(Seputar Uang Makan PNS di Flotim)
Melky Koli Baran
Para guru di Kabupaten Flores Timur dalam wadah PGRI menuntut pembayaran Uang Makan (UM), yang adalah hak Pegawai Negeri Sipil dan tidak dibayar penuh oleh pemerintah. Hanya membayar Rp 7.500/hari dari seharusnya Rp 10.000. Departemen Agama menerima Rp 15.000 per hari sementara yang lain hanya Rp 7.500.
Memasuki rana hak, maka hak setiap orang wajib dipenuhi, apa lagi itu hak dasar. Pemenuhan kebutuhan pangan (makan dan minum) adalah hak dasar, yang wajib dipenuhi oleh negara pada rakyatnya. Menghambat pemenuhan makan dan minum rakyat dari rana HAK adalah pelanggaran hak. Dari segi hukum, pemerintah melakukan perbuatan melawan hukum jika telah ada payung hukumnya. Dalam pengelolaan anggaran pembangunan salah satu tujuannya untuk memenuhi hak rakyat, yang dalam tekhnis pelaksanaan disesuaikan dengan kebijakan anggaran. Mengeluarkan uang lima rupiah sekalipun, harus ada dasar hukumnya. Jika tidak, maka masuk kategori perbuatan melawan hukum.
Terhadap tuntutan PNS di Flotim, perlu dibuka, seperti apa payung hukumnya? Mengapa ada perbedaan pemahaman antara Bupati, Wakil Bupati dan DPRD? Payung hukum manakah yang menjadi pegangan Bupati dan mana pula yang menjadi acuan DPRD dan Wakil Bupati? Lalu apa filosifi kebijakan Uang Makan itu?
Filosofi dan Dasar Hukum Uang Makan?
Peraturan Mentri Keuangan RI no. 22 tahun 2007, tanggal 22 Februari 2007, mengalokasikan Uang Makan untuk Pegawai Negeri Sipil. Pegawai negeri sipil adalah sebagaimana dimaksud UU no. 8/1974 yang diubah dengan UU no. 43/1999, yakni pegawai yang berada di lingkungan Kementrian Negara/Lembaga, dan dibayar secara harian (psl.1). Karena untuk lingkungan kementrian, maka berasal dari APBN.
Uang Makan ini dilatari kebijakan lima hari kerja. PNS bekerja sampai lewat jam makan siang, dan mengalami banyak hambatan jika kembali ke rumah untuk makan siang, seperti di lingkungan Jabotabek. Karena itu disediakan uang makan bagi PNS. Jadi filosofi adanya uang makan karena PNS melaksanakan lima hari kerja dan dengan kondisi yang sulit untuk makan tepat pada waktunya jika kembali ke rumah.
Dalam perjalanan, peraturan Mentri Keuangan ini mendapat koreksi. PNS bukan hanya di lingkup Kementrian saja, tetapi termasuk di daerah. Maka Mentri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota no. 841.7/680/BAKD tanggal 22 Agustus 2007. Ada dua point dalam Surat Mendagri. Pertama, Peraturan tersebut (Mentri Keuangan) hanya mengatur pemberian uang makan kepada pegawai negeri sipil di lingkungan Kementrian Negara/Lembaga yaitu dalam rangka pelaksanaan APBN. Implikasi dari point satu ini adalah PNS lingkup Departemen di Daerah mendapatkannya karena bersumber dari APBN. Bagaimana dengan PNS di daerah? Pada point kedua Edaran Mendgri dikatakan, bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah “dapat disediakan” (tanda kutip oleh penulis) makanan dan minuman (bukan Uang Makan: bacaan penulis) dengan berpedoman pada Lampiran A. VIII Mentri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang dianggarkan pada setiap SKPD Kelompok Belanja Langsung. Rincian Obyek Belanja Makanan dan Minuman Pegawai, sesuai kemampuan keuangan daerah dengan standar biaya yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dengan demikian, pelaksanaan Uang Makan di daerah tidak berpedoman langsung pada Peraturan Mentri Keuangan RI (Rp 10.000) tetapi pada Surat Edaran Mendagri. Jika Peraturan Mentri menetapkan Rp 10.000, maka di daerah disesuaikan dengan kemampuan daerah. Artinya jika daerah mampu maka disediakan, bahkan bisa lebih dari Rp 10.000. Itupun bukan dalam bentuk uang makan tetapi belanja makanan dan minuman pada setiap SKPD. Tetapi jika daerah tidak mampu maka tidak disediakan, apalagi di daerah belum diberlakukan lima hari kerja. Dan kewenangan untuk menetapkannya ada pada Kepala Daerah, dan harus sesuai payung hukum daerah (Perda).
