Oleh Melky Koli Baran
Mengapa pada sistem multikultur ketahanan pangan petani cukup aman dan peran perempuan cukup mendapat tempat, lalu pada masa sistem monokultur justru sering terjadi ancaman ketahanan pangan dan gizi buruk?
Pengantar
Umumnya strandar-standar ukuran kemiskinan mengacu pada fariabel ekonomi dengan kesalahan terbesar pada aspek nature. Kurang meyentuh struktur dan kultur. Pembangunan juga direkayasa untuk mencegah, mengurangi dan mengatasi kemiskinan. Kemudian ada fakta bahwa lajunya kemiskinan justru berkejaran dengan gencarnya pembangunan. Mengapa? Di sinilah, problem kemiskinan bukan cuma problem ekonomi dengan titik berat kesalahan pada nature. Ada problem struktur dan kultur, yang berpeluang pada terjadinya ketidakadilan Gender. Basis studi kasus yang menginspirasi tulisan ini adalah petani Flores Timur yang telah mengalami pergeseran struktur dan kultur pertanian dari pertanian multikultur (keanekaragaman tanaman) ke tanaman monokultur jambu mete.
Artikel inji terinspirasi oleh sebuah studi yang dilakukan Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) tahun 2006 di komunitas Lewolema untuk mempelajari produsksi dan pemasaran komoditi pertanian Jambu Mente.
Persoalan Kemiskinan dan Posisi Perempuan
a. Kemiskinan Sebagai Persoalan
Kemiskinan selalu tampil sebagai persoalan struktural dan kultural. Intervensi pembangunan atas nama perbaikan ekonomi telah mengubah struktur dan kultur masyarakat sebagai petani budidaya aneka jenis tanaman ke budidaya monokultur, misalnya ”Jambu Mete” sebagai tanaman mayoritas. Hal ini berhasil mengubah pandangan petani Flores Timur bahwa perbaikan kehidupan tergantung pada banyaknya ”uang” yang dihasilkan. Dengan menanam jambu mete sebanyakp-banyaknya di hampir semua lahan pertanian, petani bisa mendapatkan uang sebanyak-banyaknya pada setiap musim panen. Uang menjadi satu-satunya alat pemenuh keanekaragam kebutuhan hidup, mulai dari urusan makan, pakaian, pendidikan, kesehatan dll. Kebutuhan petani bergantung pada suplai pihak luar. Ketahanan hidup menjadi rentan, karena ditentukan pasar dan kebijakan pembangunan umum (global). Tak
Mengapa pada sistem multikultur ketahanan pangan petani cukup aman dan peran perempuan cukup mendapat tempat, lalu pada masa sistem monokultur justru sering terjadi ancaman ketahanan pangan dan gizi buruk?
Pengantar
Umumnya strandar-standar ukuran kemiskinan mengacu pada fariabel ekonomi dengan kesalahan terbesar pada aspek nature. Kurang meyentuh struktur dan kultur. Pembangunan juga direkayasa untuk mencegah, mengurangi dan mengatasi kemiskinan. Kemudian ada fakta bahwa lajunya kemiskinan justru berkejaran dengan gencarnya pembangunan. Mengapa? Di sinilah, problem kemiskinan bukan cuma problem ekonomi dengan titik berat kesalahan pada nature. Ada problem struktur dan kultur, yang berpeluang pada terjadinya ketidakadilan Gender. Basis studi kasus yang menginspirasi tulisan ini adalah petani Flores Timur yang telah mengalami pergeseran struktur dan kultur pertanian dari pertanian multikultur (keanekaragaman tanaman) ke tanaman monokultur jambu mete.
Artikel inji terinspirasi oleh sebuah studi yang dilakukan Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) tahun 2006 di komunitas Lewolema untuk mempelajari produsksi dan pemasaran komoditi pertanian Jambu Mente.
