Jumat, 19 Desember 2008

MEMBACA LEMBATA DARI SEGI TIGA PEMBANGUNAN

(Tentang Rencana Pertambangan Emas)
Oleh Melky Koli Baran

Opini dan pendapat bertarung di media massa seputar rencana pertambangan emas di Lembata. Ada dua kelompok petarung, yakni pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dengan pucuk pimpinan politiknya bupati Lembata yang dipilih langsung oleh rakyat bertarung dengan rakyat Lembata yang memilihnya. Padahal bupati dipilih untuk mengatur penyelenggaraan kesejahteraan seluruh rakyat Lembata.


Bupati Lembata Drs. Andreas Duli Manuk seperti dilansir Flores Pos (21/2/2007) mengemukakan sejumlah keuntungan dari rencana eksplorasi tambang nantinya yakni mendapatkan manfaat global pertambangan berupa akses ke sumber daya global, tekhnik global dan pasar global. Selain itu secara langsunng mempengaruhi kenaikan pendapatan asli daerah, peningkatan pendapatan sehingga rakyat mampu menyekolahkan anak-anaknya, menyerap tenaga kerja lokal sebanyak 70%, keterbukaan isolasi, transportasi dan komunikasi.

Dipihak rakyat yang menolak, berargumentasi bahwa kesejahteraan tidak harus dibangun melalui jalan pertambangan emas. Justru pertambangan bakal melahirkan sejumlah potensi bencana sosial, ekologi dan ekonomi. Dampak ekologi seperti kerusakan habitat, perubahan bentang alam, limbah tambang, pembuangan tailing dan perubahan air tanah akan berpengaruh langsung pada kesehatan masyarakat. Sesuatu yang tidak masuk akal jika pemerintah yang gencar memerangi kemiskinan justru menempuh cara pembangunan yang membuka jalan lebar menuju ke kemiskinan dan kesengsaraan masyarakat lokal. Milineum Development Goals (MDGs) yang menargetkan penghapusan kemiskinan justru mengandalkan pendidikan dan kesehatan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat dan bukan pertambangan. Pertambangan beresiko menurunkan tingkat kesehatan masyarakat, bahkan melahirkan kematian missal.

Argumentasi pemerintah bahwa dengan pertambangan, mutu kehidupan maasyarakat Lembata semakin meningkat justru perlu dipertanyakan. Apakah meningkatnya mutu hidup rakyat Lembata harus didorong melalui pertambangan dengan bayaran sosial dan ekologi yang teramat mahal?

Alo Muri melalui Pos Kupang pernah mengedepankan data JATAM (jaringan Advokasi Tambang) tentang fakta pertambangan di belahan dunia lain yang justru melahirkan kemiskinan, kemelaratan, peminggiran dan pelanggaran HAM. Argumentasi Pemda Lembata justru dilawan rakyat dengan alasan kerusakan sosial dan ekologi yang senantiasa ditinggalkan oleh usaha pertambangan. Pemda Lembata seharusnya terbuka dan mau belajar dan menambah wawsasan tentang resiko pertambangan dari ceritera duka masyarakat suku Amungme di Papua dengan hadirnya PT. Free Port di sana, masyarakat Buyat di Sulawesi dan masyarakat Sumbawa di NTB dengan PT. New Mont Minahasa dan PT. New Mont Nusa Tenggara.

Jika bupati menjanjikan penyerapan 70% tenaga kerja lokal, maka mungkin baik bupati perlu belajar ke New Mont maupun Free Port yang memarginalkan tenaga kerja lokal karena faktor keterampilan. Pernahkah Bupati membayangkan, seperti apa pengetahuan masyarakatnya di Lembata tentang usaha pertambangan? Apakah Pemda Lembata memiliki data ketersediaan tenaga kerja lokal yang memenuhi syarat untuk bekerja sesuai standar ketenagakerjaan di perusahaan pertambangan, secara khusus pertambangan emas? Ketika melakukan assesment buruh migrant di Lembata akhir tahun 2006, saya sendiri justru sulit mendapatkan data seperti itu di Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Lembata. Data tenaga kerja global saja sulit ditemukan, apalagi tenaga kerja terampil dengan spesifikasi khusus sesuai sektor-sektor usaha yang mau dibangun.

Argumentasi Pemda Lembata untuk menyerap 70% tenaga kerja lokal merupakan janji sesumbar yang belum tentu terlaksana. Sedangkan penolakan rakyat merupakan ungkapan kecemasan dari lubuk hati terdalam setelah mendengar ceritera duka sesamanya di daerah pertambangan lain. Belum ada ceritera yang terpublikasi secara falid tentang masyarakat lokal di lokasi pertambangan yang menjadi sangat adil dan sejahtera. Secara materi mungkin ada segelintir penduduk yang berubah tetapi untuk dikatakan adil, belum pernah ada bukti. Juga belum ada ceritera dan bukti bahwa kehancuran ekologi di lokasi bekas pertambangan direhabilitasi secara cepat oleh perusahaan pertambangan pada masa close tambang. Yang terjadi justru para elit politik di daerah yang kelimpahan “lipstik kesejahteraan” dari timbunan keuntungan yang direguk investor. Sedangkan masyarakat ditinggalkan merana bersama alam lingkungannya yang hancur berantakan.

