Oleh
Melky koli Baran
Karena berbicara dalam sidang Paripurna di DPRD
Lembata, maka Yakobus Liwa, Anggota DPRD Lembata kena getahnya. Ia diadukan ke
Polres Lembata. Kabar yang lama beredar di Lembata bahwa yang melapor adalah
ajudan Bupati yakni Faisal dan Agustinus Dominikus Tueng Lasar.
Sungguh aneh! Yakobus Liwa bicara sebagai anggota
DPRD tentang bupati lembata Yentji Sunur. Tapi yang polisikan Yakobus Liwa
adalah dua orang ajudannya. Apa hubungannya? Dan polisi menerima laporan ini.
Seorang ajudan bupati bisa lapor seorang aggota DPRD yang bicara di ruang sidang
resmi. Seorangn anggota DPRD resmi menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat
lalu digugat oleh seorang ajudan bupati. Adakah hubungan struktural antara seorang
ajudan bupati bernama Faisal dan Tueng
Lasar dengan seorang anggota DPRD? Rasanya tidak! Karena itu aneh! Lalu mengapa
kedua ajudan ini berani memolisikan Yakobus yang adalah anggota DPRD?
Kita bisa paham posisi keduanya sebagai ajudan
bupati. Pemahaman akan relasi sosial dan struktural antara seorang bupati
dengan ajudannya. Dengan memahami relasi ini, bisa diduga, kedua ajudan ini terpaksa
melakukannya atau merasa sangat bertanggungjawam melindungi bupati yang adalah
“tuan” mereka yang mereka abdi setiap hari sebagai ajudan. Mereka yang selalu
siap kapan saja untuk melayani bupati, terlepas suka atau tidak suka. Harus membukakan
pintu mobil, membukakan pintu ruangan ketika hendak masuk, mengambilkan tas dan
keperluan lainnya yang dibutuhkan, menjaga di depan pintu ketika ada tamu yang datang.
Karena itu maka mungkin dalam keterbatasan pengetahuan, keduanya merasa
bertanggungjawab melindungi “tuan” mereka ini kapan dan dalam situasi apapun.
Maka ketika Yakobus Liwa bicara keras dalam sidang
paripurna dan mengatakan bupati melakukan pembohongan publik, kedua ajudan ini
langsun bereaksi melaporkan Yakobus ke polisi. Karena itu, ketika ditanya,
keduanya sangat berani mengatakan merekalah yang memolisikan Yakobus. Bahkan
“dalam rapat Pansus di ruang Komisi III DPRD Lembata tanggal 1 Juni 2013 kedua
orang ini bersikeras menyatakan bahwa laporan kepada polisi atas diri Yakobus
Liwa dilakukan tanpa komando, perintah atau suruhan dari bupati” (Bentara
Flores Pos, 2 Juli 2014). Itu kemungkinan pertama bahwa kedua orang ini benar
melapor Yakobus ke Polisi.
Kemungkinan kedua adalah mereka disuruh oleh bupati
untuk melapor Yakobus Liwa tetapi dengan pesan kalau ditanya bilang saja bahwa
bupati tidak suruh, sebagaimana kesaksian keduanya di hadapan rapat Pansus DPRD
Lembata 1 juni 2013. Kemungkinan ketiga adalah kedua orang ini disuruh mengaku
saja sedangkan laporan ke polisi dibuat oleh bupati sendiri dan wajib
dirahasiakan.
Karena itu, hingga Yakobus Liwa diperiksa Polisi tanggal 27 Juni 2014, semua pihak di Lembata
kecuali bupati dan ajudannya serta para polisi di Polres Lembata memiliki satu
cerita bahwa dua orang ajudan bupatilah yang melapor Yakobus Liwa ke Polisi.
Bukan cuma itu. Bupati Yentji Sunur kepada
floresbangkit.com (16/2/2013) sebagaimana dikutip Bentara Flores Pos 2 Juli
2014 mengatakan, “Saya tidak melaporkan Yakobus Liwa, anggota DPRD kepada
polisi, karena itu saya tidak bisa mencabut laporan itu. Yang lapor itu ajudan
saya, karena itu dialah yang berhak mencabut laporan itu”.
Pernyataan dua ajudan bupati di hadapan Pansus DPRD
Lembata itu substansinya sama persis dengan pernyataan bupati kepada
floresbangkit.com. Tentu kesamaan ini bukan kebetulan, tetapi sudah diatur
bersama. Apakah ajudan yang mengatur dan mengendalikan bupati atau bupatilah yang
mengendalikan dan mendikte kedua ajudannya? Jika ini dibahas, tentu mayoritas
orang akan tidak percaya bahwa kedua ajudan ini yang mendikte bupati. Itu
berarti kuat dugaan bupatilah yang mengendalikan kedua ajudan ini.
