Senin, 08 Desember 2008

CERITERA DARI NDUNGGA, ENDE YANG BISA DIPELAJARI

Melky Koli Baran

Tanggal, 16 November, sejumlah CSO (LSM, lembaga agama, Perguruan Tinggi, organisasi masyarakat), bertandang ke desa Ndungga. Di sana berlangsung diskusi dengan masyarakat seputar bencana tahun 2003. Kunjungan ini untuk memperdalam gagasan dan aksi pengurangan resiko bencana sekaligus menjadi proses belajar bersama masyarakat.
Ndungga terletak lebih kurang 10 Km arah Timur Kota Ende. Terdiri dari 3 dusun yaitu dusun Aerawa, Dusun Ndungga dan Dusun Watubhara. Penduduk berjumlah 131 KK. April 2003 silam desa ini diporakporandakan banjir dan longsor. Peristiwa ini merenggut 29 jiwa. 12 meninggal (ditemukan) dan 17 lainnya hilang (tak ditemukan).
Tanda-tanda Alam
Ceritera masyarakat, sebelumnya ada tanda-tanda akan ada bencana. Hujan turun selama 3 hari. Sudah muncul rasa takut, bingung, cemas (firasat buruk). Tercium bau lumpur, kilat dan guntur pada hari Senin, 31 Maret jam 23.00 WITA – Selasa, 1 April 2003, jam 02.30 WITA; munculnya berkas cahaya seperti lampu senter dari arah pantai selatan yang dilihat pada malam hari dan bergerak menuju desa Ndungga. Masih ada sejumlah tanda alam lainnya.
Selain masyarakat Ndungga, para nelayan dari Pulau Ende mengakui telah melihat kumpulan Awan bercahaya dan berair jatuh di arah Lokoboko dan Ndungga. (Badai Inigo - bahasa Lio disebut Murugali), tercium bau walangsangit dalam rumah (tanda akan ada kematian); Capung kali (bahasa setempat: ule ae) masuk ke dalam rumah pada jam 23.00 Wita (4 Jam sebelum bencana). Selama tiga hari berturut-turut melihat Pelangi yang meminum air di Kali (lokasi kejadian bencana).
Pengalaman lain, pada banjir 1988 masyarakat melihat bulan jatuh di arah gua yang terletak di bagian timur. Sebelum kejadian gempa 1992, hujan selama 3 hari berturut-turut, tercium bau belerang serta hawa sangat panas menyebar. Sebelum banjir 2003, Minggu malam 30 Maret 2003 hingga Senin pagi 31 Maret, cahaya seperti cahaya lampu melintas sepanjang lokasi kejadian.
Dari sejumlah ceritera ini, sesungguhnya masyarakat Ndungga memiliki pengalaman dengan tanda-tanda alam sebelum kejadian bencsana. Ceritera seperti ini tentu tidak saja di Ndungga, tetapi di tempat-tempat lain juga, hanya saja apakah tanda-tanda itu menjadi peringatan bagi masyarakat untuk mengambil langkah penyelamatan dini. Biasanya kita teerlambat memaknai tanda-tanda alam seperti ini.

Kepolosan Anak Kecil
Senin, 31 Maret 2003, Gregorius W. Riwu (Frits), anak usia 3 tahun di kampung Ndungga sudah merasakan tanda akan terjadi bencana. Sang ayah Felix, berceritera bahwa pada malam sebelum kejadian, pkl. 21.00 Frits yang saat itu masih berumur 3 tahun meminta seluruh keluarga berdoa dan minta izin kedua orang tuanya untuk mencium patung keluarga kudus sebab akan terjadi bencana.
Pesan polos sang anak ini disampaikan kepada seluruh masyarakat, terutama mereka yang bermukim sepanjang jembatan kali Ndungga. Namun kuaitr tidak terjadi bencana dan dituduh menyebar kepanikan, maka pesan polos sang anak tidak diumumkan kepada masyarakat. Yang dilakukan malam itu sebatas memukul tiang listrik agar masyarakat tetap siaga.
Terenyata benar apa yang dipesan sang anak. Dalam kelelapan malam menjelang pagi, banjir bandang menerjang dan meluluhlantakan perkampungan. Rumah, harta benda bahkan nyawa diterjang banjir bandang. Ada yang hilang, meninggal dan terluka.

Belajar Dari Ceritera
Kata kunci dari ceritera di atas adalah kesiapsiagaan. Di dalamnya, sangat berkaitan dengan tanda-tanda alam maupun gejala sosial di hari-hari menjelang kejadian.
Teori dan perspektif Disater Risk Management (management pengurangan resiko) dalam keseluruhan pembangunan menempatkan peringatan dini sebagai salah satu upaya pengurangan resiko. Tanda-tanda alam maupun gejala sosial merupakan bentuk peringatan dini (early warning) bagi masyarakat yang di daerah rawan dan beresiko bencana. Langit, dalam bentuk Pelangi (Nipa moa), Hujan, petir, awan yang bergumpal seperti cahaya (Murugali), Binatang (Capung, Walang sangit), perubahan aroma alam (bau Lumpur bila terjadi banjir, bau belerang bila terjadi gempa), perubahan suhu Udara, reaksi atau firasat yang tidak lazim pada anak-anak, orang cacat dan abnormal merupakan bentuk peringatan atau tanda-tanda bahaya.

Belajar Dari Ndungga
Pengalaman bencana tahun 2003 memberi pelajaran bagi masyarakat desa Ndungga. Di sepanjang DAS telah ditanami berbagai jenis tanaman penahan tanah dan air. Usaha ini lahir dari kesadaran masyarakat. Tidak ada yang menggerakkannya. Secara perorangan, masyarakat mulai menanam. Dan perlahan-lahan, semua masyarakat menanam. Jadilah gerakkan bersama menanam bamboo, pohon-pohon, maupun berbagai jenis tanaman rumput yang dapat dijadikan pakan ternak, pisang dan kelapa.
Paskah bencana, masyarakat tidak pindah atau dipindahkan. Belajar dari pengalaman 2003, masyarakat membangun hidup baru di atas reruntuhan. Pengalaman longsor mengajarkan warga untuk menanam dan lebih hati-hati membuka lahan pertanian. Di samping itu, batu-batu muntahan longsor ditambang untuk menambah penghasilan.
Ndungga, Desa dan komunitas kampung yang kini hidup nyaman di tengah lokasi bekas longsor dan banjir tahun 2003. Ancaman mulai diubah jadi potensi. UU 24/2007 lahir kemudian. Warga Ndungga sudah memilikinya, hanya lamban diketahui oleh masyarakat..***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.