Dalam seluruh polemik pertambangan di Lembata, sebenarnya ada satu pihak lagi yang berada pada posisi jauh dari pertarungan ini tetapi memiliki kepentingan yang jauh lebih besar. Kepentingan bisnis, penguasaan asset, pemegang modal dan pemanfaat terbesar keuntungan jika rencana pertambangan sungguh terwujud. Dialah PT. Merukh Enterprise melalui PT. Puku Afu Indah. Komunitas bisnis inilah yang sesungguhnya berkepentingan langsung dengan rencana pengerukan asset sumber daya alam tambang di Lembata. Namun dalam pertarungan opini di Lembata yang tengah berlangsung hangat, dia tidak muncul untuk memperjuangkan kepentingannya. Kepentingannya telah ia serahkan untuk diperjuangkan oleh elit politik pemerintahan di Lembata. Maka dalam skenario konflik di Lembata, elit politik pemerintahan telah menjadi tameng modal untuk berhadapan langsung dengan rakyatnya sendiri. Bentuk pengkhianatan pemerintah atas rakyatnya sendiri.

Menyimak berbagai berita di Koran, secara kasat mata hal ini bisa dilihat. Justru Pemda Lembata secara terang-terangan sedang melaksanakan tugas maju tak gentar membela kepentingan kelompok bisnis pertambangan. Resiko politiknya, pemerintah yang memegang mandat mulia mengayomi kepentingan rakyat Lembata harus memangku peran yang sebaliknya. Terhadap rakyat yang menolak rencana pertambangan, pemerintah Lembata justru menempatkan diri sebagai bagian dari komunitas bisnis dan melawan rakyatnya. Sungguh sadis wajah pengkianatan ini.

Pilihan posisi Pemda Lembata yang rancu semacam ini dapat menjadi awal dari sebuah bayangan mala petaka bagi masyarakatnya. Malapetaka bagi kabupaten yang masih muda usia dan sedang belajar membangun secara bermoral untuk mensejahterahkan daerah dan rakyat. Polihan posisi yang teramat sulit dan mempertaruhkan Lembata ke dalam kubangan penderitaan. Penderitaan yang bukan sebatas disebabkan oleh pencemaran lingkungan dan lain sebagainya, tetapi berpotensi melahirkan malapetaka Hak Asasi Manusia (HAM) secara serius. Malapetaka HAM lantaran tak berwibawanya kepemimpinan politik bangsa di Lembata melindungi kepentingan rakyat dalam relasi segi tiga pembangunan.

Dalam relasi segitiga pembangunan, ada kekuatan politik, kekuatan komunitas bisnis dan rakyat. Dalam relasi segitiga ini, bisnis berkepentingan melakukan investasi untuk mengumpulkan keuntungan. Peran kepemimpinan politik adalah mencegah agar tidak terjadi penguasaan atas rakyat. Karena itu, salah satu tugasnya adalah mengayomi kepentingan rakyat. Terhadap kemauan komunitas bisnis untuk berinvestasi, kepemimpinan politik bertugas menegosiasikan kepentingan rakyat. Bahkan dengan gigih memperjuangkan terpenuhinya kesejahteraan rakyat dalam berbagai aktivitas bisnis yang dilakukan komunitas bisnis.

Belajar dari konflik pertambangan di belahan lain negeri ini, kekuatiran akan adanya malapetaka HAM bukan tidak beralasan. Pengalaman, dan juga hasil analisis terhadap relasi segi tiga pelaksanaan pembangunan selalu menempatkan rakyat sebagai pihak korban yang senantiasa terhinakan martabatnya. Relasi segi tiga antara pemimpin politik bangsa, komunitas bisnis dan rakyat dalam kenyataannya selalu memposisikan rakyat sebagai kelompok marginal. Termarjinalnya posisi rakyat lantaran terjadi persekongkolan antara pimpinan politik bangsa dan komunitas bisnis. Ketika konflik kepentingan dalam relasi segi tiga ini semakin tajam, pimpinan politik yang memiliki otoritas dan kewenangan terhadap seluruh kekuatan Negara, terutama militer dan aparat keamanan, semuanya tidak lagi menjadi pelindung keselamatan rakyat tetapi bergerombol menjadi kaki tangan komunitas bisnis.

