Kabupaten Ende ada di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Di sini terdapat Danau tiga warnah. Tepatnya di tiga kawah puncak gunung berapi Kelimutu. Danau yang juga menjadi salah satu keajaiban alam dunia. Memiliki luas kurang lebih 204.660 ha. 55,932 ha di antaranya lahan pertanian. Mayoritas penduduk tinggal di desa-desa sebagai petani lahan kering dan sedikit lahan basah. Curah hujan sangat minim, berkisar antara 250-900 mm/tahun, dengan rata-rata 20-90 hari hujan per tahunnya. Namun demikian, sektor pertanian menyumbang terbesar bagi PDRB yang mencapai 31,53%. Pendapatan perkapita antara penduduk pedesaan dan kota sekitar 1:4.
Pemerintahan Kabupaten Ende meliputi 20 kecamatan dengan cakupan 192 desa dan 22 kelurahan. Total penduduknya 259,394 jiwa dengan kepadatan penduduk 122 jiwa/km2. Pertumbuhan penduduk mencapai 1,48%.
***
Penjajakan resiko dan ancaman yang dilakukan Flores Institute for Resources Development (FIRD) memperlihatkan keanekaragaman ancaman (multi hazard). Kilas balik ceritera bencana yang sering dan pernah terjadi meliputi alam, kejadian luar biasa dan bencana sosial. Juga potensi pengembangan industri pertambangan yang berpotensi terjadi gagal tekhnologi. Jenis ancaman alam meliputi gempa bumi, tsunami/gelombang pasang, letusan gunung api, debris flow, banjir, tanah longsor, kekeringan, angin kencang, KLB (DBD, Malaria, Diare, Gizi Buruk, Antraks, Rabies), hama dan penyakit tanaman, kegagalan teknologi, dan kebakaran.
Potensi dan ancaman bencana sosial berupa konflik-konflik berlatarbelakang persaingan bisnis dan politik. Event-event Pilkada maupun dalam pengelolaan tata pemerintahan dan pembangunan yang berindikasi KKN. Perilaku politik pemerintahan seperti ini lalu melahirkan protes dan ketidakpuasan kelompok tertentu yang dapat saja melahirkan perkelahian antar kelompok pendukung. Gangguan terhadap rumah ibadah maupun proses pelaksanaan ibadah kelompok agama tertentu berpotensi menimbulkan kerusuhan. Juga posisi Flores yang semakin terbuka dan menjadi salah satu sumber produksi komoditi perdagangan, justru melahirkan persaingan bisnis di sini, yang juga akan menyeret masyarakatnya ke dalam pusaran konflik. Harga komoditi masyarakat pribumi yang terus menerus ditekan bisa saja meletupkan konflik sosial.
***
Sekecil apapun ancaman di wilayah ini dapat saja berubah menjadi bencana dengan resiko tinggi bagi komunitas yang memiliki tingkat kerentanan wilayah dan kapasitas masyarakat yang rendah. Di sisi lain, masyarakat belum biasa melakukan penjajagan resiko jika terjadi bencana, dan karena itu belum memiliki kemampuan. Karena itu maka perencanaan pembangunan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat juga belum memperhitungkan tingginya ancaman banjir dan tanah longsor. Dengan demikian, jika tejadi bencana maka tingkat kerusakan rumah penduduk dan infrastruktur jalan jembatan serta lahan pertanian juga sangat tinggi.
Hal ini berdampak pada tidak terbangunnya sistem kesiapsiagaan komunitas untuk menghadapi masa-masa penuh ancaman. Pada musim hujan dengan curah hujan tertinggi. Akibatnya, jika terjadi banjir atau longsor, korban dan resiko yang sangat tinggi.
Pengalaman desa Ndungga tahun 2003 bisa dipelajari. Banjir dan longsor yang tak terduga kedatanganya itu memakan korban jiwa 28 orang tewas, 11 hilang dan 28 rumah hanyut dan merusak areal pertanian. Besarnya korban dan kerugian karena masyarakat tidak berada pada posisi siaga walau sudah empat hari hujan mengguyur wilayah. Rusaknya areal pertanian masyarakat berbuntut pada gagal panen, rawan pangan dan meningkatnya jumlah orang miskin.
