Kamis, 08 Januari 2009

SIMPHONI PENGADILAN DAN PEMAAFAN

(Untuk Pemimpin Bangsa)
Oleh Melky Koli Baran
Minggu 27 Januari 2008. Ketika sedang ngobrol di teras rumah salah seorang anggota DPRD Kabupaten Jembrana, di Negara, Bali, seorang anak perempuan di rumah itu menyampaikan bahwa Soeharto telah meninggal. Salah seorang di antara kami berkata, “akhirnya sang penguasa Orde Baru itu mengakhiri kekuasaannya serta penderitaannya di dunia fana ini. Semoga Tuhan mengganjari amal dan perbuatannya selama masih di dunia.” Selama tiga minggu Soeharto dirawat, dan perawatannya disiarkan detail setiap saat. Ada pro dan kontra, apakah suharto tetap diadili atau diberikan pemaafan. Belum berakhir pro dan kontra itu, beliau sudah dipanggil Tuhan. Dan pro serta kontra itu terus hingga saat ini. Akankah dimaafkan, yang berarti sejarah mencatat tentang seorang “diktator” yang akhirnya tak pernah tersentuh hukum di sebuah negara hukum?

Dua orang presiden negeri kepulauan ini telah berpulang. Kepergian presiden yang kedua ini dibidik dan dipancarluaskan televisi. Selama kurang lebih seminggu. Belum termasuk selama dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta. Sedangkan Soekarno, agak tersembunyi bagi generasi kemudian. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) kurang memberi informasi tentang sosok pemimpin bangsa ini. Siapakah Soeharto dan Soekarno? Kedua pemimpin dengan sejuta kontroversi tapi penuh pesona cinta pada pertiwi.
***
Dalam buku “Soeharto: Pikiran, Ungkapan dan Tindakan Saya”, (G. Dwipayana dan Ramadan KH, penerbit Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), meneropong sosok Soeharto sebagai presiden ke-2 Republik Indonesia. Buku ini memuat jawaban-jawaban lugas atas sepak terjang sang jenderal besar ini dalam menjaga “rasa cintanya” pada tanah airnya.
Buku lain berjudul “Bungkarno Penyambung Lidah Rakyat” (Cindy Adams, Penerbit Gunung Agung), mengungkapkan bagaimana sosok Soekarno dengan berbagai pesona dan ketokohannya. Juga pemikiran-pemikiran cemerlangnya yang mendahului zamannya. Bung Karno sebagai pencinta yang hebat pada Negara dan bangsanya.
Kedua pemimpin bangsa ini memiliki rasa cinta cukup besar pada bangsa dan Negaranya. Karena itu, sebagai bangsa yang besar, selayaknya keduanya mendapatkan penghormatan yang tingi di hari tua. Sekurangnya setelah meletakan jabatan.
Soeharto berkuasa 32 tahun. Sejauh yang dirasakan generasi yang lahir sesudah tahun 1960, secara sistematis terjadi gerakan anti Soekarno. Sosok Soekarno seperti hilang dalam gemerlapnya pembangunan Orde Baru. Bahkan anak-anaknyapun mendapat pelabelan dan stigmatisasi politik selama kekuasaan Orde Baru. Terasa ketika Guruh dan Mega bergabung di Partai Demokrasi Indonesia pada era 1990-an. Di daerah-daerah, warnah merah pada atribut PDI disamakan dengan komunis. Juga Buku-buku yang memuat pikiran-pikiran Soekarno, serta yang berbau revolusi dan kekirian dibredel dan ditarik dari pasaran. Kondisi ini kemudian berbalik drastis ketika jatuhnya kekuasaan Soeharto.
