Selasa, 21 Oktober 2014

Operasi Kriminal Tak Bergeming di Hadapan Aparat



(Membaca Peristiwa Wulandoni dari Sisi Lain)

Oleh Melky Koli Baran

Peristiwa kriminal yang terjadi di Selatan pulau Lembata telah berlalu hampir sebulan. Kala itu (17/8/2014), warga Pantai Harapan Menyerbu warga Wulandoni. Sejumlah rumah warga dan kantor camat dirusaki. Cerita lapangan menjelaskan bahwa warga Pantai Harapan berwajah beringas menyerbu Wulandoni. Seorang warga Wulandoni diseret dan dibunuh di kampungnya sendiri. Lebih memalukan lagi, terjadi di hadapan aparat Polisi dari Polres Lembata yang sedang resmi bertugas. Ini terbilang operasi kriminal terbesar di Lembata pada lima tahun terakhir. Negara dalam hal ini pemerintah dan aparat keamanan gagal. 


Kasus yang berlangsung sangat terbuka di siang bolong, disaksikan langsung oleh aparat polisi yang sekaligus sebagai lembaga penyidik, juga oleh warga Wulandoni dan pastor paroki Wulandoni Romo Gabriel Jogo Baluk selaku korban itu direkam oleh kamera. Dari rekaman kamera itulah, kabarnya kini polisi selaku lembaga penyidik telah menetapkan 6 orang tersangka. Hanya 6 orang tersangka. Lima orang dari Pantai harapan dan satu orang dari Wulandoni yang kabarnya terpaksa melakukan upaya pembelaan diri. Ini masuk akal bagi orang yang diserang. Bahkan polisi diserangpun pasti melepaskan tembakan membunuh penyerang dengan alasan membela diri (ingat kasus Ruteng berdarah tahun 2004).

***   

Tindakan kriminal dalam bentuk apapun semestinya takluk di hadapan kebesaran kekuasaan Negara. Karena itu, operasi kriminal dalam bentuk apapun dan oleh siapapun sering dilakukan melalui sejuta pertimbangan dan kadang dilaksanakan secara taktis, sembunyi-sembunyi, tidak demonstratif di hadapan kontrol Negara dalam hal ini aparat keamanan dan ketertiban masyarakat seperti Polri.

Karena itu pula, telah mentradisi di negeri ini betapa masyarakat menaruh hormat pada kehadiran aparat Negara terlebih polisi dan tentara. Dalam Bahasa negatif, masyarakat takut buat ulah jika ada aparat bersenjata. Hal ini berdampak positif pada tumbuhnya situasi sosial yang kondusif di masyarakat. Relasi sosial masyarakat warga antar kampung dan desa, antara kelompok satu dengan kelompok. Didukung media-media dan ruang-ruang lokal di level komunitas yang semakin mempererat tali persaudaraan. Pesta-pesta adat dan pesta keluarga besar dengan ritus seni dan tari kolosal, pasar lokal tradisional berisi tukar menukar barang produksi setempat semakin mengentalkan relasi sosial sebagai sebuah komunitas.

Al hasil, dari hari ke hari cerita kriminal demonstratif semakin tak bergeming. Sejumlah kerusuhan massal yang berlangsung sangat lama di beberapa tempat di negeri ini telah tertumpas.   Apresiasi bagi aparat Negara dalam hal ini Polri dan TNI.

***

Sejalan dengan apresiasi ini, tidaklah menutup mata terhadap sejumlah kejadian kecil di berbagai daerah, yang menampilkan wajah ketakberdayaan aparat Negara di satu pihak dan arogansi kelompok pengacau di pihak lain yang bebas melakukan kekacauan dan memancing amarah sosial di hadapan “tontonan” aparat Negara. Mengesankan bahwa aparat Negara “mandul”, yang jadi peluang semakin menjamurnya kekacauan-kemacauan di berbagai level.

Jika memaknai tumbuhnya ketertiban dan keamanan sebagai dampak dari power dan kewibawaan aparat Negara, maka munculnya kekacauan-kekacauan bisa saja mempertontonkan kebangkrutan wibawa aparat Negara itu.

