Selasa, 21 Oktober 2014

Orde Baru vs Orde Reformasi



(Catatan Menuju Pemilu 9 Juli 2014)

Oleh Melky Koli Baran

Tanggal 9 juli 2014 besok dinanti-nantikan segenap bangsa Indonesia. Hari penentuan pemimpin bangsa lima tahun ke depan. Inilah momentum Pemilu Presiden dan Wakil Presiden paska Orde Baru yang paling seru. Pasalnya hanya ada dua pasang calon. Prabowo Subianto berpasangan dengan Hatta Rajasa dan Joko Widodo berpasangan dengan Jusuf Kalla. Mungkin ini pertarungan paling menarik. Betapa tidak, rakyat yang memiliki hak pilih akan menjadi penentu sekaligus wasit lapangan atas pertarungan ini. 

Kita bisa menyebut pertarungan ini sebagai pertarungan antara “Orde Baru” dan “Orde Reformasi”. Atau pertarungan antara “seorang jenderal” dengan “seorang pedagang kayu”. 

  
Saya yakin, semua masih ingat hari-hari kelabu di tahun 1998 hingga 2009. Masa yang saat itu lebih dikenal sebagai masa Krismon (Krisis Ekonomi). Tapi itulah tapal batas kekuasaan Orde Baru yang sekaligus melahirkan Orde Reformasi. Pasti para aktivis pro Demokrasi masih ingat. Orde Reformasi lahir dengan “Jalan Darah”. Darah para aktivis dan mahasiswa yang tumpah di kampus dan di jalan-jalan di Jakarta. Bahkan ada yang hilang tanpa bekas. Walau kemudian ada yang kembali seperti Pius Lustrilanang lalu memilih bergabung dalam Partai Gerindra bersama Prabowo yang saat itu disebut-sebut sebagai orang penting di balik penculikan itu, menjadi pilihan bebas pribadinya saudara Lustrilanang. Namun bagi saya, pilihan itu tidak lalu menghapus tragedi penculikan itu. Hingga kini masih ada keluarga yang belum menemukan di mana anak-anak mereka yang hilang di akhir masa kejayaan Orde Baru itu. 

Tragedi Mei kelabu 1998 yang diwarnai pembakaran, penjarahan dan pemerkosaan di Jakarta serta hilangnya para aktivis dan mahasiswa telah dikenang sepanjang hayat sebagai pembayaran yang paling mahal bagi lahirnya Orde Reformasi. Orde yang ditandai dengan menguatnya eksistensi masyarakat sipil, tumbuhnya iklim demokrasi dan penghormatan pada hak-hak asasi manusia. 

Kisah tentang siapa tokoh penting di balik sejarah kelam itu tak pernah diketahui. Di kalangan terbatas, ada dugaan pelanggaran HAM berat, namun Komnas HAM juga dikabarkan gagal menghadirkan tokoh penting itu. Siapakah tokoh penting itu, tetap menjadi mistri. 


Tibalah saatnya, menjelang Pemilu Presiden 2014. Munculnya Prabowo dan Jokowi sebagai calon presiden, ternyata sama simpatiknya bagi hampir seluruh masyarakat Indionesia. Tak ada yang berani mempersoalkan dan mempertanyakan rekan jejak masa lalu kedua calon pemimpin sebuah bangsa dengan masyarakatnya yang plural ini. Bangsa yang kokoh kuat di atas keberagaman yang saling menghormati ini. 

Munculnya dua calon Presiden ini semestinya mengingatkan pada masa akhir Orde Baru dan lahirnya Orde Reformasi. Prabowo Subianto adalah tokoh penting di zaman Orde Baru. Prabowo disebut-se but sebagai tokoh penting di balik sejarah kelam pencuklikan mahasiswa dan aktivis di awal tahun 1998 yang berlanjut dengan gerakan reformasi menumbangkan Oerde Baru. Walau demikian, tak ada bukti hukum yang mampu menyentuh anak mantu Soeharto, sang Pemimpin Besar Orde Baru.  Bahkan Komnas HAM tak mampu menyentuh Jenderal bintang dua ini dalam kasus pelanggaran HAM berat tahun 1998 itu. Lalu perlahan-lahan sejarah itu mulai dilupakan. 

Adalah Yusuf Kalla, sang calon Wakil Presiden berpasangan dengan Jokowi. Pada debat putaran pertama, di luar dugaan, Jusuf Kala melontarkan pertanyaan panas ke Prabowo tentang apa strategi Prabowo menuntaskan kasus pelanggaran HAM masa lalu jika terpilih sebagai peresiden. Saat itu kelihatan Prabowo hampir tersulut emosi, namun ia berusaha tenang. Tapi tidak menjawab pertanyaan Jusuf Kala. Prabowo malah bilang, kalau mau tanya soal itu, tanyalah pada atasnya langsung. 