Kebijakan Anggaran Flores Timur
Kabupaten Florers Timur memiliki payung hukum, Perda no. 12 tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah. Di dalamnya mengatur kedudukan Bupati selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Pada kedudukan ini terdapat kewenangan untuk menetapkan kebijakan anggaran sesuai porsi anggaran yang diamanatkan APBD yakni alokasi belanja rutin dan pembangunan. Karena bupati sekaligus pelaksana Otonomi Daerah dalam konteks Negara Kesatuan maka ia terikat pada kebijakan di level nasional (UU, PP, Kepmen dll) dalam pengelolaan anggaran pembangunan, dengan tetap mengacu pada porsi APBD dengan terus menerus berusaha memperbesar belanja pembangunan dari tahun ke tahun.
Tentang kemampuan keuangan daerah dalam kaitan dengan Uang Makan sebagaimana diamanatkan Edaran Mendagri, hendaknya dibaca dalam konteks Pendapatan Asli Daerah, dan bukan Dana Alokasi Umum (DAU). Sebab dalam DAU, Alokasi Dasar hanya memuat gaji dan tunjangan pegawai untuk belanja rutin, tidak termasuk uang makan. Artinya, uang makan dapat saja tidak disediakan dengan alasan kemampuan daerah, tetapi dapat saja ada kebijakan lain dari Bupati selaku otorisasi anggaran.
Maka lahirlah Edaran Bupati Flores Timur nomor BPKAD.841.7/01.1/2008 tanggal 03 Januari 2007 tentang pemberian Uang Makan bagi PNS sebesar Rp 7.500 terhitung sejak 01 Januari 2008. Apakah semua Kabupaten/Kota di Indonesia melakukan yang sama? Bisa dicek ke kabupaten lainnya.
Dengan Edaran Bupati ini maka ada payung hukum untuk Uang Makan di Flores Timur. APBD tahun 2008 mangalokasikan uang makan bagi 5.151 PNS x 22 hari kerja x 12 bulan x Rp 7.500 = Rp 10.198.980.000. Dengan sendirinya 10 miliar lebih untuk uang makan ini tentu mengurangi belanja pembangunan. Ketika tuntutan PNS menaikan Uang Makan menjadi Rp 10.000 maka perlu tambahan Rp 3.399.660.000. Karena kenaikan ini terjadi di tengah tahun anggran tanpa proses penambahan belanja rutin pada APBD maka tambahan Uang Makan menyedot lagi belanja pembangunan. Jika kita andaikan saja, subsidi rakyat miskin untuk renovasi rumah dengan biaya 2 juta/rumah, maka hanya dengan tidak menaikan uang makan PNS, Pemda sudah bisa mensubsidi kurang lebih 1.699 keluarga miskin tahun ini. Bisa dibuat pengandaian lainnya, seperti subsidi minyak tanah, sarana pendidikan atau subsidi bagi siswa mampu dari keluarga ekonomi lemah.
Merujuk kebijakan daerah, APBD 2008 telah ditetapkan melalui perda. Otorisasi anggaran ada pada Bupati. Tetapi DPRD dan Wakil Bupati dalam pertemuan dengan para guru bulan April membuat kesepakatan untuk menaikan UM, yang kemudian dipertegas dalam pertemuan lanjutan 6 juni. Dari rana hukum, mana yang memiliki kekuatan hukum? Perda atau keputusan DPRD? Tidakkah keputusan ini menabrak kebijakan yang sudah ada tanpa terlebih dahulu melakukan proses legislasi untuk perubahan kebijakan? UU no. 10 tahun 2004 mengatur hirarki perundangan bahwa Perda lebih tinggi. Dan juga, dalam budaya anggaran setiap tahun, jika dipandang perlu untuk mengubah anggaran maka melalui usulan perubahan APBD yang biasanya dilakukan tiga bulan menjelang berakhirnya tahun anggaran. Tidak menolak uang makan PNS karena belum ada payung hukum, tetapi tidakkah melewati saja mekanisme perubahan APBD secara wajar sehingga ada payung hukumnya? PNS aman dan pemerintah juga aman.