Catatan media dan rekaman cerita lapangan di daerah ini sedikitnya semakin mencemaskan ketika mulai bermunculan sejumlah letupan dan konflik sosial kriminal. Tahun 2013 lalu, di pulau Solor terjadi serangan dari satu kampung kepada kampung yang lain. Ada bisik-bisik saat kunjungan saya ke Solor saat itu bahwa mengalir juga bala bantuan kekuatan kriminal dari luar pulau itu, yang juga merepotkan aparat melalui serangan dari laut.  

Terakhir tanggal 17 Agustus 2014, warga desa Pantai Harapan menyerang warga desa Wulandoni. Polisi ada di lokasi tetapi tak berfungsi. Sejumlah informasi mengatakan dari rekaman kamera, warga Wulandoni diserang oleh orang dalam jumlah banyak. Bahkan ada yang guru PNS dalam operasi kriminal itu.

Kasus seperti ini memperlihatkan dua fakta dalam “satu mata uang logam”. Di satu sisi mata uang memperlihatkan “tak bergemingnya operasi kriminal di hadapan aparat Polisi dari Polres Lembata” dan di sisi lain memperlihatkan polisi tak berdaya atau sengaja membiarkan terjadi kekacauan.
Di hadapan para pelaku tindakan kriminal, polisi dinarasikan tak berdaya. Menonton saja ketika rombongan penyerang bersenjata dari desa Pantai Harapan menyerbu pemukiman warga Wulandoni, merusak kantor camat dan membunuh seorang warga Wulandoni. Bahkan sangat demonstratif mempertontonkan power mereka di hadapan power polisi di Polsek Wulandoni yang sedang bangkrut tak berdaya.

Pertanyaannya adalah, apakah benar power Polri di Polres Lembata dalam kasus Wulandoni itu sedang bangkrut di hadapan power operasi kriminal warga Pantai Harapan, ataukah ada semacam pembiaran? Artinya polisi sengaja membiarkan orang Pantai Harapan merusak rumah dan membantai warga Wulandoni? 

***

Memasuki bulan Septembeer, kabarnya baru 6 orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Kabarnya para tersangka diidentifikasi polisi antara lain berdasarkan rekaman video. Apakah saat itu polisi ada di lapangan dengan peralatan lengkap untuk merekam jalannya penyerangan itu? Artinya apakah polisi telah tahu sebelumnya bahwa orang Pantai Harapan akan menyerang orang Wulandoni sehingga mereka menyiapkan alat rekam? Kalau ya, mengapa tidak melakukan pencegahan yang berakibat jatuh korban dan rusaknya fasilitas umum dan milik warga?

Juga tentang 6 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan rekaman video. Satu di antaranya warga Wulandoni. Artinya hanya 5 orang Pantai Harapan yang menyerang orang Wulandoni? Benarkah demikian rekaman video itu? Ataukah ada yang sengaja dilindungi? Seperti seorang guru PNS yang sampai saat ini belum tersentuh.

Tentang pelaku guru PNS ini, terlepas siapa dia, hal ini memperlihatkan karakter seorang guru dan seorang Pegawai Negeri Sipil yang mestinya tidak bisa diteladani. Orang seperti ini patut diwaspadai karena bisa saja menyebar virus radikalisme di sekolah untuk anak didiknya.

Kasus Wulandoni menggarisbawahi gejala menguatnya kriminalitas warga di hadapan aparat kepolisian. Fakta di kebanyakan tempat, orang-orang desa sangat hormat bahkan takut melakukan kejahatan jika ada aparat bersenjata seperti Polisi. Maka ketika warga Pantai Harapan sangat berani dan demoinstratif melakukan tindakan kriminal di hadapan Polisi yang sedang bertugas, hal ini memperlihatkan sedang menguatnya kejahatan oleh warga dan sedang bangkrutnya power kepolisian. Jika bukan hal ini maka ada kesengajaan dari Polisi untuk melakukan pembiaran atas apa yang diketahuinya akan terjadi. Jangan salahkan masyarakat jika kemudian muncul dugaan bahwa Polisi sedang melindungi warga Pantai Harapan dan mengkianati warga Wulandoni.

Perlukah mengevaluasi dan mereformasi kepemimpinan di Polres Lembata demi tegaknya wibawa Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)?.***     



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.