Selasa, 21 Oktober 2014

Polisi Lembata Akomodir Penipuan?



Oleh Melky koli Baran

Karena berbicara dalam sidang Paripurna di DPRD Lembata, maka Yakobus Liwa, Anggota DPRD Lembata kena getahnya. Ia diadukan ke Polres Lembata. Kabar yang lama beredar di Lembata bahwa yang melapor adalah ajudan Bupati yakni Faisal dan Agustinus Dominikus Tueng Lasar.
Sungguh aneh! Yakobus Liwa bicara sebagai anggota DPRD tentang bupati lembata Yentji Sunur. Tapi yang polisikan Yakobus Liwa adalah dua orang ajudannya. Apa hubungannya? Dan polisi menerima laporan ini. Seorang ajudan bupati bisa lapor seorang aggota DPRD yang bicara di ruang sidang resmi. Seorangn anggota DPRD resmi menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat lalu digugat oleh seorang ajudan bupati. Adakah hubungan struktural antara seorang ajudan  bupati bernama Faisal dan Tueng Lasar dengan seorang anggota DPRD? Rasanya tidak! Karena itu aneh! Lalu mengapa kedua ajudan ini berani memolisikan Yakobus yang adalah anggota DPRD?


Kita bisa paham posisi keduanya sebagai ajudan bupati. Pemahaman akan relasi sosial dan struktural antara seorang bupati dengan ajudannya. Dengan memahami relasi ini, bisa diduga, kedua ajudan ini terpaksa melakukannya atau merasa sangat bertanggungjawam melindungi bupati yang adalah “tuan” mereka yang mereka abdi setiap hari sebagai ajudan. Mereka yang selalu siap kapan saja untuk melayani bupati, terlepas suka atau tidak suka. Harus membukakan pintu mobil, membukakan pintu ruangan ketika hendak masuk, mengambilkan tas dan keperluan lainnya yang dibutuhkan, menjaga di depan pintu ketika ada tamu yang datang. Karena itu maka mungkin dalam keterbatasan pengetahuan, keduanya merasa bertanggungjawab melindungi “tuan” mereka ini kapan dan dalam situasi apapun.

Maka ketika Yakobus Liwa bicara keras dalam sidang paripurna dan mengatakan bupati melakukan pembohongan publik, kedua ajudan ini langsun bereaksi melaporkan Yakobus ke polisi. Karena itu, ketika ditanya, keduanya sangat berani mengatakan merekalah yang memolisikan Yakobus. Bahkan “dalam rapat Pansus di ruang Komisi III DPRD Lembata tanggal 1 Juni 2013 kedua orang ini bersikeras menyatakan bahwa laporan kepada polisi atas diri Yakobus Liwa dilakukan tanpa komando, perintah atau suruhan dari bupati” (Bentara Flores Pos, 2 Juli 2014). Itu kemungkinan pertama bahwa kedua orang ini benar melapor Yakobus ke Polisi.

Kemungkinan kedua adalah mereka disuruh oleh bupati untuk melapor Yakobus Liwa tetapi dengan pesan kalau ditanya bilang saja bahwa bupati tidak suruh, sebagaimana kesaksian keduanya di hadapan rapat Pansus DPRD Lembata 1 juni 2013. Kemungkinan ketiga adalah kedua orang ini disuruh mengaku saja sedangkan laporan ke polisi dibuat oleh bupati sendiri dan wajib dirahasiakan.
Karena itu, hingga Yakobus Liwa diperiksa Polisi  tanggal 27 Juni 2014, semua pihak di Lembata kecuali bupati dan ajudannya serta para polisi di Polres Lembata memiliki satu cerita bahwa dua orang ajudan bupatilah yang melapor Yakobus Liwa ke Polisi.   

Bukan cuma itu. Bupati Yentji Sunur kepada floresbangkit.com (16/2/2013) sebagaimana dikutip Bentara Flores Pos 2 Juli 2014 mengatakan, “Saya tidak melaporkan Yakobus Liwa, anggota DPRD kepada polisi, karena itu saya tidak bisa mencabut laporan itu. Yang lapor itu ajudan saya, karena itu dialah yang berhak mencabut laporan itu”.

Pernyataan dua ajudan bupati di hadapan Pansus DPRD Lembata itu substansinya sama persis dengan pernyataan bupati kepada floresbangkit.com. Tentu kesamaan ini bukan kebetulan, tetapi sudah diatur bersama. Apakah ajudan yang mengatur dan mengendalikan bupati atau bupatilah yang mengendalikan dan mendikte kedua ajudannya? Jika ini dibahas, tentu mayoritas orang akan tidak percaya bahwa kedua ajudan ini yang mendikte bupati. Itu berarti kuat dugaan bupatilah yang mengendalikan  kedua ajudan ini.

