan.
Pertanyaan yang menggelantung saat itu adalah
mengapa polisi sangat kepala batu dan bertahan dengan argumentasi yang dengan
mudah dirontokan? Ternyata setelah dicek lebih lanjut, Steven Manuk ditemukan
sekarat di jalan raya bukan karena ditabrak tetapi karena dianiaya di rumah
salah seorang purnawirawan polisi di Lewoleba, lalu direkayasa cerita bahwa dia
ditabrak. Pelaku penganiayaan sekaligus otak rekayasa buruk ini adalah anggota
Polisi juga. Seorang polisi yang masih aktif dan seorang lagi yang purnawirawan
dengan jabatan terakhir Kapolsek Lewoleba sebelum Benyamin Dasino.
Artinya,
kepala batunya polisi di Lewoleba saat itu karena memang polisi terlibat.
Ceritanya jelas, mau melindungi korps atau anggota yang busuk dan bopeng.
Intinya bahwa skenario dibuat karena ada “orang Kuat” di balik kasus ini, yakni
mantan Kapolsek Lewoleba.
Kematian
Yoakim Laka Langodai
Ketika Yoakim Laka Langodai ditemukan meninggal di
hutan bakau dekat Bandara Lewoleba, secepat kilat diduga ia mati bunuh diri.
Alasannya bahwa di leher almarhum Yoakim ada tali skapulir yang digunakannya
untuk membunuh diri.
Walau sejumlah desakan agar penyelidikan lebih
intensif dilakukan dan jangan tergesa-gesah membuat analisis yang prematur,
toh polisi saat itu hampir tak bergeming. Karena desakan masyarakat, maka kasusnya
perlahan-lahan terungkap. Walau hingga saat ini, mister X yang disebut-sebut
tak terungkap jelas.
Menariknya, pelaku pembunuhan adalah adik kandung
korban sendiri yang bersekongkol dan bekerja sama dengan anak kandung bupati
saat itu. Mirip-mirip dengan kasus Steven Manuk, yakni ada “orang kuat” di
dalam kasus ini sehingga polisi bersikap seperti itu, tidak professional.
Kematian
Lorens Wadu
Kasus terakhir di Lembata yang justru paling heboh
adalah kematian Lorens Wadu di Pondoknya. Heboh karena melibatkan anak kandung
dan adik kandung. Sungguh menarik simpati masyarakat luas. Walau demikian,
mirip-mirip dengan kasus Steven Manuk dalam hal kerumitan pengusutannya.
Mencermati rumitnya penyidikan kasus ini, serta
kondisi tubuh korban ketika ditemukan juga mirip-mirip. Maka ada dugaan telah
terjadi sesuatu yang lain dari hasil pengungkapan di pengadilan. Bahkan kasus
ini lebih heboh karena para pelakunya berfariasi, muai dari keluarga sangat
dekat, keluarga dekat, anggota DPRD, bahkan sempat disebutkan anggota Polisi
dari Polres Lembata. Dan lebih heboh lagi adalah, intel polisi membawa rekaman
sidang kasus ini ke rumah jabatan bupati untuk ditonton oleh bupati. Bahkan
disebut-sebut bahwa pada malam naas itu sebuah mobil merah sempat nyasar masuk
ke kompleks misi Lewoleba dan mencari jalan masuk ke kebun milik almarhum.
Apakah sama dengan Steven Manuk, dibunuh di lain tempat lalu diletakan di lain
tempat untuk menjebak orang lain sebagai pelaku paksaan?
Hal-hal seperti ini tidak sedikitpun menggerakkan
radar inteligen kepolisian untuk menjadikannya sebagai petunjuk ke arah semakin
terang benderangnya kasus ini. Bahkan dalam seluruh proses ini, ada pihak
tertentu yang belakangan diketahui hijrah atau dihijrahkan dari Lembata. Ada
yang kabarnya ke luar daerah dan ada yang ke Flores. Mereka itu anggota
keluarga dekat para tersangka saat ini. Ada apa? Dan mengapa mereka tiba-tiba
hijrah?