Kedua pemimpin dan jenderal besar ini telah mengukir sejarah di pentas kenegaraan bangsa ini. Dengan pilihan politik sendiri demi menyelamatkan Republik. Bung Karno yang terhimpit berbagai transisi politik menjelang tragedi kelam Gestapu, perlahan memilih mundur dari pentas ketokohannya agar tidak mengorbankan rakyat. Ia kemudian kembali ke pangkuan Sang Khalik dalam kemiskinan kekuasaan, sahabat dan harta. Kurang lebih tidak tercatat secara dramatis kekayaan-kekayaan Bung Karno. Anak-anaknyapun menghilang dalam belantara pembangunan orde baru. Berjuang mempertahankan hidupnya bersama jutaan anak bangsa di tengah himpitan kekuasaan orde baru.
Seorang mantan ajudan Bung Karno, Brigadir Polisi Putu Sugianitri. Ia melukiskan sisi kemiskinan Bungkarno setelah jatuh. Ia pernah melihat sendiri Bung Karno meminta uang lima ribu rupiah pada Drs. Frans Seda. Juga seperti apa perlakuan-perlakuan kasar dan tidak manusiawi yang diterimanya. Koran-koran setiap pagi memuat berita-berita yang memojokkan dirinya. Sangat menghina. Bung Karno justru tidak menghindari berita koran. Setiap pagi ia membaca koran. Ia malah meledek isi koran dengan guyonan-guyonan. Terakhir baru ia berkata jujur. Semuanya ia lakukan karena kecintaannya pada Indonesia yang dengan susah paya diperjuangkan kemerdekaannya. Bung Karno sadar. Ia masih punya dukungan dari rakyat dan pasukan bersenjata. Tetapi jika ia memilih melawan, akan ada perang saudara. Berarti bangsa yang telah dengan susah paya dimerdekakan ini akan hancur dalam perang saudara. Ia juga tidak mau hidup dalam suaka politik di negeri orang. Ia memilih mati di tengah bangsa yang ia bangun dengan susah payah (Radar Bali, 26/1/2008).
Pak Harto, penguasa Orde Baru. Yang teramat sulit disentuh hukum ini, mundur dan menikmati hari tuanya di tengah terpaan dan tudingan berbagai pelanggaran dan penyalahgunaan kekuasaan. Soeharto kurang lebih menyandang berbagai predikat yang belum tuntas terjawab hingga sang Khalik memanggilnya 27 Januari pkl. 12.30 WIB. Ia melenggang ke puncak kekuasaan melalui jalan yang dialiri darah rakyat dalam tragedi kelam 1965-1966 (dan mundur melalui jalan darah para mahasiswa dan aktivis tahun 1998) . Tragedi yang menelan ratusan ribu korban rakyat. Tanpa sebuah pengadilan selayaknya sebuah negara hukum. Ny Dewi Soekarno menulis surat terbuka kepada Soeharto tangal 16 April 19970. “ ... bukan maksud saya mencela kebijakan politik yang tuan lakukan, akan tetapi perhatian saya tertumpa pada mereka yang dibunuh dan diteror memakai dalih “pembersihan terhadap golongan merah” sejak peristiwa G 30 S itu terjadi. Padahal kebanyakan dari mereka itu hanyalah pengikut-pengikut Soekarno yang tidak tahu menahu tentang peristiwa G 30 S. Bahkan saya memperoleh berita, bahwa tak kurang dari 800.000 rakyat Indonesia yang telah terbunuh, di antaranya kaum wanita dan anak-anak, karena hanya sebagai simpatisan PKI” (Dalam Peter Dale Scott, Peran CIA Dalam Penggulingan Soekarno, Media Pressindo, hal.8). Pada halaman 9 buku ini, Ny Dewi bertanya lagi pada Soeharto. “Saya ingin bertanya pada tuan: mengapa pertumpahan darah yang hebat itu sampai terjadi atas mereka yang belum tentu berdosa?
Semua pertanyaan ini belum satupun terjawab. Kini Soeharto yang diam atas semua pertanyaan itu telah menuju dunia diam yang abadi. Hukum negeri inipun diam. Ketika usia Soeharto semakin uzur, angin tuntutan agar pengadilan atas dirinya dalam dugaan kasus-kasus korupsi sebagai Presiden tetap dilakukan. Ada nada kekuatiran agar tidak tercatat dalam sejarah bahwa bangsa ini memiliki pemimpin dengan predikat hukum sebagai tertudu koruptor. Dan tuduhan itu terbawa terus tanpa ada jawaban yang jelas.
