Kamis, 30 Juli 2009

TRAFFICKING BUKAN MITOS

Hampir setiap minggu koran lokal di NTT, khususnya Pos Kupang di Kupang dan Flores Pos di Ende menyuguhkan berita-berita kasus ketenagakerjaan, khususnya buruh migrant. Seperti penggagalan pengiriman TKI/W di pelabuhan-pelabuhan (Maumere, Ende, Lewoleba dan Kupang). Juga kisah penipuan dan pemerasan tenaga kerja yang pulang ke kampung halaman.

Bahkan di depan pintu masuk rumah sendiri masih ditipu oleh para sopir dan calo penumpang bus. Bahkan daerah ini pernah heboh dengan kisah penganiayaan Nirmala Bonat asal NTT di Malaysia yang penegakkan hukumnya hingga kini belum jelas. Itu salah satu kasus yang berhasil mencuat. Apakah hanya satu kasus ini? Ataukah masih ada kasus serupa namun lolos dari perhatian?
Selain itu, menarik untuk ditelusuri adalah seperti apa jaringan “perdagangan” manusia berkedok bantuan mengeluarkan masyarakat Flores dari kemiskinan? Mengapa di samping ada proses-proses yang disebut legal, masih ada juga proses lain yang disebut ilegal yang kemudian menjadi lahan pemerasan? Sejauh mana penegakan UU 39/2004 yang sudah cukup baik mengatur perlindungan terhadap TKI.[1] Dan seperti apa motivasi bekerja ke luar negeri, sehingga arus perantauan dari Flores terus saja berlangsung dari tahun ketahun bahkan semakin masif?[2] Padahal berbagai upaya telah dilakukan pemerintah di Flores untuk membendung arus migrant dengan alasan agar pembangunan di daerah berjalan lambat karena kekurangan tenaga kerja laki-laki.[3]

Profil Pengiriman TKI dari Flores
Assasment yang pernah dilakukan YPPS bekerja sama dengan FIRD akhir 2006 sekurangnya memberikan informasi yang bisa memberikan gambaran seperti apa profil pengiriman TKI dari Flores.[4]

Mengikuti jalan pikiran umum yang berkembang, para pekerja migrant dari Flores tergolong dalam dua kelompok baik laki-laki maupun perempuanya. Kelompok pertama adalah para pekerja migrant ilegal dan kelompok kedua adalah legal. Sebelum tahun 1990, umumnya pekerja migrant dari Flores merupakan pekerja yang diberangkatkan tanpa dokumen resmi seperti disyaratkan UU sehingga dikategorikan ilegal. Mereka dipromosikan oleh para calo yang adalah eks pekerja migrant asal Flores dari Malaysia. Melalui pengalaman ini, mereka kembali ke Flores dan mencari tenaga kerja baru untuk didistribusikan di Malaysia. Memasuki tahun 1990-an hingga kini cara pengiriman ilegal masih tetap ada, namun sudah dimulai pemrosesan legal oleh perusahaan pengerah calon tenaga kerja (PPCTKI). Akhir tahun 2006 ada 34 PPCTKI yang memiliki ijin operasional di NTT dan melakukan perekrutan,[5] termasuk Flores dengan total tenaga kerja yang diproses resmi kurang lebih 940 tenaga kerja laki dan perempuan tidak termasuk Kabupaten Ende dan Manggarai Barat. Belum juga dihitung tenaga kerja yang berangkat secara ilegal.[6]

Profil Kemiskinan Flores
Salah satu alasan dominan yang digunakan untuk bekerja ke luar negari adalah pemenuhan kebutuhan ekonomi, pendidikan dan pembangunan rumah tinggal serta kebutuhan-kebutuhan lainnya. Artinya, jika tidak memilih bekerja sebagai buruh migrant ke luar negeri maka berbagai kebutuhan di atas tidak bisa terpenuhi. Dengan kata lain, tingkat penghidupan masyarakat Flores rata-rata miskin sehingga bekerja ke luar negeri menjadi salah satu jalan mengatasi kemiskinan. Kemiskinan menjadi bentuk ketakmampuan memenuhi berbagai kebutuhan dasar dan kebutuhan pendukung lainnya. Perantauan menjadi salah satu jalan pemecahan masalah kemiskinan. Pendapatan per kapita hanya 2 juta rupiah pertahun atau 30% dari rata-rata nasional (Pos Kupang, 5 September 2006). Dari aspek pangan sebagai salah satu kebutuhan dasar, sebanyak 933 desa di NTT beresiko Rawan Pangan (Pos Kupang, 22/11/2006). Koran Pos Kupang ini melansir, Kabupaten Ende mencapai 211 desa, Lembata 129 Desa, Sikka 121 desa. Oleh Kepala Bidang kewaspadaan pangan Badan Bimas Ketahanan Pangan NTT Ir. Alexander Sena, dari jumlah desa ini, 35 masuk kategori aman, 410 resiko ringan, 331 resiko sedang dan 157 resiko tinggi. Juga data Badan Bimas Ketahanan Pangan Propinsi NTT per 29 Agustus 2006 memperlihatkan resiko rawan pangan kabupaten-kabupaten di NTT sangat memprihatinkan.

