(Membaca Peristiwa Wulandoni dari Sisi Lain)
Oleh
Melky Koli Baran
Peristiwa kriminal yang terjadi di Selatan pulau
Lembata telah berlalu hampir sebulan. Kala itu (17/8/2014), warga Pantai
Harapan Menyerbu warga Wulandoni. Sejumlah rumah warga dan kantor camat dirusaki.
Cerita lapangan menjelaskan bahwa warga Pantai Harapan berwajah beringas
menyerbu Wulandoni. Seorang warga Wulandoni diseret dan dibunuh di kampungnya
sendiri. Lebih memalukan lagi, terjadi di hadapan aparat Polisi dari Polres
Lembata yang sedang resmi bertugas. Ini terbilang operasi kriminal terbesar di
Lembata pada lima tahun terakhir. Negara dalam hal ini pemerintah dan aparat
keamanan gagal.
Kasus yang berlangsung sangat terbuka di siang
bolong, disaksikan langsung oleh aparat polisi yang sekaligus sebagai lembaga
penyidik, juga oleh warga Wulandoni dan pastor paroki Wulandoni Romo Gabriel
Jogo Baluk selaku korban itu direkam oleh kamera. Dari rekaman kamera itulah,
kabarnya kini polisi selaku lembaga penyidik telah menetapkan 6 orang
tersangka. Hanya 6 orang tersangka. Lima orang dari Pantai harapan dan satu
orang dari Wulandoni yang kabarnya terpaksa melakukan upaya pembelaan diri. Ini
masuk akal bagi orang yang diserang. Bahkan polisi diserangpun pasti melepaskan
tembakan membunuh penyerang dengan alasan membela diri (ingat kasus Ruteng berdarah tahun 2004).
***
Tindakan kriminal dalam bentuk apapun semestinya
takluk di hadapan kebesaran kekuasaan Negara. Karena itu, operasi kriminal
dalam bentuk apapun dan oleh siapapun sering dilakukan melalui sejuta
pertimbangan dan kadang dilaksanakan secara taktis, sembunyi-sembunyi, tidak
demonstratif di hadapan kontrol Negara dalam hal ini aparat keamanan dan
ketertiban masyarakat seperti Polri.
Karena itu pula, telah mentradisi di negeri ini
betapa masyarakat menaruh hormat pada kehadiran aparat Negara terlebih polisi
dan tentara. Dalam Bahasa negatif, masyarakat takut buat ulah jika ada aparat
bersenjata. Hal ini berdampak positif pada tumbuhnya situasi sosial yang
kondusif di masyarakat. Relasi sosial masyarakat warga antar kampung dan desa,
antara kelompok satu dengan kelompok. Didukung media-media dan ruang-ruang lokal
di level komunitas yang semakin mempererat tali persaudaraan. Pesta-pesta adat
dan pesta keluarga besar dengan ritus seni dan tari kolosal, pasar lokal
tradisional berisi tukar menukar barang produksi setempat semakin mengentalkan
relasi sosial sebagai sebuah komunitas.
Al hasil, dari hari ke hari cerita kriminal demonstratif
semakin tak bergeming. Sejumlah kerusuhan massal yang berlangsung sangat lama
di beberapa tempat di negeri ini telah tertumpas. Apresiasi bagi aparat Negara dalam hal ini
Polri dan TNI.
***
Sejalan dengan apresiasi ini, tidaklah menutup mata
terhadap sejumlah kejadian kecil di berbagai daerah, yang menampilkan wajah
ketakberdayaan aparat Negara di satu pihak dan arogansi kelompok pengacau di
pihak lain yang bebas melakukan kekacauan dan memancing amarah sosial di
hadapan “tontonan” aparat Negara. Mengesankan bahwa aparat Negara “mandul”,
yang jadi peluang semakin menjamurnya kekacauan-kemacauan di berbagai level.
Jika memaknai tumbuhnya ketertiban dan keamanan
sebagai dampak dari power dan kewibawaan aparat Negara, maka munculnya
kekacauan-kekacauan bisa saja mempertontonkan kebangkrutan wibawa aparat Negara
itu.
