Melalui Dinas Kehutanan dan Perekebunan Kabupaten Flores Timur, dialokasikan dukungan melalui APBD untuk memfasilitasi Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat yang dikenal dengan PHBM. Di lapangan, program ini difasilitasi oleh sebuah forum yang beranggotakan para pihak baik pemerintah kabupaten, LSM, Petani, Masyarakat Adat dan mitra-mitra lainnya. Forum ini difasilitasi pembentukannya oleh Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial (YPPS) bekerja sama dengan Multi Forestry Program (MFP) DFID dan dinas Kehutanan Perkebunan Kabupaten Flores Timur.
Bertempat di Wisma Riangkemie, Kecamatan Ilemandiri, forum ini sukses dideklarasikan pada bulan Oktober 2006. Forum ini kemudian diberi nama Forum Kehutanan Multipihak Puna Liput Lamaholot. Forum ini dimaksudkan untuk memfasilitasi kerja sama multipihak dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Saat ini program PHBM sedang dilaksanakan di dua lokasi masing-masing di Lewotala seluas 50 hektare dan di Boru Kedang 50 hektare. Pilihan lokasi ini karena petani masyarakat adat di dua komunitas ini pada tahun 2002 silam bersengketa dengan Pemerintah Kabupaten Flores Timur atas pengelolaan hutan adat di komunitas mereka masing-masing. Sengketa ini berakibat 10 orang petani kampung Lamatou di Lewolema dan 10 orang petani kampung Boru di Kecamatan Wulanggitang ditangkap dan dijebloskan ke Penjara atas perintah Bupati Flores Timur Felix Fernandez saat itu.
Dasar sengketa, demikian ceritera Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Flores Timur Anton Tonce Matutina karena masyarakat berpegang teguh bahwa tanah dan hutan yang disengketakan merupakan tanah warisan leluhur turun temurun. Di pihak pemerintah, justru tanah dan hutan yang disebut sebagai tanah dan hutan adat merupakan hutan negara yang dilindungi.
Dikatakan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, jika direfleksikan saat ini, dapat dibenarkan jika masyarakat mengelola kawasan tersebut. Sebab menurutnya, jika petani tidak dibolehkan mengolah hutan untuk kehidupannya, lantas dari mana mereka memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan harian?
Pandangan Pemda Flores Timur yang berubah ini terjadi sejak tahun 2006 silam ketika kepemimpinan Politik Kabupaten Flores Timur berganti dari Bupati Felix Fernandez ke penggantinya Simon Hayon. Bupati Flores Timur Simon Hayon yang membangun daerah Berparadigma Budaya melihat larangan kepada petani dan masyarakat adat untuk mengolah hutan di tanah adatnya justru bertentangan dengan budaya pertanian yang terkait dengan kelanjudan adat istiadat atas tanah. Juga berdampak pada proses pemiskinan. Karena itu, ia meminta agar pengelolaan hutan di kabupaten Flores Timur dibicarakan secara bersama-sama oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan dan perhatian pada kelangsungan hutan dan kesejahteraan petani.
Permintaan ini disampaikan ketika berlangsung peluncuran buku terbitan YPPS Mitos-mitos Pengelolaan Hutan bertempat di Lewolema. Bupati ini mengharapkan agar hutan dikelola secara benar agar hutan tidak rusak dan petani juga tidak jadi miskin. Hal ini yang kemudian direspon oleh YPPS dan Dinas Kehutanan Kabupaten Flores Timur.
Sejumlah persiapan dilakukan menuju pengembangan konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Bulan April 2006 dilangsungkan sebuah lokakarya desain Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Para petani dan masyarakat adat difasilitasi untuk merancang model pengelolaan hutan yang berdimensi ekologi dan ekonomu.
Wanatani merupakan ciri hutan yang diharapkan bisa memberi manfaat ekologi dan ekonomi bagi petani masyarakat adat. Dalam proses desain ini, petani merancang jenis tanaman yang akan ditanam sesuai dengan kontur lahan. Pilihan aneka tanaman yang bermanfaat secara ekonomi dan baik untuk ekologi semakin meyakinkan pemerintah kabupaten Flores Timur untuk mendukung gagasan Pengelolaan Hutan Berbasis masyarakat.
