Kamis, 08 Januari 2009

MENYELAMATKAN EKOSISTEM DAS

DAS Kali Paobokol yang saat ini sedang digasak
penebang liar untuk produk kayu olahan.
Kasusnya dibawa ke pengadilan.
Ketika memasuki musim hujan pada akhir 2008 dan awal 2009, terpotret kembali beberapa kejadian mengenaskan sepanjang tahun 2008 yang berkaitan dengan hujan. Mas media telah pula merekam sejumlah kejadian seputar Nusa Tenggara Timur, yang mengesankan iklim dan alam yang belum ramah.

Hujan yang deras mengguyur tanah Timor selama sepekan di selatan Belu, ditambah banjir kiriman dari Kabupaten Timor Tengah Utara dan Timor Tengah Selatan menyebabkan sungai Benanain meluap. Selasa, 29 Januari 2008 dan Minggu 17 Februari 2008 sekitar pukul 03.00 Wita luapan Benanai menggenangi rumah warga yang tersebar di Desa Lasaen dan Umatoos, Kecamatan Malaka Barat, Kabupaten Belu. Ketinggian air mencapai setengah sampai satu meter, menghanyutkan perabot rumah dan merusakkan tanaman warga.


Senin, 18 Februari 2008, sebanyak 77 Kepala Keluarga yang terdiri 274 jiwa dari Dusun Umamota, Desa Lasaen mengungsi ke Besikama (Kota Kecamatan Malaka Barat). Kamis, 21 Februari, luapan mencapai ketinggian 2,5 meter dan “menenggelamkan” Dusun Umamota, Lasaen, Bikolo dan Besuri di desa Lasaen. 23 warga terjebak banjir dan berhasil menyelamatkan diri. Namun harta benda hanyut.

Di Kabupaten Sikka, Selasa, 19 Februari 2008, bocah Solviana Lenggo, siswi kelas I SD Ladu Bewa, Kecamatan Magepanda meninggal terseret banjir sungai Watu Wa. Dari Desa Kambatatana, Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur, Minggu, 30 Maret 2008, 42 hektar tanaman pangan seperti jagung, kacang tanah yang siap panen serta pisang rusak disapu banjir Sungai Kawangu. Memasuki penghujung 2008, tepatnya Senin, 8 Desember, Enggelina Uki (34), Sara Uki (7) dan Nora Banu (8) tewas tersapu banjir Sungai Lili, dan Ruth Banu (35) dinyatakan hilang.

Aneka pertanyaan bisa terlintas di benak dan terungkap di bibir tentang sebab musabab semuanya ini. Salah satu yang pasti, kondisi mengenaskan ini terjadi lantaran Daerah Aliran Sungai (DAS) kurang terawatt. Gugatan pertama bagi penduduk yang bermukin dan beraktivitas diwilayah DAS mulai dari hulu hingga hilir.

Daerah Aliran Sungai

DAS merupakan wilayah daratan yang menjadi saatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya. Das berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Merupakan kesatuan ekosistem utuh dari hulu sampai hilir, yang terdiri dari unsur utama tanah, vegetasi, air maupun udara, yang memiliki fungsi penting dalam pembangunan ekonomi masyarakat.

Luas wilayah daratan NTT sebesar 47.349,9 Km2. Juga merupakan propinsi kepulauan yang terdiri dari 566 pulau. Daratan dan pulau seluas ini memiliki 307 wilayah DAS dengan keragaman sifat dan karakteristik biofisik, satuan lahan dan sumber daya alam. Keseluruhan luas wilayah DAS di Provinsi NTT mencapai 4.735.000 ha, terbagi dalam 6 Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) DAS, yaitu SWP DAS Timor, 1.512.079 ha, SWP DAS Rote 128.011 ha, SWP DAS Alor 286.470 ha, SWP DAS Lembata 126.638 ha, SWP DAS Flores 1.576.562 ha dan SWP DAS Sumba 1.105.240 ha.

Menurut Gerson ND Njurumana, penelitia pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang, dari aspek kuantitas, jumlah DAS tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi yang tinggi dalam mendukung berbagai sektor pembangunan terkait. Namun kenyataannya jumlah yang banyak itu belum diikuti kualitas ekosistem DAS yang seimbang, sehingga manfaat ekosistem dan jasa lingkungan yang dihasilkan masih terbatas. Hal ini ditunjangi tingkat kerusakan DAS di Provinsi NTT dewasa ini yang semakin memprihatinkan sehingga mengakibatkan bencana banjir, tanah longsor, krisis air dan kekeringan. semuanya berdampak pada perekonomian dan tata kehidupan masyarakat.