Persoalan Kemiskinan dan Posisi Perempuan
a. Kemiskinan Sebagai Persoalan
Kemiskinan selalu tampil sebagai persoalan struktural dan kultural. Intervensi pembangunan atas nama perbaikan ekonomi telah mengubah struktur dan kultur masyarakat sebagai petani budidaya aneka jenis tanaman ke budidaya monokultur, misalnya ”Jambu Mete” sebagai tanaman mayoritas. Hal ini berhasil mengubah pandangan petani Flores Timur bahwa perbaikan kehidupan tergantung pada banyaknya ”uang” yang dihasilkan. Dengan menanam jambu mete sebanyakp-banyaknya di hampir semua lahan pertanian, petani bisa mendapatkan uang sebanyak-banyaknya pada setiap musim panen. Uang menjadi satu-satunya alat pemenuh keanekaragam kebutuhan hidup, mulai dari urusan makan, pakaian, pendidikan, kesehatan dll. Kebutuhan petani bergantung pada suplai pihak luar. Ketahanan hidup menjadi rentan, karena ditentukan pasar dan kebijakan pembangunan umum (global). Tak
heran, petani dapat membangun rumah tinggal memadai, memiliki perlengkapan rumah cukup, dll, namun problem ketahanan hidup dan asupan gizi bagi anak-anak amat labil. Substansi kemiskinan di wilayah ini terbaca sebagai akibat pergeseran paradigma, yang menggantungkan seluruh urusan kehidupan pada faktor luar (pasar dan kebijakan pembangunan umum, mengabaikan sistem dan kultur lokal). Hari esok kehidupan petani bergantung pada belaskasihan pasar dan kebijakan pembangunan umumnya. Kemandirian petani tetapjadi jargon.
b. Posisi Perempuan Dalam Persoalan Kemiskinan Ini
Pergeseran pola seperti diuraikan di atas sangat memungkinkan penumpukan beban kerja pada kaum perempuan serta berpindahnya pengendalian aset (kontrol) ke tangan laki-laki. Dalam kultur pertanian di Flores Timur yang patriarkat, laki-laki lebih dominan mengolah dan merawat tanaman. Urusan panen dan paska panen dikendalikan kaum perempuan. Ketika orientasi pertanian diintervensi secara struktural sampai ke pasar maka kulturpun berubah. Perempuan yang menangani peran-peran paska panen akan terbebani dengan urusan panen, menjual ke pasar, dan mengolah seluruh hasilnya dalam bentuk uang yang terbatas untuk membiayai seluruh kehidupan keluarga, yang sering tidak mencukupi.
Studi YPPS di Komunitas Lewolema, Flores Timur bahwa rata-rata 1 KK memanen 1-1,5 Ton biji mete setiap tahun dengan harga di pasaran (data tahun 2005) berkisar antara Rp 3.000-Rp7.000/kg. Setahun seorang petani hanya menghasilkan Rp 3.000.000 sampai Rp 7.000.000. Penghasilan sebesar ini menjadi tanggungjawab kaum perempuan untuk mengolahnya agar memenuhi kebutuhan hidup harian. Hal ini melahirkan beban sosial dan psikologis bagi perempuan. Dengan penghasilan seperti ini, asupan gisi bagi anak-anakpun bermasalah dan bergantung pada pihak luar. Pangan dan gizi bukan menjadi kemandirian petani.
Di samping itu menguatnya peran uang dalam segala urusan membuka ruang penyimpangan dan penguasaan aset oleh laki-laki. Laki-laki yang lebih leluasa bergerak di luar rumah cenderung menggunakan uang lebih dibanding perempuan, seperti untuk merokok, minuman keras dan berjudi. Kepentingan perempuan dan anak-anak sering terabaikan.
