Jumat, 19 Desember 2008

MENGINTIP DUKA PARA KORBAN ANAK REPUBLIK


Oleh: Melky Koli Baran

Kisah tragis itu tak terbayangkan sebelumnya. Mereka nampak tegar, walau gurat wajah mereka menyisakan kepedihan menatap kosong masa depan anak-anak mereka. Apa yang bisa dilakukan besok, lusa dan seterusnya? Mereka kini cuma anak manusia yang malang, tetapi tetap anak Republik yang setia pada ibu pertiwi.

Tanggal 30 Agustus 2004. Langit kota Ruteng yang dingin itu sedikit mendung. Ketika hari melewati siang dan siap memasuki senja, sebuah mobil kijang tua meluncur membelah dinginnya ibu kota Kabupaten Manggarai itu. Mobil meluncur ke luar kota, menyusuri jalan jurusan Timur. Di sebuah persimpangan, mobil membelok, dan menyusuri jalan sempit menanjak. Jalan menuju komunitas Masyarakat Adat (Gendang) Colol, Kabupaten Manggarai, NTT, yang memakan waktu satu setengah jam itu.
Beberapa bulan lalu, tepatnya beberapa saat setelah terjadi penembakan mati para petani di wilayah itu oleh aparat kepolisian Manggarai, penulis pernah melewati jalan ini. Jalan yang menanjak, berkelok-kelok, lalu akhirnya menuruni sebuah lembah yang subur. Saat itu nuansa traumatis sangat terasa dalam kehidupan komunitaas petani kopi sederhana ini. Terbayang oleh penulis, wajah duka namun tegar kaum kecil di sudut lain negeri ini: petani Bulukumba, nelayan Teluk Buyat, warga gusuran kota Jakarta – wajah anak-anak republik yang pernah penulis sapa dalam hidup.
Sore hari 30 Agustus 2004, dari atas bukit yang sering berkabut dan sangat dingin, mata bebas memandang, menyapu deretan bukit-bukit sekitar. Sementara di lembah subur sana, barisan petak sawah petani terhampar. Di tengah persawahan, berdiri sebuah bangunan. Satu-satunya bangunan di tengah sawah itu. Kata penduduk setempat bahwa bangunan itu adalah Pabrik kopi milik seorang pengusaha di Kota Ruteng. Ia hidup dari hasil panenan kopi petani setempat, sebab pemilik pabrik sendiri tidak memiliki perkebunan kopi di wilayah tersebut.
Di komunitas Adat Colol, umumnya para petani berkumpul di Rumah Gendang (Rumah Adat) atau di Pastoran. Romo Apolonaris Burhanling, Pr, pastor paroki setempat sangat memahami beban derita para petani yang telah dikorbankan harta miliknya oleh kebijakan Pemda Manggarai di bawah bendera penertiban kawasan hutan negara. Karena itu para petani kopi Colol dikriminalisasi sebagai perusak dan perambah hutan. Tuduhan kejam bagi anak-anak republik sejak zaman orde baru berkuaasa itu masih saja mengintimidasi petani dan kaum kecil di masa reformasi.
Ketika berbicara dengan penulis, pastor yang juga putra Manggarai ini selalu bertutur dengan seluruh hati dan perasaannya. Terkesan ia tegar memikul beban derita umatnya, para petani yang kini dirundung sejuta duka dan derita. Dirundung sejuta pertanyaan getir: akan ke manakah nasib hidup anak-anak mereka? Apa yang akan dipanen jika musim panen kopi tiba? Apa yang akan dijual jika harus ke pasar? Apa yang akan dimakan, jika hari baru membangunkan mereka dari tidur?
Oleh Pemda Kabupaten, wilayah Colol yang sudah ratusan tahun dihuni penduduk setempat, dan sudah puluhan tahun sejak Pemerintahan Belanda membudidayakan tanaman kopi Arabica itu, sebagiannya harus dikosongkan oleh petani; mereka harus tinggalkan lahan pertanian dan perkebunan warisan adat itu karena kawasan itu telah diklaim sebagai kawasan hutan negara. Sandaran ekonomi mereka diputuskan, sejalan dengan drama pembabatan tanaman kopi beberapa waktu lalu.