Hasil citra landsat tahun 2004 memperlihatkan bahwa jumlah lahan kritis di NTT telah mencapai 2.195.756 ha atau 46% dari luas wilayah sebesar 4.735.000 ha. Kondisi ini makin diperparah laju peningkatan lahan kritis selama 20 tahun terakhir yang mencapai 15.163,65 ha/tahun. Sedangkan kemampuan rehabilitasi hanya mencapai 3.615 ha/tahun, sehingga perbandingan antara laju degradasi dengan upaya penanaman 4:1.

Informasi ini, paralel dengan laporan Suriamihardja (1990) bahwa kegiatan pembakaran vegetasi di NTT mencapai 1.000.000 ha/tahun padang rumput dan 100.000 ha/tahun hutan sekunder. Indikasi ini diperkuat laju kehilangan hutan. Pulau Sumba rata-rata 6000 ha/tahun, sehingga tutupan hutan saat ini lebih kurang 7% (Kinnaird, et al, 2003). Bahkan, Direktur DAS Departemen Kehutanan, Silver Hutabarat menuturkan, ada tiga propinsi di wilayah Republik Indonesia berpotensi menjadi gurun pasir apabila degradasi hutannya tidak ditangani serius yakni, provinsi Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Tenggara.

Pengelolaan DAS

Medio Maret 2006 Forum DAS NTT melakukan kunjungan ke DAS Cidanau, Provinsi Banten. DAS Cidanau seluas 22.620 ha. Merupakan salah satu sumberdaya pendukung pembangunan di wilayah barat Provinsi Banten dan salah satu lokasi industri strategis bagi Indonesia. Terbangun dari lebih kurang 18 Sub DAS dengan debit air 2.590 liter/detik. Sekitar 1.690 liter/detik menjamin kebutuhan air masyarakat dan industri di daerah Cilegon dengan nilai investasi US $ 1,936,463,291. Saat ini 4.300 ha kawasan DAS Cidanau merupakan lahan kritis yang membutuhkan penanganan serius. Betapa strategisnya DAS Cidanau sehingga perencanaan pengelolaan sumberdaya ekosistim dan lahannya termuat dalam rencana Tata Ruang Daerah, Bappeda Provinsi Banten.

Hal yang menarik adalah kesediaan sektor industri dan pemda membayar jasa lingkungan dari usaha konservasi daerah hulu yang dilakukan masyarakat. Kompetisi usaha terbangun karena masyarakat memenuhi persyaratan jasa lingkungan. Setiap petani di hulu harus memelihara 500 pohon dalam 1 ha lahan garapannya. Penentuan 500 batang pohon yang mendapatkan pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp 1,2 juta/ha/tahun dilakukan secara partisipatif. Tidak berlaku untuk jenis tanaman legume. Masyarakat menentukan jenis pohon yang akan dipelihara untuk mekanisme jasa lingkungan. Selanjutnya pengelola jasa lingkungan melakukan penomoran dan pendataan biofisik tanaman termasuk pemanfaatan GPS untuk menentukan titik koordinat setiap pohon. Tahun 2006, Pemerintah Provinsi Banten membayar jasa lingkungan sebesar Rp 550.000.000 kepada masyarakat hulu untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya hutan dan lahan yang mendukung fungsi konservasi sumber daya alam.

Prinsip serupa juga dilakukan oleh PT Krakatau Tirta Industri (KTI) yang memanfaatkan air untuk industri di kawasan Cilegon. Pembayaran jasa lingkungan sebesar Rp 175.000.000/ tahun bagi pengembangan hutan kemasyarakatan di daerah hulu Cidanau. Komitmen pembayaran jasa lingkungan juga dilakukan Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan industri lain yang berada di kawasan hilir maupun pihak yang memanfaatkan sumber daya air.

Melalui mekanisme pembayaran jasa lingkungan, diharapkan dapat mengendalikan laju perambahan dan kerusakan hutan di daerah hulu sekaligus memberdayakan kesejahteraan masyarakat di sekitar DAS agar lebih kompetitif dalam menjaga hutan dibandingkan dengan pemanfaatan tata guna lahan lainnya.

Guna meningkatkan kerja kolaboratif para pihak dalam melestarikan Cagar Alam Rawa Danau di kawasan hulu DAS Cidanau dibentuklah Forum Komunikasi DAS Cidanau (FKDC). CA Rawa Danau meliputi tiga kecamatan Padarincang, Pabuaran dan Mancak semuanya di Kabupaten Serang. Luas Rawa Danau mencapai 2.500 ha. Legitimasi pembentukan FKDC melalui Surat Keputusan Gubernur Banten. FKDC bersama pemerintah dan multi stakeholder berupaya mencari sumber-sumber pendanaan dari pihak luar untuk mendukung mekanisme pembayaran jasa lingkungan dengan mengacu pada Protokol Kyoto.