Walau apapun yang dikatakan bupati di
floresbangkit.com atau di media mana saja, serta apapun pernyataan kedua ajudan
di hadapan rapat pansus, itu tidak bisa lari dari bukti hitam atas putih, yakni
surat laporan ke polisi. Itulah bukti otentik ketika berdebat tentang benar
tidaknya kedua ajudan ini melapor Yakobus Liwa ke polisi. Terhadap hal ini,
tentu polisi juga tahu siapa sesungguhnya pelapor Yakobus Liwa berdasarkan
surat laporan yang masuk ke Polres, apakah kedua ajudan bernama Faisal dan
Tueng ataukah bupati Sunur?
Pelapor sesungguhnya baru terkuak ketika Yakobus
Liwa mau diperiksa polisi di Polres Lembata tanggal 27 Juni lalu. Flores Pos
menulis bahwa saat hendak diperiksa polisi di Polres Lembata, Yakobus Liwa
bertahan untuk tidak memberi keterangan jika yang melaporkannya ke polisi
adalah ajudan bupati. Sebab menurutnya, pembicaraannya di Paripurna DPRD waktu
itu tidak ada kaitannya dengan kedua ajudan itu. Kedua ajudan itu bukan korban
sehingga mereka tidak berhak melapornnya ke polisi. Dia mau beri keterangan
jika polisi membuka siapa sesungguhnya korban yang melapornya ke polisi. Dan
hari itulah, rahasia yang disimpan selama ini oleh bupati dan kedua ajudannya
serta turut dijaga kerahasiaannya oleh Polres Lembata itu terbuka lebar. Polisi
tentu terpaksa memperlihatkan surat pengaduan bupati agar Yakobus mau
diperiksa. Ketika polisi memperlihatkan surat pengaduan , ternyata yang melapor
Yakobus Liwa adalah bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur. Sungguh mrmalukan!
Rahasia dan sandiwara antara bupati dan kedua
ajudannya itu sangat lama dirahasiakan oleh Polres Lembata. Dan di titik
inilah, ada pertanyaan penting dan etisyang mesti di jawab oleh bupati dan polisi.
Pertama,
mengapa bupati tidak melapor sendiri jika merasa sangat yakin bahwa pernyataan
Yakobus Liwa itu salah dan tidak pada tempatnya? Mengapa mesti memperalat kedua
ajudannya untuk menyembunyikan diri? Dalam kultur etis masyarakat Lembata,
sikap seperti ini disebut penipu dan penakut, sorong orang lain ke depan lalu
dia sembunyi di belakang. Seorang pemimpin harus berani dan jujur, tidak tipu
dan sembunyi di belakang orang lain. Ini bukan sekedar jujur tetapi profesional
sebagai seorang pemimpin yang berkualitas.
Kedua, mengapa polisi tidak
membuka ke publik siapa sebetulnya yang melapor Yakobus Liwai? Sepertinya polisi
turut merahasiakan sandiwara antara bupati dan kedua ajudannya. Jika ini kasus
penipuan, dan dalam kasus penipuan ini polisi tahu tapi menyembunyikannya maka
polisi juga “turut serta” dalam
perbuatan penipuan ini. Dan ternyata bukan saja turut serta dalam
penipuan tetapi dengan memanggil Yakobus Liwa untuk diperiksa atas laporan
kedua ajudan bupati, berarti polisi secara resmi mengkomodir penipuan dalam
kasus pidana Yakobus Liwa.
Pertanyaan yang saya jadikan judul tulisan ini
adalah “Mengapa polisi Lembata mengakomodir penipuan”? Polisi tahu bahwa surat
pengaduan terhadap Yakobus Liwa itu datang dari bupati Lembata. Polisi juga
tentu di Koran dan tahu atau dengar kesaksian kedua ajudan di hadapan rapat
Pansus. Dari sini polisi tentu tahu ada penipuan dalam kasus ini. Namun Yakobus
Liwa tetap dipanggil untuk diperiksa atas sebuah laporan yang pelapornya lain
di surat laporan dan lain di pernyataan depan rapat Pansus DPRD. Saya yakin
bahwa polisi itu penegak hukum, yang seharusnya pintar menangani kasus ini.
Tetapi tidak hanya mengandalkan kepintaran. Yang diperlukan juga adalah nurani.
Dalam menangani kasus-kasus yang memperhadapkan kebenaran dan ketidakbenaran,
nurani sangat penting membimbing langkah dan keputusan. Jika polisi kehilangan
nura ni, maka jual beli kasus akan tetap terjadi, ada orang yang disembunyikan
dan ada orang yang ditumbalkan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.