Belajar Dari Pengalaman
Aspirasi PNS? Itu perlu dan diperhatikan. Tugas DPRD mengkaji aspirasi dan merekomendasikan ke Eksekutif. Keputusan ada di eksekutif melalui mekanisme kebijakan anggaran. Ada kesan, mendorong perubahan anggaran Uang Makan PNS secara terburu-buru. Ada apa? Tafsiran politik sekurangnya ada tiga momentum politik. Pertama, momentum Pilkada NTT. Kedua, momentum Pemilu tahun 2009 untuk DPRD baru dan ketiga, momentum Pilkada Flores timur 2010. Mungkinkah perubahan ini bisa dihubungkan dengan momentum politik itu? Lalu apa kepentingan PNS? Ah, tidak!
Sekedar diingat, Flores Timur punya pengalaman pengelolaan anggaran yang berimplikasi hukum. Belanja dikelurkan pemerintah hanya dengan nota persetujuan Ketua DPRD saat itu yang justru menabrak aturan. Kasus tabrak aturan ini telah ditetapkan Pengadilan Negeri Larantuka sebagai tindakan melawan hukum. DPRD bisa digugat karena telah membuat keputusan anggaran yang melanggar hukum.
Ada juga pengalaman ketika tahun 2004. Dana BOS yang sudah dialokasikan dan tidak dibayar ke sekolah-sekolah, PGRI menasehati para guru di Wulanggitang dan Adonara agar jangan demo, nanti merugikan anak didik. Baik! Tetapi untuk uang makan, bisa dilakukan. Pengalaman adalah guru, demikian pesan yang terhormat guru saya sejak di SD. ***
Melky Koli Baran
Para guru di Kabupaten Flores Timur dalam wadah PGRI menuntut pembayaran Uang Makan (UM), yang adalah hak Pegawai Negeri Sipil dan tidak dibayar penuh oleh pemerintah. Hanya membayar Rp 7.500/hari dari seharusnya Rp 10.000. Departemen Agama menerima Rp 15.000 per hari sementara yang lain hanya Rp 7.500.
Memasuki rana hak, maka hak setiap orang wajib dipenuhi, apa lagi itu hak dasar. Pemenuhan kebutuhan pangan (makan dan minum) adalah hak dasar, yang wajib dipenuhi oleh negara pada rakyatnya. Menghambat pemenuhan makan dan minum rakyat dari rana HAK adalah pelanggaran hak. Dari segi hukum, pemerintah melakukan perbuatan melawan hukum jika telah ada payung hukumnya. Dalam pengelolaan anggaran pembangunan salah satu tujuannya untuk memenuhi hak rakyat, yang dalam tekhnis pelaksanaan disesuaikan dengan kebijakan anggaran. Mengeluarkan uang lima rupiah sekalipun, harus ada dasar hukumnya. Jika tidak, maka masuk kategori perbuatan melawan hukum.
Terhadap tuntutan PNS di Flotim, perlu dibuka, seperti apa payung hukumnya? Mengapa ada perbedaan pemahaman antara Bupati, Wakil Bupati dan DPRD? Payung hukum manakah yang menjadi pegangan Bupati dan mana pula yang menjadi acuan DPRD dan Wakil Bupati? Lalu apa filosifi kebijakan Uang Makan itu?
Filosofi dan Dasar Hukum Uang Makan?
Peraturan Mentri Keuangan RI no. 22 tahun 2007, tanggal 22 Februari 2007, mengalokasikan Uang Makan untuk Pegawai Negeri Sipil. Pegawai negeri sipil adalah sebagaimana dimaksud UU no. 8/1974 yang diubah dengan UU no. 43/1999, yakni pegawai yang berada di lingkungan Kementrian Negara/Lembaga, dan dibayar secara harian (psl.1). Karena untuk lingkungan kementrian, maka berasal dari APBN.
