Minggu, 07 Desember 2008

TAMAN NASIONAL KELIMUTU DAN PROBLEM TANAH ADAT


Taman Nasional Kelimutu dan Problem Tanah Adat Wolomoni

(Hasil wawancara dengan Bapak Nikolaus Ruma, Ketua AMATT dan Forum Petani Kabupaten Ende, mantan Kepala Desa Niuwula dari tahun 1994-2002 – diceriterakan di Wolomoni, tanggal 18 Mei 2004 silam. Ditulis ulang dan diposting 7 Desember 2008)
***
Siapa tidak Kenal gunung Kelimutu di Kabupaten Ende, Flores. Seperti gunung lainnya, Kelimutu cuma salah satu gunung api yang diceriterakan pernah meletus, namun tidak pernah dialami generasi saat ini. Namun gunung ini menjadi menarik dan terkenal hampir seantero jagat lantaran di puncak gunung itu ada keajaiban yang tidak ditemukan di pojok dunia lainnya.
Karena di puncak gunung Kelimutu ada tiga buah kawah bertetangga berisi air berwarnah. Dikenal Danau Tiga Warna. Masyarakat di kawasan ini menyebutnya Tiwu Telu artinya tiga danau. Karena keajaiban alam yang tidak dimiliki belahan dunia lainnya inilah maka puncak Kelimutu menjadi sangat terkenal. Mungkin ribuan bahkan jutaan post card (belum ada survey) yang telah melanglangbuana ke seantero dunia sejalan mengalirnya pengungjung ke puncak Kelimutu. Karena itulah, Kelumutu menjadi daerah kunjungan wisata yang cukup diandalkan masayarakat Flores. Karena itu, Moni, sebuah kampung kecil di lereng Kelimutu bertumbuh menjadi kampung transit para wisatawan. Di kampungitu berlangsung bisnis penginapan, kafe, rumah makan dan cinderamata. Selain itu, ada pasar untuk aneka hasil pertanian penduduk. Seperti pasar sayur dan buah di Nduaria, takjauh dari Moni. Semuanya tumbuh langgeng seiring lajunya arus transportasi dan pariwisata di wilayah ini.
Sejalan dengan semuanya ini, Kelimutu lalu ditetapkan menjadi Taman Nasional, dan berada di bawah Dirjen Kehutanan dengan kategori kawasan hutan konservasi. Pengaturanya berada di bawah pemerintah pusat. Tujuannya jelas, bahwa kawasan ini perlu dikonservasi agar keunikan dunia di puncak Kelimutu itu tidak tercemar atau punah di kemudian hari. Untuk itulah, kawasan ini dikonservasi menjadi Taman Nasional dengan luas 5.356,50 hekater, berdasarkan SK Mentri Kehutanan Republik Indonesia No. 679/kpts-II/1997, tanggal 10 Oktober 1997.
Sebagai kawasan konservasi, maka ia harus bebas dari siapapun kecuali melalui ijin dan pengawasan pemerintah. Dengan demikian, maka penduduk setemnpat pun dibatasi ruang geraknya. Oleh Departemen Kehutanan, ditetapkanlah tapal batas kawasan Taman Nasional Kelimutu untuk memudahkan control.
Maksud baik mengkonservasi kawasan Taman Nasional sebagai salah satu keunikan dunia ternyata berbenturan dengan keberadaan masyarakat di kawasan itu sebagai petani. Kampung-kampung di sekitar kawawan itu hidup dar bertani. Luas kawasan Taman Nasional mencapai 5.536,5 hektare ini mengambil juga lahan penduduk yang rata-rata subur menjadi tempat yang pantas untuk budidaya aneka tanaman pangan, buah-buahan, sayur-sayuran dan juga tanaman perdagangan. Kopi, cengkeh, fanili, rambutan, durian semuanya bisa hidup dan berproduksi di wilayah ini. Salah satu di antara kampung-kampung itu adalah Wolomoni.

