Oleh
Melky Koli Baran
Gonjang janjing politik dan hukum di Lembata
akhir-akhir ini semakin menempatkan reputasi Polisi di Polres Lembata ke titik
nadir. Kekacauan pemahaman dan penerapan hukum dan politik yang saling
terintervensi semakin menempatkan Polisi di Lembata pada posisi tidak netral
dan karena itu terbaca tidak professional dalam menjalankan tugas. Bahkan di
mata Pengacara papan atas Jakarta asal Lembata Petrus Bala Pationa, SDM (Sumber
Daya Manusia) Polisi di Lembata Rendah (FP,
Rabu, 15 Oktober 2014).
Jika mencermati
alur pikir pengacara Bala Pationa tentang reputasi kerja dan kualitas
“barisan seragam coklat” yang bermarkas di Polres Lembata, secara argumentatif Bala Pationa menyimpulkan bahwa dalam
menjalankan tugas penegakan hukum di Lembata atas berbagai kasus, terbaca bahwa
jajaran Kepolisian di Lembata “Tidak
Mengerti Hukum”.
Kecelakaan
Profesi
“Polisi Lembata Tidak Mengerti Hukum” menjadi judul
berita halaman depan Flores Pos Rabu 15 Oktober 2014. Judul ini diambil dari
pernyataan pengacara Petrus Bala Pationa selaku kuasa hukum anggota DPRD
Philipus Bediona yang saat ini telah ditetapkan Penyidik di Polres Lembata sebagai
tersangka kasus Pemalsuan Dokumen.
Pernyataan ini tentu bukan tanpa dasar atau
sekedar menyerang institusi kepolisian. Seorang pengcara tentu telah mendalami
kasus hukum yang menimpa kliennya. Dalam pemahaman hukum sang pengacara atas
kasus hukum kliennya inilah, ia lalu berkesimpulan bahwa polisi di Lembata
mulai dari Kapolres, Wakapolres, Kasat reskrim dan anak buahnya tidak mengerti hukum.
Membaca kesimppulan dan pernyataan seorang pengacara
sepeti ini tentu sangat mengejutkan. Ini sebuah mala petaka penegakkan hukum di
kabupaten Lembata. Betapa tidak, polisi di Polres Lembata adalah institusi
utama penegakan hukum. Segala perkara atau proses hukum yang mengalir ke
Pengadilan dan Kejaksaan itu berawal dari kepolisian, dalam hal ini dari
ruangan Reskrim. Karena itu, segala langkah hukum yang keluar dari Polres
Lembata mencerminkan kualitas hukum semua polisi yang bertugsa di ruang Reskrim
Polres Lembata.
Jika seorang pengacara yang tengah mendampingi kliennya yang
sedang diproses hukum di Polres Lembata dan mengatakan Polisi di Lembata Tidak
Mengerti Hukum dan sumber daya manusianya rendah, itu sekaligus sedang
menyampaikan kesimpulan bahwa ruang Reskrim di Polres Lembata mulai dari kasat
Reskrimnya sampai ke semua penyidiknya punya tingkat pemahaman hukum yang
rendah. Apakah berarti ruang Reskrim di Polres Lembata saat ini mulai dari
Kasat Reskrimnya diisi oleh Polisi-polisi yang tidak menerti hukum dan karena
itu punya sumberdaya manusia yang renah?
Tidak cuma itu. Pernyataan bahwa Polisi di Lembata
tidak mengerti hukum dan punya sumberdaya manusia yang rendah sekaligus
memperlihatkan keterkaitrannya dengan pemegang tongkat komando di institusi
kepolisian itu, yakni Kapolres Lembata. Dan ketika mencermati kronologi proses hukum
para anggota DPRD Lembata, di sana terbaca juga keterkaitannya dengan Polda NTT
dalam hal ini pada diri Wakapoolda NTT Kombes Pol Sumartono.
Koran Flores Pos mewartakan bahwa Wakapolda ini
melakukan kunjungan silaturahmi ke Lembata dan menemani Bupati Lembata ke salah
satu desa di Kecamatan Lebatukan. Dalam kunjungan ini, dan sedang bersama
bupati di sana, Wakapolda membuat pernyataan yang memerintahkan Polres Lembata
untuk melanjutkn proses hukum atas anggota DPRD Lembata.Ketika mensandingkan hal
seperti ini dengan sejumlah kasus suap oleh para pejabat daerah kepada aparat
penegak hukum dalam kasus-kasus hukum dan politik, pernyataan Wakapolda ini
bisa saja mengundang dugaan bahwa apa yang dikatakan itu hanya memenuhi pesan
sponsor seseorang. Apakah bupati lembata yang mensponsori perjalanan
silaturahmi pak Wakapoloda ke Lembata? Publik tidak perlu mencurigai secara
berlebihan, sebab yang tahu pasti adalah pak Wakapolda sendiri.
Ketika Wakapolda ikut nimbrung memberi pernyataan
seperti ini maka dalam kasus ini sebagaimana dikatakan Petrus Bala Pationa,
Kapolres Lembata dan Wakapolda NTT termasuk polisi yang tidak mengerti hukum.
Dasarnya karena kekacauan penerapan hukum atas para anggota DPRD itu tidak
lepas dari perintah Kapolres dan Wakapolda. Maka menurut Petrus Bala Pationa, kedua
pejabat tinggi Kepolisian “tidak mengerti hukum” dan juga punya SDM rendah.
