(Sekedar
Tanya untuk proses hukum HJM)
Awal tahun 2013, Flores geger oleh
penemuan kerangka manusia di Lela kabuaten Sikka. Kemudian diketahui publik
bahwa kerangka tiga orang manusia itu milik Mery Grace (MG) bersama dua orang
anaknya. MG seroang perempuan asal Adonara, seorang mantan biarawati.
Penyelidikan cepat oleh Polres Sikka
menyimpulkan bahwa kerangka tiga orang manusia itu hasil “pembunuhan
berencana”. Pelakunya seorang romo. Dialah Herman Jumat Masan (HJM), asal
Adonara yang saat itu sebagai Pembina para calon imam diosesan di rumah TOR
(Tahun Orientasi Rohani) Lela. Artinya “korban dan pelaku” sama-sama seasal.
Penelusuran atas kasus ini mengatakan bahwa
peristiwa ini terjadi awal tahun 2000-an. Artinya sepuluh tahun kejadian ini
terkubur tanpa satu anggota keluarga korban mengetahuinya. Media massa
mengabarkan bahwa kasus ini terbongkar berkat kerja keras seorang imam SVD asal
Adonara bernama Pastor Petrus Payong, dibantu seorang teman perempuan HJM. Padahal
keluarga MG sudah mencari ke mana-mana dan sempat berkeyakinan bahwa MG berada
di pedalaman Kalimantan.
Pengadilan resmi atas diri HJMpun
berlangsung di PN Maumere. Dalam tuntutan JPU Kejari Maumere, HJM terbukti
melakukan “tindak pidana pembunuhan berencana” yang diatur dalam pasal 330 KUHP
jo pasal 65 ayat 1 dan pasal 181 KUHP junto 65 ayat 1 KUHP. Karena ia dituduh telah
melakukan “pembunuhan berencana” maka JPU menuntut hukuman mati baginya. Dalam
putusannya, Pengadilan yang mengadili perkara unik ini memutuskan “hukuman
seumur hidup” bagi HJM.
Karena
pembunuhan Berencana (?)
Menanggapi putusan PN Maumere atas
dirinya, HJM di hadapan majelis hakim mengatakan bahwa yang tahu persis
kejadian ini hanyalah dirinya, Mary (MG) dan Tuhan. Karena itu, pihaknya masih pikir-pikir.
“Atas vonis hakim, saya pikir-pikir
dulu. Menyikapi banyak desakan saya ingin sampaikan kalau kejadian itu hanya
saya, Mery dan Tuhan yang tahu semuanya. Maka itu saya pikir-pikir” (Pos
Kupang, 20 Agustus 2013).
Dari hasil pikir-pikir itulah ia
memutuskan menggunakan hak-hak hukum yang disediakan Negara bagi para pencari keadilan.
Ia mengajukan banding dan kasasi. Putusan banding di Pengadilan Tinggi Kupang
menguatkan putusan PN. Maumere. HJM masih punya hak lain yakni mengajukan
kasasi ke Mahkama Agung. Kini, putusan Mahkama Agung telah ada. HJM dijatuhi
hukuman mati, jauh lebih berat dari putusan sebelumnya.
Hakim Agung Gayus Lumbunn, salah seorang
hakim yang memeriksa perkara ini di tingkat Kasasi mengatakan, putusan ini
perlu dan patut diterapkan karena pembunuhan berencana kini marak di mana-mana.
“Saya nggak pro hukuman mati, tapi untuk hal seperti ini perlu efek penjerahan,
agar publik tidak mudah merencanakan sesuatu pembunuhan yang sekarang marak di
mana-mana. Putusan ini perlu dan patut diterapkan”, kata Gayus sebagaimana
dikutip floresbangkit.com, 12 Februari
2014.
Baik PN maumere, PT Kupang maupun
Mahkama Agung sama-sama menilai bahwa HJM telah “merencanakan” sebuah pembunuhan
sehingga mengorbankan tiga orang. Terlepas dari alasan lainnya sebagaimana
muncul atau dimunculkan dalam fakta-fakta persidangan di Pengadilan, agaknya
“Pembunuhan Berencana” itulah yang menjadi alasan sangat mendasar untuk
menjatuhkan hukuman seumur hidup atau hukuman mati. Artinya, matinya MG dan
kedua anaknya merupakan hasil dari sebuah rencana pembunuhan oleh HJM.
Para hakim berkeyakinan bahwa HJM telah
secara rapi merencanakan sebuah pembunuhan. Perencanaan yang tentu didukung
sejumlah fakta sangat kuat di pengadilan, yang menjadi alasan sangat kuat pula
bagi para hakim di semua level peradilan untuk menjatuhkan hukuman seumur hidup
bahkan hukuman mati. Sebab tidak gampang bagi seorang hakim yang bernurani
untuk menjatuhkan hukuman berat seperti ini jika tidak disertai sejumlah fakta
dan keyakinan bahwa HJM telah benar-benar merencanakan dan melaksanakan sebuah
pembunuhan.
Benarkah
Sebuah Perencanaan?
Pertanyaan tentang benarkah kejadian di
Lela sepuluh tahun silam itu sebuah perencanaan, saya kemukakan sebagai bahan
diskusi para pembaca karena saya yang awam hukum ini sulit memahami kebenaran
yang keluar dari fakta-fakta persidangan kasus ini bahwa apa yang terjadi di
TOR Lela atas diri MG itu sebuah perencanaan.