Taman Nasional Membentur Otoritas Adat
Wolomoni, merupakan kampung yang pasti dalam catatan Pemda Ende serta Dinas Kehutanan maupun Balai Taman Nasional Ende sebagai salah satu kampung dari sekitan kampung yang gigih melakukan protes terbuka atas kebijakan penatapan tapal batas kawasan Taman nasional Kelimutu. Menurut para petani dari Wolomoni, penetapan tapal batas kawasan Taman Nasional Kelimutu justru mempersempit wilayah kelolan dan wilayah adapt masyarakat dan suku-suku setempat.
Nikolaus Ruma, salah seorang tokoh adat yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Desa Wolomoni di masa orde baru adalah satu di antara sejumlah mosalaki yang memelopori perlawanan itu.
Ketika dikunjungi 18 Mei 2004 silam, Nikolaus Ruma mengatakan, Taman Nasional Kelimutu turut menghilangkan sebagian tanah Adat Mosalaki Wolomoni, Desa Niuwula, Kecamatan Detusoko, Kab. Ende. Menurut Nikolaus yang saat ini menjabat sebagai Ketua Forum Petani Kabupaten Ende ini, tanah di Wolomoni merupakan tanah adat, dengan status kepemilikan komunal. Dalam arti tidak ada satu pemilikpun yang bertindak seenaknya, selain harus melalui mekanisme dan proses adat. Sejak leluhur sudah ditata menurut peruntukannya: sebagai hutan adat, pemukiman, lahan garapan dan padang penggembalaan. Selain hutan itu, ada tempat-tempat tertentu yang ditetapkan untuk tidak digarap oleh masyarakat, seperti mata air. Radiusnya sepanjang tali kuda yang harus dilindungi. Selain itu di tempat-tempat suci untuk melaksanakan ritual adat, lokasi-lokasi pemakaman/kuburan leluhur.
Artinya, masyarkat adat seperti di Wolomoni sebagaimana diceriterakan Nikolaus Ruma telah memiliki system pengaturan tanah, termasuk kawasan konservasi di dalamnya. Karena masyarakat tahu dari pengalaman bahwa tempat-tempat itu disucikan, dikhususkan dan tidak dijadikan lahan garapan untuk tujuan tertentu. Di dalamnya terkandung sangat tegas makna konservasi.
Untuk itu, Departemen Kehutanan seharusnya melihat dua hal sebelum melakukan petenapan tapal batas. Pertama, memilihat ada modal sosial di masyarakat berupa system konservasi walau masih sangat sederhana. Ada modal sosial lain, yakni masyarakat dengan kulturnya, seharusnya diadopsi menjadi bagian dari pengelolaan kawasan konservasi. Karena masyarakat punya pengalaman, dan masyarakat juga memilikisistem konservasi, maka dalam pengurusan kawasan Taman Nasional Kelimutu, seharusnya masyarakat menjadi bagian dari pengelola kawasan Taman Nasional kesoshor itu.
dKedua, dari segi kelembagaan, seharusnya Kelembagaan seharusnya disadari bahwa masyarakat telah memiliki kelembagaan adapt yang terdiri dari tiga komunitas adat di bawah otoritas para mosalaki. Komunitas adat Wolomoni (7 mosalaki), Komunitas Adat Renggikeli (1 mosalaki), Komunitas Adat wolopela (2 mosalaki). Berdasarkan struktur kelembagaan yang jelas seperti ini, maka pendekatan human dari Departemen Kehutanan selayaknya mengharuskan untuk mendengar pendapat dari para mosaliaki tentang bagaimana pengelolaan Taman Nasional diatur. Pendekatan ini diharapkan untuk mendapatkan dukungan penuh para mosalaki, serta menjadi jaminan keberhasilan bagi masyarakat juga.