Semestinya para petinggi kepolisian selevel Kapolres
dan Wakapolda memiliki pemahaman hukum
yang memadai dan jadi rujukan. Mustahil dan menjadi kecelakaan profesi di
Kepolisian jika jabatan setingkat Kapolres yang kini dipegang oleh Kaplres
Lembata dan Wakapolda NTT itu dipercayakan kepada personil yang tidak paham hukum.
Jika pimpinan Polri menempatkan anggota yang tidak paham hukum maupun anggota
dengan sumber daya manusia yang rendah pada posisi jabatan Kapolres (selevel Bupati)
dan Wakapolda (selevel Wakil Gubernur) maka ini boleh dilkataan sebagai
“kecelakaan profesi” di kepolisian.
Agar tidak mencelakai wajah penegakkan hukum
di kabupaten lembata maka semestinya Kepolisian Republik Indonedia secepatnya
mengevaluasi Kapolres Lembata dan Wakapolda NTT dan membaharui kepemimpinan di
Polres Lembata dan Polda NTT denghan personil-personil polisi yang berkualitas.
Dalam konteks pernyataan Petrus Bala Patinola dengan orang-orang yang mengerti hukum.
Sebab jika seorang Kapolres dan Wakapoda dengan
tingkat pemahaman hukum yang buruk serta sumber daya manusia yang berkualitas
rendah, maka di lapangan akan terjadi banyak kekacauan dalam mengendalikan
institusi kepolisian ini. Boleh jadi, institusi kepolisian di menjadi sumber
segala kekisruan politik dan hukum.
Jangan
Mengintervensi
Saya sempat
heran ketika membaca pernyataan Kapolres Lembata di Flores Pos yang meminta
DPRD Lembata jangan mengintervensi proses hukum yang sedang ada di tangan
polisi. Pernyataan ini disampaikan kepada Ketua DPRD Lembata Ferdi Koda saat
DPRD dan Aldiras menyerahkan keputusan DPRD untuk memboikot semua sidang di
DPRD jika tiga orang anggota DPRD tetap diproses hukum. Menurut Kapolres
Lembata, apa yang dilaksanakan oleh DPRD Lembata itu merupakan bentuk
intervensi atas proses hukum di tangan polisi.
Saya heran dengan pernyataan ini. Sebab sejauh kasus
dua orang anggota DPRD yang ditetapkan sebagai tersangka pemalsuan dokumen,
justru di sana ada intervensi hukum atas sebuah proses politik di DPRD. Intervensi
hukum yang justru dilaksanakan Polres Lembata atas perintah (laporan) bupati.
Dalam kasus ini, sebetulnya ada proses politik di DPRD untuk memberhentikan
bupati. Ketika proses politik ini sampai ke tingkat MK, tiba-tiba di Polres
Lembata bupati membuat laporan tentang dokumen palsu milik DPRD. Dan di sinilah
seharusnya polisi diam dan tahu batas bahwa apa yang dilaporkan bupati itu
adalah sebuah proses politik, bukan proses hukum. Tetapi kenyataannya lain.
Polisi dengan sigap memproses laporan bupati ini, yang berarti polisi
mengintervensi proses politik di DPRD menjadi proses hukum. Apakah ini bukan
namanya polisi mengintervensi proses politik di DPRD?
Menurut pandangan saya, jika polisi telah
mengintervensi proses politik di DPRD, maka DPRD juga punya kewajiban untuk
mengingatkan polisi agar jangan mengintervensi kerja-kerja politik DPRD. Cara
yang ditempuh adalah pernyataan DPRD untuk memboikot semua sidang selama polisi
masih keras kepala untuk tetap memproses hukum dua anggota DPRD itu. Sialnya,
polisi justru memahaminya sebagai intervensi DPRD atas proses hukum di polisi.
Barangkali inilah salah satu indikasi pernyataan pengacara Petrus Bala Pationa
bahwa “Polis tidak mengerti hukum”. Karena tidak mengerti hukum maka mudah
diatur, didikte dan dikendalikan oleh pihak lain dalam hal ini laporan seroang
bupati yang mungkin sedang ketakutan akan kehilangan jabatannya.
Jika polisi paham hukum, maka polisi tidak
mengintervensi proses politik di DPRD sampai selesai. Jika proses poltik
selesai dan bupati merasa dirugikan dalam proses politik itu, dia berhak
menempuh jalur hukum melalui laporan ke MK dan bukan ke polisi. Tetapi jika
polisi yakin bahwa laporan bupati ini beralasan untuk diproses lebih lanjut,
maka seharunya polisi meminta bupati untuk mengubah laporannya, bukan
melaporkan Philipus Bediona dan Fransiskus Limawai atas pemalsuan dokumen DPRD
tetapi melaporkan Lembaga DPRD yang akan diwakili oleh Pimpinan DPRD atas
sebuah dokumen palsu milik DPRD. Sebab dokumen yang menmjadi obyek perkara ini
bukan milik Philipus Bediona dan Fransiskus Limawai tetapi milik DPRD sebagai
sebuah lembaga. Polisi menurunkan status kepemilikan dokumen DPRD ke dokumen
personal DPRD. Ini yang barangkali menurut Petrus Bala Pationa bahwa polisi di
Lembata itu tidak menegrti hukum karena SDMnya rendah.
Di sinilah, polisi di jajaran polres Lembata mulai dari Kapolres hingga struktur di bawahnya terlebih Reskrim perlu direfromasi. Ini pilihan untuk menyelamatkan wajah agung kepolisian Republik Indonesia. Karena sangat memalukan jika polisi sebagai penegak hukum tetapi justru tidak mengerti hukum. Sama jeleknya dengan dokter yang tidak bisa mendiagnosa keluhan pasien. **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.