Selasa, 21 Oktober 2014

Mungkinkah Ada Skenario Pembiaran?



Oleh Melky Koli Baran

Tanggal 17 Agustus 2014, darah membasahi tanah Wulandoni. Tanah ini pernah jadi saksi masa lalu tentang eksistensi dua kelompok manusia di Selatan pulau Lembata. Kelompok yang mendiami wilayah di Timur – arah matahari terbit di atas tanjung Atadei, dan yang mendiami wilayah di sebelah Barat – arah matahari terbenam di lengan kiri gunung Labalekan dan sekitarnya sampai Lewuka. Di tanah ini juga, aneka manusia dari pantai dand ari gunung setiap hari Sabtu di pasar barter yang dinaungi sejumlah pohon asam yang teduh. Setelah terjadi pemekaran kecamatan di kabupaten Lembata maka sebagian desa di kecamatan Nagawutung yang mengelilingi gunung Labalekan dan sebagian lagi desa di kecamatan Atadei “digabungkan” ke dalam satu kecamatan baru, yakni Wulandoni. 


Sepanjang masa Orde Baru, relasi sosial masyarakat yang mendiami wilayah ini aman dan damai. Setiap hari Sabtu mereka bertemu sebagai “Prevo” di pasar barter Wulandoni. Saling bersapa ramah sambil bersepakat untuk bertukar barang. Bahkan  warga Lewuka mengalirkan air bersih ke Pantai Harapan. Saat itu, di sana tidak ada aparat keamanan yang setiap hari menjaga keamanan di daerah ini. Ketika Wulandoni menjadi kecamatan dan dilengkapi dengan aparat Negara sebagaimana layaknya di sebuah ibu kota kecamatan, darah anak manusia, warga Negara yang sah bernama Krinus Lanang Manuk tumpah sia-sia.

Semua tahu, di ibu kota kecamatan itu ada kantor camat dan Pak Camat bersama stafnya, ada Pos Polisi dengan sejumlah personil di sana, dan seorang Bintara Pembina Desa yang bertugas membina desa-desa di kecamatan itu untuk keamanan teritori. Ketika di wilayah itu diisi oleh aparat Negara, di sanalah darah warga Negara tumpah dan nyawa melayang sia-sia. Ketika Wulandoni diisi aparat Negara, di sanalah warga bebas berkelahi, bahkan sampai ada yang terbunuh di depan kantor yang seharusnya menyediakan kenyamanan.

Pembunuhan itu terjadi di depan Pos Polisi Wulandoni. Ini bencana besar dan tamparan bagi isntitusi Polri. Bahwa orang kini tidak segan-segan melakukan perbuatan criminal di depan simbol Negara. Lebih  sial, di Pos Polisi itu ada sejumlah anggota Polisi yang menyaksikan tragedi itu. Di mana-mana, dan seharusnya demikian, ketika di sana ada aparat seperti polisi, seharusnya masyarakat merasa aman karena ada ketertiban. Tetapi jika ada polisi, namun nyawa warga Negara dengan mudah tercopot oleh pihak lain, maka di saat itulah “Polisi Tidak dihargai”. Juga, ketika di hadapan polisi salah satu pihak dibantai dan pihak lain bebas membantai, maka gedung Polisi dan aparat Polisi yang hadir di tempat itu menjadi simbol kehadiran Negara yang sedang melakukan pelanggara HAM. Negara melanggar Hak warga Wulandoni untuk hidup aman dan melanggar hak bapak Krinus untuk tetap hidup.Saat itu, polisi ada di tempat tetapi tidak bisa dan tidak mampu mencegah terjadinya penghilangan nyawa manusia. Kita boleh mengatakan, ketidakmampuan polisi di lokasi kejadian menjadi simbol ketidakmampuan institusi Polres Lembata, sekaligus menjadi simbol ketidakmampuan pemegang komando, karena staf di lapangan tentu bekerja berdasarkan komando.

Ketika Polisi yang ada di lapangan berdalih bahwa belum ada komando, itu mungkin dibenarkan oleh prosedur internal kepolisian. Prosedur tetap setiap institusi itu penting. Namun ketika karena prosedur lalu membiarkan kekacauan maka memnghadirkan aparat di lapangan yang tanpa isi, tanpa inisiatif dan tanpa naluri untuk menyelamatkan warga yang terancam. Itu simbol aparat yang bekerja secara kaku di bawah perintah dan komando, yang dalam prosedur pemerintahan sipil disebut petunjuk. Logisnya, perintah, komando, petunjuk merupakan batasan-batasan agar aparat yang bertugas tidak melampaui kewenangannya dalam melakukan sebuah tindakan, bukan supaya boleh membiarkan kekacauan terjadi. Aparat wajib mencegah terjadinya kekacauan, apalagi jatuh korban.