Sejenak kita ke belahan dunia barat, Republik Federal Jerman. Di sana mereka mengelola Sungai Rhine yang merupakan salah satu sungai terpanjang di Eropa. Mengalir sepanjang 1.320 kilometer, sungai ini melintasi Swiss, Jerman, dan Belanda, serta Luksemburg, Perancis, dan Belgia. Sungai ini dipelihara dengan sangat serius oleh negara-negara itu. Komisi khusus dibentuk untuk mengurusi sungai, dan menyelamatkan dari pencemaran. Rhine saat ini sangat aman, padahal, hingga tahun 1970-an, Rhine adalah sungai dengan tingkat pencemaran tinggi. Hewan sungai menyingkir, termasuk ikan salmon – salah satu ikan khas. Industri di daerah aliran sungai menjadi sebabnya.

Pada semua Negara yang dilintasi Rhine dibentuk komisi penyelamat sungai. Bekerja sama memulihkan dan menyehatkan sungai. Termasuk di Negara bagian North Rhine Westphalia, Jerman dengan ibukota Koln. Brigitte von Danwitz, State Agency for Nature, Environment and Consumer Protection North Rhine Westphalia (LANUV-NRW), kepada para duta muda lingkungan dari 18 Negara pada 6 November lalu di Leverkusen, mengatakan, penanganan Rhine dimulai pada tahun 1963 dengan perjanjian negara-negara yang dilalui sungai itu.

Dibentuklah International Commission for the Protection of the Rhine (ICPR). ”Periode 1965-1975 organisme yang hidup di Sungai Rhine turun drastis. Lalu, naik lagi hingga menjadi 160 spesies pada tahun 1995,” ucap Brigitte. Kondisi ini serupa dengan tahun 1990-an ketika di Sungai Rhine hidup sekitar 160 spesies. Upaya penyelamatan sungai secara bersama-sama telah berhasil. Saat ini Rhine menjadi tempat yang nyaman, juga bagi hewan yang sebelum terjadinya pencemaran berat hidup di sepanjang aliran sungai itu. (HU Kompas edisi Senin, 1 Desember 2008)

Perda DA

Kembali ke NTT. bagaimana dengan pengelolaan DAS di Provinsi ini? Pemerintah dan DPRD Provinsi memberi perhatian terhadap pengelolaan DAS secara terpadu. 25 Maret 2008, Gubernur Piet Alexander Tallo menandatangani penetapan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi NTT Nomor 5 Tahun 2008 tentang Pengelolaan DAS Terpadu.

Perda ini merupakan Perda DAS pertama di Indonesia. Konon Perda DAS NTT dijadikan rujukan bagi para petinggi Departemen Kehutanan dalam penyusunan Peraturan Pemerintah tentang DAS. Perda DAS NTT merupakan sumbangan berharga anak-anak Nusa Flobamora bagi Nusantara.

Pengelolaan DAS Terpadu adalah proses penataan yang mengintegrasikan kegiatan berbagai sektor terkait dalam jajaran pemerintahan bersama swasta maupun dengan masyarakat dalam hal perencanaan, pelaksanaan, pembinaan dan pemberdayaan serta pengendalian kawasan daerah aliran sungai mulai dari hulu sampai hilir bagi kepentingan pembangunan demi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mempertahankan kelestarian ekosistim kawasan tersebut.

Pasal 25 dan 32 perda ini menguraikan pemanfaatan dan penggunaan hutan, lahan dan air pada kawasan lindung di bagian hulu dan hilir DAS agar tetap memperhatikan kelestarian ekosistim, dilakukan dengan mendayagunakan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan secara lestari. Selain itu, Pasal 38 mengatur bahwa masyarakat adat yang secara turun temurun telah memiliki hak mengusahakan wilayah DAS berhak menikmati manfaat berupa barang dan jasa lingkungan yang dihasilkan dari pengelolaan DAS terpadu. Di samping itu, masyarakat adat berkewajiban mengembangkan pemanfaatan sumberdaya DAS yang ramah lingkungan, mematuhi program pengelolaan DAS Terpadu, memperhatikan keberlanjutan ekosistim sumber daya hutan, lahan dan air di DAS dalam pemanfaatannya bagi keberlanjutan hidup dan melakukan pengawasan dalam pemanfaatan sumber daya hutan, lahan dan air di DAS.

Diharapkan, wacana jasa lingkungan perlu mendapat perhatian dari segenap stakeholder di Provinsi NTT yang telah menikmati manfaat DAS di wilayahnya, kalau ingin wilayah hulu sampai hilir tetap lestari dan bencana alam terhindarkan. Bukankah ada pepatah yang mengatakan, lebih baik mencegah daripada menikmati bencana.* (Sumber: ICCON)

(Keterangan Foto: DAS Kali Paobokol yang saat ini sedang digasak penebang liar untuk produks kayu olahan - kasusnya dibawa ke Pengadailan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.