Walau apapun yang dikatakan bupati di floresbangkit.com atau di media mana saja, serta apapun pernyataan kedua ajudan di hadapan rapat pansus, itu tidak bisa lari dari bukti hitam atas putih, yakni surat laporan ke polisi. Itulah bukti otentik ketika berdebat tentang benar tidaknya kedua ajudan ini melapor Yakobus Liwa ke polisi. Terhadap hal ini, tentu polisi juga tahu siapa sesungguhnya pelapor Yakobus Liwa berdasarkan surat laporan yang masuk ke Polres, apakah kedua ajudan bernama Faisal dan Tueng ataukah bupati Sunur?

Pelapor sesungguhnya baru terkuak ketika Yakobus Liwa mau diperiksa polisi di Polres Lembata tanggal 27 Juni lalu. Flores Pos menulis bahwa saat hendak diperiksa polisi di Polres Lembata, Yakobus Liwa bertahan untuk tidak memberi keterangan jika yang melaporkannya ke polisi adalah ajudan bupati. Sebab menurutnya, pembicaraannya di Paripurna DPRD waktu itu tidak ada kaitannya dengan kedua ajudan itu. Kedua ajudan itu bukan korban sehingga mereka tidak berhak melapornnya ke polisi. Dia mau beri keterangan jika polisi membuka siapa sesungguhnya korban yang melapornya ke polisi. Dan hari itulah, rahasia yang disimpan selama ini oleh bupati dan kedua ajudannya serta turut dijaga kerahasiaannya oleh Polres Lembata itu terbuka lebar. Polisi tentu terpaksa memperlihatkan surat pengaduan bupati agar Yakobus mau diperiksa. Ketika polisi memperlihatkan surat pengaduan , ternyata yang melapor Yakobus Liwa adalah bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur. Sungguh mrmalukan!

Rahasia dan sandiwara antara bupati dan kedua ajudannya itu sangat lama dirahasiakan oleh Polres Lembata. Dan di titik inilah, ada pertanyaan penting dan etisyang mesti di jawab  oleh bupati dan polisi.

Pertama, mengapa bupati tidak melapor sendiri jika merasa sangat yakin bahwa pernyataan Yakobus Liwa itu salah dan tidak pada tempatnya? Mengapa mesti memperalat kedua ajudannya untuk menyembunyikan diri? Dalam kultur etis masyarakat Lembata, sikap seperti ini disebut penipu dan penakut, sorong orang lain ke depan lalu dia sembunyi di belakang. Seorang pemimpin harus berani dan jujur, tidak tipu dan sembunyi di belakang orang lain. Ini bukan sekedar jujur tetapi profesional sebagai seorang pemimpin yang berkualitas.   

Kedua, mengapa polisi tidak membuka ke publik siapa sebetulnya yang melapor Yakobus Liwai? Sepertinya polisi turut merahasiakan sandiwara antara bupati dan kedua ajudannya. Jika ini kasus penipuan, dan dalam kasus penipuan ini polisi tahu tapi menyembunyikannya maka polisi juga “turut serta” dalam  perbuatan penipuan ini. Dan ternyata bukan saja turut serta dalam penipuan tetapi dengan memanggil Yakobus Liwa untuk diperiksa atas laporan kedua ajudan bupati, berarti polisi secara resmi mengkomodir penipuan dalam kasus pidana Yakobus Liwa. 

Pertanyaan yang saya jadikan judul tulisan ini adalah “Mengapa polisi Lembata mengakomodir penipuan”? Polisi tahu bahwa surat pengaduan terhadap Yakobus Liwa itu datang dari bupati Lembata. Polisi juga tentu di Koran dan tahu atau dengar kesaksian kedua ajudan di hadapan rapat Pansus. Dari sini polisi tentu tahu ada penipuan dalam kasus ini. Namun Yakobus Liwa tetap dipanggil untuk diperiksa atas sebuah laporan yang pelapornya lain di surat laporan dan lain di pernyataan depan rapat Pansus DPRD. Saya yakin bahwa polisi itu penegak hukum, yang seharusnya pintar menangani kasus ini. Tetapi tidak hanya mengandalkan kepintaran. Yang diperlukan juga adalah nurani. 

Dalam menangani kasus-kasus yang memperhadapkan kebenaran dan ketidakbenaran, nurani sangat penting membimbing langkah dan keputusan. Jika polisi kehilangan nura ni, maka jual beli kasus akan tetap terjadi, ada orang yang disembunyikan dan ada orang yang ditumbalkan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.