Tiga desa yang menjadi wilayah kerja FIRD (Ndungga, Tiwu Tewa dan Kedebodu) terletak di kawasan rawan longsor dan banjir. Ketiga desa itu berada persis di lereng gunung curam berhimpitan dengan aliran sungai Wolowona yang bermuara ke Timur Bandara Ende. Sungai itu nyari kering di musim kemarau namun meluap-luap di musim hujan. Alam seperti ini belum diikuti penguatan kapasitas masyarakatnya. Kemampuan membaca tanda alam masih minim. Pengetahuan tentang resiko longsor dan banjir masih terbatas. Di sisi lain aktivitas ekonomi penduduk cenderung merusak bentangan alam. Penebangan pohon berhubungan dengan aktivitas pertanian dan penambangan batu dan pasir di lereng-lereng gunung dan bukit.
Di antara sejumlah keterbatasan ini, masyarakat masih memiliki pendaman modal sosial yang merupakan kekayaan kultural yang menjadikan mereka bertahan dalam kondisi sulit dikepung bencana. Seperti di Ndungga, ketika terjadi bencana dan sebelum datang bantuan dari luar, masyarakat bahu membahu menolong sesama korban, mengevakuasi barang dan orang sakit ke lokasi terdekat yang aman, lalu mengabarkan bencana ini ke pihak-pihak di luar komunitas. Juga otoritas kelembagaan adat, agama, pemerintahan desa yang juga membantu pengurangan resiko-resiko bencana. Pengalaman lapangan juga memperlihatkan bahwa dalam keadaan sulit dikepung bencana, tingkat solidaritas menguat. Berbagai sekat sosial terlampaui. Yang ada adalah sama-sama sedang menghadapi masalah.
***
Merespon tingginya ancaman serta peta kapasitas masyarakat di tiga desa maka FIRD selama setahun telah memfasilitasi langkah-langkah ke arah pengurangan resiko bencana berbasis komunitas. Konservasi gunung, lahan pertanian dan alur sungai Wolowona menjadi pilihan intervensi pengurangan resiko banjir dan longsor. Selain itu, memperkuat modal sosial yang telah dimiliki masyarakat dengan memfasilitasi pengembangan Organisasi Desa untuk Pengurangan Resiko Bencana. Lalu hal penting lain yang sedang difasilitasi FIRD untuk mendukung dua intervensi langsung di masyarakat ini adalah advokasi kepemerintah Kabupaten Ende.
Konservasi gunung dan alur sungai merupakan keputusan bersama masyarakat ketika FIRD memfasilitasi pertemuan lintas tiga desa. Sebagai sebuah kawasan rawan longsor dan banjir, ketiga desa ini sepakat untuk melakukan upaya-upaya konservasi gunung dan alur sungai melalui penanaman kemiri, bambu, mahoni, enau/aren, pisang dan tanaman-tanaman lokal lainnya.
Terhadap aktivitas sadar masyarakat tiga desa ini, FIRD juga memfasilitasi dukungan dari pemerintah daerah Kabupaten Ende. Dinas Kehutanan dan Bapedalda menjadi instansi yang dalam proses ini terpanggil sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Maka memasuki musim tanam 2008-2009, Dinas Kehutanan dan Bapedalda terlibat memfasilitasi penanaman 4.500 anakan tanaman di kawasan longsor. Dari 4.500 anakan tanaman ini, 2000 anakan mahoni disuport oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Ende. Selebihnya merupakan tanaman-tanaman lokal yang dengan mudah diakses masyarakat, seperti bambu dan enau/aren.
Disadari FIRD bahwa penanaman pohon bukanlah satu-satunya upaya pengurangan resiko bencana banjir dan longsor. Juga dukungan pemerintah seperti Dinas Kehutanan dan Bapedalda niscaya tidak berlangsung selamanhya. Yang permanen di masyarakat adalah partisipasi sadar masyarakat setempat. Untuk itulah, FIRD juga memfasilitasi pengurangan resiko bencana berbasis masyarakat. Gagasan ini lahir dari kesadaran FIRD sebagai pendamping bahwa masyarakat memiliki kearifan, pengetahuan serta pranata lokal yang dapat menjadi kekuatan membangun ketahanan lokal pengurangan resiko bencana.
Proses ini telah berlangsung dan berhasil memfasilitasi pembentukan Tim Siaga Bencana Desa di desa Ndungga, Kedubodu dan Tiwutewa. TSBD menjadi organisasi desa yang memfasilitasi proses dan aktivitas pengurangan resiko bencana berbasis masyarakat. Proses ini telah pula medapatkan dukungan Pemda Kabupaten Ende. Bupati Ende telah mengeluarkan Instruksi no 1 tahun 2008 tentang Pembentukan TSBD di semua desa di Kabupaten Ende yang rawan bencana.