Akar Kemiskinan
Ancaman kehidupan seperti digambarkan di atas memperlihatkan profil kemiskinan struktural yang disebabkan oleh intervensi struktur-struktur pembangunan. Pola dan pendekatan pertanian yang berorientasi pasar telah melemahkan posisi tawar rakyat (petani). Rakyat bekerja membanting tulang sebagai petani tetapi dalam struktur ekonomi dan pembangunan ia seakan tidak diperkenankan untuk berdaulat atas hasil kerjanya. Apa yang ditanam di ladanganya berada pada skenario pihak luar jika masuk ke pasar. Kemudian harga jual hasil keringat rakyat selaku petani ditentukan pembeli. Rakyat terpaksa menjualnya walau dengan harga yang sangat rendah karena tidak ada alternatif lain selain hasil panennya (jambu mete) dijual ke pasar untuk mendapatkan uang dan kemudian dengan uang diharapkan memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Sebab jika tidak menjual maka berbagai kebutuhan hidup, terlebih makan sehari-hari terganggu. Belum lagi jika usaha pertanian monokultur itu mengalami kegagalan masal karena faktor alam atau serangan hama dan penyakit. Tak heran, jika gagal panen atau harga di pasaran anjlok, rakyat berhadapan dengan banyak kesulitan. Sebagaimana dialami petani Kakao di Rubit, Kabupaten Sikka. Ketika tanaman kakao terserang hama dan akhirnya gagal panen, seluruh kehidupan petani kakao di wilayah itu sangat terganggu. Jika kesulitan ini dipertanyakan, semua saluran informsi akan memberikan jawaban yang sama dan seragam bahwa apa yang terjadi mengikuti mekanisme pasar. Dan seperti apa mekanisme pasar itu, petani makin sulit mencernahnya, lalu pasrah pada nasib sebagai petani.
Studi kasus memperlihatkan petani tidak punya jawaban terhadap persoalan kemiskinan seperti ini, apalagi melawannya. Ada satu dua pengalaman kecil pemasaran bersama oleh petani yang turut mempengaruhi kenaikan harga, namun tidak bertahan. Petani sangat rentan.
Untuk bertahan hidup pada masa sulit seperti ini, usai panen petani baik laki-laki maupun perempuan mencari pekerjaan tambahan, bahkan sampai ke luar desa misalnya sebagai buruh bangunan pada proyek-proyek pemerintah. Ada yang merangkap sebagai buruh tani pada sesamanya dengan upah antara Rp 15.000 – Rp 30.000/hari. Ada yang merantau ke luar negeri sebagai buruh migran ilegal, lalu meninggalkan istri dan anak-anak bergulat sendirian bertahun-tahun memikul beban-beban ganda. Ada pula yang kemudian pulang ke kampung setelah merantau sekian lama sambil membawa istri dan anak-anak baru dari perantauan. Harapan terjadi perubahan hidup berganti jadi beban, baik ekonomi maupun sosial priskologis.
Kemiskinan dan Ketidakadilan
Iklim kemiskinan dan ketakberdayaan sangat mudah terjadi ketidakadilan sosial. Dalam konteks kehidupan pertanian seperti digambarkan di sini, ketidakadilan nampak kasat mata. Petani yang bekerja membanting tulang, berjemur di tengah terik matahari, harus rela dan terpaksa menjual komoditinya dengan harga murah karena tidak ada pilihan lain. Sementara kelompok penguasa pasar memanen keuntungan dalam bisnis ini. Kelompok kuat yamenguasai informasi dan modal berhak memanen keuntungan, sementara petani yang sudah terlanjur dibuat bergantung pada pasar hanya bisa puas dengan harga penjualan hasil pertaniannya yang murah.
Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan struktural lantaran yang kuat menguasai yang lemah. Studi YPPS tahun 2006 memperlihatkan bahwa seluruh hasil tanaman mete setelah masuk pasaran, mengalir ke pabrik pengolahan kacang mete di India. Berapa harga eksport kacang mete ke luar India tak diketahui petani. Sebagai perbandingan, di pasaran lokal Flores Timur, harga 1 kg kacang mete Rp 60.000, yang dihasilkan dari mengolah + 5 kg biji mete.
