Rabu, 10 Desember 2008

KEBAKARAN DI LEMBATA BUKAN TAKDIR

Oleh Melky Koli Baran
(Dikutip dari Buletin Gong Flores, Edisi 11, 2008)
Lembata dikenal sebagai wilayah dengan tingkat kebakaran hutan dan padang sangat tinggi. Laporan dari Lembata tahun ini mengatakan wilayah terparah meliputi kecamatan Ile Ape dan Nubatukan. Dari kedua kecamatan ini, Nuba Tukan paling parah. Padang dan hutan serta lahan yang terbentang mulai dari Waijarang, Waikomo, Belang di desa Watokobu, Bakalerek, Paobokol bahkan sampai ke Labanobol mengalami kebakaran paling parah. Kebakaran di Nubatukan terjadi bulan Agustus 2008. Titik api diidentifikasi terjadi di wilayah Desa Bakalerek dan Watokobu pada bulan Agustus ketika berlangsung latihan Pengurangan Resiko Bencana kekereingan dan kebakaran bagi pemerintah 6 Desa. Ironis!
Untuk kebakaran di Ile Ape yang menghanguskan seluruh gunnung api itu, pelakunya sudah diamankan Polres Lembata. Pelaku mengaku lalai ketika membakar rumput di kebunnya untuk perispan musim tanam. Di Nubatukan belum diketahui pelakunya. Dari ceritera-ceritera yang dihimpun di desa-desa sekitar lokasi kebakaran dikatakan, kebakaran mulai dari Lewoleba. Masyarakat mengetahui bahwa yang membakar biasanya para pekerja pengumpul batu. Dengan membakar padang, mereka lebih leluasa mengumpul batu untuk dijual. Masyarakat juga sudah melaporkan hal ini ke Polisi, namun polisi punya aturan standar bahwa pelaku harus ditangkap tangan. Hal ini yang menyulitkan ketika terjadi kebakaran, polisi ada di kota dan bukan di hutan.


Menghitung Kerugian
Jika dilihat sepintas, hampir tidak ada kerugian serius yang ditimbulkan jika padang terbakar. Namun jika dihitung, sesungguhnya tidak kecil kerugiannya. Tahun 2007, ketika terjadi kebakaran di Waijarang, tanaman mente gagal panen. Pendapatan petani mente menurun. Frans Erak Liman, seorang pengrajin kacang mente dari Waijarang pernah meng-ungkapkan, usahanya nyaris macet karena gagal panen mente. Ia terpaksa men-datangkan mente dari Nagaawutung agar usahanya tetap berjalan. Ketika gunung Labalekan terbakar tahun 2006, YBS Lewoleba menghitung kerugian materil mencapai tiga miliar rupiah di luar ancaman kekeringan sejumlah sumber air dan ancaman longsor bagi desa-desa di lereng gunung itu.



Bisa Diubah
Sederhana saja jika pemda dan masyarakat Lembata mau mengubah ancaman alam ini. Ketika diskusi soal ini di Bakalerek tahun 2007 silam, masyarakat merasa sulit memadamkan api. Ini namanya paradigma lama. Tunggu padang terbakar, baru berusaha memadamkannya. Berapa mampu?
Yang strategis dilakukan adalah mencegah dari pada memadamkan api. Biasanya, api sangat produktif jika bertemu rumput kering, apalagi di musim panas. Maka, diperlukan ke depan adalah mengubah rumput kering menjadi hijau. Sumber daya ada. Setiap tahun Dinas Kehutanan memiliki program pusat cukup besar. Hijaukan padang-padang itu. Masyarakat juga jangan diam. Gerakkan menanam bagi setiap jiwa. Pasti jadi. Jika setiap tahun tiap KK dibagikan 0,5 ha untuk dihijaukan, kita tentu butuh waktu tidak sampai 10 tahun untuk mengubah padang dari Waijarang hingga Labanobol menjadi hutan yang hijau. Jika sudah hijau, api sulit meyebar. Di samping itu, bertambah lahan produktif untuk pertanian. Jangan serahkan itu semua pada polisi untuk tangkap pelaku kebakaran.Urusan lalu lintas di kota saja susah, apalagi yang di hutan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar pengunjung blog sangat dihargai.