Pertanyaan ini bermula ketika saya
mengingat lagi pernyataan HJM ketika menerima putusan majelis hakim yang
mengadili perkara ini. Pernyataan yang dipublikasikan media massa di hari-hari
paskah putusan itu. “…kalau kejadian itu hanya saya, Mery dan Tuhan yang tahu
semuanya”.
Bagi saya orang yang awam hukum,
pernyataan seperti ini mengandung pertanyaan atas proses hukum yang didukung
fakta-fakta persidangan atas sebuah perkara berat. Jika ucapan HJM di hadapan
Majelis Hakim yang disaksikan massa yang hadir itu lahir dari sebuah pengakuan tulus
atas perkara yang didakwakan atas dirinya, maka saya yang tidak menghadiri
seluruh jalannya persidangan perkara unik ini mesti bertanya seperti ini.
“Benarkah telah terjadi pembunuhann berencana”?
Jika tragedy sepuluh tahun silam itu
adalah pembunuhan berencana, maka benarkah dalam persidangan itu telah terkuak cukup
kuat bukti yang meyakinkan majelis hakim bahwa matinya MG dan dua anaknya di
rumah TOR Lela itu adalah akibat pembunuhan berencana. Pembunuhan yang direncanakan
secara rapih oleh HJM?
Jika benar itu pembunuhan berencana,
maka bukti dan saksi manakah yang menguatkan hal itu? Pertanyaan ini saya
kemukanan karena HJM bilang bahwa yang tahu pasti tentang hal ini hanyalah
dirinya, MG dan Tuhan. Sebuah rahasia yang hanya diketahui HJM, MG dan Tuhan. Sejauh
berbagai publikasi atas kasus ini, terkesan kuat bahwa tidak satu orangpun yang
tahu tentang kejadian ini sehingga menyulitkan keluarga mencari MG.
Terkuaknya sebuah kubur tak berbatu
nisan di halaman TOR Lela justru berasal bukan dari saksi mata kejadian itu
tetapi dari cerita Maria Sofia, seorang perempuan teman HJM tentang sebuah
kubur di taman bunga di halaman TOR Lela. Karena itu Maria Sofia juga bukan
saksi mata yang mengetahui detail tentang sebuah “Rencana Pembunuhan.” Lalu
dari manakah proses penyelidikan dan penyidikan kasus ini mendapatkan fakta dan
bukti bahwa matinya MG dan dua anaknya adalah hasil pembunuhan berencana?
Adakah saksi dan bukti lain di pengadilan yang menjelaskan bahwa HJM telah
merencanakan pembunuhan itu? Di mana dia merencanakan hal itu dan untuk apa hal
itu direncanakan dan dilaksanakan? Dengan siapa rencana itu dibuat? Sedangkan HJM
sendiri mengatakan yang tahu persis kejadian itu hanyalah dirinya, MG dan
Tuhan.
Kalau benar demikian, maka siapakah dari
ketiga pihak ini yang dihadirkan di Pengadilan sebagai saksi mata? Dalam kasus
ini HJM adalah pelaku dan MG adalah saksi korban. Karena MG telah meninggal
maka tidak ada saksi korban di pengadilan. Apakah Tuhan yang dihadirkan di
pengadilan sebagai saksi? Kasus dengan putusan hukuman mati mestinya dilandasi
bukti-bukti sangat kuat.
Ada referensi lain yang bica digunakan
penyidik dalam kasus ini. Mislanya hasil laboratorium forensik. Itupun hanya
bisa memperlihatkan ada tidaknya indikasi tindak kekerasan yang mengakibatkan
kematian. Tidak meninggalkan rekaman tentang rencana pembunuhan. Lalu dari mana
diketahui bahwa tindak kekerasan yang mengakibatkan kematian itu adalah hasil pembunuhan
berencana? Apakah dari pengakuan HJM sendiri?
Jika berasal dari pengakuan HJM di
hadapan polisi penyidik di Polres Sikka, maka yakinkah bahwa hasil itu
didapatkan melalui sebuah proses penyidikan yang profesional? Kita bisa saja
percaya dengan proses penyidikan ini. Namun sejumlah kasus rumit di tangan
polisi yang penyidikannya dilakukan
dengan kekerasan agar pelaku mengaku, patut melahirkan curiga karena hanya HJM
sendirilah yang bisa menjamin kebenaran kejadian ini. Bahwa ada pembunuhan itu
benar, dan semua telah tahu. Tetapi apakah benar itu pembunuhan berencana,
hanya HJM, MG dan Tuhan yang tahu.
Kini HJM telah berstatus terpidana mati.
Menunggu saatnya eksekusi. Kata Marianus Laka, salah satu penasehat hukum HJM sebagaimana
dikutip floresbangkit.com bahwa masih ada upaya PK dan pengajuan Grasi. PK jika
ada novum atau bukti baru yang cukup kuat. Jika pengakuan HJM di hadapan
penyidik karena kekerasan, pemaksaan atau janji lain dari Polisi penyidik, maka
bisakah hal ini menjadi novum?
Jika harus melakukan upaya PK dan Grasi,
maka hal itu harus dilakukan atas nama keadilan dan kemanusian. Tidak semata
kemanusiaan dan mengabaikan keadilan. Adil dulu baru Damai agar manusiawi.
Tulisan ini tentu tidak melepaskan HJM dari hukuman ini. Namun kejadian ini
bisa menjadi bahan diskusi dan referensi hidup atas sebuah peristiwa
kemanusiaan yang sangat penting.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.