Ketika sebuah prosedur jatuh ke pundak orang yang hanya biasa mengaktifkan “otak kananmya”, sedangkan “otak kirinya” tak pernah difungsikan maka akan menjadikan perintah dan prosedur sebagai yang terpenting, walaupun dia memiliki kemampuan mencegah kekacauan. Di hadapan perintah, komano dan petunjuk sebagai batasan perlu ada “kecerdasan” untuk memahami situasi lalu sigap mengaplikasikan berdasarkan perintah, komando dan petunjuk. Itu butuh kerja kreatif yag didukung oleh “otak kiri” agar berpikir dan bertindak lain di luar jalur perintah, komando dan petunjuk namun menjamin keamanan dan keselamatan rakyat. Ini baru pahlawan Negara, yang selalu dikenang di setiap perayaan Hari Kemerdekaan RI. Namun di hari kemerdekaan RI yang ke-65, di Wulandoni tidak ada pahlawan Negara hari itu, yang ada hanyalah “penonton” kekacauan, semacam “patung polisi”  yang berdiri tak berdaya menyaksikan seorang anak manusia bernama Krinus Lanang Manuk tewas sia-sia.    

Karinus telah tiada. Perdebatan dan tudingan apapun kepada polisi yang gagal menyelamatkan nyawanya tidaklah akan membangkitkannya dari kuburnya. Yang terpenting adalah ada pelajaran buat semua, terlebih buat mereka yang telah dengan ikhlas tanpa paksa memilih menjadi anggota Polisi. Mereka yang seluruh hidupnya dibiayai oleh Negara. Dan lebih dari sekedar pelajaran, bagaimana agar polisi memulihkan kelalaianya itu dengan mengedepankan nurani keadilannya untuk mengusut para pelaku buas itu, terlepas dia itu siapa dan datang dari mana serta dia anak dan kolega siapa. Dan harap saja bahwa kasus ini murni sebuah kesalahpahaman, bukan sebuah scenario yang sengaja diciptakan oleh siapapun untuk kepentingan tertentu.

Koran mewartakan bahwa sudah ada tersangka yang ditetapkan. Kini bulan Agustus berakhir sudah. Yang ditunggu adalah proses hukumnya. Diharapkan polisi kita di Lembata memulihkan wibawah institusi ini melalui jalur hukum mulai dari penagkapan dan proses hukum bagi para pelaku. Di proses yang satu inilah, akan dilihat, apakah polisi di Lembata jujur dan professional dan dibanggakan.

Mantan Danramil Lembata Barat Bernardus Sesa Manuk yang juga salah satu anggota keluarga korban mengatakan polisi tidak profesional. “Sebenarnya sangat mudah bagi polisi untuk menangkap para pelaku. Kalau polisi saat itu tegas dan professional maka orang-orang yang menyeret Karinus Lanang untuk dibawa  di depan kantor polisi langsung  ditangkap. Dalam kasus Krinus Lanang ini polisi menjadi saksi karena mereka lihat orang yang menyeret Krinus Lanang. Polisi pasti lihat siapa-siapa yang seret almarhum…”. Artinya, jika kemudian hanya ada satu dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka, maka patut ada kecurigaan karena polisi ada di lapangan dan melihat langsung banyak orang menyerbu Wulandoni.

Sebetulnya, pernyataan Sesa Manuk mengundang tafsir tentang dua hal. Pertama, Poleres Lembata sedang tidak berwibawa di depan masyarakat Pantai Harapan, dalam hal ini pelaku penyeretan Karinus. Di hadapan para pelaku, polisi tidak ada artinya, tidak diperhitungkan.  Maka mereka tidak punya rasa takut ketika menyeret korban.  Di sisi lain kita bisa mengatakan bahwa polisi di Lembata lemah, tak berdaya, yang dalam bahasa Sesa Manuk tidak profesional, dan dalam bahasa Posyandu “tidak bergizi” serta dalam kacamata telah jatuh korban disebut “Polisi Tak Berguna”.

Kedua, secara ekstrim bisa diduga bahwa polisi yang bertugas di depan kantor pos polisi di Wulandoni itu sedang bersandiwara, berpura-pura sedang bertugas padahal sedang sengaja membiarkan orang-orang buas menghabisi Karinus Lanang. Tetapi untuk apa polisi sengaja membiarkan? Apakah agar Pantai Harapan bebas melukai Wulandoni, dan karena terluka lalu ada pembalasan, dan seterusnya penghasutan sosial atas nama etnis dan agama bisa dilakukan sehingga ada ladang konflik baru yang tercipta? Apalagi penyerang sempat melempari gereja karena ada warga yang berlindung di dalamnya. Sepertinya tidak demikian!

Jika seperti dugaan ini, maka wajib ada apresiasi untuk warga Wulandoni yang tidak terhasut sehingga damai bisa diharapkan hidup lagi di Selatan Pulau Lembata. Salut kepada pastor paroki Wulandoni Romo Gabriel Baluk, Pr yang mengatakan bahwa, kasus ini tidak ada muatan Sara, dan bahwa gereja dilempar itu hanyalah kebetulan saja dalam konflik ini.    

Dalam kasus ini, publik perlu belajar dari masyarakat yang sadar menciptakan kedamaian walau dilukai bahkan dibunuh. Belajar dari pepata uasang “kalah jadi abu, menang jadi arang”. Sama-sama memikul akibat bila berkonflik. Tidak ada yang diuntungkan dari kedua belah pihak. Belajar dari kata-kata Yesus: Jika orang menampar pipimu yang satu, berikan juga yang sebelahnya untuk ditampar.***     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.