***
Hari tua Bung Karno. Ia menderita di akhir hidupnya dan mengakhiri hidupnya dalam kesunyian pemberitaan media. Penderitaan seorang orator dan politisi ulung. Disuruh diam di rumahnya. Dibatasi aktivitas politiknya.
Hari tua Soeharto. Dengan mudah diikuti perkembangan akhir hidupnya dari detik ke detik. Terlebih hari-hari hidupnya di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta. Sangat detail diberitakan media. Sosok Jenderal Besar. Terlihat lemah dan rapuh. Terbaring di atas ranjang Rumah Sakit terbalut selimut warnah hijau. Dengan mudah disaksikan. Layar-layar TV menyorot sosok lemah ini, lalu memproyeksikan ke jutaan pesawat TV di seluruh penjuru negeri bahkan dunia. Berulang kali sosok lemah sang Jenderal, tengah didorong dari pintu RSPP itu ditayangkan. Kekuatan media dalam momentum kerentanan Jenderal Besar, Penguasa Odre Baru yang tak tersentuh hukum ini menyampaikan berbagai perspektif untuk para pemirsa. Para pemirsa tentu terpola dalam pro dan kontra.
Dan ketika detik-detik akhir hidupnya di RSPP, suasana di rumah duka dan proses pemakaman, yang dimulai dari rumah duka Jl. Cendana menuju Lanud Halimperdana Kusuma, ke Solo lalu mendaki ke Astana Giribangun. Semuanya dipancarluaskan. Semua mata anak bangsa menyaksikan. Mata yang berlimang air mata duka. Mata yang memerah sendu. Juga mata yang mungkin mendelik memelototi monitor TV. Atau mata yang teliti mengamati detik demi detik tanpa kata. Atau mungkin mata berbinar bercampur kecewa karena berbagai misteri bangsa dan tragedi kemanusiaan kini terkubur sudah di Astana Giribangun.
Prosesi ketuaan sang Jenderal. Prosesi kerentanan sang pemimpin bangsa. Prosesi perawatan penguasa orde baru. Prosesi perdebatan di media dan di ruang lain kehidupan bangsa ini tentang dugaan kasus-kasus HAM dan korupsi yang belum tersentuh hukum. Prosesi yang menampilkan wajah ganda. Melantunkan simphoni ganda. Simphoni Pengadilan dan simphoni Pemaafan.
Sebagai bangsa yang besar, seharusnya menghormati para pemimpinnya. Dan sebagai bangsa yang bermartabat, seharusnya jujur dan adil terhadap para pemimpinnya. Jujur menghormati kebesaran para pemimpinnya. Tetapi juga menempatkan sosok pemimpinnya di atas rasa keadilan rakyatnya. Jujur secara moral memaknai kesejahteraan rakyat yang tercipta dari tangan pemimpin. Sebaliknya secara hukum adil terhadap pemimpin yang tanganya berlumur darah rakyat dalam tragedi-tragedi kemanusian. Jujur terhadap korban-korban kemanusiaan, yang tercipta oleh kebijakan membangun sebuah bangsa besar. Kebijakan yang memilih jalan darah rakyat demi amannya modal dan kekuasaan.
Bagaimanakah selanjudnya nasib para korban pembangunan Orde Baru? Tragedi kelam tak tersentuh “G 30 S” yang disusul berbagai tragedi kemanusiaan lainnya. Seperti di “Tanah Emas” Papua, Timor Timur, aktivis pro demokrasi yang berakhir dengan peristiwa Semanggi dan penistaan etnis tertentu di Mei 1998. Tragedi yang kemudian menghantar kejatuhan rezim Orde Baru.
