Oleh Melky Koli Baran
Tanggal 17 Agustus 2014, darah membasahi tanah
Wulandoni. Tanah ini pernah jadi saksi masa lalu tentang eksistensi dua
kelompok manusia di Selatan pulau Lembata. Kelompok yang mendiami wilayah di
Timur – arah matahari terbit di atas tanjung Atadei, dan yang mendiami wilayah
di sebelah Barat – arah matahari terbenam di lengan kiri gunung Labalekan dan
sekitarnya sampai Lewuka. Di tanah ini juga, aneka manusia dari pantai dand ari
gunung setiap hari Sabtu di pasar barter yang dinaungi sejumlah pohon asam yang
teduh. Setelah terjadi pemekaran kecamatan di kabupaten Lembata maka sebagian
desa di kecamatan Nagawutung yang mengelilingi gunung Labalekan dan sebagian
lagi desa di kecamatan Atadei “digabungkan” ke dalam satu kecamatan baru, yakni
Wulandoni.
Sepanjang masa Orde Baru, relasi sosial masyarakat
yang mendiami wilayah ini aman dan damai. Setiap hari Sabtu mereka bertemu
sebagai “Prevo” di pasar barter Wulandoni. Saling bersapa ramah sambil
bersepakat untuk bertukar barang. Bahkan
warga Lewuka mengalirkan air bersih ke Pantai Harapan. Saat itu, di sana
tidak ada aparat keamanan yang setiap hari menjaga keamanan di daerah ini. Ketika
Wulandoni menjadi kecamatan dan dilengkapi dengan aparat Negara sebagaimana
layaknya di sebuah ibu kota kecamatan, darah anak manusia, warga Negara yang
sah bernama Krinus Lanang Manuk tumpah sia-sia.
Semua tahu,
di ibu kota kecamatan itu ada kantor camat dan Pak Camat bersama stafnya, ada
Pos Polisi dengan sejumlah personil di sana, dan seorang Bintara Pembina Desa
yang bertugas membina desa-desa di kecamatan itu untuk keamanan teritori. Ketika
di wilayah itu diisi oleh aparat Negara, di sanalah darah warga Negara tumpah
dan nyawa melayang sia-sia. Ketika Wulandoni diisi aparat Negara, di sanalah
warga bebas berkelahi, bahkan sampai ada yang terbunuh di depan kantor yang
seharusnya menyediakan kenyamanan.
Pembunuhan itu terjadi di depan Pos Polisi
Wulandoni. Ini bencana besar dan tamparan bagi isntitusi Polri. Bahwa orang
kini tidak segan-segan melakukan perbuatan criminal di depan simbol Negara. Lebih
sial, di Pos Polisi itu ada sejumlah
anggota Polisi yang menyaksikan tragedi itu. Di mana-mana, dan seharusnya
demikian, ketika di sana ada aparat seperti polisi, seharusnya masyarakat
merasa aman karena ada ketertiban. Tetapi jika ada polisi, namun nyawa warga
Negara dengan mudah tercopot oleh pihak lain, maka di saat itulah “Polisi Tidak dihargai”. Juga, ketika di
hadapan polisi salah satu pihak dibantai dan pihak lain bebas membantai, maka
gedung Polisi dan aparat Polisi yang hadir di tempat itu menjadi simbol
kehadiran Negara yang sedang melakukan pelanggara HAM. Negara melanggar Hak
warga Wulandoni untuk hidup aman dan melanggar hak bapak Krinus untuk tetap
hidup.Saat itu, polisi ada di tempat tetapi tidak bisa dan tidak mampu mencegah
terjadinya penghilangan nyawa manusia. Kita boleh mengatakan, ketidakmampuan
polisi di lokasi kejadian menjadi simbol ketidakmampuan institusi Polres
Lembata, sekaligus menjadi simbol ketidakmampuan pemegang komando, karena staf
di lapangan tentu bekerja berdasarkan komando.
Ketika Polisi yang ada di lapangan berdalih bahwa
belum ada komando, itu mungkin dibenarkan oleh prosedur internal kepolisian.
Prosedur tetap setiap institusi itu penting. Namun ketika karena prosedur lalu membiarkan
kekacauan maka memnghadirkan aparat di lapangan yang tanpa isi, tanpa inisiatif
dan tanpa naluri untuk menyelamatkan warga yang terancam. Itu simbol aparat
yang bekerja secara kaku di bawah perintah dan komando, yang dalam prosedur
pemerintahan sipil disebut petunjuk. Logisnya, perintah, komando, petunjuk
merupakan batasan-batasan agar aparat yang bertugas tidak melampaui
kewenangannya dalam melakukan sebuah tindakan, bukan supaya boleh membiarkan
kekacauan terjadi. Aparat wajib mencegah terjadinya kekacauan, apalagi jatuh
korban.
