Untuk semakin memperkokoh sikap kepedulian terhadap dunia kecacatan di Kabupaten Ende, bertempat di aula pertemuan FIRD Jln. Kokos Raya, Ende belum lama ini dilangsungkan stakeholders meeting.
Pertemuan yang lebih bersifat diskusi terfokus yang difasilitasi staf FIRD Vinsen Simau dan Relawan FIRD Rafael Mingu itu hendak mendalami berbagai pengalaman dan melahirkan gagasan pengelolaan dan pengurangan resiko kecacatan di kabupaten Ende.
Hasil diskusi ini kiranya menjadi masukan bagi para pelaku langsung dalam dunia kecacatan di berbagai sektor. Mercy Bhara, staf FIRD yang mengkoordinir program ini mengatakan, diskusi ini juga bisa memberi dukungan agar para pemangku kepentingan bersemangat mengabdikan diri dan pikirannya untuk proses rehabilitasi dan pengurangan resiko kecacatan di kabupaten Ende.
Dia berharap agar lahir kerja sama para pihak dalam mengaplikasikan pengurangan resiko kecacatan. Pengurangan resiko secara integral baik ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial umumnya.
Bahwa pengurangan resiko kecacatan bukan semata urusan FIRD atau Dinas Sosial Kabupaten. Kebetulan saja saat ini FIRD sedang memfasilitasi proses-proses di pedesaan untuk pengurangan resiko kecacatan berbasis masyarakat. Karena itu, forum diskusi ini berharap agar ada pihak lain lagi yang bisa menjadi teman. Sebab telah terpatri “kecacatan dalam pikiran orang-orang normal” bahwa urusan kecacatan adalah tanggungjawab SLB dan Dinas Sosial. Sesungguhnya, pelayanan dan advokasi bagi kaum cacat merupakan tanggungjawab bersama semua orang yang sehat dan normal. Jangan menyempitkan tanggungjawab itu pada orang dan Dinas tertentu saja.
Materi diskusi yang digelontorkan pun beraneka ragam menyangkut isu-isu yang berkaitan dengan advokasi kecacatan ditinjau dari perspektif medis, ekonomi keluarga, pendidikan, rehabilitasi berbasis keluarga dan gagasan aplikasi networking.
Kedua fasilitator mengawali diskusi dengan mengedepankan sejumlah langkah yang telah dilakukan FIRD dalam kerja
sama dengan Dinas Kesehatan, Sosial dan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat St. Ursula Ende.
Walau sudah ada sejumlah pihak yang telah berpartisipasi, namun FIRD merasa penting memperbanyak kawan untuk advokasi ini. Sebab untuk Kabupaten Ende hampir 1,8% dari total penduduk Ende tergolong orang yang memiliki perbedaan kemampuan.
Assesment FIRD menemukan, empat Kecamatan di Kabupaten ini memiliki populasi kecacatan yang tinggi, yakni Wolowaru, Ende, Lio Timur dan Nangapanda. Dari sini, FIRD mulai bekerja di empat desa mengkampanyekan rehabilitasi berbasis masyarakat dengan sasaran anak cacat usia 0-18 tahun. Desa Randotoda di Kecamatan Ende, Kelurahan Watuneso di Lio Timur, Nakambara dan Jopu di Kecamatan wolowaru. Tahun 2008 diperluas menjadi 11 desa. Pendekatan juga diubah dari desa ke kawasan. Walau demikian, masih ada sejumlah desa dengan usia penyandang cacat di atas 18 tahun yang belum menjadi perhatian. Perlu partisipasi stakeholders lainnya.
Mecy menjelaskan, selain melakukan rehabilitasi difasilitasi juga survey ekonomi untuk keluarga-keluarga anak cacat. Survey ini memperlihatkan factor kemiskinan menyumbang sangat besar bagi langgengnya kecacatan. Sebagian anak cacat lahir dari kelurga ekonomi sangat lemah.
Ternyata isu kecacatan tidak berdiri sendiri. Kecacatan sangat kait mengait dengan berbagai faktor seperti ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dan budaya.
