Minggu, 28 Juni 2009

Posyandu: Antara Harapan dan Kenyataan

Setelah megelilingi tiga kawasan program Rehabilitasi Kecatatan Berbasis Masyarakat (RBM) di Kabupaten Ende, sejumlah catatan menarik sempat terekam. Perjalanan di bulan Mei ke Ndetundora, Wolowaru dan Lio Timur untuk memfasilitasi peningkatan partisipasi masyarakat dan para pihak dalam pengurangan resiko kecacatan.

Kabupaten Ende dengan sarana dan prasarana yang serba minim, masyarakat sangat mengharapkan kehadiran tenaga kesehatan di sana. Bidan Desa (Bides) dan Posyandu paling dekat dengan rakyat.
Tiga kawaasan yang dikunjungi adalah kawasan Ndetundora yang meliputi desa Ndetundora I, Ndetundora II, Ndetundora III dan desa Randotonda; kawasan Wolowaru yang meliputi desa Jopu, Nakambara, Wolokoli, Mbuli Loo; dan kawaan Lio Timur yang meliputi desa Woloaro, Wolosambi dan Kelurahan Watuneso.

Menarik di sini adalah peran Posyandu sebagai wadah strategis pengembangan Rehabilitasi Berbasis Masyarakat. Di posyandu bisa disimak pelayanan pada ibu dan danak “berbasis masyarakat”. Para kader berasal dari masyarakat sendiri. Akan sangat membantu berbagai hal jika posyandu yang belakangan tumbuh sebagai salah satu kelembagaan masyarakat dan tersebar di pedesaan itu dikelolah secara maksimal untuk menunjang perbaikan derajat kesehatan masyarakat secara umum.

Aktifitas bulanan yang selalu berhubungan dengan pelayanan ibu hamil (bumil) dan anak-anak balita maka posyandu sesungguhnya memiliki peran strategis mengurangi resiko kecacatan sejak dini.

Rekaman proses diskusi bersama masyarakat di tiga wilayah ini memperlihatkan kurang lebih dua hal yang menjadi pelajaran bersama, yakni permasalahan dan harapan.

Peta permasalahan yang mengemuka dalam pengelolaan posyandu di tiga kawasan ini meliputi persepsi masyarakat, tanggungjawab pengelolaan proyandu, fasilitas dan peran para kadernya.

Besar harapan bahwa posyandu menjadi unit pelayanan berbasis masyarakat. Namun kenyataan, rakyat memandang posyandu sebagai unit kegiatan milik Dinas Kesehatan. Hal ini yang kemudian menyebabkan kurangnya partisipasi. Karena itu pula maka posyandu belum menjadi bagian dari para ibu hamil, menyusui dan juga anak-anak. Secara fisik posyandu dekat, namun rasa memiliki dari rakyat sangat jauh. Tidak heran anak-anak balitapun kurang nyaman jika diajak ke posyandu. Posyandu belum bertumbuh menjadi rumah yang nyaman bagi kaum ibu terlebih anak-anak balitanya.

Ketika para pihak di desa menerima Posyandu sebagai bagian dari kehidupan masyarakat maka akan bertumbuh di sana rasa tanggungjawab dan memiliki dari rakyat terlebih para ibu hamil dan menyusui. Bukan malah memandang posyandu sebagai lembaga milik Dinas Kesehatan.

Hambatan lain adalah terbatasnya kader dan fasilitas pendukung/peralatan. Bahkan ada kader yang megundurkan diri karena tidak ada insentif rutin dari Pemerintah (Dinkes).

Pertanyaannya, sampai kapankah lembaga desa seperti posyandu tetap berharap pada pemerintah? Apakah posyandu masih dibutuhkan di desa? Dan Jika dibutuhkan, lalu apa tanggungjawab masyarakatnya? Posyandu di desa sungguh antara harapan dan kenyataan.

Terhadap hal ini, muncul sejumlah harapan terhadap posyandu. Harapan-harapan masyarakat tiga kawasan, yang sekaligus melahirkan sejumlah gagasan untuk pengembangan posyandu ke depan.**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.