Uang Makan ini dilatari kebijakan lima hari kerja. PNS bekerja sampai lewat jam makan siang, dan mengalami banyak hambatan jika kembali ke rumah untuk makan siang, seperti di lingkungan Jabotabek. Karena itu disediakan uang makan bagi PNS. Jadi filosofi adanya uang makan karena PNS melaksanakan lima hari kerja dan dengan kondisi yang sulit untuk makan tepat pada waktunya jika kembali ke rumah.
Dalam perjalanan, peraturan Mentri Keuangan ini mendapat koreksi. PNS bukan hanya di lingkup Kementrian saja, tetapi termasuk di daerah. Maka Mentri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Edaran kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota no. 841.7/680/BAKD tanggal 22 Agustus 2007. Ada dua point dalam Surat Mendagri. Pertama, Peraturan tersebut (Mentri Keuangan) hanya mengatur pemberian uang makan kepada pegawai negeri sipil di lingkungan Kementrian Negara/Lembaga yaitu dalam rangka pelaksanaan APBN. Implikasi dari point satu ini adalah PNS lingkup Departemen di Daerah mendapatkannya karena bersumber dari APBN. Bagaimana dengan PNS di daerah? Pada point kedua Edaran Mendgri dikatakan, bagi Pegawai Negeri Sipil Daerah “dapat disediakan” (tanda kutip oleh penulis) makanan dan minuman (bukan Uang Makan: bacaan penulis) dengan berpedoman pada Lampiran A. VIII Mentri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah yang dianggarkan pada setiap SKPD Kelompok Belanja Langsung. Rincian Obyek Belanja Makanan dan Minuman Pegawai, sesuai kemampuan keuangan daerah dengan standar biaya yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Dengan demikian, pelaksanaan Uang Makan di daerah tidak berpedoman langsung pada Peraturan Mentri Keuangan RI (Rp 10.000) tetapi pada Surat Edaran Mendagri. Jika Peraturan Mentri menetapkan Rp 10.000, maka di daerah disesuaikan dengan kemampuan daerah. Artinya jika daerah mampu maka disediakan, bahkan bisa lebih dari Rp 10.000. Itupun bukan dalam bentuk uang makan tetapi belanja makanan dan minuman pada setiap SKPD. Tetapi jika daerah tidak mampu maka tidak disediakan, apalagi di daerah belum diberlakukan lima hari kerja. Dan kewenangan untuk menetapkannya ada pada Kepala Daerah, dan harus sesuai payung hukum daerah (Perda).
Kebijakan Anggaran Flores Timur
Kabupaten Florers Timur memiliki payung hukum, Perda no. 12 tahun 2007 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Keuangan Daerah. Di dalamnya mengatur kedudukan Bupati selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah. Pada kedudukan ini terdapat kewenangan untuk menetapkan kebijakan anggaran sesuai porsi anggaran yang diamanatkan APBD yakni alokasi belanja rutin dan pembangunan. Karena bupati sekaligus pelaksana Otonomi Daerah dalam konteks Negara Kesatuan maka ia terikat pada kebijakan di level nasional (UU, PP, Kepmen dll) dalam pengelolaan anggaran pembangunan, dengan tetap mengacu pada porsi APBD dengan terus menerus berusaha memperbesar belanja pembangunan dari tahun ke tahun.
Tentang kemampuan keuangan daerah dalam kaitan dengan Uang Makan sebagaimana diamanatkan Edaran Mendagri, hendaknya dibaca dalam konteks Pendapatan Asli Daerah, dan bukan Dana Alokasi Umum (DAU). Sebab dalam DAU, Alokasi Dasar hanya memuat gaji dan tunjangan pegawai untuk belanja rutin, tidak termasuk uang makan. Artinya, uang makan dapat saja tidak disediakan dengan alasan kemampuan daerah, tetapi dapat saja ada kebijakan lain dari Bupati selaku otorisasi anggaran.
Maka lahirlah Edaran Bupati Flores Timur nomor BPKAD.841.7/01.1/2008 tanggal 03 Januari 2007 tentang pemberian Uang Makan bagi PNS sebesar Rp 7.500 terhitung sejak 01 Januari 2008. Apakah semua Kabupaten/Kota di Indonesia melakukan yang sama? Bisa dicek ke kabupaten lainnya.