Pro kontra yang panjang, berbagai mediasi dan negosiasi tak membuahkan hasil yang berpihak pada nasib hidup dan masa depan para petani. Keputusan Pemda sudah final. Sang penguasa sangat kokoh kekuasaannya. Nasib malang para petani desa ini tak tertolong. Tak ada kekuasaan yang berpihak pada mereka.
Pilihan bertahan adalah sebuah kesia-siaan, tetapi perjuangan petani harus tetap berlanjut di atas tanah warisan leluhur. Tanaman kopi telah dibabat. Nyawa 6 orang sahabat mereka telah diambil secara paksa dan kejam. Apakah ini bentuk teror kekuasaan terhadap perlawanan petani di atas ruang hidup dan masa depan komunitas mereka? Teror negara atas masyarakat sipil di tengah arus kampanye penguatan masyarakat sipil? Tragisnya, hal itu terjadi ketika pemerintahan yang sedanag berkuasa sedang mempersiapkan pemilihan umum secara langsung untuk kepala negara dan kepala daerah. Apakah kriminalisasi petani, wong cilik dan kaum urban di mana saja di republik ini telah menjadi pemicu kekalahan tanggal 20 September lalu?
Di mana-mana, di seantero republik ini wong cilik, petani dan nelayan tradisional menjerit, menggeliat dari himpitan kaum kapitalis yang terus menancapkan kekuasaannya di atas ruang garapan anak republik bernasib malang lagi sial. Dari hari ke hari, rakyat jelata terus mengurai nasib, menghitung sial namun tetap tegar mengais rejeki di atas butiran keringat yang jatuh satu persatu mengiringi teriknya matahari ibu pertiwi.
Di ruang-ruang lain kehidupan republik ini, para penguasa tak henti dan bosan berpidato tentang reformasi dan penegakkan hukum, sementara para koruptor dan pecundang bangsa lenggang kangkung tak tersentuh hukum. Mereka akhirnya bebas berpesta pora, sementara anak-anak bangsa ini, yang tak beruntung nasibnya, terus diburu dan dijadikan tumbal.
Seperti di Colol – Nusa Tenggara Timur, Bulukumba – Sulawesi Selatan, Teluk Buyat – Sulawesi Utara, masyarakat petani dan nelayan terus menjerit dan mengadu, tapi tak ada yang mendengarnya. Jangankan di daerah, di Jakarta yang sangat dekat dengan para pengambil keputusan politik itu, rakyat jelata semakin jelata dan tak menentu nasibnya. Penggusuran demi penggusuran terus memperpanjang penderitaan rakyat dan memperbanyak wajah kusam anak negeri ini.
Teringat di bulan Juli 2004, ketika penulis mendatangi kantor Komnas HAM RI dan Komnas Perempuan di Jalan Latuharhary, Jakasrta. Di sana, diareal parkir kantor Komnas Perempuan, sekurangnya 23 kepala keluarga korban penggusuran membangun tenda dan bertahan di situ karena tak punya tempat berteduh. Sudah tiga bulan rakyat korban penggusuran itu tidur berdesakan di tempat parkir para ‘pejabat’ HAM republik. Bergantian keluar dan masuk mobil mewah, membawa para pejabat yang berpakaian dinas resmi lagi mentereng, sementara di tempat yang sama masih ada warga negara yang lain yang tidur berlepotan penderitaan.
Kembali ke Colool. Di sana, para petani cuma mengandalkan pendampingan pastor paroki. Sementara, pastor paroki sendiri dihimpit beban, berdiri bersama umat yang telah dikorbankan, sekaligus menjadi korban bersama mereka, serta berhadapan dengan institusi Gereja yang terkesan tak bergeming dengan nasib buruk para petani.
Malam tanggal 30 Agustus 2004 penulis lalui di Colol bersama para korban, kaum ibu yang terpaksa menjanda ditinggal mati suami tanggal 10 Maret lalu. Juga para korban tembakan yang kini hidup berpelukan dengan tongkat kayu, karena luka-luka bekas tembakan peluru aparat yang merobek dada, punggung, paha dan betis mereka itu belum pulih. Mereka mengaku tidak bisa berjalan jauh dari rumah, apalagi bekerja di kebun seperti sediakala.