Catatan media dan rekaman cerita lapangan di daerah
ini sedikitnya semakin mencemaskan ketika mulai bermunculan sejumlah letupan
dan konflik sosial kriminal. Tahun 2013 lalu, di pulau Solor terjadi serangan
dari satu kampung kepada kampung yang lain. Ada bisik-bisik saat kunjungan saya
ke Solor saat itu bahwa mengalir juga bala bantuan kekuatan kriminal dari luar
pulau itu, yang juga merepotkan aparat melalui serangan dari laut.
Terakhir tanggal 17 Agustus 2014, warga desa Pantai
Harapan menyerang warga desa Wulandoni. Polisi ada di lokasi tetapi tak berfungsi.
Sejumlah informasi mengatakan dari rekaman kamera, warga Wulandoni diserang oleh
orang dalam jumlah banyak. Bahkan ada yang guru PNS dalam operasi kriminal itu.
Kasus seperti ini memperlihatkan dua fakta dalam
“satu mata uang logam”. Di satu sisi mata uang memperlihatkan “tak bergemingnya
operasi kriminal di hadapan aparat Polisi dari Polres Lembata” dan di sisi lain
memperlihatkan polisi tak berdaya atau sengaja membiarkan terjadi kekacauan.
Di hadapan para pelaku tindakan kriminal, polisi
dinarasikan tak berdaya. Menonton saja ketika rombongan penyerang bersenjata
dari desa Pantai Harapan menyerbu pemukiman warga Wulandoni, merusak kantor
camat dan membunuh seorang warga Wulandoni. Bahkan sangat demonstratif
mempertontonkan power mereka di hadapan power polisi di Polsek Wulandoni yang
sedang bangkrut tak berdaya.
Pertanyaannya adalah, apakah benar power Polri di
Polres Lembata dalam kasus Wulandoni itu sedang bangkrut di hadapan power
operasi kriminal warga Pantai Harapan, ataukah ada semacam pembiaran? Artinya
polisi sengaja membiarkan orang Pantai Harapan merusak rumah dan membantai
warga Wulandoni?
***
Memasuki bulan Septembeer, kabarnya baru 6 orang
yang ditetapkan sebagai tersangka. Kabarnya para tersangka diidentifikasi
polisi antara lain berdasarkan rekaman video. Apakah saat itu polisi ada di
lapangan dengan peralatan lengkap untuk merekam jalannya penyerangan itu?
Artinya apakah polisi telah tahu sebelumnya bahwa orang Pantai Harapan akan
menyerang orang Wulandoni sehingga mereka menyiapkan alat rekam? Kalau ya, mengapa
tidak melakukan pencegahan yang berakibat jatuh korban dan rusaknya fasilitas
umum dan milik warga?
Juga tentang 6 orang yang telah ditetapkan sebagai
tersangka berdasarkan rekaman video. Satu di antaranya warga Wulandoni. Artinya
hanya 5 orang Pantai Harapan yang menyerang orang Wulandoni? Benarkah demikian
rekaman video itu? Ataukah ada yang sengaja dilindungi? Seperti seorang guru
PNS yang sampai saat ini belum tersentuh.
Tentang pelaku guru PNS ini, terlepas siapa dia, hal
ini memperlihatkan karakter seorang guru dan seorang Pegawai Negeri Sipil yang
mestinya tidak bisa diteladani. Orang seperti ini patut diwaspadai karena bisa
saja menyebar virus radikalisme di sekolah untuk anak didiknya.
Kasus Wulandoni menggarisbawahi gejala menguatnya
kriminalitas warga di hadapan aparat kepolisian. Fakta di kebanyakan tempat, orang-orang
desa sangat hormat bahkan takut melakukan kejahatan jika ada aparat bersenjata
seperti Polisi. Maka ketika warga Pantai Harapan sangat berani dan
demoinstratif melakukan tindakan kriminal di hadapan Polisi yang sedang
bertugas, hal ini memperlihatkan sedang menguatnya kejahatan oleh warga dan
sedang bangkrutnya power kepolisian. Jika bukan hal ini maka ada kesengajaan
dari Polisi untuk melakukan pembiaran atas apa yang diketahuinya akan terjadi. Jangan
salahkan masyarakat jika kemudian muncul dugaan bahwa Polisi sedang melindungi
warga Pantai Harapan dan mengkianati warga Wulandoni.
Perlukah mengevaluasi dan mereformasi kepemimpinan
di Polres Lembata demi tegaknya wibawa Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)?.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.