Kondisi kemiskinan juga turut mendorong terciptanya ketidakadilan gender. Selain beban ganda yang dipikul kaum perempuan dalam upaya turut mengatasi persoalan kemiskinan, dalam kondisi kemiskinan ketidakadilan gender terjadi di bawah tekanan kultur patriarkat. Contoh kasus yang bisa menjelaskan persoalan ini pada keluarga korban tenaga kerja ilegal ke luar negeri. Kondisi keterpisahan hidup antara suami dan istri karena salah satu pihak merantau mengancam kesetiaan perkawinan. Jika terjadi kasus seperti ini, penyelesaiannya sangat dominan patriarkat. Kalau suami kembali dari perantauan sambil membawa istri dan anak-anak baru hampir tidak dianggap sebagai masalah. Sementara suami kembali dan mendapatkan istrinya di kampung memiliki anak baru, justru menjadi masalah dan malapetaka. Budaya patriarkat yang sangat memuja kesetiaan istri pada suami akan memandang hal ini sebagai aib bagi keluarga, dan perempuan semacam ini pantas ”dihukum”.
Strategi Penanggulangan Terorganisir
Dalam konteks kasus petani Jambu Mete, pemecahannya memperhatikan akar kemiskinan, yakni ketidakadilan struktural dan ketidakadilan gender. Struktur pasar yang menguasai petani dilawan dengan desain struktur pengendalian pasar di tangan petani untuk meningkatkan posisi tawar, serta membangun jaringan kerja dengan komponen lain yang searah. Proses penawaran akan lebih adil jika terbangun kekuatan-kekuatan petani terorganisir yang beranggotakan laki-laki dan perempuan untuk melakukan pemasaran secara bersama dan berjaring. Pengorganisasian petani menjadi alat tawar menawar dengan mekanisme pasar. Juga, melalui organisasi petani laki-laki dan perempuan, ruang-ruang diskusi kritis tentang kerentanan hidup sebagai petani mulai dipersoalkan secara adil menuju perubahan-perubahan yang berbasis kebutuhan dan dukungan sumberdaya lokal.
Studi YPPS mendapatkan informasi bahwa dalam pemasaran, kaum perempuan lebih telaten melakukan negosiasi dan penawaran harga di pasar serta lebih realistis berpikir tentang fakta kerentanan hidup keluarga. Jika petani laki-laki dan perempuan terorganisir dengan pembagian peran dan tanggungjawab yang adil maka akan muncul sebagai kekuatan alternatif. Perbaikan ketimpangan gender mungkin mulai dari sini lantaran dalam kultur patriarkat, perempuan yang diposisikan lemah dan bergantung pada laki-laki sebagai pencari nafkah akan diseimbangkan jika perempuan mengambil peran publik turut mengatur pemasaran dan jaringan. Implikasinya, perempuan turut mengatur dan mengelola uang di pasaran bersama laki-laki. Upaya-upaya penguatan kapasitas kaum perempuan, seperti pengetahuan dan keterampilan menjadi agenda pengorganisasian petani. ***
(Foto: 1. Kebun jambu mente di Belogili, Keecamatan Lewolema; 2. Bapak Yakobus Tukan dari Lewotala dan Yakobus Krowe dari Lamatou memgembangkan jenis tanaman baru selain Jambu Mente - Upaya keluar dari akar kemiskinan)b. Posisi Perempuan Dalam Persoalan Kemiskinan Ini
Pergeseran pola seperti diuraikan di atas sangat memungkinkan penumpukan beban kerja pada kaum perempuan serta berpindahnya pengendalian aset (kontrol) ke tangan laki-laki. Dalam kultur pertanian di Flores Timur yang patriarkat, laki-laki lebih dominan mengolah dan merawat tanaman. Urusan panen dan paska panen dikendalikan kaum perempuan. Ketika orientasi pertanian diintervensi secara struktural sampai ke pasar maka kulturpun berubah. Perempuan yang menangani peran-peran paska panen akan terbebani dengan urusan panen, menjual ke pasar, dan mengolah seluruh hasilnya dalam bentuk uang yang terbatas untuk membiayai seluruh kehidupan keluarga, yang sering tidak mencukupi.