Rehabilitasi berbasis masyarakat merupakan konsep pemberdayaan keluarga penyandang cacat dan masyarakat sekitarnya. Bahwa penyangdang cacat adalah bagian dari keluarga dan masyarakat, karena itu menjadi tanggungjawab bersama untuk melakukan rehabilitasi. Langkah ini dilakukan untuk mengubah cara pandang yang salah bahwa kecacatan adalah takdir dan kutukan yang tidak bisa diatasi. Dalam perjalanan, basis masyarakat lebih mendapat tekanan pada basis keluarga.
Mayoritas penyandang cacat tidak mendapat kesempatan mengenyampendidikan. Hal ini didukung perlakuan salah dari keluarga. Di rumah, penyandang cacat hanya diberi makan dan disusuh tidur. Mereka adalah anggota keluarga tak berguna dan menjadi beban bagi yang sehat.
Dikson Amtiran, pejabat dari Dinas Sosial Ende itu mengatakan, posyandu sebagaimana dilontarkan Rafael adalah usaha kesejahteraan sosial. Dinas Sosial punya program bagi penyandang cacat usia 18 tahun dengan salah satu sektor pelayanan di luar panti asuhan atau di tengah masyarakat. Program ini membuka kerja sama dengan stakeholders di masyarakat. Di sana kita bicara juga pendidikan, kesehatan, ekonomi dan rehabilitasi sosial agar masyarakat mau menerima orang cacat sebagai bagian dari hidup mereka.
Peserta lain, ibu Vin dari Dinas Kesehatan mengatakan, perspektif yang salah dari masyarakat akan perlahan-lahan dibenah. Sebab itu kesalahan persepsi. Posyandu itu pelayanan terpadu bersama masyarakat. Karena itu kadernya juga dari masyarakat. Fokus saat ini pada ibu hamil dan deteksi dini pada anak untuk memperhatikan perkembangan gizi anak.
Peserta lain, I Wayan dari RSUD Ende menyoroti posyandu. Dikatakannya, selama ini posyandu dihadiri oleh ibu hamil dan balita. Kita perlu pertimbangkan untuk memfasilitasinya agar kelompok rentan lainnya seperti penca juga bisa dilayani di posyandu. Selain itu, kita juga perlu jajaki kelompok potensial lain untuk sama-sama melakukan rehabilitasi. Dia menyebutkan kelompok sekolah, pramuka, muda-mudi desa juga bisa melakukan rehabilitasi. Yang penting dilatih, sehingga kita punya kader di desa.
Sosialisasi dan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat perlu diefektifkan dengan prespektif pada penca sebagai bagian dari manusia yang punya hak-hak yang sama dengan manusia lainnya. Posyandu bisa menjadi wadah strategis di desa untuk penyuluhan-penyuluhan ini. Pasalnya di posyandu ada meja empat yang dapat diisi, yakni meja penyuluhan.
Disepakati juga untuk secara periodik melanjudkan diskusi stakeholders ini agar semakin mendesakkan percepatan advokasi. Tempat diskusi dapat bergilir dari instansi ke instansi atau lembaga satu ke lembaga lainnya. Bulan, Juli, Departemen Agama telah bersedia menjadi tuan rumah diskusi.
FIRD bertugas melakukan leading sector dan berperan sebagai stakeholder pendukung utama.
Para stakeholders yang diundang juga memperhatikan person dan instansi yang akan hadir untuk kepentingan percepatan advokasi penca. Artinya selain instansi, tetapi juga person-person yang peduli terhadap materi diskusi. ***
Pertemuan yang lebih bersifat diskusi terfokus yang difasilitasi staf FIRD Vinsen Simau dan Relawan FIRD Rafael Mingu itu hendak mendalami berbagai pengalaman dan melahirkan gagasan pengelolaan dan pengurangan resiko kecacatan di kabupaten Ende.