Agar posisi dan peran TSBD ini efektif maka dalam proses selanjudnya akan difasilitasi kebijakan-kebijakan tingkat Desa untuk mendukung upaya-upaya pengurangan resiko bencana, seperti Peraturan Desa, diakomodirnya TSBD ke dalam struktur Pemerintahan Desa, Perencanaan Pembanguana Desa yang berperspektif Pengurangan Resiko Bencana serta adanya alokasi anggaran desa untuk mendukung kegiatan-kegiatan swadaya masyarakat melakukan konservasi gunung dan alur sungai. *** (Rony dan Melky)
Pemerintahan Kabupaten Ende meliputi 20 kecamatan dengan cakupan 192 desa dan 22 kelurahan. Total penduduknya 259,394 jiwa dengan kepadatan penduduk 122 jiwa/km2. Pertumbuhan penduduk mencapai 1,48%.
***
Penjajakan resiko dan ancaman yang dilakukan Flores Institute for Resources Development (FIRD) memperlihatkan keanekaragaman ancaman (multi hazard). Kilas balik ceritera bencana yang sering dan pernah terjadi meliputi alam, kejadian luar biasa dan bencana sosial. Juga potensi pengembangan industri pertambangan yang berpotensi terjadi gagal tekhnologi. Jenis ancaman alam meliputi gempa bumi, tsunami/gelombang pasang, letusan gunung api, debris flow, banjir, tanah longsor, kekeringan, angin kencang, KLB (DBD, Malaria, Diare, Gizi Buruk, Antraks, Rabies), hama dan penyakit tanaman, kegagalan teknologi, dan kebakaran.
Potensi dan ancaman bencana sosial berupa konflik-konflik berlatarbelakang persaingan bisnis dan politik. Event-event Pilkada maupun dalam pengelolaan tata pemerintahan dan pembangunan yang berindikasi KKN. Perilaku politik pemerintahan seperti ini lalu melahirkan protes dan ketidakpuasan kelompok tertentu yang dapat saja melahirkan perkelahian antar kelompok pendukung. Gangguan terhadap rumah ibadah maupun proses pelaksanaan ibadah kelompok agama tertentu berpotensi menimbulkan kerusuhan. Juga posisi Flores yang semakin terbuka dan menjadi salah satu sumber produksi komoditi perdagangan, justru melahirkan persaingan bisnis di sini, yang juga akan menyeret masyarakatnya ke dalam pusaran konflik. Harga komoditi masyarakat pribumi yang terus menerus ditekan bisa saja meletupkan konflik sosial.
***
Sekecil apapun ancaman di wilayah ini dapat saja berubah menjadi bencana dengan resiko tinggi bagi komunitas yang memiliki tingkat kerentanan wilayah dan kapasitas masyarakat yang rendah. Di sisi lain, masyarakat belum biasa melakukan penjajagan resiko jika terjadi bencana, dan karena itu belum memiliki kemampuan. Karena itu maka perencanaan pembangunan baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat juga belum memperhitungkan tingginya ancaman banjir dan tanah longsor. Dengan demikian, jika tejadi bencana maka tingkat kerusakan rumah penduduk dan infrastruktur jalan jembatan serta lahan pertanian juga sangat tinggi.
Hal ini berdampak pada tidak terbangunnya sistem kesiapsiagaan komunitas untuk menghadapi masa-masa penuh ancaman. Pada musim hujan dengan curah hujan tertinggi. Akibatnya, jika terjadi banjir atau longsor, korban dan resiko yang sangat tinggi.
Pengalaman desa Ndungga tahun 2003 bisa dipelajari. Banjir dan longsor yang tak terduga kedatanganya itu memakan korban jiwa 28 orang tewas, 11 hilang dan 28 rumah hanyut dan merusak areal pertanian. Besarnya korban dan kerugian karena masyarakat tidak berada pada posisi siaga walau sudah empat hari hujan mengguyur wilayah. Rusaknya areal pertanian masyarakat berbuntut pada gagal panen, rawan pangan dan meningkatnya jumlah orang miskin.
Tiga desa yang menjadi wilayah kerja FIRD (Ndungga, Tiwu Tewa dan Kedebodu) terletak di kawasan rawan longsor dan banjir. Ketiga desa itu berada persis di lereng gunung curam berhimpitan dengan aliran sungai Wolowona yang bermuara ke Timur Bandara Ende. Sungai itu nyari kering di musim kemarau namun meluap-luap di musim hujan. Alam seperti ini belum diikuti penguatan kapasitas masyarakatnya. Kemampuan membaca tanda alam masih minim. Pengetahuan tentang resiko longsor dan banjir masih terbatas. Di sisi lain aktivitas ekonomi penduduk cenderung merusak bentangan alam. Penebangan pohon berhubungan dengan aktivitas pertanian dan penambangan batu dan pasir di lereng-lereng gunung dan bukit.