***
Prosesi hari tua pak Harto hingga Astana Giribangun merupakan prosesi penuh simpohoni pengadilan dan pemaafan. Ada tendensi kuat yang ekstirm hormat pada para pemimpin bangsa. Ekstrim ini aktif melafalkan simphoni pemaafan bagi penguasa Orde Baru ini. Dilengkapi dengan berbagai jasa dan penghargaan yang diraihnya. Simphoni yang dilatari jasa-jasa kepemimpinan mensejahterakan bangsa ini. Lalu ekstrim lain yang menjunjung tinggi rasa keadilan rakyat dan penghormatan pada Hak Asasi Manusia melafalkan simphoni pengadilan. Menghormati jasa dan kebesaran pemimpin tidak harus menenggelamkan kekelaman sejarah yang ditinggalkan sang pemimpin. Berlaku jujur pada pemimpin adalah memberikan penghormatan yang proporsional, termasuk mengadili jika diduga bersalah.
Akankah bangsa ini proporsional dengan para pemimpinnya, baik yang telah meninggal maupun yang masih berkuasa. Bangsa yang konsisten pada penegakkan hukum secara proporsional akan melahirkan para pemimpin bangsa yang mampu menghapus air mata dan derita rakyat. Pemimpin bangsa yang tidak saja mengejar kesejahteraan dengan menggadaikan bangsa dan daerah ini demi modal dan uang lalu lupa pada derita, air mata, darah dan nyawah rakyat. Seorang saja rakyat yang korban sia-sia lebih bernilai untuk dibela ketimbang segunung uang untuk kesejahteraan yang belum tentu merata untuk rakyat. Pemimpin bangsa yang besar adalah yang tidak nyaman dalam tidurnya karena masih ada lolongan tangisan rakyat di malam kelam. Bukannya pemimpin yang tidur nyenak dalam kekuasaannya, yang bisu dan tuli terhadap penderitaan dan korban yang terus berjatuhan.
***
NTT, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Sering dipleseti dengan Nasib Tidak Tentu. Plesetan yang lahir dari sejuta ceritera buram pembangunan di daerah ini. Gisi buruk selalu menjadi hiasan media dari tahun ke tahun. Kasus dugaan korupsi para pejabat dari Propinsi hingga daerah dan desa yang semakin menggila. Pengusutan dan pengadilan para koruptor yang tak pernah mampu mengembalikan uang rakyat. Propinsi ini sekurangnya menjadi Indonesia mini. Indonesia dengan ceritera gisi buruk rakyat dan korupsi para pejabat semasa pemerintahan Orde baru. Korupsi menempati angka memalukan tapi rezim Soeharto tak tersentuh sebagai tersangka koruptor. Apalagi tervonis koruptor. Perlukah simphoni pemaafankah terhadap sang pemimpin?
Di tengah dilema ini, propinsi kepulauan NTT sedang siap menggelar Pilkada. Akankah ada simphoni pemaafan bagi para pemimpin NTT yang selama ini tak mampu mensejahterakan rakyat, bahkan pemerintahan yang menumpuk dugaan kasus korupsi agar mereka kembali memimpin NTT ini? Ataukah ada simphoni pengadilan rakyat di hari Pilkada Gubernur dengan pilihan menyepak keluar bekas pemimpin yang sedang mau jadi pemimpin lagi?
Simphoni pemaafan tidak pantas dinyanyikan di NTT jika propinsi ini mau maju. Saya justru bermimpi agar pemimpin di Propinsi miskin ini kelak berani menyeret para koruptor ke meja pengadilan. Walau belum ada korupor yang masuk bui, namun apa yang mulai dilakukan sejumlah bupati perlu menjadi pelajaran kita ketika memilih presiden, gubernur, bupati dan kepala Desa.
Simphomi pengadilan dan pemaafan atas Soeharto sebagai pemimpin mengajak kita untuk kembali membaharui cara kita memandang kesejahteraan rakyat dan kesejahteraan pemimimpin dan koruptor untuk membangun Indonesia dan NTT di hari esok. ***

Telah dimuat dalam Flores Pos, Selasa, 19 Februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.