Hasil diskusi ini kiranya menjadi masukan bagi para pelaku langsung dalam dunia kecacatan di berbagai sektor. Mercy Bhara, staf FIRD yang mengkoordinir program ini mengatakan, diskusi ini juga bisa memberi dukungan agar para pemangku kepentingan bersemangat mengabdikan diri dan pikirannya untuk proses rehabilitasi dan pengurangan resiko kecacatan di kabupaten Ende.
Dia berharap agar lahir kerja sama para pihak dalam mengaplikasikan pengurangan resiko kecacatan. Pengurangan resiko secara integral baik ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial umumnya.
Bahwa pengurangan resiko kecacatan bukan semata urusan FIRD atau Dinas Sosial Kabupaten. Kebetulan saja saat ini FIRD sedang memfasilitasi proses-proses di pedesaan untuk pengurangan resiko kecacatan berbasis masyarakat. Karena itu, forum diskusi ini berharap agar ada pihak lain lagi yang bisa menjadi teman. Sebab telah terpatri “kecacatan dalam pikiran orang-orang normal” bahwa urusan kecacatan adalah tanggungjawab SLB dan Dinas Sosial. Sesungguhnya, pelayanan dan advokasi bagi kaum cacat merupakan tanggungjawab bersama semua orang yang sehat dan normal. Jangan menyempitkan tanggungjawab itu pada orang dan Dinas tertentu saja.
***
Diskusi sehari di aula FIRD ini dihadiri 22 orang peserta dari berbagai stakeholder, baik dari instansi pemerintah, organisasi mahasiswa, LSM dan media massa. Dari instansi pemerintah termasuk SDLB Ende, sedangkan dari media massa hadir utusan RRI Ende dan Harian Umum Flores Pos.Materi diskusi yang digelontorkan pun beraneka ragam menyangkut isu-isu yang berkaitan dengan advokasi kecacatan ditinjau dari perspektif medis, ekonomi keluarga, pendidikan, rehabilitasi berbasis keluarga dan gagasan aplikasi networking.
Kedua fasilitator mengawali diskusi dengan mengedepankan sejumlah langkah yang telah dilakukan FIRD dalam kerja
sama dengan Dinas Kesehatan, Sosial dan Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat St. Ursula Ende.
Walau sudah ada sejumlah pihak yang telah berpartisipasi, namun FIRD merasa penting memperbanyak kawan untuk advokasi ini. Sebab untuk Kabupaten Ende hampir 1,8% dari total penduduk Ende tergolong orang yang memiliki perbedaan kemampuan.
Assesment FIRD menemukan, empat Kecamatan di Kabupaten ini memiliki populasi kecacatan yang tinggi, yakni Wolowaru, Ende, Lio Timur dan Nangapanda. Dari sini, FIRD mulai bekerja di empat desa mengkampanyekan rehabilitasi berbasis masyarakat dengan sasaran anak cacat usia 0-18 tahun. Desa Randotoda di Kecamatan Ende, Kelurahan Watuneso di Lio Timur, Nakambara dan Jopu di Kecamatan wolowaru. Tahun 2008 diperluas menjadi 11 desa. Pendekatan juga diubah dari desa ke kawasan. Walau demikian, masih ada sejumlah desa dengan usia penyandang cacat di atas 18 tahun yang belum menjadi perhatian. Perlu partisipasi stakeholders lainnya.
Mecy menjelaskan, selain melakukan rehabilitasi difasilitasi juga survey ekonomi untuk keluarga-keluarga anak cacat. Survey ini memperlihatkan factor kemiskinan menyumbang sangat besar bagi langgengnya kecacatan. Sebagian anak cacat lahir dari kelurga ekonomi sangat lemah.
Ternyata isu kecacatan tidak berdiri sendiri. Kecacatan sangat kait mengait dengan berbagai faktor seperti ekonomi, sosial, kesehatan, pendidikan dan budaya.
Rehabilitasi berbasis masyarakat merupakan konsep pemberdayaan keluarga penyandang cacat dan masyarakat sekitarnya. Bahwa penyangdang cacat adalah bagian dari keluarga dan masyarakat, karena itu menjadi tanggungjawab bersama untuk melakukan rehabilitasi. Langkah ini dilakukan untuk mengubah cara pandang yang salah bahwa kecacatan adalah takdir dan kutukan yang tidak bisa diatasi. Dalam perjalanan, basis masyarakat lebih mendapat tekanan pada basis keluarga.