Sejumlah petunjuk yang tak mampu menggerakkan radar
ingtelijen polisi justru menjadikan kasus ini mirip dengan kasus Steven Manuk.
Jika kasus Steven manuk menjadi sulit karena anggota Polisi dan orang kuat di
Lewoleba terlibat, maka apakah polisi dan orang kuat di Lewoleba terlibat dalam
pembunuhan Lorens Wadu?
Disebutnya nama seorang anggota polisi dalam
pemeriksaan terdakwa dalam satu hari persidangan di PN Lewoleba dan bupati dan
polisi menonton bersama rekaman sidang, tidakkah menjadi penting untuk
diperiksa lebih lanjut. Apa hubungannya dengan anggota polres Lembata yang membawa
rekaman sidang ke rumah jabatan bupati dan ditonton juga oleh bupati? Apakah
dalam kasus Lorens Wadu juga ada “Orang Kuat” di belakangnya? Patut diduga ya, dan patut diduga juga bahwa
itu penyebab mandulnya polisi dalam kasus ini.
Skenario
Baru?
Penanganan kasus Loresn Wadu oleh Polisi sepertinya
selesai dengan proses hukum beberapa terdakwa saat ini. Pengembangan lebih
lanjut ke soal nama polisi yang disebut terlibat, mengapa dan untuk kepentingan
apa bupati menonton rekaman sidang di PN, dan misteri mobil merah sepertinya
tak menarik bagi polisi penyidik. Bahkan janji Kapolda untuk penyelesaikan
kasus ini perlahan dilupakan dan diganti dengan kasus-kasus lain.
Lebih heboh lagi adalah hadirnya Kasat Reskrim baru
yang dengan sigap “cerdas” memproses laporan bupati tentang pemalsuan dokumen
oleh DPRD Lebata. Hal yang aneh karena yang punya dokumen itu adalah DPRD bukan
bupati. Tapi untuk hal yang aneh seperti ini Polisi melalui Kasat Reskrim cepat
memprosesnya. Patut diduga ada skenario baru untuk menutupi kasus-kasus besar
seperti kematian Loresn Wadu dan buruknya kepemimpinan bupati Lembata. Apakah
untuk hal seperti itu polisi bisa diatur? Lalu untuk urusan rakyat seperti
Lorens Wadu? Itukah hasil janji Kapolda
NTT saat ke Lembata untuk menggantikan Kasat Reskrim supaya bekereja lebih
profesiobal?
Pertanyaannya, mengapa Kasat Reskrim sangat cepat
memproses sebuah laporan yang aneh seperti itu? Tahukah Kasat Reskrim bahwa
yang seharusnya mempersoalkan palsu tidaknya sebuah dokumen adalah pemilik
dokumen itu sendiri? Begitu rendahkah nalar seorang Kasat Reskrim dan seorang
Kapolres di sebuah Resort Kepolisian?
Ataukah memang ada agenda lain di balik semuanya ini untuk mengalihkan
perhatian DPRD, FP2L dan Aldiras dari kasus Lorens Wadu serta proses
pemberhentian bupati?
Di titik inilah, kita bisa menduga langkah polisi di
Lembata. Bukan langkah baru ketika merunut ke soal-soal serupa beberapa tahun
sebelumnya dan beberapa kasus sebelumnya. Apakah dengan proses hukum bagi
lembaga DPRD Lembata saat ini dengan tuduhan pemalsuan dokumen milik DPRD
sendiri merupakan upaya Polres Lembata untuk melindungi “Orang Kuat” di balik
kematian Lorens Wadu?
Yang pasti adalah, dari tanah Lembata, khsusnya
Lewoleba, darah almarhum Lorens Wadu serta darah para korban lainnya akan terus
berteriak meminta pertanggungjawaban terhadap siapapun yang berupaya merekayasa
penyelesaian kasus-kasus ini.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.