Bupati Flores Timur merespon baik konsep PHBM setelah menerima laporan dari panitya. Karena itu dimantapkan untuk secepatnya memfasilitasi pembentukan forum multipihak untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Bulan Oktober 2006 forum kehutanan multipihak kabupaten Floores Timur terbentuk dalam sebuah lokakarya. Forum ini diberi nama Forum Kehutanan Mltipihak “Punaliput Lewotana Lamaholot”.
Bertempat di Wisma Riangkemie, Kecamatan Ilemandiri, forum ini sukses dideklarasikan pada bulan Oktober 2006. Forum ini kemudian diberi nama Forum Kehutanan Multipihak Puna Liput Lamaholot. Forum ini dimaksudkan untuk memfasilitasi kerja sama multipihak dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Saat ini program PHBM sedang dilaksanakan di dua lokasi masing-masing di Lewotala seluas 50 hektare dan di Boru Kedang 50 hektare. Pilihan lokasi ini karena petani masyarakat adat di dua komunitas ini pada tahun 2002 silam bersengketa dengan Pemerintah Kabupaten Flores Timur atas pengelolaan hutan adat di komunitas mereka masing-masing. Sengketa ini berakibat 10 orang petani kampung Lamatou di Lewolema dan 10 orang petani kampung Boru di Kecamatan Wulanggitang ditangkap dan dijebloskan ke Penjara atas perintah Bupati Flores Timur Felix Fernandez saat itu.
Dasar sengketa, demikian ceritera Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Flores Timur Anton Tonce Matutina karena masyarakat berpegang teguh bahwa tanah dan hutan yang disengketakan merupakan tanah warisan leluhur turun temurun. Di pihak pemerintah, justru tanah dan hutan yang disebut sebagai tanah dan hutan adat merupakan hutan negara yang dilindungi.
Dikatakan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan, jika direfleksikan saat ini, dapat dibenarkan jika masyarakat mengelola kawasan tersebut. Sebab menurutnya, jika petani tidak dibolehkan mengolah hutan untuk kehidupannya, lantas dari mana mereka memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan harian?
Pandangan Pemda Flores Timur yang berubah ini terjadi sejak tahun 2006 silam ketika kepemimpinan Politik Kabupaten Flores Timur berganti dari Bupati Felix Fernandez ke penggantinya Simon Hayon. Bupati Flores Timur Simon Hayon yang membangun daerah Berparadigma Budaya melihat larangan kepada petani dan masyarakat adat untuk mengolah hutan di tanah adatnya justru bertentangan dengan budaya pertanian yang terkait dengan kelanjudan adat istiadat atas tanah. Juga berdampak pada proses pemiskinan. Karena itu, ia meminta agar pengelolaan hutan di kabupaten Flores Timur dibicarakan secara bersama-sama oleh berbagai pihak yang memiliki kepentingan dan perhatian pada kelangsungan hutan dan kesejahteraan petani.
Permintaan ini disampaikan ketika berlangsung peluncuran buku terbitan YPPS Mitos-mitos Pengelolaan Hutan bertempat di Lewolema. Bupati ini mengharapkan agar hutan dikelola secara benar agar hutan tidak rusak dan petani juga tidak jadi miskin. Hal ini yang kemudian direspon oleh YPPS dan Dinas Kehutanan Kabupaten Flores Timur.
Sejumlah persiapan dilakukan menuju pengembangan konsep pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Bulan April 2006 dilangsungkan sebuah lokakarya desain Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat. Para petani dan masyarakat adat difasilitasi untuk merancang model pengelolaan hutan yang berdimensi ekologi dan ekonomu.
Wanatani merupakan ciri hutan yang diharapkan bisa memberi manfaat ekologi dan ekonomi bagi petani masyarakat adat. Dalam proses desain ini, petani merancang jenis tanaman yang akan ditanam sesuai dengan kontur lahan. Pilihan aneka tanaman yang bermanfaat secara ekonomi dan baik untuk ekologi semakin meyakinkan pemerintah kabupaten Flores Timur untuk mendukung gagasan Pengelolaan Hutan Berbasis masyarakat.
Bupati Flores Timur merespon baik konsep PHBM setelah menerima laporan dari panitya. Karena itu dimantapkan untuk secepatnya memfasilitasi pembentukan forum multipihak untuk pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Bulan Oktober 2006 forum kehutanan multipihak kabupaten Floores Timur terbentuk dalam sebuah lokakarya. Forum ini diberi nama Forum Kehutanan Mltipihak “Punaliput Lewotana Lamaholot”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.