Tahun 2006. Ketika itu Flores Institute for Resources Developmnet (FIRD) yang sedang melakukan survey penyandang cacat bertemu dengannya. Pertemuan inipun berlanjud. Tetapi sebenarnya putrinya Kristina Wonga yang menjadi magnet mempertemukan ibu ini dengan FIRD. Kini desa Randotonda tempat asal ibu Stefania menjadi salah satu wilayah kerja FIRD untuk isu advokasi penyandang yakni melakukan proses Rrehabilitasi Berbasis Masyarakat.
Menghadapi putrinya yang cacat sejak lahir, ibu Stefaniana tidak putus asa. Juga tidak menyembunyikan anaknya karena malu memiliki anak cacat. Sungguh diamalkan apa yang sering dinasehatkan kata-kata bijak bahwa anak adalah anugerah Tuhan yang paling istimewa. Harta benda warisan sekalipun, tidak bisa menggeser posisi anak dari hati seorang ibu.
Hal itulah yang sesungguhnya menjaadikan ibu Stefaniana sebagai seorang ibu yang sangat sayang pada putrinya sekalipun sang putri cacat. Bahkan oleh ketulusan hati seorang ibu dalam merawat dan menerima apa adanya sang anak yang cacat, ibu Stefania membuka diri bagi kedatangan FIRD ke desanya. Dalam kerja sama dengan FIRD, putrinya Kristina tetap menjadi lebih penting di atas segala gagasan kerja sama ini. Yang ia rindukan adalah sang putri kesayangannya bisa bertumbuh seperti anak-anak sebaya lainnya. Bisa dengan lincah bergerak ke sama ke mari menikmati indahnya masa kanak-kanak.
Bersama tim dari FIRD, ibu Stefania membangun diskusi untuk mencari jalan keluar menjadikan putri kesayangannya sama seperti anak-anak lainnya. Bahkan oleh keuletan serta besarnya cinta pada sang anak, ia mau melakukan apa saja sesuai masukan dari pihak lain.
Menurutnya, rehabilitasi pada sanga putri sangat diutamakan. Yang penting, Kristina kecil yang masih lumpuh ini suatu saat bisa duduk, berdiri dan bahkan berjalan.
Berkat terapi yang dipelajari dari fisioterapis, ibu Stefania semakin yakin jika anaknya bisa sama seperti anak-anak lainnya. Karena itu, ia juga nekat bekerja merancang alat bantu menggunakan bahan-bahan lokal seperti kayu dan bambu. Alat bantu untuk membantu sang anak bisa duduk, merangkak dan berjalan.
Dikatakannya, hal ini tidak mudah. Bukan karena rumitnya merancang alat bantu tetapi pada pertanyaan-pertanyaan dan nada-nada minor masyarakat. “Mengapa anak dikandangni?” demikian salah satu contoh saja pertanyaan tantangan yang dihadapi.
Pertanyaan masyarakat ini lantaran, alat bantu dimaksud berupa palang sejajar, karena itu bentuknya seperti kandang. “Masya, untuk anak kok dibuat kandang”, demikian pernyataan masyarakat.
Menghadapi tantangan seperti ini butuh ketenangan dan keteguhan bathin. Hal ini dijalani ibu Stefani. Ia tahu, apa yang baik untuk anaknya. Dan setelah dua tahun, Krfistina menunjukkan kemajuan. Sudah bisa berdiri dan memulai melangkah. Awal yang baik. Tuhan pasti menyelesaikan karyaNya yang sudah ia mulainya pada keluarga ibu Stefani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.