Gagasan Advokasi Buruh Migrant Flores
Ternyata sepintas dibaca bahwa profil kemiskinan telah turut berkontribusi bagi terbentuknya profil buruh migrant di Flores. Kondisi ini kemudian menjadi lahan empuk bagi bekerjanya jaringan-jaringan mafia Trafficking. Artinya, jika menyasar buruh migrant sebagai sebuah problem kemanusiaan, maka persoalan kemiskinan hendaknya menjadi fokus analisis dan advokasi yang tidak bisa dipandang kecil. Dengan demikian, gagasan advokasi buruh migrant di Flores hendaknya menjadi sebuah gagasan yang integratif dengan isu pokok kemiskinan dan pemenuhan seluruh hak dasar rakyat Flores. Hak atas pekerjaan ke mana saja, termasuk ke luar negeri menjadi hak setiap orang. Namun yang hendak diadvokasi adalah bagaiamana hak itu diletakan di dalam seluruh kerangka hak asasi manusia menuju pemenuhan hak-hak dasar tadi.

Gagasan advokasi ini bertujuan memberikan kontribusi pada pengurangan proses-proses trafficking dan kemiskinan demi penegakkan hak-hak masyarakat pencari kerja. Untuk kepentingan ini, maka berbagai asumsi menjadi alasan melakukan advokasi. Seperti apa alur proses aliran uang dari perantauan ke Flores yang berkontribusi pada pengurangan kemiskinan, seperti apa kebijakan pemda kabupaten dan lembaga-lembaga keuangan atau perbankan di daerah mengelola uang yang bersumber dari perantauan sehingga problem kemiskinan rakyat dikurangi. Seperti apa peta perekrutan dan pengiriman calon tenaga kerja ke luar negeri serta seperti apa perlindungan bagi buruh migrant saat diberangkatkan, selama berada di luar negeri dan saat kembali ke kampung halaman.

Untuk mewujudkan mimpi-mimpi ini, Yayasan Pengkajian hendak melakukan sejumlah kegiatan di Flores, yang dimulai dari kabupaten Flores Timur. Seperti melakukan studi mempelajari proses perekrutan, pengiriman dan penempatan tenaga kerja ke luar negeri, studi penelusuran aliran keuangan dari sektor buruh migrant dan pengelolaannya serta kontribusinya bagi pengurangan kemiskinan di Flores, pengorganisasian bagi calon-calon buruh migran, persiapan kondisi Florers bagi para pekerja migrant yang kembali ke daerah asal dan memfasilitasi upaya-upaya inovatif demi perbaikan ekonomi domestik masyarakat Flores sehingga tidak tergiur menjadi “budak” di luar negeri.

(Tulisan ini merupakan koncept paper yang terbuka bagi siapa saja lembaga yang berminat membangun kerja sama dengan YPPS dalam mewujudkan mimpi advokasi buruh migrant dari daerah asal.Kerja sama bisa dalam bentuk pertukaran informasi, studi bersama maupun dukungan pendanaan untuk melakukan gagasan ini. Bagi yang berminat bisa kontak ke ypps_wbl@yahoo.com, atau hp. 081.339.481.916 atas nama Melky Koli Baran)
[1] UU ini mengatur mulai dari pengiriman, penempatan hingga pemulangan TKW. Berbagai persyaratan harus dipenuhi oleh TKW dan juga ada kewajiban PJTKI
[2] Disebut meluas sebab dua dasawarsa sebelumnya antara tahun 1960-an hingga 1980-an pekerja migrant hanya berasal dari Timur Flores (Lembata dan Flores Timur) namun saat ini hamper merata di seluruh Flores.
[3] Tahun 1984 Bupati Flores Timur Simon Petrus Soliwoa mencanangkan Operasi L (Larantuka) dengan tujuan membendung arus perantauan ke Malaysia.
[4] Trafficking: Bukan Mitos!, Laporan Assasment Buruh Migrant se-Flores, FIRD, 2006
[5] Surat Kepala Dinas Nakertrans NTT perihal Laporan bulanan perkembangan PJTKI dan Kantor cabang PPTIS di prop.NTT tgl 1 Nopember 2006, seperti dikutip Laporan Assasment FIRD, 2006.
[6] Pengiriman legal mensyaratkan mereka yang berijasah minimal SMP/SLTP, padahal kebanyakan yang berangkat bekerja ke luar negeri (Malaysia) hanya berbekal pendidikan SD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.