Selasa, 21 Oktober 2014

Telah Terjadi Pembunuhan Berencana?



(Sekedar Tanya untuk proses hukum HJM)

Awal tahun 2013, Flores geger oleh penemuan kerangka manusia di Lela kabuaten Sikka. Kemudian diketahui publik bahwa kerangka tiga orang manusia itu milik Mery Grace (MG) bersama dua orang anaknya. MG seroang perempuan asal Adonara, seorang mantan biarawati.
Penyelidikan cepat oleh Polres Sikka menyimpulkan bahwa kerangka tiga orang manusia itu hasil “pembunuhan berencana”. Pelakunya seorang romo. Dialah Herman Jumat Masan (HJM), asal Adonara yang saat itu sebagai Pembina para calon imam diosesan di rumah TOR (Tahun Orientasi Rohani) Lela. Artinya “korban dan pelaku” sama-sama seasal. 


Penelusuran atas kasus ini mengatakan bahwa peristiwa ini terjadi awal tahun 2000-an. Artinya sepuluh tahun kejadian ini terkubur tanpa satu anggota keluarga korban mengetahuinya. Media massa mengabarkan bahwa kasus ini terbongkar berkat kerja keras seorang imam SVD asal Adonara bernama Pastor Petrus Payong, dibantu seorang teman perempuan HJM. Padahal keluarga MG sudah mencari ke mana-mana dan sempat berkeyakinan bahwa MG berada di pedalaman Kalimantan.
Pengadilan resmi atas diri HJMpun berlangsung di PN Maumere. Dalam tuntutan JPU Kejari Maumere, HJM terbukti melakukan “tindak pidana pembunuhan berencana” yang diatur dalam pasal 330 KUHP jo pasal 65 ayat 1 dan pasal 181 KUHP junto 65 ayat 1 KUHP. Karena ia dituduh telah melakukan “pembunuhan berencana” maka JPU menuntut hukuman mati baginya. Dalam putusannya, Pengadilan yang mengadili perkara unik ini memutuskan “hukuman seumur hidup” bagi HJM.

Karena pembunuhan Berencana (?)

Menanggapi putusan PN Maumere atas dirinya, HJM di hadapan majelis hakim mengatakan bahwa yang tahu persis kejadian ini hanyalah dirinya, Mary (MG) dan Tuhan. Karena itu, pihaknya masih pikir-pikir.  “Atas vonis hakim, saya pikir-pikir dulu. Menyikapi banyak desakan saya ingin sampaikan kalau kejadian itu hanya saya, Mery dan Tuhan yang tahu semuanya. Maka itu saya pikir-pikir” (Pos Kupang, 20 Agustus 2013).

Dari hasil pikir-pikir itulah ia memutuskan menggunakan hak-hak hukum yang disediakan Negara bagi para pencari keadilan. Ia mengajukan banding dan kasasi. Putusan banding di Pengadilan Tinggi Kupang menguatkan putusan PN. Maumere. HJM masih punya hak lain yakni mengajukan kasasi ke Mahkama Agung. Kini, putusan Mahkama Agung telah ada. HJM dijatuhi hukuman mati, jauh lebih berat dari putusan sebelumnya.

Hakim Agung Gayus Lumbunn, salah seorang hakim yang memeriksa perkara ini di tingkat Kasasi mengatakan, putusan ini perlu dan patut diterapkan karena pembunuhan berencana kini marak di mana-mana. “Saya nggak pro hukuman mati, tapi untuk hal seperti ini perlu efek penjerahan, agar publik tidak mudah merencanakan sesuatu pembunuhan yang sekarang marak di mana-mana. Putusan ini perlu dan patut diterapkan”, kata Gayus sebagaimana dikutip floresbangkit.com,  12 Februari 2014.

Baik PN maumere, PT Kupang maupun Mahkama Agung sama-sama menilai bahwa HJM telah “merencanakan” sebuah pembunuhan sehingga mengorbankan tiga orang. Terlepas dari alasan lainnya sebagaimana muncul atau dimunculkan dalam fakta-fakta persidangan di Pengadilan, agaknya “Pembunuhan Berencana” itulah yang menjadi alasan sangat mendasar untuk menjatuhkan hukuman seumur hidup atau hukuman mati. Artinya, matinya MG dan kedua anaknya merupakan hasil dari sebuah rencana pembunuhan oleh HJM.

Para hakim berkeyakinan bahwa HJM telah secara rapi merencanakan sebuah pembunuhan. Perencanaan yang tentu didukung sejumlah fakta sangat kuat di pengadilan, yang menjadi alasan sangat kuat pula bagi para hakim di semua level peradilan untuk menjatuhkan hukuman seumur hidup bahkan hukuman mati. Sebab tidak gampang bagi seorang hakim yang bernurani untuk menjatuhkan hukuman berat seperti ini jika tidak disertai sejumlah fakta dan keyakinan bahwa HJM telah benar-benar merencanakan dan melaksanakan sebuah pembunuhan.  

Benarkah Sebuah Perencanaan?

Pertanyaan tentang benarkah kejadian di Lela sepuluh tahun silam itu sebuah perencanaan, saya kemukakan sebagai bahan diskusi para pembaca karena saya yang awam hukum ini sulit memahami kebenaran yang keluar dari fakta-fakta persidangan kasus ini bahwa apa yang terjadi di TOR Lela atas diri MG itu sebuah perencanaan.