Studi YPPS di Komunitas Lewolema, Flores Timur bahwa rata-rata 1 KK memanen 1-1,5 Ton biji mete setiap tahun dengan harga di pasaran (data tahun 2005) berkisar antara Rp 3.000-Rp7.000/kg. Setahun seorang petani hanya menghasilkan Rp 3.000.000 sampai Rp 7.000.000. Penghasilan sebesar ini menjadi tanggungjawab kaum perempuan untuk mengolahnya agar memenuhi kebutuhan hidup harian. Hal ini melahirkan beban sosial dan psikologis bagi perempuan. Dengan penghasilan seperti ini, asupan gisi bagi anak-anakpun bermasalah dan bergantung pada pihak luar. Pangan dan gizi bukan menjadi kemandirian petani.
Di samping itu menguatnya peran uang dalam segala urusan membuka ruang penyimpangan dan penguasaan aset oleh laki-laki. Laki-laki yang lebih leluasa bergerak di luar rumah cenderung menggunakan uang lebih dibanding perempuan, seperti untuk merokok, minuman keras dan berjudi. Kepentingan perempuan dan anak-anak sering terabaikan.
Akar Kemiskinan
Ancaman kehidupan seperti digambarkan di atas memperlihatkan profil kemiskinan struktural yang disebabkan oleh intervensi struktur-struktur pembangunan. Pola dan pendekatan pertanian yang berorientasi pasar telah melemahkan posisi tawar rakyat (petani). Rakyat bekerja membanting tulang sebagai petani tetapi dalam struktur ekonomi dan pembangunan ia seakan tidak diperkenankan untuk berdaulat atas hasil kerjanya. Apa yang ditanam di ladanganya berada pada skenario pihak luar jika masuk ke pasar. Kemudian harga jual hasil keringat rakyat selaku petani ditentukan pembeli. Rakyat terpaksa menjualnya walau dengan harga yang sangat rendah karena tidak ada alternatif lain selain hasil panennya (jambu mete) dijual ke pasar untuk mendapatkan uang dan kemudian dengan uang diharapkan memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Sebab jika tidak menjual maka berbagai kebutuhan hidup, terlebih makan sehari-hari terganggu. Belum lagi jika usaha pertanian monokultur itu mengalami kegagalan masal karena faktor alam atau serangan hama dan penyakit. Tak heran, jika gagal panen atau harga di pasaran anjlok, rakyat berhadapan dengan banyak kesulitan. Sebagaimana dialami petani Kakao di Rubit, Kabupaten Sikka. Ketika tanaman kakao terserang hama dan akhirnya gagal panen, seluruh kehidupan petani kakao di wilayah itu sangat terganggu. Jika kesulitan ini dipertanyakan, semua saluran informsi akan memberikan jawaban yang sama dan seragam bahwa apa yang terjadi mengikuti mekanisme pasar. Dan seperti apa mekanisme pasar itu, petani makin sulit mencernahnya, lalu pasrah pada nasib sebagai petani.
Studi kasus memperlihatkan petani tidak punya jawaban terhadap persoalan kemiskinan seperti ini, apalagi melawannya. Ada satu dua pengalaman kecil pemasaran bersama oleh petani yang turut mempengaruhi kenaikan harga, namun tidak bertahan. Petani sangat rentan.
Untuk bertahan hidup pada masa sulit seperti ini, usai panen petani baik laki-laki maupun perempuan mencari pekerjaan tambahan, bahkan sampai ke luar desa misalnya sebagai buruh bangunan pada proyek-proyek pemerintah. Ada yang merangkap sebagai buruh tani pada sesamanya dengan upah antara Rp 15.000 – Rp 30.000/hari. Ada yang merantau ke luar negeri sebagai buruh migran ilegal, lalu meninggalkan istri dan anak-anak bergulat sendirian bertahun-tahun memikul beban-beban ganda. Ada pula yang kemudian pulang ke kampung setelah merantau sekian lama sambil membawa istri dan anak-anak baru dari perantauan. Harapan terjadi perubahan hidup berganti jadi beban, baik ekonomi maupun sosial priskologis.