Jawaban Prabowo ini menggelindingkan bola panas. Lalu, terbukalah sebuah dokumen Negara tentang pemberhentian Prabowo dari Militer oleh Dewan Kehormatan Jenderal (DKP). Hal yang bisa menyingkap rahasia masa lalu itu. Mengapa seorang Jenderal bintang dua dengan mudah diberhentikan oleh DKP? Kesalahan apa yang telah dilakukannya? Berbagai media cetak maupun elektronik mengulasnya. Tak ketinggalan sejumlah Jenderal yang saat itu bergabung dalam DKP buka bicara. Misalnya  Merdeka.com 11 Juni 2014. Seolah terjadi perang urat saraf para pensiunan Jenderal yang telah tersebar ke berbagai Partai Politik. Wiranto dituding sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas bocornya rahasia Negara itu. "Jadi kalau kemarin itu beredar satu dokumen seolah-olah dokumen Dewan Kehormatan Perwira (DKP), itu adalah rahasia negara. Berarti ada yang membocorkan rahasia negara. Kita berharap juga institusi TNI mengusut siapa yang membocorkan dokumen-dokumen, karena itu hanya ada di brankas Panglima ABRI, ketika itu dalam hal ini adalah Pak Wiranto. Jadi itu adalah suatu tindak pidana, membocorkan rahasia negara," kata Waketum Gerindra sekaligus Sekretaris Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, Fadli Zon di Rumah Polonia, Jakarta Timur, Senin (9/6) sebagaimana dikutip Merdeka.com. 

Jenderal (Purn) Fachrul Razi, anggota DKP saat itu angkat bicara. Menurutnya, dari aspek kehormatan perwira Prabowo memang memiliki banyak kesalahan. Tak hanya itu, dia juga menceritakan sejumlah pertimbangan yang diambil DKP sebelum memutuskan merekomendasikan pemberhentian Prabowo. Menurutnya, Prabowo tidak disiplin dalam sejumlah hal. "Beberapa kasus lainnya, misalnya dia sering tidak ada di tempat. Kita tanya kemana dia, dia ada di sebuah negara tertentu, dan ini sangat-sangat tidak disiplin dan membahayakan. Apalagi terakhir pada saat dia melakukan penculikan itu. Terus terang saja, penculikan pada saat itu, kami hanya fokus pada yang diculik yang sudah kembali. Kami tidak sedikit pun menyentuh yang hilang. Dari hasil itu saja kami anggap dia sudah sangat pantas untuk dipecat. Tapi kami sepakat untuk tidak menggunakan kata pemecatan," katanya. Dalam serang menyerang para mantan jenderal ini, mantan Wakasad Letjen TNI Purnawirawan Suryo Prabowo yang masuk dalam tim sukses Prabowo-Hatta justru mempertanyakan tanggung jawab atasan Prabowo dalam kasus penculikan. 

Perang para mantan Jendera ini mendorong Prof. Romo Magnis Suseno melayangkan surat terbuka ke Harian Kompas. Menurut pastor dan Profesor dari STF Driyarkara Jakarta ini, TNI telah menyembunyikan apa yang seharusnya diketahui oleh rakyat. Apalagi menyangkut seorang calon presiden saat ini. Masyarakat Indonesia yang akan memilih Pemimpinnya wajib mengetahui rekam jejak calon yang akan dipilihnya. Ternyata Prabowo diberhentikan karena terlibat penculikan 1998 yang selama ini dicari-cari. 

Menafsir pendapat  Prof Magnis, tidak ada urusan dengan rahasia Negara karena Prabowo saat ini adalah seorang calon Presiden, karena itu, rekam jejaknya di masa lalu seperti keterlibatannya dalam kasus kelabu 1998 dalam hal ini penculikan aktivis pro demokrasi  dan pemberhentiannya oleh DKP wajib dibuka untuk diketahui oleh masyarakat Indonesia. 

Dengan dibukanya keterlibatan Prabowo dalam kasus pelanggaran HAM 1998, bukanlah sebuah hukuman bagi sang jenderal calon Presiden ini. Tidak juga mengurangi kualitasnya sebagai Presiden. Yang diperlukan adalah kejujuran Prabowo kepada rakyat Indonesia tentang hal ini. Itu sebuah tuntutan etis bagi seoang calon presiden. Masyarakat terlebih para korban akan mengampuni pelaku pelanggaran HAM jika ada kejujuran mengakui kesalahan dan meminta maaf pada para korban. Mengaku salah dan meminta maaf adalah watak pemimpin besar yang dicari-cari rakyat. Bila pak Prabowo mengaku tentang posisi dia dalam sejarah kelam itu, lalu berani meminta maaf pada para korban, maka dia telah melewati sebuah rintangan terbesar menuju kursi Presiden RI. Ada ajaran bijak yang mengatakan “orang yang berani meminta maaf dipastikan tidak akan mengulangi lagi perbuatannya yang tercela itu. Sebaliknya orang yang berusaha menyembunyikan kehitaman hidupnya, akan berpotensi terus mengulanginya lagi di hari esok”. 

Jika masa lalu prabowo dibuka, adalah bagian dari masa lalunya di Orde Baru. Jika hal ini tidak diakuinya, masyarakat berhak mencurigai ketulusannya menjadi Presiden. Kini hanya dua calon. Mau pilih watak Orde Baru yang tidak mengaku salah dan meminta maaf pada para korban atau pilih watak reformasi dan merakyat. Ini rahasia pemilih. Tetapi yang pasti, Pemilu 9 Juli 2014 adalah personifikasi pertarungan antara status quo Orde baru dengan Orde Reformasi pro Demokrasi dan penegakan HAM. Selamat menuju bilik rahasia besok. Songsonglah fajar pagi dengan kemenangan rakyat bersama Presiden yang jujur, merakyat dan berani mengaku salah dan meminta maaf pada rakyat.***



                                                                                                                                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.