Minggu, 11 Januari 2009

REHABILITASI PENYANDANG CAAT B ERBASIS MASYARAKAT

Memperingati hari Penyandang Cacat Internasional 3 Desember, bertempat di aula Bung Karno, Penerbit Nusa Indah Ende, 2 Desember berlangsung diskusi publik kerja sama Flores Institute for Resources Development (FIRD) dan Harian Umum Flores Pos. Menarik dari diskusi ini adalah FIRD melalui presentase Direkturnya Ronny So menyampaikan konsep Rehabilitasi Berbasis Maasyarakat (RBM). Ternyata ini bukan konsep kosong. Konsep ini dibangun dan diberi nama oleh FIRD berdasarkan refleksi pengalaman pendampingan sesama penyandang cacat di kabupaten Ende duatahun terakhir.


Mengapa harus berbasis masyarakat? Hal ini karena sebagai sesama manusia, sejatinya sama-sama bertanggungjawab sebagai komunitas untuk meringankan beban-beban yang dipikul. Sebab menurut data, di kabupaten Ende yang berpenduduk 250.338 jiwa itu 1,8% penyandang cacat. Angka yang teramat kecil. Berarti masih ada mayoritas penduduk yang tidak cacat sebanyak 98,2%. Mengapa yang tidak cacat ini tidak membantu merehabilitasi 1,8% sesamanya yang cacat yang berjumlah kurang lebih 4.549 jiwa? Jumlah ini terdiri dari cacat fisik 2.421 jiwa, mental 439 jiwa dan ganda sebanyak 1.689 jiwa.


Mitos


Ronny memaparkan, dari populasi ini, sebenarnya masyarakat bisa secara mandiri di desa-desa melakukan rehabilitasi, menolong sesamanya yang cacat untuk pulih. Persoalan yang ditemukan FIRD ternyata tidak semudah itu. Hal ini karena di kampung-kampung dan komunitas-komunitas masih hidup berbagai mitos. Mitos-mitos ini diduga lahir sebagai jawaban atas pertanyaan “Mengapa ada orang cacat?” Mitos-mitos umumnya membangun cara pandang bahwa orang yang lahir cacat adalah kutukan. Karena kutukan maka sulit disembuhkan. Takdir yang tidak bisa diubah. Mitos-mitos inilah yang membuat masyarakat pasrah pada masib.

Perilaku lain sebagai akibat dari mitos-mitos bentukan masyarakat ini adalah tidak ada upaya untuk melakukan terapi atau pengobatan. Bahkan karena dianggap sebagai kutukan maka keluarga cenderung mengisolasi atau menyembunyikan anggota keluarganya yang cacat. Orang tua malu memperlihatkan anaknya yang cacat pada orang lain. Karenanya, anak-anak cacat tidak juga dibawa ke Posyandu setiap bulan. Padahal Posyandu langsung di desa.


Hasil survey, observasi dan kerja lapangan FIRD memperlihatkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang kecacatan masih sangat minim. Juga rendahnya pengetahuan dan cara penanganan terhadap jenis kecacatan masyarakat. Masyarakat juga beranggapan bahwa cacat disebabkan oleh perilaku orang tua pada masa lalu atau karena melanggar adat.


Rendahnya Pendapatan


Ronny So menjelaskan, semakin beratnya beban rehabilitasi anggota keluarga yang cacat dikarenakan ketakmampuan keluarga penyandang cacat. Survey yang dilakukan FIRD menyimpulkan, pendapatan ekonomi keluarga penyandang cacat jika diuangkan berkisar antara 20 ribu sampai 150 ribu rupiah perbulan. Angka yang sangat kecil dan jauh di bawah standar minimum kehidupan yang layak.


Kemiskinan ini menjadi semakin kronis karena umumnya keluarga penyandang cacat jarang melibatkan atau menggabungkan diri dalam kebersamaan masyarakat membangun kemandirian ekonomi. Survey FIRD tentang hal ini memperlihatkan semangat membangun ekonomi berkelompok, terlibat dalam usaha bersama sangat rendah rendah karena beban-beban psikologis sebagai keluarga yang memiliki anggota cacat. Akses ke pendidikan juga tidak tersedia. Di kabupaten Ende hanya ada satu saja Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Perencanaan pembangunan dari tingkat Desa belum memperhatikan kebutuhan para penyadang cacat. Pembangunan infrastruktur umumpun belum memperhitungkan kebutuhan penyandang cacat.


Karena itu, menurutnya, untuk memperbaiki kondisi anggota masyarakat yang cacat, masyarakat sendirilah yang harus melaksanakannya. Masyarakat harus bertanggungjawab membantu sesamanya yang cacat. Rehabilitasi sepereti terapi, menciptakan alat bantu haruslah dilakukan oleh maasyarakat bagi sesamanya sendiri di desa.


Hal ini tentu tidaklah mudah. Yang diperlukan hanyalah kemauan dari setiap keluarga pemnyendang cacat da dukungan sesama warga yang lain. Anak yang sulit duduk, belum bisa duduk, berdiri, merangkak dan berjalan bia dilatih menggunakan alat bantu duduk, alat bantu berdiri dan berjalan. Pengalaman kerja dan inovasi yang dibangun FIRD bahwa alat bantu seperti disebutkan ini sesungguhnya bisa diadakan sendiri oleh masyarakat. Bahan baku seperti kayu dan bambu tersedia gratis di desa. Di desa juga ada tukan-tukang terampil. Dengan demikian, alat bantu seprti ini bisa diciptakan sendiri di desa. Masayarakat bisa melakukan sendiri.


Yang menjadi kesuklitan adalah, sudah tertanam dalam diri setiap orang bahwa anak cacat itu kutukan an hukuman, sulit disembuhkan, dan bahwa menyembuhkan anak cacat perlu peralatan canggih buatan tekhnologi yang jauh dari desa. Padahal, keterampilan dan sumberdaya di desa bisa diorgnisir untuk membantu sesama yang cacat.


Mitos arus dibongkar. Paradigma baru harus dibangun. Rantai ketergantungan harus diputuskan.***
(Foto: seorang anak cacat sedang latih berjalan menggunakan alat bantu buatan orang tua sendiri - kreatifitas yang difasilitasi FIRD)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.