Selasa, 21 Oktober 2014

Ketika Penegak Hukum Tidak Mengerti Hukum



Oleh Melky Koli Baran

Gonjang janjing politik dan hukum di Lembata akhir-akhir ini semakin menempatkan reputasi Polisi di Polres Lembata ke titik nadir. Kekacauan pemahaman dan penerapan hukum dan politik yang saling terintervensi semakin menempatkan Polisi di Lembata pada posisi tidak netral dan karena itu terbaca tidak professional dalam menjalankan tugas. Bahkan di mata Pengacara papan atas Jakarta asal Lembata Petrus Bala Pationa, SDM (Sumber Daya Manusia) Polisi di Lembata Rendah (FP, Rabu, 15 Oktober 2014)

Jika mencermati  alur pikir pengacara Bala Pationa tentang reputasi kerja dan kualitas “barisan seragam coklat” yang bermarkas di Polres Lembata, secara argumentatif  Bala Pationa menyimpulkan bahwa dalam menjalankan tugas penegakan hukum di Lembata atas berbagai kasus, terbaca bahwa jajaran Kepolisian di Lembata  “Tidak Mengerti Hukum”.


Kecelakaan Profesi

“Polisi Lembata Tidak Mengerti Hukum” menjadi judul berita halaman depan Flores Pos Rabu 15 Oktober 2014. Judul ini diambil dari pernyataan pengacara Petrus Bala Pationa selaku kuasa hukum anggota DPRD Philipus Bediona yang saat ini telah ditetapkan Penyidik di Polres Lembata sebagai tersangka kasus Pemalsuan Dokumen. 

Pernyataan ini tentu bukan tanpa dasar atau sekedar menyerang institusi kepolisian. Seorang pengcara tentu telah mendalami kasus hukum yang menimpa kliennya. Dalam pemahaman hukum sang pengacara atas kasus hukum kliennya inilah, ia lalu berkesimpulan bahwa polisi di Lembata mulai dari Kapolres, Wakapolres, Kasat reskrim dan anak buahnya tidak mengerti hukum.

Membaca kesimppulan dan pernyataan seorang pengacara sepeti ini tentu sangat mengejutkan. Ini sebuah mala petaka penegakkan hukum di kabupaten Lembata. Betapa tidak, polisi di Polres Lembata adalah institusi utama penegakan hukum. Segala perkara atau proses hukum yang mengalir ke Pengadilan dan Kejaksaan itu berawal dari kepolisian, dalam hal ini dari ruangan Reskrim. Karena itu, segala langkah hukum yang keluar dari Polres Lembata mencerminkan kualitas hukum semua polisi yang bertugsa di ruang Reskrim Polres Lembata. 

Jika seorang pengacara yang tengah mendampingi kliennya yang sedang diproses hukum di Polres Lembata dan mengatakan Polisi di Lembata Tidak Mengerti Hukum dan sumber daya manusianya rendah, itu sekaligus sedang menyampaikan kesimpulan bahwa ruang Reskrim di Polres Lembata mulai dari kasat Reskrimnya sampai ke semua penyidiknya punya tingkat pemahaman hukum yang rendah. Apakah berarti ruang Reskrim di Polres Lembata saat ini mulai dari Kasat Reskrimnya diisi oleh Polisi-polisi yang tidak menerti hukum dan karena itu punya sumberdaya manusia yang renah?

Tidak cuma itu. Pernyataan bahwa Polisi di Lembata tidak mengerti hukum dan punya sumberdaya manusia yang rendah sekaligus memperlihatkan keterkaitrannya dengan pemegang tongkat komando di institusi kepolisian itu, yakni Kapolres Lembata. Dan ketika mencermati kronologi proses hukum para anggota DPRD Lembata, di sana terbaca juga keterkaitannya dengan Polda NTT dalam hal ini pada diri Wakapoolda NTT Kombes Pol Sumartono.

Koran Flores Pos mewartakan bahwa Wakapolda ini melakukan kunjungan silaturahmi ke Lembata dan menemani Bupati Lembata ke salah satu desa di Kecamatan Lebatukan. Dalam kunjungan ini, dan sedang bersama bupati di sana, Wakapolda membuat pernyataan yang memerintahkan Polres Lembata untuk melanjutkn proses hukum atas anggota DPRD Lembata.Ketika mensandingkan hal seperti ini dengan sejumlah kasus suap oleh para pejabat daerah kepada aparat penegak hukum dalam kasus-kasus hukum dan politik, pernyataan Wakapolda ini bisa saja mengundang dugaan bahwa apa yang dikatakan itu hanya memenuhi pesan sponsor seseorang. Apakah bupati lembata yang mensponsori perjalanan silaturahmi pak Wakapoloda ke Lembata? Publik tidak perlu mencurigai secara berlebihan, sebab yang tahu pasti adalah pak Wakapolda sendiri.

Ketika Wakapolda ikut nimbrung memberi pernyataan seperti ini maka dalam kasus ini sebagaimana dikatakan Petrus Bala Pationa, Kapolres Lembata dan Wakapolda NTT termasuk polisi yang tidak mengerti hukum. Dasarnya karena kekacauan penerapan hukum atas para anggota DPRD itu tidak lepas dari perintah Kapolres dan Wakapolda. Maka menurut Petrus Bala Pationa, kedua pejabat tinggi Kepolisian “tidak mengerti hukum” dan juga punya SDM rendah.  