Kemiskinan dan Ketidakadilan
Iklim kemiskinan dan ketakberdayaan sangat mudah terjadi ketidakadilan sosial. Dalam konteks kehidupan pertanian seperti digambarkan di sini, ketidakadilan nampak kasat mata. Petani yang bekerja membanting tulang, berjemur di tengah terik matahari, harus rela dan terpaksa menjual komoditinya dengan harga murah karena tidak ada pilihan lain. Sementara kelompok penguasa pasar memanen keuntungan dalam bisnis ini. Kelompok kuat yamenguasai informasi dan modal berhak memanen keuntungan, sementara petani yang sudah terlanjur dibuat bergantung pada pasar hanya bisa puas dengan harga penjualan hasil pertaniannya yang murah.
Hal ini merupakan bentuk ketidakadilan struktural lantaran yang kuat menguasai yang lemah. Studi YPPS tahun 2006 memperlihatkan bahwa seluruh hasil tanaman mete setelah masuk pasaran, mengalir ke pabrik pengolahan kacang mete di India. Berapa harga eksport kacang mete ke luar India tak diketahui petani. Sebagai perbandingan, di pasaran lokal Flores Timur, harga 1 kg kacang mete Rp 60.000, yang dihasilkan dari mengolah + 5 kg biji mete.
Kondisi kemiskinan juga turut mendorong terciptanya ketidakadilan gender. Selain beban ganda yang dipikul kaum perempuan dalam upaya turut mengatasi persoalan kemiskinan, dalam kondisi kemiskinan ketidakadilan gender terjadi di bawah tekanan kultur patriarkat. Contoh kasus yang bisa menjelaskan persoalan ini pada keluarga korban tenaga kerja ilegal ke luar negeri. Kondisi keterpisahan hidup antara suami dan istri karena salah satu pihak merantau mengancam kesetiaan perkawinan. Jika terjadi kasus seperti ini, penyelesaiannya sangat dominan patriarkat. Kalau suami kembali dari perantauan sambil membawa istri dan anak-anak baru hampir tidak dianggap sebagai masalah. Sementara suami kembali dan mendapatkan istrinya di kampung memiliki anak baru, justru menjadi masalah dan malapetaka. Budaya patriarkat yang sangat memuja kesetiaan istri pada suami akan memandang hal ini sebagai aib bagi keluarga, dan perempuan semacam ini pantas ”dihukum”.
Strategi Penanggulangan Terorganisir
Dalam konteks kasus petani Jambu Mete, pemecahannya memperhatikan akar kemiskinan, yakni ketidakadilan struktural dan ketidakadilan gender. Struktur pasar yang menguasai petani dilawan dengan desain struktur pengendalian pasar di tangan petani untuk meningkatkan posisi tawar, serta membangun jaringan kerja dengan komponen lain yang searah. Proses penawaran akan lebih adil jika terbangun kekuatan-kekuatan petani terorganisir yang beranggotakan laki-laki dan perempuan untuk melakukan pemasaran secara bersama dan berjaring. Pengorganisasian petani menjadi alat tawar menawar dengan mekanisme pasar. Juga, melalui organisasi petani laki-laki dan perempuan, ruang-ruang diskusi kritis tentang kerentanan hidup sebagai petani mulai dipersoalkan secara adil menuju perubahan-perubahan yang berbasis kebutuhan dan dukungan sumberdaya lokal.
Studi YPPS mendapatkan informasi bahwa dalam pemasaran, kaum perempuan lebih telaten melakukan negosiasi dan penawaran harga di pasar serta lebih realistis berpikir tentang fakta kerentanan hidup keluarga. Jika petani laki-laki dan perempuan terorganisir dengan pembagian peran dan tanggungjawab yang adil maka akan muncul sebagai kekuatan alternatif. Perbaikan ketimpangan gender mungkin mulai dari sini lantaran dalam kultur patriarkat, perempuan yang diposisikan lemah dan bergantung pada laki-laki sebagai pencari nafkah akan diseimbangkan jika perempuan mengambil peran publik turut mengatur pemasaran dan jaringan. Implikasinya, perempuan turut mengatur dan mengelola uang di pasaran bersama laki-laki. Upaya-upaya penguatan kapasitas kaum perempuan, seperti pengetahuan dan keterampilan menjadi agenda pengorganisasian petani. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.