Rekaman kehidupan para korban pasca tragedi berdarah itu sungguh memrihatinkan. Walau hidup sebagai petani kopi bertahun-tahun, namun persoalan pasar yang sering tak berpihak membuat kehidupan mereka apa adanya. Apalagi saat ini, pohon-pohon kopi yang mereka banggakan itu tinggal puing-puing. Bahkan memasuki kembali kebun-kebun yang sudah dibabat tanamannya itupun tak diperbolehkan.
Petani malang dari Colol ini sungguh terjepit, sementara para petinggi di ibu kota kabupaten, di parlemen kabupaten dan di gedung-gedung megah berpagar terus mempersalahkan mereka. Tak terbayangkan sebelumnya, bahwa mereka akan ddituduh sekeji itu sebagai manusia kriminal dan perambah hutan. Padahal sudah bertahun-tahun hasil perkebunan kopi mereka telah menyumbang banyak melalui pajak untuk pendapatan asli daerah.
Di Colol, kisah sedih para petani malang ini direkam. Kesedihan bukan cuma karena tanaman kopi dimusnahkan, tetapi diperberat oleh stigmatisasi sosial yang ditimpahkan ke atas mereka. Mereka dituduh sebagai penjahat, ditangkap dan diadili, dan yang lainnya dibunuh. Ceritera duka yang biasa dan lasim untuk santapan penghuni republik ini.
Kini ada yang sudah pasti menjadi cacat seumur hidup, dan sebentar lagi 26 orang lainnya akan menyandang predikat Bekas Nara Pidana karena dituduh melakukan kejahatan merambah Hutan Negara. Sungguh sadis, seolah mereka yang menghukum para petani ini adalah manusia-manusia suci dan tak tercela.
Di Colol, ketika para korban itu berceritera, tergambar putaran ulang kebengisan aparat negara terhadap rakyatnya sendiri. Sambil tegar menyanggah tubuh di atas tongkat kayu, petani-petani malang ini berceritera. Tak terbayangkan, tiba-tiba saja mereka ditembaki. Setelah jatuh, banyak diantara mereka dalam posisi tengkurap diseret ke halaman kantor polisi, dicampakan sementara di dalam sel tahanan yang sempit dan bersimbah darah.
Dari tahanan mereka yang rata-rata bersimbah darah namun masih sadarkan diri itu, diseret tanpa peri kemanusiaan oleh sesamanya yang bernama “Polisi” ke mobil. Ada yang dilemparkan ke dalam mobil. Jeritan ampun dan minta tolong ditelan kebengisan aparat penjaga kekuasaan. Bahkan apa yang mereka miliki saat itu seperti uang tunai di saku dan arloji tangan, semuanya raib dijarah. Siapa pelakunya, jangan tanyal. Koruptor besar saja dibiarkan hidup bebas, apalagi cuma malinbg kecil yang juga hanya memalingi petani kecil.
Di Rumah Sakit Umum Daerah Ruteng, para petani malang dan sekarat ini dicampakkan begitu saja ke lantai sebelum dipindahkan ke ruang UGD. Di ruangan pertolongan ini, mereka masih dijaga ketat dan diawasi polisi bersenjata lengkap. Mereka mengaku, hari-hari hidup mereka di RSUD Ruteng penuh dengan siksaan bathin. Di sana, mereka terus diintimidasi. Rumah Sakit seakan berubah menjadi markas polisi. Bahkan, luka-luka tembakan mulai membusuk di hari-hari berikutnya tanpa ada pertolongan berarti, sementara peluru-peluru tima dan kuningan masih tetap bersarang di tubuh mereka.
Dengan sesenggukan, para korban berceritera bahwa bantuan lebih manusiawi baru mereka terima di RS Cancar. Rumah Sakit ini bagai rumah mereka sendiri, rumah yang memberi mereka harapan untuk hidup. Di Rumah Sakit Cancar, peluruh-peluru yang bersarang di tubuh mereka satu demi satu dikeluarkan. Pimpinan RS ini berusaha keras menolong para korban. Bahkan mengusir para polisi yang masih angkuh mengikuti para korban ini sampai ke sana.