Semestinya para petinggi kepolisian selevel Kapolres dan Wakapolda memiliki pemahaman  hukum yang memadai dan jadi rujukan. Mustahil dan menjadi kecelakaan profesi di Kepolisian jika jabatan setingkat Kapolres yang kini dipegang oleh Kaplres Lembata dan Wakapolda NTT itu dipercayakan kepada personil yang tidak paham hukum. Jika pimpinan Polri menempatkan anggota yang tidak paham hukum maupun anggota dengan sumber daya manusia yang rendah pada posisi jabatan Kapolres (selevel Bupati) dan Wakapolda (selevel Wakil Gubernur) maka ini boleh dilkataan sebagai “kecelakaan profesi” di kepolisian. 

Agar tidak mencelakai wajah penegakkan hukum di kabupaten lembata maka semestinya Kepolisian Republik Indonedia secepatnya mengevaluasi Kapolres Lembata dan Wakapolda NTT dan membaharui kepemimpinan di Polres Lembata dan Polda NTT denghan personil-personil polisi yang berkualitas. Dalam konteks pernyataan Petrus Bala Patinola dengan orang-orang yang mengerti hukum.  

Sebab jika seorang Kapolres dan Wakapoda dengan tingkat pemahaman hukum yang buruk serta sumber daya manusia yang berkualitas rendah, maka di lapangan akan terjadi banyak kekacauan dalam mengendalikan institusi kepolisian ini. Boleh jadi, institusi kepolisian di menjadi sumber segala kekisruan politik dan hukum.

Jangan Mengintervensi

Saya sempat heran ketika membaca pernyataan Kapolres Lembata di Flores Pos yang meminta DPRD Lembata jangan mengintervensi proses hukum yang sedang ada di tangan polisi. Pernyataan ini disampaikan kepada Ketua DPRD Lembata Ferdi Koda saat DPRD dan Aldiras menyerahkan keputusan DPRD untuk memboikot semua sidang di DPRD jika tiga orang anggota DPRD tetap diproses hukum. Menurut Kapolres Lembata, apa yang dilaksanakan oleh DPRD Lembata itu merupakan bentuk intervensi atas proses hukum di tangan polisi.

Saya heran dengan pernyataan ini. Sebab sejauh kasus dua orang anggota DPRD yang ditetapkan sebagai tersangka pemalsuan dokumen, justru di sana ada intervensi hukum atas sebuah proses politik di DPRD. Intervensi hukum yang justru dilaksanakan Polres Lembata atas perintah (laporan) bupati. Dalam kasus ini, sebetulnya ada proses politik di DPRD untuk memberhentikan bupati. Ketika proses politik ini sampai ke tingkat MK, tiba-tiba di Polres Lembata bupati membuat laporan tentang dokumen palsu milik DPRD. Dan di sinilah seharusnya polisi diam dan tahu batas bahwa apa yang dilaporkan bupati itu adalah sebuah proses politik, bukan proses hukum. Tetapi kenyataannya lain. Polisi dengan sigap memproses laporan bupati ini, yang berarti polisi mengintervensi proses politik di DPRD menjadi proses hukum. Apakah ini bukan namanya polisi mengintervensi proses politik di DPRD?

Menurut pandangan saya, jika polisi telah mengintervensi proses politik di DPRD, maka DPRD juga punya kewajiban untuk mengingatkan polisi agar jangan mengintervensi kerja-kerja politik DPRD. Cara yang ditempuh adalah pernyataan DPRD untuk memboikot semua sidang selama polisi masih keras kepala untuk tetap memproses hukum dua anggota DPRD itu. Sialnya, polisi justru memahaminya sebagai intervensi DPRD atas proses hukum di polisi. Barangkali inilah salah satu indikasi pernyataan pengacara Petrus Bala Pationa bahwa “Polis tidak mengerti hukum”. Karena tidak mengerti hukum maka mudah diatur, didikte dan dikendalikan oleh pihak lain dalam hal ini laporan seroang bupati yang mungkin sedang ketakutan akan kehilangan jabatannya.

Jika polisi paham hukum, maka polisi tidak mengintervensi proses politik di DPRD sampai selesai. Jika proses poltik selesai dan bupati merasa dirugikan dalam proses politik itu, dia berhak menempuh jalur hukum melalui laporan ke MK dan bukan ke polisi. Tetapi jika polisi yakin bahwa laporan bupati ini beralasan untuk diproses lebih lanjut, maka seharunya polisi meminta bupati untuk mengubah laporannya, bukan melaporkan Philipus Bediona dan Fransiskus Limawai atas pemalsuan dokumen DPRD tetapi melaporkan Lembaga DPRD yang akan diwakili oleh Pimpinan DPRD atas sebuah dokumen palsu milik DPRD. Sebab dokumen yang menmjadi obyek perkara ini bukan milik Philipus Bediona dan Fransiskus Limawai tetapi milik DPRD sebagai sebuah lembaga. Polisi menurunkan status kepemilikan dokumen DPRD ke dokumen personal DPRD. Ini yang barangkali menurut Petrus Bala Pationa bahwa polisi di Lembata itu tidak menegrti hukum karena SDMnya rendah.  
 
Di sinilah, polisi di jajaran polres Lembata mulai dari Kapolres hingga struktur di bawahnya terlebih Reskrim perlu direfromasi. Ini pilihan untuk menyelamatkan wajah agung kepolisian Republik Indonesia. Karena sangat memalukan jika polisi sebagai penegak hukum tetapi justru tidak mengerti hukum. Sama jeleknya dengan dokter yang tidak bisa mendiagnosa keluhan pasien. **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.