Di antara sejumlah keterbatasan ini, masyarakat masih memiliki pendaman modal sosial yang merupakan kekayaan kultural yang menjadikan mereka bertahan dalam kondisi sulit dikepung bencana. Seperti di Ndungga, ketika terjadi bencana dan sebelum datang bantuan dari luar, masyarakat bahu membahu menolong sesama korban, mengevakuasi barang dan orang sakit ke lokasi terdekat yang aman, lalu mengabarkan bencana ini ke pihak-pihak di luar komunitas. Juga otoritas kelembagaan adat, agama, pemerintahan desa yang juga membantu pengurangan resiko-resiko bencana. Pengalaman lapangan juga memperlihatkan bahwa dalam keadaan sulit dikepung bencana, tingkat solidaritas menguat. Berbagai sekat sosial terlampaui. Yang ada adalah sama-sama sedang menghadapi masalah.
***
Merespon tingginya ancaman serta peta kapasitas masyarakat di tiga desa maka FIRD selama setahun telah memfasilitasi langkah-langkah ke arah pengurangan resiko bencana berbasis komunitas. Konservasi gunung, lahan pertanian dan alur sungai Wolowona menjadi pilihan intervensi pengurangan resiko banjir dan longsor. Selain itu, memperkuat modal sosial yang telah dimiliki masyarakat dengan memfasilitasi pengembangan Organisasi Desa untuk Pengurangan Resiko Bencana. Lalu hal penting lain yang sedang difasilitasi FIRD untuk mendukung dua intervensi langsung di masyarakat ini adalah advokasi kepemerintah Kabupaten Ende.
Konservasi gunung dan alur sungai merupakan keputusan bersama masyarakat ketika FIRD memfasilitasi pertemuan lintas tiga desa. Sebagai sebuah kawasan rawan longsor dan banjir, ketiga desa ini sepakat untuk melakukan upaya-upaya konservasi gunung dan alur sungai melalui penanaman kemiri, bambu, mahoni, enau/aren, pisang dan tanaman-tanaman lokal lainnya.
Terhadap aktivitas sadar masyarakat tiga desa ini, FIRD juga memfasilitasi dukungan dari pemerintah daerah Kabupaten Ende. Dinas Kehutanan dan Bapedalda menjadi instansi yang dalam proses ini terpanggil sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Maka memasuki musim tanam 2008-2009, Dinas Kehutanan dan Bapedalda terlibat memfasilitasi penanaman 4.500 anakan tanaman di kawasan longsor. Dari 4.500 anakan tanaman ini, 2000 anakan mahoni disuport oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Ende. Selebihnya merupakan tanaman-tanaman lokal yang dengan mudah diakses masyarakat, seperti bambu dan enau/aren.
Disadari FIRD bahwa penanaman pohon bukanlah satu-satunya upaya pengurangan resiko bencana banjir dan longsor. Juga dukungan pemerintah seperti Dinas Kehutanan dan Bapedalda niscaya tidak berlangsung selamanhya. Yang permanen di masyarakat adalah partisipasi sadar masyarakat setempat. Untuk itulah, FIRD juga memfasilitasi pengurangan resiko bencana berbasis masyarakat. Gagasan ini lahir dari kesadaran FIRD sebagai pendamping bahwa masyarakat memiliki kearifan, pengetahuan serta pranata lokal yang dapat menjadi kekuatan membangun ketahanan lokal pengurangan resiko bencana.
Proses ini telah berlangsung dan berhasil memfasilitasi pembentukan Tim Siaga Bencana Desa di desa Ndungga, Kedubodu dan Tiwutewa. TSBD menjadi organisasi desa yang memfasilitasi proses dan aktivitas pengurangan resiko bencana berbasis masyarakat. Proses ini telah pula medapatkan dukungan Pemda Kabupaten Ende. Bupati Ende telah mengeluarkan Instruksi no 1 tahun 2008 tentang Pembentukan TSBD di semua desa di Kabupaten Ende yang rawan bencana.
Agar posisi dan peran TSBD ini efektif maka dalam proses selanjudnya akan difasilitasi kebijakan-kebijakan tingkat Desa untuk mendukung upaya-upaya pengurangan resiko bencana, seperti Peraturan Desa, diakomodirnya TSBD ke dalam struktur Pemerintahan Desa, Perencanaan Pembanguana Desa yang berperspektif Pengurangan Resiko Bencana serta adanya alokasi anggaran desa untuk mendukung kegiatan-kegiatan swadaya masyarakat melakukan konservasi gunung dan alur sungai. *** (Rony dan Melky)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.