Mayoritas penyandang cacat tidak mendapat kesempatan mengenyampendidikan. Hal ini didukung perlakuan salah dari keluarga. Di rumah, penyandang cacat hanya diberi makan dan disusuh tidur. Mereka adalah anggota keluarga tak berguna dan menjadi beban bagi yang sehat.
***
Dalam sesi lanjutan diskusi, fasilitator Rafael menggelontorkan isu posyandu di desa yang seharusnya menjadi perhatian. Persepsi salah masyarakat bahwa posyandu itu milik Dinas Kesehatan. Akibatnya partisipasi masyarakat mengembangkan posyandu menurun. Bahkan ada kader yang mengundurkan diri karena Dinas Kesehatan tidak sediakan insentif.Dikson Amtiran, pejabat dari Dinas Sosial Ende itu mengatakan, posyandu sebagaimana dilontarkan Rafael adalah usaha kesejahteraan sosial. Dinas Sosial punya program bagi penyandang cacat usia 18 tahun dengan salah satu sektor pelayanan di luar panti asuhan atau di tengah masyarakat. Program ini membuka kerja sama dengan stakeholders di masyarakat. Di sana kita bicara juga pendidikan, kesehatan, ekonomi dan rehabilitasi sosial agar masyarakat mau menerima orang cacat sebagai bagian dari hidup mereka.
Peserta lain, ibu Vin dari Dinas Kesehatan mengatakan, perspektif yang salah dari masyarakat akan perlahan-lahan dibenah. Sebab itu kesalahan persepsi. Posyandu itu pelayanan terpadu bersama masyarakat. Karena itu kadernya juga dari masyarakat. Fokus saat ini pada ibu hamil dan deteksi dini pada anak untuk memperhatikan perkembangan gizi anak.
Peserta lain, I Wayan dari RSUD Ende menyoroti posyandu. Dikatakannya, selama ini posyandu dihadiri oleh ibu hamil dan balita. Kita perlu pertimbangkan untuk memfasilitasinya agar kelompok rentan lainnya seperti penca juga bisa dilayani di posyandu. Selain itu, kita juga perlu jajaki kelompok potensial lain untuk sama-sama melakukan rehabilitasi. Dia menyebutkan kelompok sekolah, pramuka, muda-mudi desa juga bisa melakukan rehabilitasi. Yang penting dilatih, sehingga kita punya kader di desa.
***
Diskusi yang menggelontorkan isu-isu kecacatan, yang kemudian dikaitkan dengan keberadaan posyandu di desa serta peran pihak-pihak lainnya di desa akhirnya mengerucut pada gagasan yang akan digarap. Secara umum, diskusi ini melihat titik penting yang perlu didorong dalam advokasi penca di Kabupaten Ende.Sosialisasi dan penyuluhan-penyuluhan kepada masyarakat perlu diefektifkan dengan prespektif pada penca sebagai bagian dari manusia yang punya hak-hak yang sama dengan manusia lainnya. Posyandu bisa menjadi wadah strategis di desa untuk penyuluhan-penyuluhan ini. Pasalnya di posyandu ada meja empat yang dapat diisi, yakni meja penyuluhan.
Disepakati juga untuk secara periodik melanjudkan diskusi stakeholders ini agar semakin mendesakkan percepatan advokasi. Tempat diskusi dapat bergilir dari instansi ke instansi atau lembaga satu ke lembaga lainnya. Bulan, Juli, Departemen Agama telah bersedia menjadi tuan rumah diskusi.
FIRD bertugas melakukan leading sector dan berperan sebagai stakeholder pendukung utama.
Para stakeholders yang diundang juga memperhatikan person dan instansi yang akan hadir untuk kepentingan percepatan advokasi penca. Artinya selain instansi, tetapi juga person-person yang peduli terhadap materi diskusi. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.