Ketika sebuah prosedur jatuh ke pundak orang yang
hanya biasa mengaktifkan “otak kananmya”, sedangkan “otak kirinya” tak pernah
difungsikan maka akan menjadikan perintah dan prosedur sebagai yang terpenting,
walaupun dia memiliki kemampuan mencegah kekacauan. Di hadapan perintah, komano
dan petunjuk sebagai batasan perlu ada “kecerdasan” untuk memahami situasi lalu
sigap mengaplikasikan berdasarkan perintah, komando dan petunjuk. Itu butuh kerja
kreatif yag didukung oleh “otak kiri” agar berpikir dan bertindak lain di luar
jalur perintah, komando dan petunjuk namun menjamin keamanan dan keselamatan
rakyat. Ini baru pahlawan Negara, yang selalu dikenang di setiap perayaan Hari
Kemerdekaan RI. Namun di hari kemerdekaan RI yang ke-65, di Wulandoni tidak ada
pahlawan Negara hari itu, yang ada hanyalah “penonton” kekacauan, semacam “patung
polisi” yang berdiri tak berdaya
menyaksikan seorang anak manusia bernama Krinus Lanang Manuk tewas
sia-sia.
Karinus telah tiada. Perdebatan dan tudingan apapun
kepada polisi yang gagal menyelamatkan nyawanya tidaklah akan membangkitkannya
dari kuburnya. Yang terpenting adalah ada pelajaran buat semua, terlebih buat
mereka yang telah dengan ikhlas tanpa paksa memilih menjadi anggota Polisi.
Mereka yang seluruh hidupnya dibiayai oleh Negara. Dan lebih dari sekedar
pelajaran, bagaimana agar polisi memulihkan kelalaianya itu dengan
mengedepankan nurani keadilannya untuk mengusut para pelaku buas itu, terlepas
dia itu siapa dan datang dari mana serta dia anak dan kolega siapa. Dan harap
saja bahwa kasus ini murni sebuah kesalahpahaman, bukan sebuah scenario yang
sengaja diciptakan oleh siapapun untuk kepentingan tertentu.
Koran mewartakan bahwa sudah ada tersangka yang
ditetapkan. Kini bulan Agustus berakhir sudah. Yang ditunggu adalah proses
hukumnya. Diharapkan polisi kita di Lembata memulihkan wibawah institusi ini
melalui jalur hukum mulai dari penagkapan dan proses hukum bagi para pelaku. Di
proses yang satu inilah, akan dilihat, apakah polisi di Lembata jujur dan professional
dan dibanggakan.
Mantan Danramil Lembata Barat Bernardus Sesa Manuk
yang juga salah satu anggota keluarga korban mengatakan polisi tidak
profesional. “Sebenarnya sangat mudah bagi polisi untuk menangkap para pelaku.
Kalau polisi saat itu tegas dan professional maka orang-orang yang menyeret
Karinus Lanang untuk dibawa di depan
kantor polisi langsung ditangkap. Dalam
kasus Krinus Lanang ini polisi menjadi saksi karena mereka lihat orang yang
menyeret Krinus Lanang. Polisi pasti lihat siapa-siapa yang seret almarhum…”. Artinya,
jika kemudian hanya ada satu dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka, maka
patut ada kecurigaan karena polisi ada di lapangan dan melihat langsung banyak
orang menyerbu Wulandoni.
Sebetulnya, pernyataan Sesa Manuk mengundang tafsir
tentang dua hal. Pertama, Poleres
Lembata sedang tidak berwibawa di depan masyarakat Pantai Harapan, dalam hal
ini pelaku penyeretan Karinus. Di hadapan para pelaku, polisi tidak ada
artinya, tidak diperhitungkan. Maka
mereka tidak punya rasa takut ketika menyeret korban. Di sisi lain kita bisa mengatakan bahwa polisi
di Lembata lemah, tak berdaya, yang dalam bahasa Sesa Manuk tidak profesional,
dan dalam bahasa Posyandu “tidak bergizi” serta dalam kacamata telah jatuh
korban disebut “Polisi Tak Berguna”.
Kedua,
secara ekstrim bisa diduga bahwa polisi yang bertugas di depan kantor pos polisi
di Wulandoni itu sedang bersandiwara, berpura-pura sedang bertugas padahal
sedang sengaja membiarkan orang-orang buas menghabisi Karinus Lanang. Tetapi
untuk apa polisi sengaja membiarkan? Apakah agar Pantai Harapan bebas melukai
Wulandoni, dan karena terluka lalu ada pembalasan, dan seterusnya penghasutan
sosial atas nama etnis dan agama bisa dilakukan sehingga ada ladang konflik
baru yang tercipta? Apalagi penyerang sempat melempari gereja karena ada warga
yang berlindung di dalamnya. Sepertinya tidak demikian!
Jika
seperti dugaan ini, maka wajib ada apresiasi untuk warga Wulandoni yang tidak
terhasut sehingga damai bisa diharapkan hidup lagi di Selatan Pulau Lembata. Salut
kepada pastor paroki Wulandoni Romo Gabriel Baluk, Pr yang mengatakan bahwa,
kasus ini tidak ada muatan Sara, dan bahwa gereja dilempar itu hanyalah
kebetulan saja dalam konflik ini.
Dalam
kasus ini, publik perlu belajar dari masyarakat yang sadar menciptakan
kedamaian walau dilukai bahkan dibunuh. Belajar dari pepata uasang “kalah jadi abu,
menang jadi arang”. Sama-sama memikul akibat bila berkonflik. Tidak ada yang
diuntungkan dari kedua belah pihak. Belajar dari kata-kata Yesus: Jika orang
menampar pipimu yang satu, berikan juga yang sebelahnya untuk ditampar.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.