Pertanyaan ini bermula ketika saya mengingat lagi pernyataan HJM ketika menerima putusan majelis hakim yang mengadili perkara ini. Pernyataan yang dipublikasikan media massa di hari-hari paskah putusan itu. “…kalau kejadian itu hanya saya, Mery dan Tuhan yang tahu semuanya”.

Bagi saya orang yang awam hukum, pernyataan seperti ini mengandung pertanyaan atas proses hukum yang didukung fakta-fakta persidangan atas sebuah perkara berat. Jika ucapan HJM di hadapan Majelis Hakim yang disaksikan massa yang hadir itu lahir dari sebuah pengakuan tulus atas perkara yang didakwakan atas dirinya, maka saya yang tidak menghadiri seluruh jalannya persidangan perkara unik ini mesti bertanya seperti ini. “Benarkah telah terjadi pembunuhann berencana”?

Jika tragedy sepuluh tahun silam itu adalah pembunuhan berencana, maka benarkah dalam persidangan itu telah terkuak cukup kuat bukti yang meyakinkan majelis hakim bahwa matinya MG dan dua anaknya di rumah TOR Lela itu adalah akibat pembunuhan berencana. Pembunuhan yang direncanakan secara rapih oleh HJM?

Jika benar itu pembunuhan berencana, maka bukti dan saksi manakah yang menguatkan hal itu? Pertanyaan ini saya kemukanan karena HJM bilang bahwa yang tahu pasti tentang hal ini hanyalah dirinya, MG dan Tuhan. Sebuah rahasia yang hanya diketahui HJM, MG dan Tuhan. Sejauh berbagai publikasi atas kasus ini, terkesan kuat bahwa tidak satu orangpun yang tahu tentang kejadian ini sehingga menyulitkan keluarga mencari MG.

Terkuaknya sebuah kubur tak berbatu nisan di halaman TOR Lela justru berasal bukan dari saksi mata kejadian itu tetapi dari cerita Maria Sofia, seorang perempuan teman HJM tentang sebuah kubur di taman bunga di halaman TOR Lela. Karena itu Maria Sofia juga bukan saksi mata yang mengetahui detail tentang sebuah “Rencana Pembunuhan.” Lalu dari manakah proses penyelidikan dan penyidikan kasus ini mendapatkan fakta dan bukti bahwa matinya MG dan dua anaknya adalah hasil pembunuhan berencana? Adakah saksi dan bukti lain di pengadilan yang menjelaskan bahwa HJM telah merencanakan pembunuhan itu? Di mana dia merencanakan hal itu dan untuk apa hal itu direncanakan dan dilaksanakan? Dengan siapa rencana itu dibuat? Sedangkan HJM sendiri mengatakan yang tahu persis kejadian itu hanyalah dirinya, MG dan Tuhan. 

Kalau benar demikian, maka siapakah dari ketiga pihak ini yang dihadirkan di Pengadilan sebagai saksi mata? Dalam kasus ini HJM adalah pelaku dan MG adalah saksi korban. Karena MG telah meninggal maka tidak ada saksi korban di pengadilan. Apakah Tuhan yang dihadirkan di pengadilan sebagai saksi? Kasus dengan putusan hukuman mati mestinya dilandasi bukti-bukti sangat kuat.
Ada referensi lain yang bica digunakan penyidik dalam kasus ini. Mislanya hasil laboratorium forensik. Itupun hanya bisa memperlihatkan ada tidaknya indikasi tindak kekerasan yang mengakibatkan kematian. Tidak meninggalkan rekaman tentang rencana pembunuhan. Lalu dari mana diketahui bahwa tindak kekerasan yang mengakibatkan kematian itu adalah hasil pembunuhan berencana? Apakah dari pengakuan HJM sendiri?

Jika berasal dari pengakuan HJM di hadapan polisi penyidik di Polres Sikka, maka yakinkah bahwa hasil itu didapatkan melalui sebuah proses penyidikan yang profesional? Kita bisa saja percaya dengan proses penyidikan ini. Namun sejumlah kasus rumit di tangan polisi yang  penyidikannya dilakukan dengan kekerasan agar pelaku mengaku, patut melahirkan curiga karena hanya HJM sendirilah yang bisa menjamin kebenaran kejadian ini. Bahwa ada pembunuhan itu benar, dan semua telah tahu. Tetapi apakah benar itu pembunuhan berencana, hanya HJM, MG dan Tuhan yang tahu.       
Kini HJM telah berstatus terpidana mati. Menunggu saatnya eksekusi. Kata Marianus Laka, salah satu penasehat hukum HJM sebagaimana dikutip floresbangkit.com bahwa masih ada upaya PK dan pengajuan Grasi. PK jika ada novum atau bukti baru yang cukup kuat. Jika pengakuan HJM di hadapan penyidik karena kekerasan, pemaksaan atau janji lain dari Polisi penyidik, maka bisakah hal ini menjadi novum?

Jika harus melakukan upaya PK dan Grasi, maka hal itu harus dilakukan atas nama keadilan dan kemanusian. Tidak semata kemanusiaan dan mengabaikan keadilan. Adil dulu baru Damai agar manusiawi. Tulisan ini tentu tidak melepaskan HJM dari hukuman ini. Namun kejadian ini bisa menjadi bahan diskusi dan referensi hidup atas sebuah peristiwa kemanusiaan yang sangat penting.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.