Dengan Edaran Bupati ini maka ada payung hukum untuk Uang Makan di Flores Timur. APBD tahun 2008 mangalokasikan uang makan bagi 5.151 PNS x 22 hari kerja x 12 bulan x Rp 7.500 = Rp 10.198.980.000. Dengan sendirinya 10 miliar lebih untuk uang makan ini tentu mengurangi belanja pembangunan. Ketika tuntutan PNS menaikan Uang Makan menjadi Rp 10.000 maka perlu tambahan Rp 3.399.660.000. Karena kenaikan ini terjadi di tengah tahun anggran tanpa proses penambahan belanja rutin pada APBD maka tambahan Uang Makan menyedot lagi belanja pembangunan. Jika kita andaikan saja, subsidi rakyat miskin untuk renovasi rumah dengan biaya 2 juta/rumah, maka hanya dengan tidak menaikan uang makan PNS, Pemda sudah bisa mensubsidi kurang lebih 1.699 keluarga miskin tahun ini. Bisa dibuat pengandaian lainnya, seperti subsidi minyak tanah, sarana pendidikan atau subsidi bagi siswa mampu dari keluarga ekonomi lemah.
Merujuk kebijakan daerah, APBD 2008 telah ditetapkan melalui perda. Otorisasi anggaran ada pada Bupati. Tetapi DPRD dan Wakil Bupati dalam pertemuan dengan para guru bulan April membuat kesepakatan untuk menaikan UM, yang kemudian dipertegas dalam pertemuan lanjutan 6 juni. Dari rana hukum, mana yang memiliki kekuatan hukum? Perda atau keputusan DPRD? Tidakkah keputusan ini menabrak kebijakan yang sudah ada tanpa terlebih dahulu melakukan proses legislasi untuk perubahan kebijakan? UU no. 10 tahun 2004 mengatur hirarki perundangan bahwa Perda lebih tinggi. Dan juga, dalam budaya anggaran setiap tahun, jika dipandang perlu untuk mengubah anggaran maka melalui usulan perubahan APBD yang biasanya dilakukan tiga bulan menjelang berakhirnya tahun anggaran. Tidak menolak uang makan PNS karena belum ada payung hukum, tetapi tidakkah melewati saja mekanisme perubahan APBD secara wajar sehingga ada payung hukumnya? PNS aman dan pemerintah juga aman.
Belajar Dari Pengalaman
Aspirasi PNS? Itu perlu dan diperhatikan. Tugas DPRD mengkaji aspirasi dan merekomendasikan ke Eksekutif. Keputusan ada di eksekutif melalui mekanisme kebijakan anggaran. Ada kesan, mendorong perubahan anggaran Uang Makan PNS secara terburu-buru. Ada apa? Tafsiran politik sekurangnya ada tiga momentum politik. Pertama, momentum Pilkada NTT. Kedua, momentum Pemilu tahun 2009 untuk DPRD baru dan ketiga, momentum Pilkada Flores timur 2010. Mungkinkah perubahan ini bisa dihubungkan dengan momentum politik itu? Lalu apa kepentingan PNS? Ah, tidak!
Sekedar diingat, Flores Timur punya pengalaman pengelolaan anggaran yang berimplikasi hukum. Belanja dikelurkan pemerintah hanya dengan nota persetujuan Ketua DPRD saat itu yang justru menabrak aturan. Kasus tabrak aturan ini telah ditetapkan Pengadilan Negeri Larantuka sebagai tindakan melawan hukum. DPRD bisa digugat karena telah membuat keputusan anggaran yang melanggar hukum.
Ada juga pengalaman ketika tahun 2004. Dana BOS yang sudah dialokasikan dan tidak dibayar ke sekolah-sekolah, PGRI menasehati para guru di Wulanggitang dan Adonara agar jangan demo, nanti merugikan anak didik. Baik! Tetapi untuk uang makan, bisa dilakukan. Pengalaman adalah guru, demikian pesan yang terhormat guru saya sejak di SD. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar pengunjung blog sangat dihargai.