Kesan ini terlihat, ketika tanggal 31 Agustus 2004 para korban luka tembak ini kembali ke RS Cancar untuk pemeriksaan kesehatan. Sejak di Colol, ketika mendengar bahwa mereka akan ke Cancar, para korban sangat bahagia. Kebahagiaan ini pun meluap ketika langkah mereka yang tertatih-tatih itu memasuki pelataran RS. Para suster dan paramedis di RS Cancar menyambut mereka dengan gembira dan tulus hati. Rasanya seperti di rumah sendiri, yang menurut mereka, sulit didapatkan di RSUD Ruteng sebelumnya.
Harapan dan gairah hidup mulai tumbuh kembali. Perhatian berbagai pihak bisa sangat menolong. Namun suramnya masa depan karena basis kehidupan sosial dan ekonomi korban dihancurkan, belum bisa ditebak. Ternyata di Manggarai, bukan cuma warga Colol yang dikorbankan. Yang membedakannya adalah, warga Colol telah jadi ikon pelanggaran HAM sehingga mendapat perhatian. Namun menelusuri lebih jauh ke dalam persoalan pengamanan kawasan Hutan di Kabupaten Manggarai, ternyata masih banyak lagi komunitas petani yang telah dikorbankan.
Menurut direktur Yayasan Masyarakat Mandiri (SANKARI), Pius Hamid di Ruteng, operasi pemusnahan tanaman rakyat itu sudah berlangsung di hampir seluruh kabupaten Manggarai dengan total kerugian sangat tinggi. Dikatakannya, dampak buruk kebijakan Bupati sudah hampir dirasakan di seluruh Manggarai. Data SANKARI memperlihatkan bahwa sejak memimpin Kabupaten Manggarai, Bupati Anton Bagul Dagur telah melakukan pembabatan tanaman rakyat di 5 kawasan, yakni kawasan Meler Kuwus, kawasan Ndekikomba (Timur Manggarai), kawasan hutan Ruteng mulai dari Colol sampai ke Watucie, kawasan hutan Gapong di Kecamatan Cibal, Kawasan hutan Nggalak Rego di Kecamatan Reok.
Pius menjelaskan bahwa seluruh data kerugian petani sudah diserahkan ke Komnas HAM pada kunjungan kedua ini. Bahkan karena advokasi yang mereka lakukan untuk para petani korban inilah, maka Pius Hamid dan Sekjend Serikat Petani Manggarai Albertus Baru telah dikirminalisasi oleh para petinggi di sana. “Kami telah dikriminalisasi, tapi kami tidak akan mundur. Demi para korban yang nasibnya masih tak menentu, kami tetap tegar berjuang bersama mereka”, demikian kata Hamid.
Itulah profil para petani korban kebijakan pemerintah kabupaten Manggarai, mulai dari pembabatan tanaman kopi, nyawa manusia hingga pembabatan masa depan anak dan cucu petani. Pernahkah ceritera mereka ini didengar? Adakah yang mau membagi waktu dan ceritera bersama mereka? Mungkin tampilan mereka yang cuma petani kecil itu tidak menarik untuk didekati dan didengar suka maupun dukanya oleh para petinggi pemerintah dan Gereja di wilayah ini. Apalagi sebagiannya telah menjadi penghuni rumah tahanan negara – yang berarti mereka “jahat”. Tetapi sesungguhnya mereka telah dikriminalisasi dan dijahati.
Dari Colol, Manggarai, di antara bukit dan lembah yang subur tapi menjadi asing dan menakutkan itu, kemalangan hidup para petani terus menggugat. Di sana, darah dan jeritan suara para korban terus berteriak: “Tolak Kriminalisasi Petani …… Tolak Brutalisme Aparat Negara. Bebaskan rakyat negeri ini kekejaman aparat. Inilah mimpi dan gugatan rakyat republik ini. Mereka berteriak dan menggugat dari lembah colol, Bulukumba, Papua dan Teluk Buyat. Tak ketinggalan warga gusuran kota Jakartapun belum bosan menggugat. Dan hanya satu kata, lawan kesewenangan.***

Artikel ini sudah dimuat di Harian Umum Pos Kupang, Senin 27 September 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.