Contoh sederhana yang bisa dipelajari adalah, ketika terjadi demonstrasi rakyat mengeritik kebijakan politik yang salah, akan selalu muncul kekuatan tandingan yang juga berasal dari rakyat. Rakyat dipecah-pecahkan dan diadu domba. Dokumentasi-dokumentasi independent dari kawasan pertambangan justru memperlihatkan pemecahbelahan rakyat semacam ini. Masyarakat lokal yang miskin diperalat melawan sesamanya karena tekanan kemiskinanan. Karena itu, di kawasan seperti ini, kemiskinan perlu dipelihara. Di sinilah mulainya titik rawan HAM. Peristiwa yang terus berulang di pusat-pusat bisnis. Pertambangan sebagai sebuah kekuatan bisnis membutuhkan kekuatan lain di luar dirinya untuk menghadapi rakyat yang dilihatnya sebagai penghalang suksesnya ambisis bisnis. Dalam relasi segi tiga pembangunan, komunitas bisnis dengan mudah menggerakkan kekuatan Negara seperti Kepala Daerah, militer dan aparat keamanan lainnya untuk menjahati rakyat agar ambisi bisnis jangan sampai gagal.

Lalu di manakah posisi wakil rakyat? Dalam kondisi yang masih aman dan wajar, masih terdengar lantang komitmen dan suara keberpihakan pada kepentingan rakyat. Namun ketika memasuki titik-titik serius dalam proses bisnis ini, kelompok yang bernama wakil rakyat dapat saja menjadi sumber masalah, sumber kerawanan dan tidak bisa dipercaya lagi. Dari tangan dan meja sidang wakil rakyatlah bakal lahir kebijakan yang menistakan rakyat. Proses ini terjadi setelah sejumlah acara seremonial yang digelar untuk mengakrabkan diri dengan komunitas bisnis yang kemudian dilanjudkan dengan berbagai perjalanan wisata yang dikemas dalam nomen klatur “Studi banding” ke lokasi bisnis di tempat lain yang sukses.

Membaca perjalanan negosiasi pertambangan emas di Lembata, sekurangnya memperlihatkan semakin dekatnya fenemoena kemesraan wakil rakyat dengan komunitas bisnis. Seperti apa posisi pemda (eksekutif dan legislatif) dalam relasi segi tiga pembangunan ini. Pernyataan-pernyataan para pejabat Lembata umumnya lebih menjaga relasi baik dengan komunitas bisnis. Lebih pro dengan komunitas bisnis. Bahkan lembaga agamapun sangat hati-hati berpendapat dengan berbagai alasan.
Sekedar sebagai contoh, Wakil Bupati Lembata Drs. Andreas Nula Liliwweri pernah mengatakan di Koran bahwa saat ini masih proses penelitian dan belum penambangan. Artinya investor boleh keluar masuk lembata dan rakyat jangan ganggu karena masih tahap penelitian. Artinya, wilayah rakyat boleh diteliti untuk apa saja, dan rakyat harus diam. Bupati Lembata Andreas Duli Manuk dalam tanggapannya atas laporan komisi gabungan (Sabtu 17/2/2007) mengatakan telah mengadakan pertemuan dalam ragka sosialisasi rencana pembangunan industri pertambangan terpadu. Para pejabat di sana akan turun ke desa-desa untuk sosialisasi. Sasaran sosialisasi adalah para Kepala Desa dan BPD di wilayah Kedang dan Leragere yang merupakan lokasi calon pertambangan.

Membaca laporan seperti ini, saya justru heran dan sangat heran. Mengapa para pejabat di sana yang melakukan sosialisasi? Apakah pertambangan adalah program pembanguan Pemda Lembata? Pertambangan merupakan urusan investasi. Urusan bisnis komunitas bisnis. Maka sosialisasi adalah pekerjaannya para investor, pekerjaannya komunitas bisnis dan bukan pekerjaannya pemerintah Lembata. Sosialisasi dilakukan Pemda memperlihatkan bahwa pemda telah meletakan dirinya menjadi hamba dan kaki tangan atau pesuruh komunitas bisnis. Apakah demikian maksud rakyat Lembata menggelar Pemilihan Langsung seorang Bupati? Apakah itu maksudnya, rakyat memilih Bupati untuk kemudian menjadi buruh dan kaki tangan investor?

Analisis relasi segi tiga pembangunan seakan membenarkan bahwa pejabat Negara baik legislatif maupun eksekutif sedang bersekutu dengan kelompok bisnis. Rakyat ditinggalkan. Pemerintah menjadi agen dan kaki tangan investor yang bekerja menjinakan dan bila perlu membungkam rakyat untuk diam terhadap investasi yang dibangun komunitas bisnis. Maka sepantasnya rakyat tidak lagi menghormati pemerintahnya yang telah berkhianat menjadi agen dan pekerja kaum kapitalis.***

Artikel ini telah dimuat di Harian Umum Flores Pos tanggal 27 Februari 2007

Keterangan Foto: Peserta Seminar sehari Tolak Tambang di Lembata tanggal 3 Mei 2008, bertempat di gedung RS Damian Lewoleba dengan pembicara Chalid Muhammad dan Hendro Sangkoyo dari Jatam (Melky Koli Baran)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.