Dikisahkan Nikolaus Ruma di desa Tanali, Ende 3 Oktober ketika berlangsung Rembuk Tani Kabupaten Ende bahwa proses penetapan kawasan Taman Nasional Kelimutu yang sangat mengabaikan modal sosial di tingkat masyarakat dan Lembaga Adat saat itu justru menuai masalah. Dan bagi ketiga komunitas adapt di kawasan ini, permasalahan yang ada bukanlah permasalahan Taman Nasional, tetapi permasalahan Tanah Adat, yang mencakup aspek tata kuasa, tata kelola/produksi, tata konsumsi dan tata distribusi. Permasalahan tanah yang yang paling menonjol terjadi di Komunitas adat wolomoni dan Renggikeli.
Nikolaus Rumah menceriterakan, sekitar tahun 1995 Kepala Desa dikejutkan dengan laporan Jagawana Kab. Ende ke Camat Detusoko saat itu Don Wangge (sekarang Bupati Ende terpilih) 2008-2013 bahwa ada masyarakat Wolomoni yang merambah kawasan taman nasional Kelimutu. Ini sungguh kejutan dan pelecehan terhadap hak-hak adapt karena diam-diam pemerintah melakukan pengukuran dan penetapan tapal batas kawasan Taman Nasional Kelimutu tanpa meminta pendapat rakyat. Maklum, pemerintahan Orde Baru memang otoriter.
Dikisahkan, dalam rapat koordinasi para Kepala Desa (1995), kami ditanya oleh Camat “apakah benar ada masyarakat yang merambah kawasan Taman Nasional Kelmutu.” Saya katakan, “tidak pernah ada perambahan. Saya juga tidak tahu kalau di wilayah itu ada Taman Nasional. Memang ada pilar-pilar di kebun, tetapi kami masyarakat tidak tahu untuk apa semuanya itu”. Kepada Camat saya beri keterangan bahwa masyarakat selama ini bekerja di lahan garapan yang telah diatur oleh para tua adat.
Nikolaus Ruma bernostalgia, hari-hari selanjudnya di tahun 1995 itu, petugas Jagawana selalu melakukan patroli dan menanyakan apakah ada maasyarakat yang menyerobot taman nasional. Saya tetap katakan bahwa tidak ada taman nasional, yang ada adalah lahan garapan rakyat. Jagawana menegaskan bahwa kawasan sudah ditetapkan dengan SK Mentri dan sudah pula ada berita acara penyerahan dari para mosalaki. Masyarakat yang bekerja melewati pal batas dianggap melanggar taman nasional. Semua penetapan sudah melalui proses.

Perjuangan Tanpa Kompromi
Dikisahkan Nikolaus Ruma, sebagai Kepala Desa, saya mendesak Jagawana untuk menunjukkan siapa yang menyerahakan itu dan di mana peta yang katanya sudah ditetapkan. Ternyata mereka tidak bisa membuktikan sampai hari ini. Saya tidak yakin para mosalaki telah menyerahkan tanah untuk kawasan taman nasional. Sebab di kawsasan itu ada tanaman-tanaman produktif rakyat. Artinya masyarakat juga tahu bahwa pemeerintah melakukan penipuan
Sebagai Kepala Desa, Tahun 1996 saya mengumpulkan para mosalaki untuk memusyawarahkan ancaman ini. Saya menggali keterangan para Mosalaki. Apakah para mosalaki tahu, apakah pernah buat penyerahan dll. Para mosalaki mengatakan tidak tahu kasusnya, dan tidak pernah ada penyerahan. Kesimpulan kami, penetapan ini sepihak dan tidak melibatkan masyarakat. Dilakukan dengan cara bohon dan manipulasi.
Selanjudnya, ikrar perjuangan diambil bersama. Musyawarah digelar untuk membahas nilai-nilai adat, membuat surat protes ke DPRD Kabupaten Ende yang menyatakan bahwa penetapan Taman Nasional Kelimutu melanggar adat dan meminta DPRD Kabupaten Ende menyelesaikannya. Perjuangan ke Dewan berkali-kali dari tahun 1996 sampai 1997. Tanggapan Dewan, nanti akan mencek ke lapangan.
Dalam Rapat-rapat koordinasi Kepala Desa untuk Rakorbang Kabupaten (pada masa Bupati Ende Frans Gadowolo), kasus ini selalu kami angkat. Pemda berjanji akan menindaklanjuti. Selanjudnya, tahun 1997, datanglah tim operasi gabungan (Jagawana, Hutbun, Pemdes, LH, Kecamatan) ke Wolomoni. Kami terima sebagai tamu. Mereka menuju Lapangan. Hasil kunjungan ini tidak dibicarakan dengan masyarakat tetapi akan dilaporkan ke Bupati.
Sekitar 1998, ada kunjungan Wakil Gubernur Anis Pakepani ke Detusoko. Kasus ini diangkat lagi. Menurutnya, di kawasan itu petani boleh memanen kopi, sayur-sayuran, jahe, pisang tetapi tidak boleh membuka kebun baru. Masyarakat menerima usulan itu, namun perjuangan tetap jalan terus. Tujuannya: seluruh kawasan dikelola oleh Mosalaki bersama masyarakat adat, termasuk taman nasionalnya. Konservasi kawasan Taman Nasional tidak boleh menghalau masyarakat keluar dari wilayah itu. Masyarakat bisa menjadi bagian dari system pengelolaan Taman Nasional. Yang terpenting adalah pemerintah transparan tentang seperti apa system pengelolaan dilakukan.

Berjuang Bersama LSM
Untuk melanjudkan perjuangan menegaskan keberadaan masyarakat dan suku-suku di kawasan Taman Nasional Kelimutu, kami berinisiatif meminta dukupngan pihak luar. Yayasan Tananua Flores kami minta bantuannya. Bersama LSM ini kami bermusyawarah memperkuat kelembagaan adapt. Langkah awal, mengumpulkan data dan mengidentifikasi, apakah selain Wolomoni, masih ada kampung lain yang merasakan permasalahan ini. Sebab di sekitar Kawasan TN. Kelimutu ada 12 Komunitas Masyarakat Adat dalam 9 Desa. Akhirnya semuanya menyatakan tekad yang sama dan mengorganisir diri dalam sebuah aliansi Maasyarakat Adat. Desa-desa yang masuk dalam kawasan TN Kelimutu adalah Desa Niuwula, Ndito, Saga, Wolomasi, Wolofeo, Sipijena, Pemo, Woloara, Tenda, Wivipemo, Kelurahan Wolojita dan Roga.
Tahun 2000, diilakukan perencanaan strategis oleh unusr mosalaki dan masyarakatnya dari sembilan desa. Perencanaan strategis ini difasilitasi dan didukung sembilan LSM dari kabupaten Ende, Ngada dan Sikka: Tananua, Yastim, Cinta Insani, FKH-HAM (Ende), Lapmas, Sanusa (Naga) dan Bambu Flores, PBH-Nusra (Sikka) (Bambu Flores, LBH Nusra). Pada saat itulah, terbentuknya Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT). Di hari deklarasi, dilakukan Aksi Damai ke DPRD Kabupaten Ende untuk menyatakan sikap agar penetapan kawasan Taman Nasional Kelimutu ditinjau kembali.
Oleh perjuangan ini, hingga saat ini masyarakat tetap hidup dan mengolah tanah di sekitar kawasan TN. Kelimutu, termasuk kebun-kebun yang dinyatakan berada dalam kawasan TN. Dan ternyata masyarakat paham tentang apa manfaat konservasi, dank arena itu turut ambil bagian menjaga kelangsungan keindahan Kelimutu.
Masyarakat sering diminta untuk sertifikasi tanah-tanah adat. Namun masyarakat paham dengan baik bahwa sertifikasi tanah mengubah status tanah komunal menjadi tanah peerorangan. Hal ini menghancurkan kepemilikan komunal, dan memudahkan tanah dipindahtangankan. Konsep kepemilikan menempatkan fungsi pengaturan pada Mosalakil. Setiap warga komunitas boleh menggarapnya tanpa berhak memindahtangankan. Dengan demikian maka tanah adat tetap diwariskan turun temurun dan berada di dalam pengawasan mosalaki.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.